Meja kayu persegi panjang yang memuat sekitar delapan orang itu kini didiami empat orang yang duduk saling berdekatan. Satu paling ujung dimana hanya ada kursi tunggal ditempati pria paruh baya. Dua berdampingan di kanannya dan terakhir satu orang di kirinya.

Hening tercipta cukup panjang sebelum suara tenang mengudara. Mengawali percakapan dengan atmosfir kentara berat sebelah di sisi kanan.

"Jadi anak itu menghilang?"

Anggukan kepala datang dari sisi kiri. Bersuara pelan namun mantap. "Ya, kita terlambat. Ada yang membawanya pergi dari Distrik Yalkell."

"Kita harus menemukannya secepat mungkin." pekikan tergesa datang dari ujung kanan. Dialah yang paling terlihat tak suka dengan laporan rekannya. Meski begitu rautnya terbilang datar. Kontras dengan nada suara yang digunakan. Usianya masih begitu belia jika dilihat namun gurat-gurat tegas telah mendominasi auranya.

Sang pimpinan menautkan jemarinya guna menopang dagu. Berpikir sejenak dan berucap menenangkan. "Kau harus lebih bersabar. Kita punya lebih dari satu rencana. Masih terlampau jauh menyimpulkan kemungkinan terburuk mengingat anak itu bahkan tak tahu apa-apa."

"Tapi‒"

"Sir Pixis benar," Si kepala kuning memulai suara. "Mereka juga masih belum mengerti kondisi yang sebenarnya. Kita masih punya banyak kesempatan. Belum lagi kenyataan tak banyak orang yang mengetahui seperti apa dia. Yang terpenting adalah menemukannya lebih dulu."

Perempuan datar itu terdiam. Mencoba menerima pendapat sahabat pirang berikut atasannya, Dot Pixis. Namun pikiran tak tenang terus menyambanginya.

"Sir, menurut informan Pria Tua itu yang membawanya." Pemuda berambut coklat pudar memberikan lirikan yang jatuh pada wanita berambut pendek yang kini menunduk. Terlihat adanya kedutan kecil di sudut bibirnya. Perempuan bersurai pendek itu tengah menahan geram. "Mereka berkemungkinan berdiam di Sina. Tempat paling mumpuni jadi tujuan adalah Akademi Sina." Helaan nafas menjeda penuturan. "Jika dia sampai bertemu Levi besar kemungkinan puncak rencana datang lebih cepat."

Kali ini Pixis menopang pipi. "Levi, huh? Tenanglah, dia tidak cukup bodoh untuk menjelaskan segalanya secara gamblang." Senyuman bermakna namun tak teridentifikasi maksudnya mendatangi wajah Pixis. "Gerakan orang di Sina untuk mencari anak itu."

"Baik Sir."

.

.

.

Soul Engine

by Rin fuKa

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

.

Rate: M

Pairing: LevixEren. ‒RiRen

.

Genre: Suspence-Crime.

Warning: AU!Present-Fantasy, Possibly OOC, Shounen-ai, typos -maybe.

DON'T LIKE DON'T READ!

.

.

1# Sina Academy

.

.

Lima bangunan tinggi utama berdiri tegak. Membentuk layangan persegi simetris dengan dua yang berjajar di sisi Timur. Membaur dengan tumbuhan rambat yang menyelubung dinding luar. Pagar beton dengan ujung beling-beling berterbaran tertanam diikuti untaian kawat bergulung-gulung jadi batas dengan keadaan luar.

Sekilas keadaan sungguh suram, kusam dan menyedihkan. Tak lepas dari suasana sumpek nan pengap yang menyulitkan nafas. Juga dingin suhu yang mencekam atmosfir.

Setidaknya itulah kesan menonjol yang dilihat dari luar terlebih dengan keadaan remang dari pencahayaan juga kabut tipis yang mengelilinginya. Tak lepas dari cat-cat mengelupas membentuk pola-pola kasar yang abstrak.

Tak berbeda dari yang sanggup Eren rasakan saat pertama kali ini ia menapakan kaki pada jalan setapak sempit dengan ujung gerbang besar nyaris berkarat juga logo dua huruf besar berada di tengahnya, S.A‒Sina Academy.

Sekalipun saat melihat tak ada kesan menyenangkan dari batas gerbang terluar dengan area dalam wilayah melingkar pagar beton yang tersusun rapi dari celah-celah besi besar penyusun gerbang.

Untuk pertama kalinya Eren ingin segera berbalik arah. Pikirannya membayangkan bagaimana bisa hidup dalam kungkungan instansi berlabel Sekolah Pelatihan itu untuk dua tahun mendatang. Jikalah kesan awal yang didapatnya sudah mendisfungsi asumsi soal hidup layak.

Sejauh ini Eren merasa tak jauh lebih bagus dari seorang kakek tua kena rematik yang butuh tempat nyaman untuk berbaring.

Satu gagasan dan kenangan kembali datang saat Eren ingat bahwa hal yang bisa ia sebut rumah telah hancur jadi puing-puing tak tentu bentuk. Sama seperti hal yang ia lihat saat kurang lebih dua puluh menit berjalan cepat diikuti makian Mentor di jalan setapak yang bahkan masih berada tepat di bawah kaki.

Mungkin rasa tak berumah itu bisa jadi motivasi dirinya bertahan di sini. Mulai detik itu juga sebanyak mungkin Eren membuat kemungkinan untuk dirinya sendiri bertahan. Selain untuk terus bertahan hidup Eren harus dengan senang hati membalas budi kebaikan seseorang yang berhasil menyelamatkan dirinya dari kehidupan menyedihkan di depan mata terlepas dari insiden mengerikan lain sebelumnya.

Mematok pandang tepat saat derit mengilukan gerbang terbuka ke arah dalam serta merta memuat visual lebih lebar, Eren mendongak. Satu bangunan yang persis menghadap diri dilengkapi logo yang sama dengan gerbang‒tapi lebih layak di pandang mata‒ juga background samar unicorn berwarna hijau itu menarik perhatian tersendiri.

Tak ada yang istimewa tapi Eren merasa cukup familiar entah karna apa.

