Bintang-bintang secantik bulan purnama menyinari langit sekelam hitam. Mereka bercahaya bercampur kerlap-kerlip indahnya pemandangan di malam hari. Sebagian orang telah terlelap tidur terjatuh dalam mimpi impiannya, setengahnya lagi masih terjaga sekedar mengisi waktu kosong sebelum hari-hari berikutnya. Bocah mungil mengenakan topi fedora terlihat tengah menyeruput secangkir kopi dengan badan menghadap sang pemilik rumah, Sawada Nana.

Wanita berumur 36 tahun tengah mempersiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya yang kian bertambah setelah kedatangan seorang Katekyo Hitman bernama Reborn. Nana tentu tidak mempermasalahkan mengenai orang-orang itu untuk tinggal bersamanya, namun lain cerita bila mereka membawa masalah-masalah besar terhadap anak tercintanya.

Reborn mengaku bahwa Sawada Tsunayoshi ialah pewaris sah ketua Mafia Vongola generasi ke-10 melanjutkan jabatan Kyuudaime. Sulit memang jika harus membujuk Tsunayoshi untuk menerima takdir sepahit ini, tetapi memang inilah yang terbaik baginya. Dia tidak bisa mundur, apalagi sudah memiliki cincin Vongola—melingkar pada jari manis.

"Maa, pertarungan antar penyegelan Mare Ring telah berakhir. Masa depan sudah aman," jemari kecil mengenggam gagang cangkir seraya menguyupnya perlahan-lahan menimbulkan suara seruput kecil menggema dalam ruang makan sekaligus dapur. Reborn turun dari kursi menghampiri Nana yang sibuk mencampurkan bahan-bahan makanan.

"Araa, Reborn-kun?" Nana tersenyum tipis. "Kopinya tidak enak?"

"Tidak, kopinya enak kok, Mama." Akunya seraya melirik arah kamar mandi—disana Tsunayoshi sedang membersihkan diri sambil bernyanyi nyaring meskipun suaranya samar akibat dipenuhi percikan minyak di atas kompor.

Nana terkekeh riang melihat anaknya menyanyikan lagu sakura rock – cherry blossom. Dia meraih spatula untuk membalikkan daging masakannya, ragu-ragu Nana melihat kembali dimana Reborn berdiri.

Ada raut wajah khawatir tersirat jelas melalui ekspresi Reborn—segera Nana mempertanyakan kebenaran. "Doushitano? Tidak enak hati?" Nana berjongkok menyetarakan tingginya dengan bayi Arcobaleno tersebut.

Bukan Reborn namanya bila jujur akan kenyataan, ia sudah biasa berbohong—bahkan membohongi diri sendiri. Karena bisa gawat jika Nana mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya beserta keluarganya.

"Oh—" Reborn berdehem, memaksakan memperlihatkan senyuman simpulnya. "Tidak usah khawatir, Mama. Aku hanya berpikir bagaimana selanjutnya perkembangan Tsuna,"

Mata cokelat milik Nana berbinar begitu mendengar tanggapan Reborn yang menyentuh hati. Masih muda, berpikir dewasa lagi. Idaman, kan?

"Reborn-kun sangat tanggung jawab sekali kepada Tsu-kun, aku jadi kasian melihatmu terus mengajari Tsu-kun yang repot...," Nana bangkit berdiri mematikan kompor, takut-takut masakannya gosong.

Justu anakmulah yang paling banyak menanggung jawaban mengenai konflik mafia—batin Reborn mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Berkat topi fedoranya, setengah indera penglihatannya tertutup sempurna mengakibatkan bayangan hitam disela-selanya. Cameleon, nama kadal kesayangannya berjingkrak menenangkan pikiran tuan muda.

"Kalau begitu..., aku ingin pergi ke kamar, Mama. Mataku berat," tutur Reborn beranjak pergi meninggalkan Nana yang terpaku ditempat dimana ia berdiri—masih dengan pasang muka khawatir, diam-diam Nana memperhatikan gerak-gerik Reborn.

