Setting: Tokyo Ghoul: Re chapter 31.5 manga vol. 04. Beberapa ada yang saya tambahkan disini sebagai sweet treats. Saya rekomendasikan untuk membaca chapter itu terlebih dahulu sebelum membaca fic ini.

Pair: ArimaxSasaki (as always^^)

Rate: M (T for the first chapter, I guess)

Warning: Contains uncensored forbidden word like F*ck and Sex; MalexMale; contains Oral too, if you are IRRITATE by such kind of stuffs then I would say that you shall GO BACK RIGHT NOW AND STOP READING. I warn you already. Please take this warning seriously. It's not good for kids under 16.

This fic is dedicated to the readers who have been waiting for my fanfic after a looong time. Enjoy—

*Christmas Gift*

Setelah jamuan makan malam yang luar biasa lezat, anak-anak Quinx dengan cepat menyambar kotak-kotak hadiah mereka secepat kilat. Kumpulan hadiah-hadiah di bawah pohon natal itu langsung menghilang dalam lima detik. Urie membuka kotak hadiahnya dengan malas. Ia pikir ia tidak pernah mengharapkan hadiah dari orang yang pernah menamparnya, keengganan tampak jelas di wajahnya saat ia meraih kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna ungu. Sementara Mutsuki dan Shirazu tampak bersemangat saat bungkusan yang berwarna senada berada di tangan mereka, Shirazu membuka bungkusan berwarna ungu itu dengan sembarangan sehingga potongan-potongan kertasnya berjatuhan ke segala penjuru, kedua matanya berbinar saat melihat figur Harley-Davidson mengkilap itu menyeruak dari kotak hadiahnya, disaat yang bersamaan Mutsuki juga membuka kotak hadiah yang dipegangnya bedanya ia membuka bungkusan kadonya dengan hati-hati, sehingga dikemudian hari ia bisa menggunakan kembali kertas kado cantik itu, ia mendapatkan leather eyepatch berwarna hitam. Sementara Saiko menggerutu karena ia hanya mendapatkan kupon makan dari Burger King, restoran Yakiniku dan tiket makan gratis Curry di kantin CCG selama satu bulan. Sebetulnya ia mengharapkan video games baru atau kalau ia beruntung, Haise mau membelikannya perangkat Nintendo yang baru namun Haise berlawanan dengan idenya, Nintendo akan membuatnya semakin malas bekerja.

"Terima kasih banyak, Sassaaann!" Seru Shirazu dengan nyaring, Mutsuki yang disebelahnya terlihat terkejut sementara Urie melihat Shirazu seolah dia tidak pernah mengenalnya.

Sementara Mutsuki masih bersikeras meminta Urie untuk mengucapkan terima kasih, Suzuya menghampiri Haise dengan manja, Juuzou memegang kedua ujung mantel drakula yang dipakainya sambil menengadahkan kedua tangannya kepada Haise. Mukanya memelas seperti anak kucing yang meminta susu, bibirnya mencibir dan kedua alisnya turun, benang jahitan merah di bawah bibirnya berkontraksi.

"Aku ingin hadiahku juga, Haise." Ujar Detektif Associate Special Class itu dengan lirih.

"Tenang, Juuzou." Jawab Haise sambil tersenyum, "Aku menyiapkan hadiah untuk semua orang!" Serunya setengah berteriak. Kemudian ia bergegas mengambil karung putih yang disembunyikannya di salah satu laci didapur. Tanpa kesulitan ia mengangkat karung putih itu, membuka ikatannya dan mengeluarkan isinya satu per satu. Juuzou yang sedari tadi mengikuti langkah Haise tampak tergesa-gesa saat Haise membuka karung yang dipenuhi kotak-kotak hadiah itu, mukanya langsung bergairah lagi, ia menepuk-nepuk tangannya sendiri saat menunggu hadiahnya.

"Kecuali Juuzou setiap orang mendapatkan satu kotak hadiah." Seru Haise lagi sambil menyerahkan dua kotak berukuran sedang dan satu bungkus besar permen Hersey's kepada Juuzou.

