Suara langkah kaki bergema di antara dinding goa ketika seseorang berjalan dengan langkah beratnya. Seseorang itu bertubuh tinggi tegap, dengan surai merah jabrik menghiasi kepalanya. Jubah panjang berbulu merah yang dikenakannya berkibar pelan mengikuti gerakan kakinya. Salah satu tangannya bergerak ke atas, lalu menggaruk rambutnya malas seraya ia menguap lebar.

[Bos, kau sudah kembali!] suara nyaring terdengar menyambutnya ketika ia memasuki ruangan goa yang cukup besar. Batu-batu kristal terlihat cantik berkilauan menghiasi rumahnya di sekitar lantai dan dinding goa.

Pemuda berambut merah itu pun menoleh ke sumber suara, lalu menguap lagi setelah tahu siapa yang sudah mengajaknya bicara. "Hmm… dimana bocah itu?" tanyanya.

Dua rubah kecil berbeda warna itu memekik kembali dengan senang menyambut kepulangan tuannya. Yuki, ialah rubah yang berukuran lebih besar berbulu biru keputihan, dengan dua ekor di belakang tubuhnya, sedang yang satunya Ruki, berbulu biru kelam kehitaman dan hanya memiliki satu ekor.

[Naruto-sama sedang pergi berlatih lagi seperti biasa.] Yuki memekik menjawabnya, dua ekor dibelakang tubuhnya bergerak-gerak menyamai moodnya yang sedang bagus. Orang lain mungkin hanya akan mendengar suara pekikan dari seekor rubah, berbeda dengan pemuda berambut merah itu yang bisa berbicara langsung secara normal dengan para monster.

"Lagi? Heh, bocah itu rajin sekali." Pemuda berambut merah itu berkata. "Aku mengantuk, bangunkan aku kalo bocah itu sudah kembali." Ucapnya yang lalu merubah tubuhnya ke wujud aslinya. Tubuh tegap berkaki dua itu segera digantikan dengan tubuh rubah berkaki empat, kulit berganti bulu merah lebat. Lalu dari belakang tubuhnya muncul sembilan ekor panjang berbulu merah. Tubuh rubahnya yang tadinya hanya berukuran dua meter berubah menjadi bertambah besar dan besar hingga melebihi sepuluh meter. Rubah raksasa itu berjalan santai menuju tempat peristirahatannya di ruangan goa yang lebih dalam untuk menghabiskan waktunya dengan tidur.

[Baik, Kurama-dono!] dua rubah kecil itu memekik patuh sebelum pergi keluar membiarkan tuannya tertidur.

.

.

.

.

Wussh!

Hembusan angin cepat menerpa seorang pemuda yang kini bergerak cepat melewati pepohonan lebat. Surai pirang pendeknya pun berkibaran terkena hembusan angin.

Wuussh!—Wuuuuussssh!—Wuuuuuushhhh!—berlari cepat dengan sangat mudah melewati beberapa akar dan ranting raksasa. Ia lalu melirik tiga ekor monster kera yang mengikutinya di belakang.

Tiga monster itu berlari lebih cepat, tak kalah mengejarnya hingga tersisa hanya beberapa meter jarak di antara mereka.

Pemuda itu berlari melompati akar besar di depannya, lalu memusatkan chakra di kedua kakinya sebelum—"Hup!"—dia melompat dan berjalan tegak lurus ke atas pada batang pohon raksasa yang berdiri kokoh beberapa meter darinya.

Pemuda itu berlari cepat, tersenyum puas saat ia melirik ke bawah menemukan tiga monster itu mengikutinya dengan bodoh ke atas pohon. Dengan satu kunai di masing-masing tangannya, dia melompat. Memutar tubuhnya ke belakang hingga mengapung di udara. Monster itu pun terkejut saat mangsanya tiba-tiba lenyap dari pandangan dan kini berada tepat di belakang tubuhnya.

Menyeringai, pemuda pirang itu mengayunkan kedua tangan berkunainya dengan cepat dan menyerang satu monster di depannya—Krassh!—Krassh!—Wush!—api merah segera berkobar menyala melalui tebasan kunai itu hingga membakar monster tadi.