"Iya Reborn-kun, oyasuminasai." Nana melambaikan jemarinya berharap Reborn bermimpi indah seperti Lambo dan I-pin.

Selang beberapa saat—Tsunayoshi keluar, baru saja menyelesaikan aktivitas mandi. Semerbak parfum mawar tercium wangi berkeliaran ke seluruh penjuru ruangan—membuat Nana menoleh mengamati putranya sibuk merapihkan helaian rambut.

"Tsu-kun lapar? Kaa-san sudah buatkan Tsu-kun kare," tawar Nana menyodorkan semangkuk kare ke hadapannya.

Sebuah senyuman tulus terukir menghiasi paras manis, Tsunayoshi menerima uluran mangkuk berisi kare faforitnya dengan ikhlas meskipun perutnya menolak sudah kenyang gara-gara sushi bawaan Yamamoto tadi sore.

"Iya aku lapar, Kaa-san. Terima kasih karenya," Tsunayoshi duduk di bangku menyisakan beban badannya bertumpu oleh kursi kayu. Manik brown miliknya menerawang selagi Nana meletakan segelas susu hangat di atas meja. Entah apa yang dipikirkan Tsunayoshi tapi Nana mengerti, ia tidak boleh bertanya apapun lagi—dirinya sudah sangat percaya sepenuhnya.

"Tsu-kun," panggil Nana mengintrupsi mulutnya untuk berhenti mengunyah. Kepala brunettenya menoleh, menatap Ibunya. "Tsu-kun tidak apa-apa, 'kan? Seminggu lalu Kaa-san benar-benar khawatir karena Lambo-kun dan I-pin-chan menangis merindukan Kaa-san...,"

Semenjak kejadian peperangan melawan Byakuran, Lambo dan I-pin memang sempat mengalami trauma kecil. Tapi, mengingat kami segera pulang ke masa lalu..., mereka berdua akhirnya kembali seperti semula—Tsunayoshi berpikir keras dalam pikirannya, mati-matian mencari rangkaian kata untuk dijelaskan kepada Ibu kandungnya.

"A-ano nee Kaa-san, begini—etto..., kemarin aku dan mereka menemukan murid berandalan yang menghancurkan market, es krim Lambo jatuh selama perjalanan pulang karena lari-larian... jadi—" Tsunayoshi menggantungkan kalimatnya sendiri, masih ragu.

Apa yang harus kujawab?!—Tsunayoshi menghela nafas berat, memasukan adonan kare tersebut kedalam mulutnya sambil berdecak kagum untuk karenya yang enak.

"Kami semua baik-baik saja. Kami berbeda dengan imajinasi Kaa-san, tenang saja..., kami tidak nakal kok." Tsunayoshi akhirnya berbohong ke sekian kalinya, menutupi kebenaran demi kebaikan hati Nana agar tidak bimbang selama kesehariannya.

"Kaa-san mengerti..., ah—daripada mengurusi urusan itu lebih baik Tsu-kun tidur. Ini sudah lewat tengah malam," Nana mengambil piring bekas Tsunayoshi makan, membawanya ke atas bak cuci seraya menyalakan westafel perak menggantung tertempel di dinding.

Mengerti akan perkataan Ibunya, Tsunayoshi mengangguk. "Baiklah, oyasumi Kaa-san."

Kini tidak ada lagi masalah apapun mengenai peperangan antar perebutan gelar Mafia ataupun Mare Ring lagi. Semuanya sudah teratur kembali seiringnya waktu berjalan, namun ada satu hal yang membuat pikiran Tsunayoshi menghitam layaknya kaset rusak.

Cinta.

Tsunayoshi baru menyadari pekan lalu bahwa dirinya—menyukai siluet hitam bergakura dengan julukan prefek terseram.

Sampai sekarang, belum ada orang yang mengetahuinya. Cepat atau lambat, Tsunayoshi pasti akan mengatakannya.

Suki desu. Hibari-san.