Akademi Sina cukup jauh dari bayangan awal Eren ketika seorang pria paruh baya berpenampilan unik yang Eren ketahui sebagai salah seorang Petinggi di sana mengambilnya untuk dijadikan kadet. Membebaskan dirinya dari strata rendah‒budak‒ yang nyaris melabeli dirinya karna tak lagi memiliki naungan setelah serangan membabi buta segerombolan Doll ke desanya dan berniat dimanfaatkan oleh pedagang budak.

Sejujurnya pengetahuan Eren mengenai instansi ini terbilang minim. Yang ia mengerti hanyalah bahwa Akademi Sina dikhususkan untuk mencetak manusia menjadi Pemburu Elit yang mengejar dan menghadapi mutlak Doll dan Penjaga Distrik tersisa yang diporoskan pada distrik yang dijadikan nama untuk akademi ini‒Sina, sebagai penghalau serangan Doll.

Satu dari empat distrik tersisa yang masih mampu dikendalikan pemerintah sekaligus dijadikan barikade pertahanan akhir dari setiap serangan Doll.

Eren tak mengerti lebih apa itu Doll selain mereka adalah monster beringas pembunuh berdarah dingin. Berwajah nyaris tak punya ekspresi selain berkesan dingin dan sadis. Tentu tak mungkin manusia yang memiliki hati mampu memenggal kepala seseorang dengan begitu entengnya. Hanya mereka yang memiliki hati mati yang sanggup melakukannya tanpa beban rasa bersalah sedikitpun dan itulah Doll.

Seperti halnya boneka yang bergerak tanpa hati.

Satu-satunya hal yang menyamakan manusia dan Doll‒sungguh, Eren urung mengakuinya‒ ialah bahwa mereka tetaplah berfisik serupa. Normal layaknya manusia umumnya, memiliki tangan dan kaki yang dilapisi daging dan kulit dengan tingkat gradasi warna soft kulit. Dari mayat seorang Doll yang Eren pernah lihatpun mereka juga memiliki rangka tubuh yang sama dengan manusia.

Sayangnya kemampuan mereka jauh lebih mumpuni dimiliki monster. Keterampilan dan kekuatan mereka luar biasa, layaknya pasukan tentara terbaik yang dilatih intensif namun jauh dari batasan normal manusia. Bagi awam akan sulit mengetahui yang mana manusia normal dan yang mana Doll hingga berakibat pada jatuhnya korban tak terhindarkan.

Belum lagi sejauh ini alasan Doll melakukan tindakan kriminal kelas atas setingkat genosida itu belum diketahui titik tumpunya. Mereka timbul tenggelam, tak lebih dari monster berwujud manusia yang seakan diberi peran menjadi penegak penghakiman untuk umat manusia. Sayangnya pemutusan terdakwa tak memandang tindak kejahatan yang pernah target timbulkan. Praktisnya mereka membunuh tak pandang bulu untuk siapa, baik yang jahat atau tidak sekalipun.

Nyaris memekik setelah dapat tendangan membentur betis Eren memaksa kaki yang berdenyut sebelah untuk membawa diri masuk. Menyadari bahwa ia yang seharusnya berada dalam barisan terdepan sudah jadi yang paling belakang berkat pemikiran yang membuatnya melebur dengan diri dan mengabaikan sekitar.

Dipenuhi makian dalam benak, derap langkah kaki menyambangi telinga. Cahaya menyilaukan menusuk mata datang dari depan. Meski banyak kepala yang menghalangi namun dengan tinggi tubuhnya hal itu tak banyak membantu.

Hanya menyipitkan mata tepat saat mata berfungsi maksimal menyesuaikan kondiri ruangan yang luas dengan penerangan penuh menyilaukan, berbanding terbalik sekali dengan keadaan luar. Eren baru mampu membelalakan mata.

Well. Don't judge the book by cover‒ is real, untuk Eren kini. Melihat bagaimana turquoise itu menginvasi ruangan besar‒yang ia dengar dari beberapa anak seusianya‒ disebut aula benarlah layak dipandang mata.

Jajaran kursi berderet rapi. Cat putih pucat menghiasi dinding begitu pula jajaran figura dan ukiran-ukiran timbul sepanjang dinding yang berada satu garis. Logo S.A di tengah pandangan lurus ke depan. Lantai kemarik putih bergaris biru gelombang di sisi atas menjadi pijakan. Lampu-lampu di tiap pilar kokoh menyala statis.

Menyapu pandang jatuh pada panggung mini‒di depan jajaran kursi-kursi tunggal‒ telah didampingi orang-orang dewasa dengan air muka aneka ragam berikut seragam kemiliteran mereka masing-masing.

Eren merasakan dinginnya lantai menyusup masuk dari telapak kakinya. Dinginnya suhu akibat hujan yang semula tak ia perhatikan kini terasa mendekam.

Tertunduk adalah antisipasi terbaik yang bisa Eren lakukan kini. Melihat bagaimana setiap pasang mata memberikan atensi mereka melihat gerombolan anak-anak yang terbilang masih bocah memasuki yurisdiksi mereka pastilah dianggap tak berguna.

Bukan. Eren tak mempermasalahkan bagaimana cara mereka berpikir soal ia dan rekan-rekannya yang entah bagaimana bisa mendamparkan diri masuk ke dalam sangkar Sekolah Pelatihan bernama Akademi Sina ini.

Hanya sepasang obsidian datar yang memberikan binar penuh tekanan yang seakan melubangi batok kepala yang Eren lihat.

Dari sekitar enam orang terbagi rata untuk sisi kanan dan kiri dari podium dadakan yang dibuat. Dari enam pasang mata yang memberikan tatapan standar yang mewakili diri mereka walau ada yang memberikan tatapan senang abnormal tak berkesudahan, wibawa dengan segala pemikiran tak terdefinisi oleh lainnya, dan lain sebagainya.

Cukup satu yang menarik minat lebih dari si remaja.

Tepat posisi terpinggir dari kanan Eren berdiri. Dilihat dari sudut manapun tampak layaknya pertumbuhan manusia menurun dengan posisi orang itu yang berada paling bawah.