"Wow, Cooolll!" Juuzou berteriak saat ia meraih kotak hadiahnya, dia merasa seperti baru memenangkan Jack pot.

Tidak ada yang lebih indah dari melihat muka-muka yang berbahagia di malam Natal, pikir Haise. Takeomi dan Kuramoto tampak memperlihatkan hadiah masing-masing, Shirazu masih mengagumi figure Harley-Davidsonnya sementara Juuzou terlihat mendatangi Saiko yang termenung, ia membagi beberapa permen coklat Hersey's-nya. Urie pamit tidur kepada semua orang kecuali Takeomi dan Haise, sementara Akira yang mendapatkan satu paket make up lengkap dari The Body Shop tengah mengisi gelas kosongnya dengan Wine di Counter. Hanbee yang berdiri disebelah Haise masih sumringah saat Juuzou berbagi separuh dari coklat Milka berukuran besar dengannya, sebenarnya Hanbee mendapatkan syal dari Haise namun, yang membuatnya lebih berbahagia justru karena potongan coklat Milka dari Juuzou. Ia memakan potongan coklat itu dengan perlahan, seolah ia tidak mau menghabiskan coklat yang bercampur kacang almond itu. Sementara yang memberi hadiah masih terlihat segar dan ceria luar biasa. Ia senang melihat orang-orang di sekitarnya bahagia, melihat orang-orang yang tersenyum juga merupakan salah satu hobinya.

Haise berhenti tersenyum saat melihat satu kantung hadiah dari velvet berwarna merah teronggok diatas meja. Ia langsung bereaksi, mereka kehilangan satu orang diruangan ini. Oleh sebab itu kantung velvet berwarna merah itu teronggok malang begitu saja.

"Kemana Arima-san?" Haise mengajukan pertanyaan itu kepada seluruh orang diruangan. Namun, karena semua terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing, mereka mengabaikan pertanyaannya.

"Aku melihatnya minum di ruang tamu dibawah anak tangga." Jawab Hanbee yang kebetulan berdiri disampingnya.

"Oh." Haise melirik Hanbee sejenak kemudian ia bergegas menyambar kantung velvet itu dari atas meja. Ia berpamitan kepada semua orang—walaupun mereka mengabaikan Haise dan beranjak keruangan lain yang dimaksud.

Haise berusaha mendekati ruang tamu itu tanpa suara, dengan maksud untuk tidak mengejutkan Arima dengan kehadirannya lagipula ia ingin berlama-lama memandangi pujaan hatinya itu sedang menikmati kekosongannya sendiri, saat ia berada di bibir ruangan, ia melihat Arima tengah menatap ke kegelapan di jendela. Tangan kanannya terselip dikantong celana hitam yang dikenakannya sementara tangan yang lainnya tampak memegang segelas berisi anggur, punggungnya tampak gagah dari balik kemeja putih yang dikenakannya. Botol Wine berwarna putih yang ditaruh diatas meja terlihat sudah setengah kosong.

Sebenarnya, ia masih canggung dengan Arima terutama setelah hal terakhir yang dilakukannya bulan November kemarin—Daripada membunuh Yotsume (a.n: nama lain dari Hinami-chan, she's like the aogiri's Muse^^) dan menjadikannya Quinque, Haise malah membiarkannya hidup di Cochlea dengan alasan Yotsume bisa dipergunakan sebagai sumber informasi. Semua orang tahu betapa terganggunya Arima dengan keputusan Haise itu dan sejak saat itu, dimanapun ia bertemu Arima, Detektif Special Class itu melihatnya seolah ia tidak ada. Suatu hari ada kejadian yang benar-benar menohoknya. Mereka pernah terjebak dalam meeting yang sama pada hari selasa dua minggu sebelum natal. Saat itu, Haise bermaksud menyerahkan setumpuk berkas yang harus ditanda tangani sang detektif, normalnya Arima membaca seluruh berkas itu terlebih dahulu kemudian mengesahkannya tetapi saat itu, Arima malah menghardiknya dengan alasan berkas-berkas itu diluar tema meeting kemudian meninggalkan ruangan itu dan Haise yang keki dengan gesture yang benar-benar terganggu. Haise jadi harus menyusulnya ke 1st Ward keesokan harinya untuk meminta coretan pengesahan sang Detektif. Namun dihari yang lain, Arima dengan pembawaan yang tampak lebih rileks menyetujui usulnya menghabiskan malam Natal di Chateau. Pria ini benar-benar seperti wanita yang sedang menstruasi, pikir Haise.