Vongola 10st and 1st © Leenalytte

Katekyo Hitman Reborn © Amano Akira

Pairing: [1827/Hibari KyouyaxSawada Tsunayoshi], Yamamoto TakeshixGokudera Hayato, [AG/AlaudexSawadaIeyasu/Giotto], slight(Mukuro RokudoxsSawada Tsunayoshi), slight(Daemon SpadexSawada Ieyasu/Giotto), Ugetsu AsarixG, and other pairs.

Rated: 15+ (akan bertambah seiringnya alur berjalan)

Warning: Typo (untuk berjaga-jaga), EYD, Hurt, Drama, Fighter, semi-Canon/semi-AU, Romance, Lemon(?), BoysLove, Yaoi, Shounen Ai, and others

Don't like Don't read and Happy reading.


Chapter 1: —Namimori's School, with the sadistic—


Jendela kamar terbuka lebar-lebar mengakibatkan tirai-tirai berterbangan menari diantara perkumpulan oksigen. Sinar surya berhasil menembus permukaan kaca, lolos menghantam kelopak mata pemuda berparas manis. Perlahan-lahan bulu mata lentiknya bergerak-gerak berniat membuka penglihatannya setelah menyadari cahaya matahari mulai menusuk langsung ke arah mata.

Setengah sadar, Tsunayoshi menyibak selimut yang sedari tadi melilit badan mungil miliknya. Ia beranjak berdiri menghampiri jendela berukuran sedang, terlihat kedua sahabat sekaribnya berdatangan mengunjungi rumah. Disana ada Lambo berlarian memperebutkan paha daging, membuat I-pin kewelahan mengejar sapi kecil.

Hembusan nafas berat dilontar sengaja melalui mulut plumnya, Tsunayoshi melepaskan kancing-kancing piyama menggunakan satu tangan, sebelahnya digunakan membuka lemari—mencari-cari seragam sekolahnya.

"Dame-Tsuna masih tidur," Reborn berujar lantang dibalik pintu kamar, terdengar suara tawa Yamamoto disebrang sehingga Gokudera segera naik pitam melihat tawa ejekan dari si maniak baseball.

Aku harus cepat agar tidak terlambat!—Tsunayoshi buru-buru meraih dasi beserta blazernya kemudian menarik kenop pintu.

"Ohayou gozaimasu, Juudaime!" Gokudera menyapa sebagai orang pertama, dia tersenyum lebar menyambut kedatangan bos kesayangan.

"Oh, yo Tsuna, ohayou." Yamamoto meletakan tangannya dibelakang kepala, menunggu balasan Tsunayoshi yang sepertinya masih mengumpulkan jiwa-jiwanya dari alam mimpi. Dapat dilihat jelas, sang Vongola Decimo mengantuk.

"Ohayou, Gokudera-kun, Yamamoto...," jawabnya menutupi mulut yang ingin langsung menguap, kalau saja Reborn tidak ada di atas pundak milik penjaga hujan—seterusnya Tsunayoshi bersikap bodoh didepan teman-teman, masa konyol harus menjaga image demi kepentingan sendiri—toh, dirinya memang begini.

Mendadak suasana rumah berubah bising gara-gara mendengar suara tangis Lambo memenuhi atmosfir ruangan. I-pin bersikeras menenangkan Lambo agar menghentikan air matanya, tetapi si kribo terus saja meraung mencakar lantai tak meninggalkan bekas apapun.

Bingung sekaligus merasa bersalah, I-pin menunduk memeluk pinggang Lambo. Mencoba merayu agar Lambo tidak lagi bersifat kekanak-kanakan mengingat tanggung jawabnya sebagai penjaga petir harus memiliki wibawa tinggi agar bisa membawa harum nama Vongola Decimo.

"Maaf Lambo, I-pin tidak sengaja mendorongmu." I-pin mengusap punggung Lambo, melepaskan pelukannya sesudah melihat Lambo mulai baikan.

"Hum! I-pin jahat! Lambo kan sakit, tahu!" pantat berlapis kain putih polkadot hitam diusap pelan oleh telapak tangan, bangkit berdiri untuk menghadap I-pin. "Lupakan, Lambo lapar, ayo makan!"