Dan saat akhirnya turkuois menampakan kembali dirinya dan bertatap muka kembali dengan obsidian. Begitu pula iringan latar suara tenang dari pimpinan tertinggi Akademi Sina‒Dallis Zacklay‒ dalam balutan penyambutan resmi.

Ada sebuah perasaan familiar dimana Eren ingat pernah bersitatap muka dengan seorang Doll. Dan disitulah Eren bertaruh nyali dengan memakukan pandang tanpa berkedip.


Awalnya Eren pikir satu-satunya tempat normal yang layak untuk digunakan hanyalah aula‒pemikiran wajar hanya dengan melihat luaran Akademi Sina sebelumnya‒ namun pikiran itu tercoret dengan mudah begitu ia mendapati kamarnya cukup nyaman digunakan.

Lebih tepat disebut ruang tidur bersama yang terdiri dari sekitar dua puluh orang setiap ruang. Terdiri dari sepuluh ranjang susun dua yang dibagi rata untuk saling dihadapkan. Masing-masing sekat dari satu ranjang ke ranjang satunya diisi satu lemari dua pintu yang disusun vertikal juga meja kecil seukuran pinggang.

Ada kamar mandi bersama berukuran dua kali tujuh meter. Shower dan wastafel terdiri dari sepuluh buah yang di susun teratur juga ada dua pintu khusus toilet. Keadaannya terbilang bersih untuk ukuran milik laki-laki.

Eren pikir yang dimiliki asrama putri pasti lebih bersih, mungkin. Gender tak memandang kebersihan kadang. Meski sampai kini ia tak tahu juga bagaimana rupa yang dimiliki asrama putri walau letaknya hanya di gedung sebelah.

Akademi Sina memang tidak dikhususkan untuk lelaki sejak awal dibentuk. Dari kalangan dan gender apapun selama mampu mengimbangi kinerja pelatihan akademi ini maka ia berhak berada di sana. Karna bagi mereka yang tak mampu harus bersedia tersingkir dengan keras, masih bagus berakhir cedera biasa.

Memutus lamunan bagaimana awal ia mengomentari keadaan kamar setengah jam silam yang kini remang cenderung gelap karna hanya ada dua lilin yang berpijar meliuk-liuk kena hembusan angin dari celah atap Eren membalikan badan saling memunggungi dengan kepala pirang di ranjang sebelah.

Sebelum menutup mata untuk melanjutkan aktivitas esok hari yang entah akan berakhir bagaimana Eren menyempatkan diri melihat ke arah gelapnya pandang di luar jendela minimalis dengan teralis besi.

Kabut tipis nyaris setiap detik datang dan Eren hanya memberi pandangan biasa atasnya. Membiarkan ingatannya menerawang jauh sebelum mencoba jatuh terlelap.

.

.

.

Sirine khas pemanggil nyawa yang terhempas saat tidur mengaung ganas. Deru ribut dan berdebam jatuh jadi musik tambahan setiap ruangan di pagi hari ini. Keadaan kacau dari kemarin sore tetap tak berubah.

Eren yang sudah siap jauh sebelum rekan seruangnya menghentikan liur yang menetes juga dengkuran menyakitkan malah menonton dengan tenang bagaimana ulah pemuda-pemuda di bawah dari ia duduk menyilangkan kaki dari atas ranjang di tingkat dua.

Teriakan macam, "Oi, Marco itu seragamku!"

Selaan datang dengan, "Jean Kirschtein! Angkat kaki baumu dari celanaku!"

"Diam kau, Connie."

Jujur Eren bahkan tidak mengenal baik siapa yang memiliki nama-nama dalam teriakan-teriakan itu. Belum genap dua puluh empat jam ia di sana dan Eren tak mengharuskan diri mengenal cepat rekan-rekan kadet lainnya.

Dan teriakan-teriakan wajar lainnya hanya karna masalah seragam yang tertukar satu sama lain. Itu salah mereka juga yang tak meletakkan segala miliknya dengan benar sebelum mendatangi kasur kemarin. Walau Eren sadar kegiatan mereka memang terbilang melelahkan kemarin demi mengenal seluk beluk Akademi Sina dengan segala tetek bengek prosedur masuknya.

Oh, juga maksud ucapan seseorang padanya.

Dentang bel ketujuh bergema, tanda dimana waktu menunjukan jam tujuh pagi. Menambahkan intesitas kepanikan yang luar biasa dari penghuni ruang sembilan karna itu tanda untuk berkumpul ke ruang makan. Eren yang siap hanya melompat turun dengan tumpuan tangan pada rangka besi ranjang yang dicat perak dan berjalan santai sambil menghindari tabrakan grasa-grusu semua orang.

Menutup pintu pelan ia melangkahkan kaki membarengi iringan kadet lainnya menuju ruang makan. Seiring dengan kembali terbukanya pintu itu empat detik kemudian berkat Mentor Asrama bertampang malaikat yang menyunggingkan senyuman manis tapi mengerikan ke penjuru ruang. Intensitas tabrakan tergesa malah terdengar lebih parah dari sebelumnya.

Tumpang tindih suara langkah menyusul dari belakang menjadi irama saat Eren sampai di ruang makan. Ratusan kadet telah mengambil porsi sarapan dan menduduki bangku-bangku panjang yang diberi sela tengah yang lebar untuk pemisahan putra dan putri.

Setidaknya wejangan yang hampir membuat Eren tertidur lelap kemarin dari seorang Mentor Asrama‒bagian ruang satu sampai sepuluh‒ berkat alunan suaranya yang lembut masih masuk ke dalam otaknya untuk dicerna dan diingat mengenai penetapan jadwal kegiatan setiap kadet. Itupun juga karna Eren sontak membuka mata lebar-lebar karna amukan luar biasa Nanaba yang sukses membaringkan seorang kadet di ruang pemulihan karna tertangkap basah tertidur‒lebih dulu dari pada Eren.

"Eren, tunggu aku."

Si kepala plontos berpostur pendek, Connie Springer, memunculkan diri pertama kali di hadapan Eren yang bersiap dengan alas makanan tanpa bicara.