"Aku berjanji tidak akan minum terlalu banyak." Ujar Arima yang sudah menyadari keberadaan orang lain di ruangan itu. ia menoleh tanpa harus membalikkan tubuhnya. Arima tampak tidak terganggu atas keberadaan Haise, wajahnya masih kaku seperti biasa.

Haise melirik kesana kemari dan berusaha keras menampilkan senyum alami diwajahnya. Ia menunggu sampai Arima mengizinkannya bergabung di ruangan itu.

Arima masih menatapnya dengan tatapan menyelidik, bibirnya basah karena cairan yang tengah ditengguknya, ia mengedikkan kepalanya yang diinterpretasikan oleh Haise sebagai undangan bergabung. Melangkahlah Haise mendekati Arima.

"Kau bisa duduk disitu." Dagunya menunjuk ke arah sofa. Arima memutar tubuhnya dan meraih botol anggur putih di atas meja itu saat Haise mendudukkan dirinya di sofa.

"Kau tampak menikmati peranmu." Ucap Arima sambil menuangkan cairan berwarna kotor itu ke gelas kosongnya.

"Peranku?" Ulang Haise menunjuk dirinya sendiri.

"Hm." Gumam Detektif Special Class itu membenarkan, ia meneguk cairan anggur putih itu sambil mengawasi Haise.

"Kau terlihat seperti orang tua mereka." Mereka yang dimaksud Arima adalah Mutsuki, Shirazu dan Urie, ia mengatupkan kedua bibirnya yang basah.

"Oh," Seru Haise seraya tertawa. "Mereka adalah anak-anak yang bermasalah." Guyon pemuda setengah ghoul itu.

"Setiap kali membiarkan mereka bertindak sendiri, aku freak out sejadi-jadinya." Haise menundukkan wajahnya, berusaha mengabaikan tatapan Arima yang selalu membuatnya gugup.

"Nah.." Arima mengangkat gelasnya di udara. "Mereka masih muda, kau tahu?"

"Aku tahu mereka membuat banyak sekali kecerobohan, namun mereka masih sangat muda after all." Arima mendekati gelasnya lagi ke bibirnya. "Aku tidak mengamini kesalahan mereka, yang aku ingin katakan adalah; ada saatnya mereka berevolusi, dan karakter setiap orang berbeda-beda. Aku cukup yakin mereka cukup belajar darimu." Jelasnya tergesa-gesa. "You want some?" Arima menawarkan botol anggur putihnya sebelum meneguk sisa cairan di gelasnya sampai habis.

"No, I'm okay. Thanks." Tolak pemuda setengah ghoul itu sambil mengangkat tangannya. Ia menolak melihat Arima yang tengah meneguk anggur putih itu meskipun sebenarnya ia ingin sekali menyaksikannya, Haise bisa merasakan Arima masih mengawasi gerak-geriknya. Untuk mencairkan kegugupannya, ia memilih mengeluarkan kantung velvet merah itu dari kantong denimnya kemudian menyodorkannya ke Arima.

"Ini, terimalah." Pekik Haise bersemangat. Ia bisa melihat ekspresi terkejut sang Detektif, ekspresi tidak menyangka lebih tepatnya. Ia melihat kantung velvet merah didepannya itu dengan aneh.