Tanpa mempedulikan erangan kesakitan dari sang monster, masih di tengah udara, pemuda itu memutar tubuhnya kembali ke depan, lalu menginjakkan kakinya dengan mantap di tubuh monster yang sudah ia kalahkan barusan. Menggunakannya sebagai pijakan, ia melompat ke depan, lalu menempelkan kakinya pada batang pohon tak jauh darinya sebelum melesat ke bawah dimana dua ekor monster lainnya juga sedang berlari menaiki pohon untuk menyerangnya.

SLASH!

Ia menebas kuat satu monster yang melesat ke arahnya, lalu segera memutar tubuhnya ke samping, menghindari tipis serangan monster satunya yang mengayunkan cakar tajam padanya. Pemuda itu memutar tubuhnya lagi, memposisikan diri untuk mendarat dengan kedua kakinya. Namun belum sempat berpijak dengan mantap, seekor monster tiba-tiba muncul dari samping, ia pun terpaksa menunduk, lalu berguling di atas tanah ke depan beberapa kali untuk menghindari serangan itu. Monster keempat. Ia lupa ada empat monster yang mengejarnya tadi.

Segera berdiri di tempatnya. Ia menerjang lagi ke monster yang menyerangnya barusan. Serangan enteng barusan tak akan mampu mengalahkannya yang sudah bertahun-tahun latihan di hutan itu.

Slassh!—Slasshh!—Slasshh!

Ia menebas tangan dan kaki monster itu, lalu memutar tubuhnya untuk menghantamkan kakinya dengan kuat dan—BUAGH!—monster itu terbanting keras menabrak batang pohon besar di belakangnya.

Pemuda itu segera melompat mundur saat melihat monster terakhir yang masih tersisa menyerang lagi dari atas. Mengambil ancang-ancang, pemuda pirang itu memutar kunai di kedua tangannya, sebelum memasukannya ke dalam kantong senjata.

Ia menyeringai. "Sekarang tinggal kita berdua, kera kecil." Ejeknya pada sang monster besar di depannya. "Bagaimana kalau kita berduel?" tawarnya sebelum menerjang cepat ke depan.

Monster itu pun menggeram, memukul-mukul dua tinju besarnya ke dada sendiri layaknya gorilla yang sedang mengamuk, sebelum ia menerjang maju dan menghantamkan tinju besarnya pada pemuda pirang didepannya.

Pemuda pirang itu segera menangkisnya dengan lengan, lalu—Buagh!—melayangkan pukulan masuk ke bawah dagu monster itu.

Hantaman keras itu segera memusingkan kesadaran sang monster. Ia menggelengkan kepalanya cepat, sebelum menyerang lagi. Namun pemuda pirang itu lebih cepat, melayangkan tinju lainnya dan—Bruakk!—mengenai telak topeng keras yang melindungi kepala monster hingga retak.

Tak memberi celah, pemuda itu segera menyerang lagi, melayangkan tinju beruntun pada titik vital monster itu dengan telak. Serangan terakhir, ia menarik lengan monster yang hendak menyerangnya, lalu mengerahkan tenaganya untuk mengangkat tubuh monster itu dan—BUAGH!—membanting monster itu ke arah batang pohon dengan sangat keras.

Monster itu pun jera, tubuhnya merosot ke tanah dengan lunglai dan tak sadarkan diri.

"Aku menang lagi, teman." Ucap pemuda pirang melirik ke empat monster yang sudah tak sadarkan diri di sekelilingnya. Ia pun menyeringai puas. Kedua tangannya ditepuk-tepuk membersihkan debu dari tubuhnya.

Usai, pemuda pirang itu bergerak kembali menembus hutan. Ia berlari cepat melewati beberapa pepohonan besar hingga akhirnya terlihat secercah cahaya di balik semak-semak lebat. Tanpa ragu ia berlari melewatinya, satu tangannya refleks menutupi matanya untuk membiasakan diri dari cahaya yang cukup menyilaukan.

Ia berkedip beberapa kali hingga terbiasa. Lalu berjalan maju untuk menatap pemandangan menakjubkan di depannya. Hamparan luas hijau dan asri terpampang indah, terpisahkan oleh tebing tinggi yang merupakan tempatnya berpijak sekarang. Rerumputan hijau terhampar luas memenuhi dataran tebing itu.

