Disclaimer: Bleach?

Hanya milik Tite Kubo!


Brengsek!

.

Aku bahkan tidak pernah bicara –menyapa- dengannya meski berkali-kali berpapasan di lobi gedung utama.

Aku bahkan tidak peduli keberadaannya meski berkali-kali naik bus yang sama menuju gedung perkuliahan, hingga…

.

Hingga malam ini terjadi.


.

Nobody knows who I really am. I never felt this empty before. And if I ever need someone to come along, who's gonna comfort me and keep me strong?

.


TAKING CONTROL

Chapter One


.

Yaaatttaaaa !

Ah, ini yang kutunggu-tunggu.

Aku diterima sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan desain ternama di Karakura. Dan tahukah? Aku langsung ditetapkan sebagai asisten perancang terkenal di perusahaan itu, Matsumoto Rangiku.

Aku sungguh tidak menyangka, surat lamaranku diterimanya, padahal kukira aku benar-benar ditolak saat wawancara tiga minggu yang lalu.

.

Kugenggam erat-erat, bahkan terlalu erat, kertas beserta amplop putih yang membawa kabar baik untukku itu.

Aku benar-benar senang!

Ooh, ya ampun mungkin wajahku menampakkan beberapa gradasi warna merah saat ini. Bagaimana tidak, aku menahan untuk tidak menjerit saking bahagia di tempat aku berdiri sekarang.

Ah, tapi aku bukan tipe yang seperti itu.

Aku tidak akan berteriak atau apapun jua untuk mengekspresikan emosi.

Bukan. Bukan tipe seperti itu.

.

Sepanjang koridor kampus aku hanya bisa tersenyum tidak jelas.

Aku masih tidak percaya ini.

.

"Rukia!" seseorang memanggilku.

Dan itu...Ashido?

"Oh, hey," sapaku. Hari apa ini? Manusia paling digandrungi sejagad kampus menghampiriku? Tidak salah?

"Hai. Ng…kudengar kau diterima magang di Ran&Style' Karakura," apa ini? Sejak kapan orang ini peduli.

"Oh, yeah. Sebagai karyawan tetap, lebih tepatnya," ujarku tanpa ingin menyombongkan diri.

"Ah, selamat ya. Aku...turut senang," katanya, menjabat tanganku ramah.

"Yup! Thank's," jawabku senang-senang saja.

.

Ah, dia, Ashido Kano itu, pasti terkejut.

Pasti! Eh, ..ya setidaknya dalam pikiranku begitu.

Terkejut, tentu karena sikapku yang terlalu gamblang untuk dikatakan biasa-biasa saja setelah dia tahu aku tergila-gila padanya dan kemudian ditolak mentah-mentah, bahkan sebelum kulempar tanda cinta padanya.

Dua bulan yang lalu, perasaan suka-ku padanya tersebar ke hampir seluruh penjuru fakultas ini.

Tentu saja karena si girang Ayasegawa itu. Siapa lagi biarawati jadi-jadian di universitas ini yang punya profesi ganda sebagai Gossip King. Sialan!

Tapi, sudahlah.

Di sinilah sekarang aku, biasa saja.

Persetan dengan semua penolakan sosial yang kuterima selama menjadi mahasiswa.

Aku dapat pekerjaan tetap di perusahaan fashion kalangan jetset tiga bulan sebelum wisuda.

Hm!

.

"Uh..," gumamku, kemudian, "Ashido…ada lagi yang ingin kau katakan? Aku.."

Ashido terperanjat dari kesibukan alam pikiran rahasianya. Aku bukan paranormal, mana aku tahu isi kepalanya. Tapi dari ekspresinya, keterkejutannya, bisa kupastikan dia berpikir super berat.

"Ah, Ru-Rukia...eeh. Keluargaku mengadakan pesta nanti malam. Di rumah. Kau tahu...Ayahku, nobel...," jelasnya setengah-setengah, ragukah?

"Oh! Ya ya. Profesor Kano ...ehr, penemuannya tentang-," aku dengar Pak rektor itu dapat hadiah nobel atas penelitiannya mengenai sesuatu yang aneh, benda-benda kasat mata yang dikalangan intelek mereka sebut atom? Molekul? Ah, aku kurang pandai di situ, apa peduliku.

"Ya! Kau benar. Untuk itu beberapa teman kuundang, yah memenuhi beberapa kursi kosong, apa salahnya," hooh, hanya cadangan.

"Pesta elit, aku tahu itu," hanya kuikuti alurnya, meski aku sudah tahu di mana muara pembicaraan ini.

"Aku ingin kau datang. Sebenarnya aku tertarik padamu...maksudku..yah," Ashido terdengar kesulitan menyusun kalimat.

"Oh? Bolehkah?" tanyaku, asal.

Dia mengangguk.

Anggukan andalan, katanya.

Kata para gadis belia yang sejak tadi melirik manja pada Ashido dan melotot dengki padaku setiap kali mereka melintas di koridor ini, tentu saja sembari melambai pada si tampan di hadapanku ini.