"Hadiah Natalmu, Arima-san." Haise meyakinkan Arima saat ia menerima kantung velvet merah itu. Arima menyelidiki kantung velvet merah itu selama beberapa saat sambil meyakinkan dirinya sendiri kalau kantung velvet itu berisi hadiah dan bukannya booby trap.

"Hadiah Natal, huh?" Arima membuka pita pembungkus hadiah natalnya, lalu mengintip kedalamnya. Ia menemukan sebuah Tie Pin berukiran kuda setengah badan berwarna silver yang mengkilap. Ia tampak ragu mengeluarkan Tie Pin itu dari kantung pembungkusnya, ia mengamati Tie Pin yang cukup berat itu sambil berusaha menahan senyumnya, kedua alisnya sampai berkedut.

Haise cukup puas melihat ekspresi aneh Arima, ia meyakinkan Detektif Special Class itu lagi. "Aku selalu berhutang budi padamu."

"Thanks." Seru Arima singkat, mukanya setengah tersipu. "Sebenarnya ini berlebihan, namun terima kasih banyak, nak."

"No need to thank." Katanya dengan tulus, Haise bisa merasakan warna dikedua pipinya berubah. Ia berusaha menghindari kontak mata dengan Detektif Special Class itu.

Arima masih mengawasi hadiah ditangannya, Tie Pin itu mempunyai detail yang rumit, berwarna silver dan mengkilap, tidak ada noda lain selain sidik jarinya sendiri. Ia masih merasakan tekstur keras Tie Pin itu dengan seluruh jarinya, kedua matanya mengernyit, ekspresinya terlihat lebih dalam dari sekedar memandangi sebuah pin, ia terlihat berpikir.

"How about I give you a present too?" Tanyanya bersemangat setelah ia selesai tenggelam dalam pikiran yang entah apa dipikirnya.

Haise berhenti bergerak, kedua matanya melebar. "Err.." gumamnya setelah beberapa detik mencoba menginterpretasikan penawaran Arima diotaknya.

"Yes, I'll give you a present." Moodnya seketika berubah, kedua mata kelabu itu mengunci seluruh pergerakan Haise. Tatapannya begitu masiv, begitu undestructable, persis seperti saat ia mendekati Yotsume dan hampir membunuhnya.

Haise seketika menegakkan punggungnya. Ia menolak untuk mengedipkan kedua matanya, seluruh tubuhnya bergetar karena suasana mencekam yang menguar dari tatapan sang Dewa Kematian. Ia mencengkram kedua lututnya sendiri, ludahnya terasa seperti logam berat, paru-parunya tidak berfungsi seperti biasa, menamparnya kembali pada kenyataan bahwa Arima benar-benar pria yang berbahaya. Pria non-humoris yang tidak bisa kau permainkan begitu saja, Hyena yang menjelma dalam rupa seorang Adonis. Haise tidak bisa menolak rasa takut yang menyelubungi seluruh tubuhnya saat ditatap seperti ini, namun ada bagian kecil di dalam hatinya yang menyukainya. So fearful yet so infatuated.

"Have you took bath this afternoon?"

"Uh, yes." Ucap Haise yang baru kembali ke bumi dari fantasinya tentang Arima.

"Tunjukkan padaku dimana kau tidur." Ia berkata, tanpa kata tolong atau maaf.

"Uh..?" I know where this leads to. Respon Haise sambil mengernyit. "Kamar..ku?" Lanjutnya mengklarifikasi.

"Yes." Pekik Arima tidak sabar. Alisnya berkontraksi hingga keningnya berkerut.

"O-okay."

Haise mengantarkan Detektif Special Class itu menuju kamar tidurnya. Pundaknya bergetar, Haise benar-benar gugup. Will he fuck me right now when everyone is here? Ia mengulang pertanyaan itu dibenaknya. Membayangkannya saja sudah membuat kedua pipinya semakin merona. Oh, no, no, no! No fucking way! Ini adalah malam natal, dan semua orang ada disini, demi Tuhan! Pemuda setengah ghoul itu berharap Arima hanya ingin meminjam kamarnya untuk beristirahat, meskipun ia tahu ia hanya berharap pada omong kosong.