Kenaikan semili alis jadi respon pertama. Namun Eren memilih sopan dengan mengangguk setuju.

Setelahnya mereka berdua ikut antrian panjang. Berusaha mendapatkan porsi yang sesuai kebutuhan fisik. Hal ini disebabkan oleh sebuah pengarahan yang mereka dengar dari senior yang kini berubah jadi Mentor‒pengisi agenda pelatihan tahun sebelumnya‒ bahwa pelatihan yang akan mereka lakukan benarlah menguras tenaga dan mental.

Mengambil pandang pada sudut kiri yang masih kosong dan jadi target menghabiskan sarapan. Langkah keduany dibawa kesana.

"Sepertinya kau belum mengenalku," Connie berkata dengan mulut yang kemudian di sumpal nasi, "Aku Connie Springer, kau Eren kan?"

Eren yang semula sibuk menatapi sarapan mendongak. Membalas uluran tangan tanda perkenalan. "Ya, dari mana kau tahu?"

Tawa Connie pecah perlahan. Tatapannya mengerling santai. "Oh ayolah, siapa yang tak tahu kadet pemula yang masuk Class A. Kau tahu, hampir selalu tak lebih dari sepuluh orang yang bisa berada di sana sekali uji. Toh kita satu ruang asrama."

"Begitu."

Eren menyahut pendek, mengangguk paham alasan Connie. Sejujurnya lupa pada desus yang beredar cepat berkat kemampuannya yang bisa melompat kilat naik jajaran Class terbaik saat tes pemisahan tingkat pertama kali dengan penilaian sempurna dari penguji. Sejauh yang didengarnya itu hampir tak mungkin untuk pemula seperti Eren yang bahkan belum dapat pelatihan satupun.

Ada sebuah sistem dimana setiap kadet baru wajib melakukan sebuah ujian mental untuk menentukan sejauh mana kesiapan emosional seorang kadet sekaligus pemisahan tingkat dari tiga Class yang Akademi Sina bentuk untuk memulai pelatihan sesuai dengannya.

Hal ini memang jadi unsur penopang yang penting selain kondisi fisik dan keterampilan bertarung guna menjadi Pasukan Elit ataupun Penjaga Distrik. Karna memang diperlukan untuk kontrol diri, emosional stabil juga menjauhkan diri untuk tak terpengaruh begitu menghadapi Doll pertama kali.

Begitu mental seseorang cenderung jatuh, fisik sebaik apapun berbanding lurus pula kinerjanya dan itu merupakan titik fatal dimana mereka jadi tidak berguna menghadapi Doll dan malah terbunuh sia-sia.

Sudah ada jadwal rutin setiap empat bulan untuk melakukan tes berkala guna menentukan perubahan tingkat setiap kadet. Bagus untuk yang menaik sampai Class teratas karna yang menurun punya dua pilihan, memperbaiki atau tersingkir.

"Dari ekspresimu yang kulihat, kau memang mumpuni menyelesaikan tes itu Eren." Telengan kepala dari Eren tanda ketidakmengertiannya jadi alasan tawa Connie membaur kembali dengan keributan obrolan para kadet lainnya. "Entahlah, kupikir emosionalmu stabil."

Dua kata itu sukses memutar ingatan Eren dimana seorang penguji‒merangkap Mentor‒ dengan binaran aneh di sekeliling mata coklat terbalut kacamata menunjukkan ketakjuban luar biasa padanya.

Topangan pipi jadi iringan akan pernyataan Connie. "Jangan seyakin itu. Aku tidak menunjukan ekspresi apapun sekarang bukan berarti tingkat emosionalku stabil. Kau tahu, seperti belum menemukan yang menaikkan tensi darah."

"Hahaha, kemarin aku satu gelombang uji denganmu Eren. Tepat setelah kau dan aku cukup terpukau kau bisa keluar dari ruang itu tanpa air muka apapun. Aku harus menggigil setengah jam dulu baru kembali normal."

"Kau, apakah tesnya‒"

"Dijadikan target tusuk kembaranmu sendiri? Yap. Beruntung aku masih dikategorikan Class B jadi tidak sering-sering melakukan tes mengerikan itu dalam empat bulan mendatang."

Eren menusukan garpu pada irisan daging dan memakannya.

"Hoi, Eren, beritahu aku bagaimana kau menghadapinya? Membunuhnya sekali tusuk? Jangan bilang kau membagi rata roti melon itu untuknya?" Connie menggaruk batok kepala. "Yaah, walau cara itu kuakui ampuh jika opsi pertama tidak berhasil."

Turquoise tergerak lurus kembali. "Tidak dengan keduanya. Bukan hal yang khusus.., menurutku."

"Sepertinya unik dan apakah kau tahu Miss Hanji mengatakan padaku jika kau sampai terbunuh di alam ilusimu sendiri maka kau juga akan mati di dunia nyata." Connie bergidik, mengingat bagaimana sorot muka horor Hanji yang menyeramkan dengan nada mencekam saat menjelaskan padanya. "Kalaupun berhasil dihalau dari luar‒tugas utama Miss Hanji setahuku sebagai penguji, minimal syok berat yang mendatangimu dan membuatmu gila permanen‒kemungkinan besar. Itu kalau sampai terlambat tapi."

Wajah Eren kini hanya menunjukan kalau ia tidak tahu soal itu sebelumnya. Seingatnya Hanji tak mengatakan apapun mengenai itu.

"Tenang saja, hal semacam itu tak mungkin sampai dibiarkan. Mereka tahu teknisnya bekerja, percaya saja." Ucapan Connie selanjutnya tidak masuk dalam lingkup Eren mendengar.

.

.

.

Duduk di kursi panjang sambil menunggu giliran yang notabene bisa disebut pemeriksaan atau tes uji mental sebagai pemisahan tingkat pertama kali adalah suatu bentuk kegiatan yang membosankan. Pintu daun satu berwarna hitam metalik dengan hiasan ornamen gelembung serupa balon yang berwarna aneka dengan tingkat soft itu itu jadi begitu kontras dengan dasarnya.