"Tentu saja. Untuk apa aku bersusah payah mendatangimu seperti ini? Ayolah, hari Sabtu ini, pukul 7 malam, di rumahku, " mantab sekali jawabannya. Waktu dan tempatnya juga jelas.

Benarkah? Sejak kapan aku dapat nomor antrian dalam daftar panjang pergaulan selevel Ashido Kano?

Hmm...

"Jadi, kau mau 'kan?" tanya si tampan ini lagi.

Tapi, boleh juga, sekali-sekali unjuk gigi dikalangan manusia-manusia yang seolah enggan menginjak tanah itu.

"Ba-!"

Bisa kurasakan, tangannya menggelayut erat, utuh melingkari siku milikku.

Bisa kuhidu, bau yang sama, persis, yang mungkin tidak bisa kulupakan.

Bisa kulihat, dengan jelas, dia...

"Maaf, Kawan! Sabtu ini, Kuchiki akan sangat sibuk. Mungkin, ah tidak, pasti, pasti dia tidak bisa hadir untuk menikmati kemewahan pestamu."

Dia!

.

Aku tidak mampu, tidak tahu, apa lanjutan kata yang akan kusampaikan pada Ashido.

Semua kosa kata yang kupelajari bertahun-tahun lenyap dari kepalaku.

"Kau!" pekikku, terdengar menyedihkan. Oh, setidaknya ada kata 'kau' yang tersisa dalam otak payah ini.

Pria perusak suasana, dan rencana ini hanya menoleh sesaat, pamer seringaian ganjilnya padaku, kemudian berbalik dan beradu pandang dengan Ashido Kano sekali lagi.

"Jadi...Kano, maaf ya," ungkapnya, si perusak aneh begitu santai sampai terkesan menyebalkan, dengan sebelah tangannya –yang aku yakini kotor, bernoda semacam...entahlah- menghapus debu-debu imajiner dari bahu Ashido, yang justru membuat jaket mahal itu mendadak menjadi terlihat murahan.

Ashido Kano, tidak memberikan reaksi apapun. Blank!

.

Setelah puas mengotori, menyeretku ikut dengan derap langkah panjangnya adalah yang ia lakukan.

Lalu...

Semua bayangan nyata itu berputar dalam pikiranku.

Semua yang berusaha kuterima dan berusaha kulupakan

Semuanya ...kembali.

"Lepaskan aku, Oranye!"

.

Seolah duniaku kembali berawan gelap seperti saat itu. Hari itu.

Penerimaan Ran&Style' Karakura bukan lagi hal membahagiakan bagiku hari ini.

Sesaat pikiran-pikiran konyolku untuk unjuk gigi dalam pergaulan mentereng tadi berubah menjadi ejekan yang berbalik pada diriku sendiri.

Oh, Tuhan.

Aku melupakannya.

Aku sudah melupakannya.

Aku benar-benar menerima hal buruk itu, tulus.

Menganggapnya sebagai ...hukuman yang layak kuterima.

Lalu apa ini...

Yang kembali berdengung dalam telingaku,

Yang lagi tergambar dalam mataku,

Apa ini?

.

"Lepaskan! Kau mau membawaku kemana, ha?"

Si Oranye ini tak bergeming, bahkan tidak menoleh padaku, melanjutkan langkahnya, masih menarikku paksa.

Lengan bebasnya merogoh saku jaket dekilnya, mengeluarkan sesuatu –kaleng.

Dengan jemari pada lengan yang sama, kaleng itu dibuka, kemudian menegaknya sambil tetap berjalan menelusuri koridor.

Aku tahu kaleng itu…

Jantungku menyesak ingin keluar meski harus dengan merobek kerongkonganku.

Tidak!

"Kau mabuk? Sudah berapa banyak yang kau minum? Hei!" jeritku sekenanya, maksudku pelan-pelan saja bertanya itu, tapi mungkin suaraku terlalu kencang.

Beberapa mahasiswa menoleh padaku, tatapan mereka bertanya-tanya.

"Kurosaki! Lepaskan!" genggamannya makin erat pada tanganku, "Mau apa kau ini, ha?"

"Menikahimu."

.

Hah!

"APA?"

Apa katanya?

"Menikiahimu."

Sesaat, ia menatapku telak, tapi tak menghentikan langkahnya yang entah mengajakku kemana.

Aku hanya menatapnya horor.

.

Seumur hidup, aku bangga dengan telingaku yang tak pernah salah dengar ucapan orang.

Tapi, mendadak aku merasa terlalu sombong selama ini.

"Kau mabuk!"

"Ini?" pemernya, mengangkat kaleng haram itu, "...baru kaleng pertama hari ini."

Brengsek!

"Berhenti! Lepaskan aku, Oranye sinting!"

..

Ah?

Ahaha! Lenganku bebas!

Akhirnya dia melepas cengkraman sok-nya itu.

Tapi…

Begitu sadar tempat, malah sudah menjejak lapangan parkir motor.