Setelah selesai menaiki anak tangga Haise berjalan beberapa meter dan berhenti pada salah satu pintu paling kiri di ujung aisle. Ia menghembuskan napas dengan enggan sebelum akhirnya meraih gagang pintu kayu jati itu dan menarik kenopnya hingga pintu terbuka.

Wangi kertas tua menyeruak dari ruangan Haise yang sederhana. Di ruangan yang tidak luas pun tidak juga sempit itu hanya terdapat satu kamar tidur berukuran single, lantai kayunya mengkilap seperti tidak pernah diinjak, meja kerjanya yang lebih terlihat seperti meja belajar itu tertata dengan rapih, binder-binder berukuran besar tersusun rapi di tempatnya, satu papan tulis yang bertengger tepat diatas meja kerja dipenuhi oleh kertas dan memo. Yang membuat kamar itu mencolok adalah rak buku besar yang dipenuhi oleh buku-buku dengan tema yang berbeda-beda, rak itu terletak persis disebelah pintu kamar mandi, saking besarnya rak buku itu hanya ada beberapa senti tembok yang tersisa hingga ke langit-langit, Haise menggolongkan semua buku-buku koleksinya dengan penanda disetiap raknya, pada langit-langit kamar lampu yang baru menyala berpendar memberi penglihatan ke seluruh penjuru ruangan, penghangat ruangan tepat berada dibawah jendela disamping rak binder, dan satu poster potrait berukuran besar bergambar buah pisang menghiasi tembok yang monoton.

Pemuda setengah ghoul itu masih mengabaikan Arima yang berada dibelakangnya, Haise hanya berkonsentrasi untuk mengendalikan seluruh tubuhnya yang bergetar. Bahkan tanpa melihat ke belakangpun, Haise tahu bahwa Arima tidak berhenti mengawasinya, atau lebih tepatnya mengintainya. Haise menggigit bibir bawahnya saat Houseshoes (a.n: sandal yang dipakai di dalam rumah) dibelakangnya berderap, membuat lantai bermaterial kayu itu berbunyi tok. Ketika Haise selesai menghembuskan napas yang cukup panjang, Arima sudah berdiri tepat dibelakangnya. Haise menelan ludah dan menegakkan lehernya, mencoba menghipnotis dirinya sendiri bahwa: eventhough they'd end up having sex, it's allright anyway. Karena Haise tidak bisa menyembunyikan rasa rindunya akan sentuhan tangan Detektif Special Class ini. wait, wait, wait, there're a lot of people on the living room, Haise! Kau tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja! Akira juga disini! Jerit alam bawah sadarnya menampar rasa rindu Haise yang membuncah.

"—yeah. Aku percayakan padamu, Akira..Thanks." Arima memutus teleponnya, Haise terlalu berkonstentrasi pada keseimbangan dirinya sehingga ia tidak bisa menyimak yang tengah menelpon Akira.

"Aku bilang kita mempunyai review meeting dikamarmu, dan itu sangat penting. So don't worry. Mereka tidak akan mengganggu kita." Arima menjelaskan situasinya, yang membuat Haise sedikit lega. So I have him the whole night. "Dan Akira sama sekali tidak mengetahui rahasia kita." Bisik Arima ditelinga Haise, ia merangkul tubuh pemuda setengah ghoul itu dari belakang. Kedua tangannya melingkari perut Haise.

Deru napas pria berambut putih itu meracuni pendengarannya. Demi Tuhan, Haise! Dia hanya bernapas! Bernapas! Jeritnya dalam hati saat ia merasakan sensasi yang menggelitik area dibawah sana. Compose yourself! Batin Haise. Pundaknya menggeliat saat ia mencoba kembali berkonsentrasi menenangkan gairah liarnya, ia memejamkan kedua matanya, berharap dengan melakukan demikian ramalan-ramalan kotor yang akan terjadi kepadanya akan menghilang.