Tak ingin mengomentari lebih jauh Eren memutar pandangan pada lingkup koridor yang lengang dari suara. Padahal ada lebih dari tujuh orang yang juga menunggu sepertinya di sekeliling namun dari raut yang terlihat mereka tampak cemas menanti. Sementara Eren tak merasakan serupa sehingga dialah yang terlihat paling santai disana.

Katakanlah saja karna Eren juga tak paham apa saja yang sekiranya harus ia lakukan dalam tes ini jadilah dirinya tidak ambil pusing membayangkan ini itu lebih dulu.

Bukan berarti Eren punya tingkat kepercayaan diri bisa lolos tes uji coba mental sekaligus pemisahan tingkat pertama kalinya dengan mudah. Lagi pula Eren sedikit tak perduli mau masuk tingkat yang manapun dari tiga strata yang ada di Akademi Sina. Karna keputusan akhir yang penting dan ia masih bisa berusaha belajar jika memang tidak bisa diawal.

Terkadang kemauan dan tekat lebih unggul dari bakat dan kemampuan bukan?

Derit pintu terbuka mengembalikan turkuois kepada titik pandangnya semula. Lelaki paruh baya pemilik surai pirang baru saja keluar sambil menopang pemuda yang lebih mirip mayat hidup dengan pandangan kosong dan tubuh gemetar ketakutan.

Hampir seluruh kadet yang menunggu bergumam mempertanyakan apa yang terjadi padanya. Gurat-gurat khawatir timbul kemudian. Sejak awal mengetahui penguji mereka saja sudah jadi alasan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Dan peserta pertama sudah jadi bukti.

"Eren~~ masuklah."

Eren beranjak, diiringi tatapan delapan pasang mata yang mengarah untuknya. Memasuki pintu dan menutupnya pelan.

"Hai, aku Hanji Zoe. Penguji pemisahan tingkat sekaligus Mentor tetap kadet dalam Penanganan Emosi." perkenalnya dengan cengiran luar biasa lebar seakan menang lotre. Eren sempat bingung ingin menanggapi bagaimana. "Dan mari~ kita lihat bagaimana kau menghadapi sebuah ancaman, Eren Jaeger~!" Kacamata beningnya berkilat bersamaan dengan senyum riang menyeramkan sepihak yang melihat.

Tepat saat suntikan serum melewati pembuluh darah di dekat lehernya, Eren memposisikan diri setengah tidur dengan kaki terjulur lurus pada kursi khusus yang memiliki celah lebar untuk kepala yang diberi batasan tinggi di kedua sisi.

Menutup mata pelan dengan iringan suara Hanji untuk merilekskan diri membawa Eren melihat bintik-bintik putih merata menutupi pandang.

Lima detik berselang hal yang ia lihat pertama kali adalah pantulan dirinya sendiri yang berdiri tegap berjarak setengah meter. Kepalanya meneleng, bingung. Memikirkan kemungkinan adanya cermin namun nihil begitu muncul sebuah seringai di sana. Eren tahu dirinya sedang tak menunjukan ekspresi demikian.

Setelahnya ia mendapati sebuah tombak yang tertancap lurus ke tanah berumput rendah dan sebungkus roti melon di sisi kanan. Eren dibuat bingung untuk apa kedua benda bertolak belakang itu ada di sana.

"Pilihlah dengan cepat sebelum terlambat."

Menghilang semisterius suara itu datang, Eren merasakan tabrakan keras dari depan yang berhasil membuatnya jatuh kebawah membentur tanah. Tak sempat merintih Eren sudah menyibukan diri memegangi kuat-kuat bilah terdepan tombak dengan mata runcing yang nyaris menusuk mata kanannya.

"Si… siapa kau?" Eren berteriak memberikan energi lebih untuk mendorong jauh badan yang menimpanya dengan ujung tombak menuju dirinya. Kini Eren mengerti kenapa suara tadi memintanya memilih cepat karna sosok yang berwajah serupa dirinya telah mengambil tombak itu lebih dulu guna menyerangnya. Eren mengguman lebih untuk diri sendiri, "Apa-apaan ini?"

"Siapa?" tawa remeh menggema luas di ruangan terbuka dengan pagar besi besar terjalin kawat kokoh mengitari, "Siapa aku di matamu, Eren?" seringai muncul kembali. "Atau siapa dirimu sendiri? Aku adalah kau. Oh, sisi dirimu yang lain mungkin."

Eren bergeming dalam setengah duduknya. Berpikir dan menerjemahkan setiap maksud si surai coklat bermata rubin cerah.

"Berbagi itu tidak enak 'kan Eren? Jadi, ayo, tentukan siapa yang Eren. Kau atau aku, eh?"

Jemarinya memberi gerakan berputar. Memberikan desir angin kencang saat tombak di tangan kirinya berputar searah jarum jam. Tak menunggu sepuluh detik sudah melesat mengarahkan diri ke arah Eren.

Si pemilik turkuois terkesiap. Hampir membeku di tempat jika Eren tak segera menggigit bibir untuk menyadarkan diri dan berguling ke kiri. Malang, daun telinga kanan sobek dan mengeluarkan darah.

Kini Eren paham bagaimana rasanya takut dan khawatir nyawa seakan ingin lepas dari tubuh. Jantungnya berdetak melebihi normal. Nafasnya tersendat namun ekspresinya masih terbilang tenang. Lebih tepatnya Eren syok ringan.

Sadar bahwa baru saja ujung runcing berbentuk segitiga lancip nyaris menembus paru-parunya. Lirikannya teralih pada tombak yang menancap tak kurang setengah meter di kanannya.

Sungguh. Eren tak sempat berpikir jiwanya akan tercabut keluar oleh pemuda serupa dirinya dengan versi lebih dingin.

"Ayolah~ Eren, nikmati permainan dan tentukan. Pertahankan atau enyahlah."

Nada rendah pelan datang mengancam dari depan. Derap langkah kaki ringan mendekat. Eren bersiap dengan segala kebingungan dan usahanya berpikir kilat menyelamatkan diri. Tak cukup mengerti kenapa keadaan semacam ini menimpanya.

Apa?

Bagaimana?

Harus melakukan apa?