I-pin mengangguk ceria, mengikuti kemana Lambo pergi dibelakang. Tetap setia membiarkan Lambo dahulu mengambil makanan, dia rela asalkan sahabatnya ini senang. Bisa repot jika Lambo sedang dalam mood buruk.

Menyaksikan kejadian romantis ala kids jaman now—Yamamoto terkekeh menanggapinya. Ia melangkah menuruni anak tangga segera mendekati Nana yang sibuk mengupas dedaunan disofa.

"Araa, Tsu-kun dan teman-temannya~" Nana menyimpan alat-alat masaknya, melupakan pekerjaannya barusan. "Mau berangkat sekarang?"

Tsunayoshi tersenyum simpul mengangguk sebagai jawaban. "Ha'i, Kaa-san. Aku tidak mau diberi hukuman lagi,"

"Sou ka, ah—hati-hati dijalan ya, Tsu-kun..., kalian semua juga." Nana berharap, tangannya melambai kepergian Tsunayoshi beserta kedua anaknya. Jangan lupa Reborn sudah kembali duduk manis bersama Fuuta dan Bianchi. Disusul oleh kedua anak perusak suasana.

Perjalanan menuju sekolah Namimori bisa terbilang cukup jauh, harus menempuh bebarapa meter untuk sampai tujuan. Selama langkah kaki mereka terus melangkah, Gokudera terus berceloteh mengomentari kepribadian sosok penjaga awan yang selalu seenaknya menyelesaikan masalah sendiri tanpa sepengetahuan penjaga lainnya.

Seketika jantung Tsunayoshi berdetak lebih kencang, mendengar nama Hibari Kyouya disebut membuat responnya memanas. Pipinya pun nyaris memerah jika saja tidak langsung ditutup dengan kedua tangannya.

"Maa maa, ochitsuke Gokudera." Yamamoto meleraikan situasi, ia merangkul pundak penjaga badai sembari meneruskan pembicarannya. "Dia memang seperti itu, lain kali kita ingatkan lagi nanti."

"Haa? Jauhkan tanganmu dariku, Yakyuu baka! Siapa sudi bersentuhan denganmu, huh? Dan jangan mengusulkan seenaknya!" Gokudera berprotes. Perempatan sudah tercetak disudut pelipis, giginya bergemelutuk bergesekan dengan rasa kesal.

Menyebalkan rasanya harus dileraikan oleh Yamamoto, memalukan memang—menyadari Gokudera menyimpan rasa terhadapnya, meskipun tidak terlihat ia mencintai Yamamoto—setidaknya Gokudera tidak pernah mengkhianati perasaan si surai hitam tersebut.

Sepanjang hari tiada tanpa mengecek situs E-mail milik Yamamoto Takeshi, sampai-sampai dia begadang demi mencari siapa saja orang yang berhubungan dengan pria dicintainya. Gokudera dilanda virus—entahlah, ini tiba-tiba terjadi—datang tanpa ijin kemudian pergi tanpa pamit.

Itulah cinta.

"Nee Tsuna, Gianni katanya akan datang ke rumahmu malam nanti. Reborn yang bilang sebelum kita pergi," Yamamoto melepaskan rangkulan dari pundak Gokudera, si pemilik mendesah kesal.

"Gianni—?! Si botak itu? Kenapa dia harus datang ke Jepang?" Gokudera mengerutkan kening.

Tsunayoshi tersenyum kecut memaklumi perlakuan terhadap para sahabat-sahabatnya, seperti biasa dirinya tidak selalu ikut campur mengenai topik pembicaraan Yamamoto, lebih baik berdiam diri menanggapi semuanya daripada harus ikut-ikut repot menggosip membicarakan keburukan orang lain—meski ini sedikit melenceng.

Keningnya berkerut heran sesaat setelah menemukan sosok bergakura tengah berjalan melewati gerbang Namimori, anggota komite kedisiplinan sepenuhnya sudah berkumpul di tengah lapangan, menunjukan kepada siswa-siswi bakat yang mereka punya.