Arima mengamati Haise dari bawah kelopak matanya, bagaimana Haise mencoba menenangkan kegugupannya sendiri. It's cute. Berapa kali ia melakukan pendekatan intim seperti ini terhadap pemuda setengah ghoul itu, Haise always remain innocent. Like a virgin, pikirnya.

"Haise." Bisiknya seduktif. "I would like to try something new to you." Suaranya terdengar intens dan penuh percaya diri.

Jesus! Fantasi-fantasi liar tentang having sex and fuck memenuhi seluruh ruangan diotak Haise. Bagaimana bisa orang ini mengatakan sesuatu yang erotis dengan cara yang biasa-biasa saja!

"I'm not going to fuck you this time." Tekanan pada kata fuck-nya membuat Haise bergidik. "But still, aku akan membalas hadiahmu." Tangannya menangkup kedua pundak Haise yang bergetar, mencoba mentransfer ketenangan ke seluruh tubuh Haise yang sudah terselimuti gairah. Arima menekan pullover Haise dengan hati-hati dan lembut seolah pundak itu material kaca yang rapuh.

"Now turn around, Haise." Komandonya. "Face me."

Pemuda setengah ghoul itu membuka kedua matanya secara perlahan, ia berhenti menggigit bibirnya sendiri, dan dengan seluruh ketenangan yang ia paksakan dalam tiap senti dibenaknya, ia memantapkan diri untuk berbalik. Menatap Adonis pujaan yang tidak lain hanyalah transformasi dari Dewa Kematian. Kalau Haise mau mengambil perbandingan, Arima itu ibarat Siren, ketika kau melihatnya seluruh napasmu seolah dicuri oleh kesempurnaan parasnya, bahkan matamu tak mengamini barang satu kedipanpun darinya, kau akan mengorbankan apapun untuk berada disisinya, dan setelah kau berada disisinya, ia akan menenggelamkanmu ke kematianmu sendiri. He's the only handsome, badass man who leads you to your own death.

Arima merendahkan kepalanya saat ia mengunci dagu Haise dengan tangannya, memaksa pemuda setengah ghoul itu bertatapan dengannya. Detektif Special Class itu meneliti Haise. Pemuda berambut berantakan itu menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering, it's been a month, batinnya. It's been a whole fucking month, sejak aku tidak melihatnya, merasakan sentuhan ajaibnya, sudah lama sejak aku tidak merasakan miliknya di lubangku—oops!

Arima mendaratkan kecupan di bibir mungil Haise, kecupannya hangat, singkat, simple dan penuh kerinduan. Kecupan penuh cinta yang merepresentasikan perasaannya kepada Haise. He misses me too, kata Haise pada dirinya sendiri dan Haise berharap Arima menciumnya lagi. Sudah lama sekali sejak Haise tidak merasakan bibir lembut itu mengoyak bibirnya. Sudah lama sekali sejak bibir yang selalu tertutup rapat itu tidak menghantui tiap senti kulitnya, memanja bagian sensitifnya.

"I want to make sure you aren't wearing much layer underneath." Kata Arima meraih pullover merah Haise, matanya masih tidak berhenti memandangi Haise.

"Am not, sir." Timpal pemuda setengah ghoul itu dengan cepat.

Ketidakpercayaan tergambar jelas dari kedua iris kelabunya. Jawaban Haise bukanlah jawaban yang diharapkannya, karena konsekuensinya akan sangat..

"Undress yourself, then." Komandonya. Lagi, tanpa kata tolong atau kumohon.

"Yes, sir." Ujar Haise dengan lantang.

Arima memberikan ruang bagi Haise untuk menarik seluruh bajunya. Matanya tidak berhenti mengamati seluruh gerakan Haise yang seolah mengundangnya.