Isi kepalanya berputar, timbul pening hebat. Eren menimbulkan pergolakan batin. Melirik sekali lagi pemuda bermanik rubin dan tombak besi yang masih setia tertancap.

Tak melawan berarti mati. Melawan pun Eren tak merasa sanggup menggunakan maksimal si tombak dengan bilah besi berdiameter kurang lebih dua setengah senti tersebut. Eren tak punya kemampuan bertarung apapun selama ini. Hal nyata kenapa ia sampai hampir dijadikan budak tanpa bisa melawan.

Dua detik tak terbuang percuma saat Eren memejamkan mata menunda visi dari seringai mengerikan didepan. Ingatannya menghantarkan pilihan. Entah berhasil atau tidak Eren merasa harus mencoba sebelum memilih opsi yang tersedia, dibunuh atau membunuh.

Karna opsi yang Eren pilih adalah menawar.

"Bukankah kau bilang, kau adalah aku?" Eren memaksakan diri bersuara meyakinkan. "Berarti itu berlaku pula untuk aku adalah kau."

Kaki jenjang melangkah. Menyongsong sosok ramping lainnya. Si manik rubin tertahan dalam langkah, menelengkan kepala tengah memahami maksud si manik turquoise dalam radius satu setengah meter yang terus dipersempit.

"Memang. Lalu apa bedanya?"

Telak sesuai prediksi Eren. Langkah kaki makin mantap dibawanya mendekat.

Eren menyunggingkan senyum lembut. "Seperti yang kau bilang, secara tak langsung bukankah kau menyebutkan tak adanya perbedaan antara kita? Untuk apa menentukan jika kita berdua nyatalah Eren."

Pelukan hangat diterima si manik rubin. Eren memberikan senyuman manisnya yang menenangkan. Bersamaan dengan desau angin yang melintas dan meleburkan tubuh cerminan dirinya sendiri yang tersenyum begitu manisnya serupa Eren.

Hentakan datang dari segala penjuru, Eren berbatuk singkat. Meraup oksigen sebanyak mungkin saat mendapati plafon jadi gambaran pertama matanya melihat. Duduk tegap dengan pandangan mengabur sejenak. Telapak tangan mendatangi daun telinga kanan, sadar tak ada yang terjadi dengannya.

Menolak pandang ke sisi kiri. Berdiri Hanji memberikan ekspresi tak Eren mengerti artinya. Hanya senyuman lebar terkesan maniak daripada yang dilihatnya beberapa waktu ke belakang. Seperempat meter lebih jauh Eren melihat punggung tegap dengan berseragam militer coklat sama dengan Hanji. Tak tertinggal ciri khas cravat putih membingkai leher.

Lelaki bertinggi standar dengan surai kelam itu tengah memperhatikan baik-baik monitor tunggal dalam ruangan. Menampilkan visual deretan kata dan angka yang bergabung jadi satu juga video yang hanya dipenuhi putih saja di sisi kiri atas. Eren ingat lelaki itu yang memberikan suhu dingin berlebih pada tubuhnya pertama kali di aula hanya dengan tatapan obsidian monotonnya.

Kembali menelurusi ingatan mundur beberapa menit kebelakang, pria itu tak ada saat Eren masuk pertama kali.

"Eren~" Nada ceria aneh menelusup gendang telinga. Eren mengerjap heran menumpu makhluk berkuncir kuda di sisi kursinya duduk. "Bagaimana kau sebaik itu menghadapinya?" Wajah Hanji mendekat dramatis sampai Eren merasa harus melenyapkan wajah ke belakang. "Cepat beritahu aku~~"

Mata Eren tak lebih dari menyiratkan tanda tanya akan maksud pengujinya.

"Shit! Levi, anak ini memiliki mental layaknya Pemburu Elit yang diberi tes uji ketakutan puluhan kali hanya dalam sekali coba belum lagi waktu yang relatif singkat. Tekankan, SINGKAT!"

Hanji memekik girang. Pria yang disebutnya Levi mengalihkan bola mata menghadapi rekan gilanya tersebut. Suara baritonnya pecah terdengar. "Oi, bocah. Pernah melakukan hal ini sebelumnya?"

Mulut hanji mengerucut mendengar pertanyaan Levi barusan. "Ara~ Levi, kau tahu sendiri tak ada lagi fasilitas penguji seperti ini selain di sini."

Terintimidasi dan merasa ditekan kuat-kuat dari atas Eren menelan ludah. Mengabaikan total ungkapan Hanji. Menggeleng lamat-lamat setelahnya. "Be.. belum, Sir."

"AAA! Sudah kubilang, dia unik Levi, UNIK!" Hanji memukul sisi kursi dan menggeret kursi tunggal lainnya untuk diduduki‒ralat, dinaiki. "Fuuh~ kau bahkan tak berkedip melihat monitor tadi, ahahaha."

Desisan muncul merespon Hanji. Tatapan Levi menajam memfokuskan diri pada wajah pemuda brunette. Menyilangkan kedua tangan didepan dada. "Bagus kau tidak mati sampai dua tahun mendatang, bocah."

Levi membalikan badan. Menuju lurus pintu keluar.

Eren mencerna ucapan. Menelan ludah kelu dua detik berselang.

Barusan Levi berniat memberi motivasi atau mengingatkan kondisi kalau ia bisa mati kapan saja di sini? Jujur, Eren jadi menganggap yang kedua lebih unggul maksudnya.

Hanji beraut santai mengangguk pada awalnya. "Maksud Levi adalah kau harus bertahan sampai dua tahun mendatang‒" sebelum menjerit girang kemudian, "…uh, OH! LEVI, KAU BARU SAJA MENDEKLARASIKAN DIRI UNTUK MEMBIMBING‒ auhh!"

Tersungkur berkat tendangan yang mematahkan kaki tunggal kursi putar, Hanji menjatuhkan diri dengan indah dari badan kursi. Kepala jatuh lebih dulu setelah wajah menghantam sisi kursi tempat Eren duduk. Si pemuda belasan tahun hanya dapat terbengong dan ngeri sekaligus melihat jelas tindakan tak terduga dari Levi.