Pemuda pirang itu berjalan hingga paling sisian tebing. Menutup matanya, dan menarik napas panjang tuk menghirup udara sejuk di sana. Kedua tangannya direntangkan lebar sebelum ia dengan sengaja menjatuhkan tubuhnya ke hamparan tanah berumput di belakangnya. Brugh!

Manik sapphire kembali terlihat ketika ia membuka matanya, menatap lurus langit biru yang memayunginya. Debaran jantungnya yang tadinya cepat karena pertarungan barusan mulai melambat santai. Angin semilir berhembus menyejukkan menerpa tubuhnya. Membawakan hawa ngantuk pada pikirannya.

Pemuda pirang itu kembali memejamkan mata, lalu membiarkan dirinya terlelap di bawah alam sadarnya.

w

u

u

s

s

s

h

!

Ketika ia kembali membuka mata, ia menemukan dirinya tergeletak di tengah-tengah hutan. Dedaunan rindang pepohonan lah yang pertama kali dilihatnya, bukan hamparan luas langit biru yang ia lihat sebelumnya. Ia berkedip, mengusap wajahnya yang entah mengapa terasa begitu letih. Mengernyit menemukan telapak tangannya begitu kecil. Ia pun bangun untuk duduk. Meringis akan kekakuan tubuhnya seakan sudah tak digerakan dalam waktu yang lama.

Ia menoleh, melirik pemandangan pepohonan lebat yang ada di sekelilingnya. Lalu menunduk, melirik tubuh kecilnya yang sangat kucal dan letih. Rambut pirang panjangnya terlihat kotor dan berantakan, menutupi hampir seluruh punggungnya. Dua pipinya yang ditandai dengan tiga garis khas pun belepotan dengan tanah. Ia melirik lagi ke samping, dimana sebuah pedang sakral yang terbuat dari emas tergeletak tepat di samping tangannya.

Lalu, ia pun teringat, ketika ibunya… kedua orang tuanya sudah dibunuh di depan matanya sendiri…

.

.

.

.

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Warning!

Setiap kalimat dalam cerita ini mengandung unsur masa lalu.

Kisah ini merupakan kelanjutan dari kejadian lampau sebelas tahun silam setelah pembantaian tragis anggota kerajaan (keluarga raja dan klan uchiha). Menceritakan tentang perjuangan Naruto bertahan hidup setelah diteleportasikan oleh Minato ke suatu tempat. (Untuk flashback peristiwa pembunuhan tragis silahkan cek chapter 13 dari original fic "Royal Revenge")

.

Fro Nekota

.

presents

.

A prequel of Royal Revenge

Between now and past, he, in eleven years…

.

.

.

Hosh!—Hosh!—Hosh!—Hosh!

Ia berlari. Bocah pirang itu berlari sekencang-kencangnya menembus pepohonan di hutan itu. Berusaha mencari jalan keluar dari hutan. Paling tidak. Paling tidak ia harus menemukan seseorang, seseorang siapapun yang bisa membantunya.

Ia harus cepat. Ia harus segera mencari bantuan. Ia harus sege—Brugh!

Tubuhnya terjatuh ke depan ketika kakinya dengan ceroboh tersandung batu. Ia pun meringis kesakitan, namun segera berdiri dan berlari kembali.

Kakinya akhirnya berhenti ketika manik sapphirenya menemukan sebuah desa. Tanpa mempedulikan napasnya yang tersengal-sengal, ia kembali berlari memasuki desa itu.

Orang-orang desa pun segera meliriknya dengan heran, melihatnya berlari membabi buta mencari sesuatu. Pakaian sutra mewah yang dikenakannya memperlihatkan bahwa jelas sekali ia bukan dari kalangan bawah, namun penampilan kucel dan kotor di seluruh tubuhnya meragukan pikiran orang-orang padanya.

Bocah pirang yang terlihat berumur sembilan tahunan itu menoleh kesana-kemari mencari sesuatu—seseorang. Saat akhirnya ia menemukan sesuatu yang ia cari, ia segera berlari cepat menghampirinya.

"Cepat!" teriaknya tergesa-gesa menarik lengan seorang kesatria yang terlihat sedang berjaga di gerbang desa. Kesatria itu meliriknya bingung. "Apa maumu, bocah?" ucapnya heran pada bocah yang hampir kehabisan napas karena berlari.