Haise memberanikan diri untuk membalas tatapan mengamati sang Dewa Kematian. Ia meraih ujung pullovernya lalu menarik pakaian tebal itu ke atas kepalanya. Sebagian kecil perutnya terlihat saat tubuhnya membusung dan pullover itu akhirnya terlepas dari kepalanya, ia membuang pullover itu begitu saja. Pun ketika ia membuka kemeja putihnya mereka masih menatap satu sama lain dengan intens, Haise membuka kancing kemejanya satu per satu sambil kembali menggigit bibir bawahnya, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Meskipun ia yakin heater (a.n: pemanas ruangan) dikamarnya masih berfungsi, tetap saja tubuhnya bergetar kedinginan setelah ia menanggalkan pakaian terakhir yang dipakainya. Perhaps, it's only your own excuse to have Arima-san warm you, bisik alam bawah sadarnya. No no no! batinnya menampik ide itu. It's because he glares at me.

Haise bisa melihat gairah berkobar di kedua mata sang Detektif, namun ia memilih tetap diam, kedua matanya tidak berkedip menelusuri tubuh pemuda setengah ghoul itu, ekspresinya tidak dapat ditebak seperti biasa bahkan Haise tidak yakin apakah dia bernapas.

"Er..Celanaku, pak?" Tanya Haise mengganggu konsentrasi Detektif berambut putih itu.

Arima tidak bisa menyembunyikan perasaan terganggunya atas pertanyaan yang memecah konsentrasi itu.

"I've told you, you have to undress yourself."

"Roger that." Pernyataan retorik itu membuat Haise terlihat bodoh. Ia mulai membuka kancing celana denim yang dikenakannya, membawa zippernya turun dan celana itu melorot dengan mudah. Haise terlihat mengumpulkan keberaniannya terlebih dahulu sebelum ia meraih underwearnya, ia bahkan harus menatap ke langit-langit kamarnya saat ia menarik turun celana terakhir dari tubuhnya dengan cepat, mencoba mengabaikan Arima yang masih menikmati hiburannya, leaving his body completely naked.

Haise merasa sangat defenseless. Tidak hanya karena ia telanjang bulat namun juga karena Arima yang terus mengawasinya dengan iris kelabunya. Meskipun Detektif Special Class itu tetap tenang dan tidak terusik, kedua matanya terlihat merepresentasikan hal yang berbanding terbalik. Dari balik kacamata itu, iris kelabunya tampak seperti pengait yang siap menjebaknya, Haise sangat yakin kalau ia tengah memikirkan sesuatu yang sangat liar, liar dan erotis tentunya.

Saat dada telanjangnya berkontraksi karena pertukaran oksigen, Arima masih saja diam tanpa kata. Bibir lembut itu tertutup secara horizontal, Haise mulai tidak sabar, lututnya sudah tidak kuat menopang rasa malu tubuhnya, ia ingin menutupi tubuhnya dengan sesuatu terlebih dahulu. What is this guy thinking?

"Berbaringlah ke tempat tidur."—

*To Be Continued*

The erotic scenes are continue to next chapter. I hope you like it.^^

Note:

Saya banyak sekali sebut merk, berlebihan memang tapi menurut saya pas sama Juuzou dan Akira, yang tidak suka saya mohon maaf, tapi sudah saya ingatkan sejak awal untuk tidak membaca fic saya.

Mohon maaf buat kalian yang tidak mengerti Bahasa inggris dan beberapa kalimat di fic ini menggunakan Bahasa inggris, bukan karena saya mau pamer keahlian, Cuma saya tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk kalimat English tersebut. Terutama dialog Arima, saya selalu berpikir kalau dia lebih terdengar lebih cool kalau pakai Bahasa inggris. Saya berharap saya bisa menyelesaikan chapter yang kedua dalam waktu singkat.

Ada beberapa orang yang kirim direct email ke email saya, untuk itu saya mengucapkan terima kasih banyak karena ternyata banyak yang concern juga selama saya tidak menulis.

For some reason, to build up the ero scene, saya berinisiatif mendengarkan FSoG di audible, jadi kalau ada yang sadar beberapa scenenya mirip-mirip sedikit, itu karena saya ambil ilham dari situ. (ero-scene nya chapter selanjutnya ya..) #ABAIKAN#

I'll see you guys on the next chapter.

Hasta luego—