Rambut khas Komite Namimori terlihat rapih saat terbawa terpaan angin, sepasang kaki masing-masing digerakan secara zig zag mengelilingi sudut lapangan sambil menyanyikan lagu kebangsaan Namimori. Tekun sekali.

Hibari-san—meneguk ludah paksa.

Semilir angin menyapu brunette miliknya, dasi terpasang manis dibawah kerah kemeja seputih awan—Tsunayoshi terpaku ditempat begitu lelaki kesukaannya lewat tanpa sedikit pun menatap dirinya.

Sakit?

Inilah resikonya. Resiko mencintai seseorang yang belum tentu lawannya mencintai. Cinta membutuhkan pengorbanan. Sakit dan cemburu.

Tsunayoshi mengacak-ngacak surainya, ia mendecak sebal menyadari pikirannya terus terlayang ke arah Hibari Kyouya. Apa salahnya mencintai orang? Tidak salahnya menganggumi seseorang, atau pun diam-diam menyukainya dari belakang. Cukup dirinyalah yang tahu betapa sulitnya mendapatkan orang dicintai.

Lebih sulit dibandingkan latihan extra bersama Reborn.

"—daime, Juudaime?"

"Ngh?" Tsunayoshi membuyarkan seluruh alam bawah sadar. Kedua temannya sudah berganti posisi, kini berdiri dihadapannya dengan tampang khawatir. Bisa-bisanya ia melamun di tempat umum.

"Apa Juudaime tidak enak badan?" Gokudera mendekat, memeriksa temperatur tubuh bos generasi ke-sepuluhnya. Takut ada apa-apa.

"A-ah! Kau berlebihan Gokudera-kun! A-aku tidak apa-apa," semburnya tak sempat mengontrol emosinya. Langsung saja Tsunayoshi meminta maaf atas nadanya yang meninggi, tidak seperti biasanya.

Gokudera mengangguk sembari tersenyum yang selalu ditunjukan hanya untuk Tsunayoshi. Dia berjalan berdampingan disamping Tsunayoshi, disisi lain ada Yamamoto sibuk memainkan ponselnya, sesekali tertawa membaca pesan-pesan terkirim dari rekan-rekan kegiatan sekolahnya, baseball.

Mendadak suasana hati Gokudera memanas, dia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan nafsunya agar menghajar Yamamoto. Ini masih pagi-pagi, lupakan Yamamoto—masih banyak wanita cantik mencintai dirinya.

Ketimbang memikirkan si maniak bola lempar itu—Gokudera berdecak tidak memperdulikan Yamamoto. Seolah-olah bisa, Gokudera ingin menekadkan jiwanya agar terlepas dari jeratan cinta yang mengikat hatinya.

Kenapa juga harus si Yamamoto?

"Herbivore,"

Alis perak bertekuk tajam. Gokudera segera menarik perhatian ke arah sumber suara, dimana Hibari sedang berdiri tegap diujung gerbang berukuran 5 meter.

"Kono Hibari teme! Apa yang kau inginkan? Menggigit kami? Oh! Jangan mimpi, kami tidak sedang mood bertarung denganmu." Bersiap-siap mengambil beberapa dinamit.

Hibari menghela nafas. "Bukan kau yang kumaksud, tapi herbivore itu."

Sudut matanya memicing, mengikuti arah pandang Hibari maksud. Ia terkejut bukan main saat mengetahui siapa orang yang dimaksudkan olehnya—sosoknya ialah Sawada Tsunayoshi.

"Haa—? Ada perlu apa dengan Juudaime, huh? Pergi! Jangan ganggu Juudaime, kau maniak Namimori!"

"Berani membantahku?" Hibari mengangkat dagunya ke atas, memandang Gokudera remeh. Terlihat jelas bola matanya tersirat dengan arti—kau diam saja

Yamamoto maju selangkah, menarik lengan Gokudera agar tetap tenang. Serentak, reposnnya diluar jangkauan yang Yamamoto pikirkan—manusia bom itu memperlihatkan rona merah dikedua pipi, walaupun samar-samar. Tapi Yamamoto yakin, ia pasti blushing gara-gara tangannya bersentuhan.