"Cepat!" teriak bocah pirang itu tersengal-sengal lagi. "Kalian harus cepat! Kerahkan pasukan, istana raja sedang diserang!" teriak bocah itu dengan raut panik.

Tercengang, kesatria muda itu menatap bingung bocah di depannya, sebelum kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Bocah, kalau kau ingin bermain, ajak temanmu saja sana! Aku sedang bekerja!" tolak kesatria itu mendorong tubuh bocah itu agar menjauh darinya.

"A-apa?! Aku serius! Kau harus cepat ke istana dan menyelamatkan ayah—sang raja dan ratu!" bocah itu teriak ngotot, menarik-narik lengan kesatria itu dengan paksa. Raut panik dan takut terpampang jelas di wajahnya.

Kesatria itu hanya tertawa mengejek padanya. "Minggir bocah! Aku sedang bertugas! Cari saja orang lain untuk kau ganggu!" ucapnya yang lalu mendorong tubuh bocah itu dengan keras hingga terjatuh ke tanah.

Bocah pirang itu pun terbelalak, lalu menekuk bibirnya seakan menahan tangis dan amarah. Menggeram, ia akhirnya berlari dari tempat itu, pergi mencari kesatria lain yang mau membantunya. Setelah bertanya disana-sini tentang dimana kantor kesatria. Ia akhirnya menemukannya.

Dengan napas yang putus-putus ia menerobos masuk ke dalam kantor tanpa mempedulikan peringatan dari para penjaga di luar.

"Hey, bocah! Berhenti disana!" seorang kesatria meneriakinya saat melihatnya berlari menerobos tiba-tiba.

"Lepaskan aku, sialan! Aku harus menemui pemimpin kalian!" Bocah itu berteriak meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman seorang kesatria yang berhasil menangkapnya.

"Jangan main-main bocah nakal. Keluar dari sini, tempat ini bukan tempat bermain!" Kesatria itu membentak, berusaha menyeretnya keluar dari kantor kesatria. Namun bocah itu tetap memaksa untuk masuk.

"Ada apa ini? Berhenti mengganggu anak kecil, Mizuki." Seorang kesatria lain yang sepertinya lebih senior berkata sambil menertawai juniornya.

"Bocah ini tiba-tiba masuk kemari. Aku berusaha menyuru—GYAAARGGHH!" Ia tersentak kesakitan saat lengannya tiba-tiba digigit sangat kuat oleh bocah pirang itu. "Bocah brengsek, berani sekali kau—"

Bocah pirang itu segera melepaskan diri saat kesatria bernama Mizuki itu hendak memukulnya. Ia berlari lalu menghampiri kesatria yang sepertinya lebih senior barusan.

"Kau harus membantuku!" pinta bocah pirang itu hampir putus asa. "Kerajaan sedang diserang!"

Namun kesatria itu hanya menatapnya bingung, lalu terkekeh mengejeknya. "Bocah, main saja sana dengan anak sebayamu. Jangan mengganggu orang dewasa apalagi kesatria seperti kami."

Bocah pirang itu pun kembali terbelalak. "Kau harus percaya padaku! Istana sedang diserang! Cepat kerahkan seluruh pasukan untuk membantu Raja dan Ratu! Ini perintah!" teriaknya menatap keras beberapa kesatria di depannya.

"Pfft—hahahaha aktingmu pintar sekali bocah! Permainan apa yang sedang kalian lakukan?! Penyerangan istana? Apa kau mau bilang setelah itu ada pasukan monster yang menyerang ibukota?" kesatria itu tertawa semakin menjadi-jadi, diikuti beberapa kesatria lain yang ada di ruangan itu.

Bocah itu pun menjadi merah padam karena malu bercampur marah. "Lancang!" bentaknya pada kesatria-kesatria yang tak mau menurutinya dan bahkan mempermalukannya. "Berani sekali kalian membantahku! Ini perintah! Cepat kerahkan pasukan kalian dan pergi ke istana untuk menghentikan penyerangan disana!" ia berteriak marah.

"Perintah? Gyahahaha—" Kesatria itu memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa. "Memang siapa kau hah? Seorang pangeran dari istana raja?!" ejeknya penuh tawa.