"Selamat tinggal," aku berbalik, hendak melangkah meninggalkannya.

Tap!

Ranselku ditarik paksa dan…

Krekk!

"Putus! Manusia sinting! Kau pikir bera-," belum selesai komplain pedas kusemprotkan padanya, dia sudah menyela.

"Kau bahkan tidak membelinya," pungkasnya lancar.

"Sebenarnya apa maumu, Kurosaki?" oh, ini tasku satu-satunya sejak tahun lalu, bagaimana memperbaikinya?

Dalam hati meraung-raung, menangisi tas ini, tetapi sebenarnya aku ketakutan.

Aku hanya bisa menunduk, berpura-pura sibuk dengan tali tas ini, tetapi sebenarnya aku sadar dengan tatapannya yang tak lepas dariku.

.

"Menikahimu," jawabannya sama.

"Kau kelihatannya benar-benar teler," aku yakin, "perempuan mana yang mendadak kurang waras dan mau menikahi junkie seperti mu?"

"Kau," lagi, lagi-lagi dijawabnya enteng.

"Huh! Alasan apa sampai aku tiba-tiba gila? Ah! Sudahlah. Bukankah sudah kukatakan waktu itu, pura-pura tidak saling kenal kalau kita bertemu lagi."

Aku banyak urusan jadi aku berniat pergi dari situ.

Belum selangkah, bahuku nyeri ditarik paksa, kembali ke posisi semula.

"Apa?"

Aku berteriak, aku...

"Aku akan menikahimu, suka atau tidak, kau tetap akan kunikahi, Kuchiki."

.

Entahlah…

Kurosaki, dia terlihat begitu serius dengan ucapannya.

Aku hanya tidak mengerti…

"Kenapa? Kenapa tiba-tiba kau…," aku ingin tahu alasan dari keputusannya yang begitu tampak seperti dusta.

"Aku sudah menidurimu," jawabnya seketika itu juga.

"Jadi kau merasa bersalah? Bertanggung jawab? Konyol!"

Aku masih percaya kalau ini semua omong kosong versi lain dari seorang penipu ulung.

"Saat itu," lanjutku, "...bukankah saat itu sudah kukatakan padamu? Lupakan semuanya, anggap semuanya tidak pernah terjadi."

"Aku hanya bertanggung jawab."

"Apa? Setelah selama ini, kau baru..."

"Setidaknya aku mau bertanggung jawab."

"Lupakan! Lagipula tidak ada yang terjadi padaku, jadi kau aman. Nikmatilah hidupmu!"

.

Sekali lagi, aku melangkah menjauh darinya.

Dan untuk kesekian kali, dia menarikku kembali padanya.

"Berterimakasihlah aku mau bertanggung jawab," masih memaksa.

Aku tidak menangkap ucapan itu dalam matanya.

"Kau…kasihan padaku?" ya, itu terjabar dari ungkapan mimik wajahnya saat ini.

"Kau tahu, aku tidak pernah bersimpati pada orang lain."

Pembohong.

Penipu tengik.

"Aku tidak butuh belas kasih darimu!"

Dikasihani, satu dari ribuan aib bagiku.

Aku benci omong kosong macam itu.

.

Tak ada yang dia katakan.

Kurosaki berbalik, merogoh kantung celananya, mengeluarkan kunci, menaiki dan menegakkan motornya.

Aku terlalu waspada. Atau takut? Atau …entahlah, aku tidak tahu.

Kesadaranku penuh

Seolah setiap sel tubuhku dalam state siaga satu.

Hingga semua gerak disekitarku, apapun yang dilakukannya terekam mati dalam otakku.

.

Sesaat kulihat dia terdiam di atas motornya.

Berpikir apa, aku tidak ingin tahu.

Serasa membatu ditempatku berdiri.

Mataku terfiksasi, seolah melengket, menatap drawing tube usang yang bertengger gagah dipunggungnya sejak tadi.

Berpikir, kukira urusan ini sudah berakhir ketika kukatakan 'Lupakan' padanya waktu itu. Tetapi ternyata…

.

Tiba-tiba, helm itu terlempar ke arahku. Mendarat tepat saat kupeluk.

Mendongak, menatapnya, sejak kapan dia pakai helm?

"Pakai, dan naiklah," perintahnya tanpa melihatku, "kau tidak punya pilihan, Nona."

.

Sepertinya …aku memang tidak punya pilihan.

Naik keboncengannya …dan-

"Aduh!" pekikku.

"Kenapa?" tanya Kurosaki, melirikku.

"Ah. Hidungku …kena tabung gambar sialanmu ini!"

.

Adooohh, benar-benar!

Suasana mellow-drama selama bermenit-menit hancur dengan insiden konyol 'hidung Kuchiki bertemu drawing tube Kurosaki'.

Sialan!

.


END of Chap ONE


.

Hmm… yang ini benar-benar aneh.

Biaralah…

Saya sedikit bimbang dengan penempatan rating.

Ada yang bersedia memberi masukan?