Sejak awal Eren punya firasat kalau kau tak fokus dan bertingkah semboro terhadap Levi maka hasil akhir tak jauh dari keadaan Hanji kini. Oh, Eren ingat ia juga baru diberi‒entahlah, Eren bingung ingin menganggapnya sebagai apa.

Mengerling kejam bagai tokoh antagonis umumnya Levi melanjutkan keinginannya untuk pergi. Hanji luar biasa hebat mengabaikan nyeri wajah dan keretakan yang nyata pada frame persegi panjang kacamatanya malah menampilkan cengiran lebar sambil membangunkan diri. Terpingkal entah untuk alasan yang mana.

Eren tak bisa memberikan respon selain keheranan tinggi mengenai tingkah maso pengujinya itu. Juga keanehan yang melekatinya.

Tepat saat jemari kokoh pucat layaknya porselen menyentuh kenop pintu suara bariton mengudara kembali. "Oi, kacamata sialan. Kau tahu tugasmu."

"Hahaha, dimengerti Levi-sama~"

Eren sudah memunculkan fantasi soal tendangan susulan yang mungkin mendarat telak di muka Hanji. Beruntung Levi memilih keluar.

"HohoEren. Selamat akan keberhasilanmu masuk Class teratas yang kau dapat langsung dari Mentor terbaik di Akademi Sina ini." Hanji tersenyum lebih normal menegaskan ucapan selamatnya. "Hahaha, aku belum pernah‒oh, kuralat, senang rasanya ada lagi orang yang bisa menyelesaikan uji tes ini dengan waktu relatif singkat."

Eren membuat lapisan kerut di dahi. Ia cukup cermat memperhatikan sesuatu tapi keadaan Hanji yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang seharusnya berkat sungkuran yang ia alami malah jadi perhatian Eren.

"Um, Miss Hanji anda baik-baik saja?"

Penuh mengabaikan pertanyaan Eren untuk dijawab Hanji sudah duduk satu kursi dengan Eren. Jemarinya bermain di dagu seolah tenggelam dalam dirinya sendiri. "Bagaimana perasaanmu tadi, hm?" alisnya berkedut naik turun. Menghilangkan semua kesan serius yang baru dua detik silam dibawanya.

Eren tak tahu kalau Akademi Sina memiliki manusia lumayan aneh begini dengan seribu ekspresi absurdnya. "Entahlah, terkejut pastinya. Bagaimanapun aku nyaris mati tertombak tadi dan kurasa miris juga dibunuh dirimu sendiri."

Tawa Hanji terlepas. "Itu saja?"

"Aku tidak yakin, lebih tepatnya bingung." Eren menyentuhkan telapak tangannya pada dada kirinya, "Tapi jantungku bahkan berdetak secepat ini, itu berarti aku benar-benar ketakutan tadi."

"Perkataanmu seperti kau tidak yakin juga dengan itu, kau tahu." Lirikan Hanji jatuh tepat pada tingkah Eren yang mengarahkan pandang ke bawah. Lengannya tersilang, jemari terketuk di lengan atas kiri. Bibirnya dibuat menguncup dan bermain-main dari sisi satu ke sisi satunya. "Lalu apa yang kau pikirkan tadi?"

Eren tampak bingung. "Tidak jelas, kurasa. Awalnya berasa kosong tak berisi meski‒entahlah, aku juga bingung apa saja yang kupikirkan." Tangannya sudah beralih ke sisi kepala dan menggaruk tanpa sadar.

Hanji melongo dramatis. Entah kenapa manusia satu ini senang sekali mendramatisir ekspresi. Tapi cengiran tertarik dan terpesona secara bersamaan itu tak mungkin tak terlihat di wajahnya.

"Aku hanya berpikir bagaimana caranya menghadapi diriku itu tanpa harus melakukan apa yang ia pilihkan untukku. Membunuhnya untuk membuatku hidup atau aku yang harus terbunuh."

"Pemikiran soal merengkuhnya itu?"

Eren memberikan tatapan heran.

"Tenang saja. Aku bisa melihat alam ilusimu dari sana." Telunjuk panjang Hanji mengarah pada layar monitor.

Sedetik itu juga Eren sadar pria bernama Levi pasti melihat bagaimana sikapnya selama di alam ilusi‒apalah seperti yang Hanji ungkapkan. Mutlak pemikirannya atau memang jadi kenyataan nantinya Eren pikir mungkin terjadi hal-hal tak terduga dengan itu. Belum lagi ucapan pria papan itu tadi.

Ketenangan seakan mulai memudar dari hidup Eren.

‒Atau memang sejak awal tidak pernah ada jika Eren mengingatnya kembali.

"Yeah. Begitulah."

Hanji tersenyum tenang. "Well, itu hebat Eren. Kau lebih memilih pilihan yang memang pasti diterima dirimu satunya ketimbang memanfaatkan benda yang ada di sekelilingmu. Kau tahu, aku pikir kau bisa saja menggunakan roti melon untuk membujuknya‒tak usah kau pikirkan juga kenapa harus roti melon, maksudku untuk bernegosiasi dengannya dan membuatnya berada di pihakmu dengan cepat dilihat dari ketidakinginan kau membunuhnya.

"Sejauh yang kutahu seseorang akan menggunakan kondisi sekeliling yang memang mumpuni berguna membantu terlebih dulu ketimbang memikirkan opsi pribadi tapi jujur caramu lebih sederhana. Praktisnya kau tahu cara menghadapi dirimu sendiri tanpa bantuan orang lain. Lagi pula tak setiap orang mengerti cara menghadapi dirinya sendiri, sisi lain diri tepatnya."

Eren menunjukan sikap skeptis. "Aku hanya berpikir, seperti, kenapa harus melenyapkannya jika bisa merengkuhnya di pihakku?" Bahu tegap itu terangkat sedikit. "Semacam itulah dan kupikir itu tidak berarti aku mengerti benar diriku sendiri, Miss."

Tepukan diterima sebelah bahu Eren. "Kau tahu, saat nyawa seseorang terancam dan yang terpancang dalam otaknya hanyalah untuk tetap bertahan hidup, tak perduli orang yang jadi musuhmu itu dirimu sendiri sekalipun ia pasti berusaha menghalau ancaman itu.