Sebegitu sensitifnya kah?

"Tenanglah Gokudera, Hibari tidak ada maksud untuk menggigit Tsuna ataupun kita." Yamamoto mengacak-ngacak pucuk kepala surai silver, memberikan senyuman hangat kepadanya.

Sementara orang bersangkutan hanya menenggak ludahnya sendiri sambil mendengarkan adu mulut antara Penjaga Awan dan Penjaga badai. Rasanya ini seperti drama-drama luar negeri—Ayolah Tsuna! Kenapa kau mendadak gugup seperti ini?—mengusap dada berkali-kali.

"Dasimu. Kurang rapih."

"Eh?"

Tsunayoshi mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, memberanikan diri untuk melihat ekspresi Hibari yang sedatar dinding dapur.

Apa dia bilang? Dasiku?—setengah hidup, jemari Tsunayoshi meraba-raba dasinya. Ia menunduk melihat bagaimana penampilan dasinya sekarang. Oh—benar ternyata. Mungkin itu efek gegara Reborn menyuruhnya agar tepat waktu pergi ke sekolah, memalukan seorang bos mafia berlagak sembrono seperti ini.

"Payah," Hibari mendekati dimana Tsunayoshi berdiri, menaikan dagu sang Decimo menggunakan jemari lentiknya. Ia kemudian segera membetulkan letak-letak dasi Tsunayoshi agar tidak merusak pemandangan.

Tak sampai satu menit—Hibari menarik tangannya kembali ke balik gakura. Dia berbalik memunggungi Tsunayoshi untuk melanjutkan tugasnya, yakni—berpatroli.

"Teme! Beraninya menyebut Juudaime dengan kalimat laknat! Grrh, kuhancurkan kau!"

"Maa maa, tenangkan dirimu Gokudera. Dia tidak menyakiti Tsuna, lihat—bos kita baik-baik saja, 'kan?" membela situasi.

"Pantatmu tenang! Ini masalah tentang aku dan Hibari itu! Kau diam saja!" sergah Gokudera melipat kedua lengannya didepan dada.

Penjaga hujan memasukan tangannya didalam saku celana, berjalan mengikuti Gokudera dan Tsunayoshi dari belakang. "Boleh kuhukum atas perkataanmu itu, Gokudera? Sedikit menyinggungku," tuturnya jujur tak lupa senyuman manis menghiasinya.

"Terserah! Apa peduliku? Ayo Juudaime, kita harus cepat ke kelas sebelum Yakyuu baka ini menghancurkan momen kita." Dengan satu tarikan, Gokudera berhasil menarik Tsunayoshi berlari menjauhi Yamamoto—buru-buru sampai ke kelas.

Seringai tipis terpampang. Yamamoto meregangkan otot-ototnya yang terasa ngeri, ia melangkahkan tumitnya ke depan—menyusul mereka berdua.

"Sepertinya kau belum tahu, ya."

Manik topaznya menyoroti keindahan langit biru di atas, tampak kecewa. "—Aku menyukaimu, Gokudera."

Keduanya saling mencintai, tapi tidak menunjukan kode-kode bagaimana mereka mencintai masing-masing. Cinta terpendam terkadang menyakitkan. Tapi membuat kita lebih kuat menahan rasa pahit sekaligus kecewa.

Berharap memang boleh. Tapi setidaknya ketahuilah harapanmu akan diwujudkan atau tidak. Tergantung tekad dan apa yang kau lakukan.


Japan, Sawada's House [10:34 AM]

Ruangan bercahaya dipenuhi bantuan matahari membantu kegiatan sembunyi-sembunyinya terbantu. Kening berkilat silau dengan kedua tangannya penuh alat-alat sibuk menyibukkan diri—berkutat bersama barang kuno berukiran bahasa Italia. Ukiran-ukiran dalam benda sana amat cantik, dipahat rapih oleh ahlinya. Namun siapa sangka benda tersebut sangat berguna.