"Itulah sifat dasar manusia dalam melawan suatu bentuk ketakutan akan ancaman. Dan kau sukses memberikan opsimu, Eren, memberikannya sebuah ruang. Toh, cara setiap orang berbeda dan aku suka kekompleksitasan itu, hahaha~~"

Bangkit dari duduknya Hanji memberikan gestur untuk Eren turun dari kursinya. "Kuucapkan selamat soal keberhasilan melawan rasa takut yang ditimbulkan sisi lain dirimu Eren Jaeger~ Caramu menghadapi dan pola pikiranmu yang seperti itu menunjukan tingkat emosional yang stabil."

Eren tak merespon suara selain mengangguk kemudian membungkuk dan pamit keluar dengan tenang. Walau kepalanya dipenuhi ketidakmengertian total maksud Hanji.

Membuka daun pintu dengan pelan langkahnya dibimbing keluar dengan tenang. Mendengarkan sedikit bisikan dan kerjaan takjub dari beberapa pasang mata di bangku tunggu. Memutuskan abai Eren terus melangkah. Berniat belok di tingkungan kiri sudut mata menangkap sosok Levi yang bersandar di dinding.

"Sudah selesai?" Levi tak memberikan celah untuk Eren menjawab. "Ikut aku."

Nada perintah absolut menuntut penuh kepatuhan. Eren memilih mengikuti instruksi sang Mentor beraut teflon tersebut ketimbang berakhir terluka hanya dalam kurun waktu empat jam semenjak ia datang.

"Sir, boleh kutahu kita kan kemana?" tanya Eren pelan. Cukup ragu dapat jawaban.

Dan hening panjang yang ia dapat. Eren menghela nafas, memutuskan diam memperhatikan gelagat Levi yang sepertinya dalam mood buruk atau memang begitulah keadaan tiap detiknya. Hanya saja Eren sedikit sadar ada aura tak enak dari pria yang berjalan selangkah didepannya.

"Oi, bocah." Eren menyimak penuh apa yang ingin Levi utarakan. "Apa motivasimu kemari? Memperoleh gelar untuk kesombongan? Enyah saja kalau memang itu alasanmu di sini."

Eren mengerjap dan terdiam sejenak.

"Tidak, bukan seperti itu." Lirikan Levi jatuh padanya. "Aku tidak perduli soal gelar atau apapun yang disediakan Akademi Sina ini. Aku hanya… harus bertahan hidup dan seseorang memilihkan tempat ini untukku."

"Idiot. Tempat ini bukan naungan yang layak untuk terus membuatmu hidup." cerca Levi muak entah teruntuk siapa. "Pilihan ada untuk kau pilih sendiri. Bukan diberi atau memberikannya kepada orang lain. Menurutku, kau hanya bocah tak guna tanpa alasan saat ini. Setiap orang akan mencoba bertahan hidup tanpa diminta dan kau terlalu gampang menjadikan hal itu alasan mendasar."

Eren menggigit bibir bawah. "Aku tahu ucapanku akan berkesan klise juga tidak sopan untuk Anda. Tapi, Sir, Anda bahkan tidak tahu bagaimana kehidupanku sebelum ini. Jadi kuharap Anda tidak seenaknya menghakimi apa yang kupikirkan."

"Bocah," Levi memutar badan membiarkan Eren ikut diam ditempatnya. "Sebelum kau yakin mengetahui segala hal tentang hidupmu yang bahkan kau tidak bisa mengenal sekelilingmu dengan benar cobalah selami kembali isi kepalamu. Mengingat hal kecil saja kau tidak becus. Melakukan hal sepele juga kau masih payah. Terlebih pemikiranmu itu terlampau dangkal. Bahkan kau tidak tahu tujuanmu ada di sini."

Tertohok tepat di ulu hati. Meski kalimat awal Levi membuatnya cukup tak paham. "Sir, apa maksud Anda dengan aku tidak bisa mengenali sekelilingku? Hal wajar bukan jika aku perlu adaptasi dengan lingkungan baru tapi perkataan Anda seolah memvonisku tak mengenal hal yang harusnya kukenal."

Eren menarik nafas sebentar. "Dan, yah, kuakui aku memang masih payah tapi bukan berarti aku tidak bisa berusaha. Lalu soal tujuanku, kenapa aku merasa Anda memposisikan diri mengetahuinya seakan Anda mengerti benar seluk beluk hidupku?"

Levi mendengus keras. Getar geram ikut menyusun raut wajahnya yang mengeras. Membuang nafas kasar sekali lagi Levi membalikan badan tanpa menjawab. Melangkah lebih cepat sedangkan Eren yang diliputi butuh jawaban jelas hanya mengikutinya dalam diam.

Dua belokan untuk kanan dan juga kiri Levi melangkahkan kaki ke sebuah ruangan sederhana dengan deretan kursi kayu berderet rapi. "Masuk. Kau akan diberi pengarahan di sini dari mulai jadwal sampai pembagian ruang tidur."

"Sir," panggilan Eren memutus gerakan Levi untuk pergi, "Aku belum paham maksud pembicaraan sebelumnya."

"Tch, dan kau berharap aku menjelaskan?" Levi menjawab sarkas. "Aku tidak punya cukup waktu untuk bicara panjang lebar dan membuat bocah bodoh sepertimu mengerti."

Bersama dengan punggung Levi yang menjauh Eren menelusupkan sebuah pemikiran mengenai kemungkinan kecil dimana sosok pria itu tahu hal yang tak Eren mengerti selama ini. Untuk setiap pertanyaan yang timbul dibenaknya dan belum terjawab satupun oleh ingatan yang dimiliki.

Satu hal saja yang Eren ingin ketahui lebih dari lainnya.

Eren menyentuh sisi kepalanya yang berdenyut sakit.

.

.

.

a/n:

Uhuk‒ fic multichap padahal ide cuma sepintas dan maaf jika mungkin aneh dan membingungkan begini, hahaha XD. Buat yang baca sampai sini saya harapkan reviewnya~~ ^_^

Sankyuu,
‒Rinfu