Diketahui barang tersebut dapat menghidupkan bahkan menarik kembali kehidupan di masa jaman dahulu sesuai keinginan si pencipta. Cukup menarik perhatian seorang ilmuan pitak—sehingga Gianni harus susah payah menghidupkan mesin waktu dalam benda itu. Tak susah-susah ia terus menghidupkannya tanpa bantuan dari Irie atau Spannar.

Sekitar 50 menit—Gianni berhasil membuat barang bohongan menjadi nyata. Reborn sengaja mendampinginya agar ia tidak melakukan hal sembrono seperti beberapa bulan lalu—meninggalkan beban kesalahan pada alat-alat perang dirinya dan Gokudera.

Berniat bertanya hasil, Reborn mengatup rahangnya rapat-rapat. Menonton Gianni yang tengah menggunakan mesin tersebut—tanpa ragu Gianni menekan tombol ok dan muncul kepulan cahaya mengelilingi ruangan yang ditempatinya.

Perlahan-lahan cahaya itu menghilang. Reborn membuka mata, melihat disekeliling. Tidak ada tanda-tanda Vongola Primo beserta guardiansnya disini.

"Omong kosong." Serunya bangkit dari tempat duduknya. Reborn membenarkan letak topinya sembari membuka pintu keluar.

"E-eh? Tunggu dulu Reborn-san!" Gianni bersikukuh memohon Arcobaleno untuk tetap menemaninya.

"Sia-sia aku disini hanya menunggu hasilmu." Ia menghela nafas lalu berjalan keluar tidak memperdulikan mental Gianni kian menurun. "Akan kubawakan cemilan," lanjutnya.

Gianni menghempaskan badan, membiarkannya menghantam lantai dingin. Seingatnya dirinya tidak pernah salah—sampai-sampai alat ini tidak bisa berjalan. Ataukah? Sesuatu akan terjadi ditempat lain?

"Ah! Reborn-san! Aku akan pergi ke hutan Namimori!"


Keajaiban selalu datang ketika kita sudah menyerah setelah berusaha.


Cahaya putih memutari hutan lebat disana. Ada 6 pemuda tergelatak tak berdaya di atas rerumputan hijau selebat daun-daun pohon. Satu-persatu, mereka membuka kelopak matanya—kembali melihat dunia secantik Dewi Fortuna. Surai merah jambu bergerak-gerak terusik angin. Ia merapihkan kemejanya, melirik sekeliling.

Hembusan kasar terhembus kasar, pemuda tinggi itu menendang badan rekan-rekannya bergantian sembari berdecih begitu melihat pria bermantel hitam sudah bangun mendahuluinya.

"Ck, ini dimana?" G bersandar di batang pepohonan, menajamkan indera penglihatannya—takut-takut ada penjahat lain yang mengincar nyawa Primo tercinta.

Alaude—helaian rambut pirang keputihan membungkuk membawa badan Giotto ke dalam dekapannya. Menggendong Bos Mafia generasi pertama secara bridal style—samar-samar G sempat cemburu.

"Lebih baik kita tanyakan penduduk yang lewat." Titahnya sembari berjalan mencari jalan keluar,

G mendesis kesal, menampar seluruh penjaga.

"Oi sapi bodoh, pedang kuno, pendeta asam, semangka mesum—bangun!"

Beginilah yang terjadi. Gara-gara Gianni semuanya menjadi runyam seperti ini. Bagaimana reaksi Vongola generasi ke-sepuluh bila mengetahui semuanya?

Akankah Hibari bisa tahu perasaan kecil Tsunayoshi?

Ataukah Alaude yang terlalu protektif terhadap Giotto sehingga sering melarangnya pergi kemanapun jika dirinya tidak ada bersamanya?

Sementara Gokudera dan Yamamoto menyimpan rasa cinta masing-masing?

Dan—G yang diam-diam mencintai Giotto?


To be Continue

AN: Terima kasih sudah membaca fanfic saya. Jangan lupa fav dan beri saya review agar tetap melanjutkannya.

Follow juga saya di Wattpad, dengan username: Leenalytte_Mine

Salam manis.

-Leenalytte-