Muka bocah itu semakin merah karena marah. "Aku putra mahkota Kerajaan Konoha, Namikaze Naruto! Cepat lakukan perintahku sekarang juga!" teriaknya marah.

"Yeah? Kalau begitu aku adalah Yang Mulia Raja Minato!" ejek Kesatria itu tertawa terbahak-bahak. "Naruto-sama tidak mungkin bocah kucel sepertimu, apalagi ada ditempat seperti ini." Ejeknya.

Amarah bocah itu pun meledak, ia menerjang maju dan memukul tubuh kesatria itu. "Kesatria rendahan! Berani sekali kau membantahku! Ayahku tak akan memaafkan ini!" teriaknya penuh emosi. Mizuki segera mencengkeram tangannya kembali dan menyeretnya keluar.

"Ya, ya, ya main saja sana diluar, bocah!" ejek Mizuki padanya.

Bocah itu terus meronta-ronta, bahkan memukul-mukul kesatria yang menyeretnya keluar dari sana. "Kalian harus mendengarku, brengsek!" teriaknya hampir putus asa. "KALIAN HARUS SEGERA KE ISTANA—!"

SLAM!

Pintu kantor kesatria itu dibanting keras di depan mukanya. Bocah itu dilempar keluar dengan kasar. Ia terbelalak, memandang nanar pintu kayu di depannya. Kedua tangannya terkepal erat menahan marah, dan bibirnya bergetar menahan tangis.

Tak bisa berdiam diri, ia segera berlari lagi menuju gerbang desa. Beberapa orang tersentak dan meneriakinya saat ia berlari menerobos kasar menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Kedua kakinya berlari mati-matian untuk pergi ke suatu tempat.

'Aku tak boleh menangis!'

Hatinya berteriak pilu.

'Aku harus segera kembali ke istana!'

Pandangan matanya berkaca, namun bibirnya ditekuk begitu keras mencoba mempertahankan agar bendungan air mata itu tak pecah. Ia tak boleh menangis. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus segera kembali ke istana dan melakukan sesuatu.

'Aku harus segera pergi menyelamatkan Tousan dan Kaasan!'

.

.

.

"'Istana?"

"Tolong beritahu aku kemana arah menuju istana!" Bocah pirang itu menatap penuh harap pada seorang wanita pedagang yang sedang berdiri di tengah pasar. Ia menarik-narik baju wanita itu menuntut jawaban.

"Istana?" Wanita itu masih memandangnya bingung. "Maksudmu istana Konoha di ibukota?" ia lalu tertawa kecil. "Untuk apa kau menanyakannya?"

"Aku harus segera kesana! Tolong beritahu aku jalannya!" Bocah itu hampir memohon putus asa.

Wanita itu mengernyit bingung padanya. "Nak, sebaiknya kau lupakan niatmu. Aku tidak tahu kenapa kau ingin kesana. Yah, banyak yang ingin kesana untuk melihat raja dan ratu secara langsung. Tapi, anak kecil sepertimu tidak mungkin bisa kesana sendirian."

"Apa… maksudmu?" Bocah pirang itu kini memandangnya bingung. "Kenapa aku tak bisa kesana?"

Wanita itu tersenyum kecil padanya.. "Oh, bukankah sudah jelas. Desa ini berada terpencil di perbatasan utara Konoha. Kau harus menempuh beratus-ratus mil perjalanan untuk sampai ke istana raja.

Eh?

Bocah pirang itu mematung kaku mendengar pernyataan dari wanita itu.

Ratusan… mil?

"Naruto…"

"Ini akan jadi chakraku yang terakhir—" Ayahnya berkata serak, ia membuat segel-segel tangan lainnya, setelah itu menatap sendu padanya yang berada di dalam kekkai.

Ia berada beratus-ratus mil dari istana… dari rumahnya…

"Maafkan tousan dan kaasanmu karena tak bisa menemanimu lebih dari ini…" bisik ayahnya, napasnya terdengar berat namun pria itu memaksakan diri untuk berbicara yang terakhir kalinya.

Bocah pirang menoleh ke samping. Menerawang jauh pada pemandangan di luar gerbang desa.

"Dengar…dunia luar sangatlah keras."

Lalu ia mulai menggerakkan kakinya. Pelan dan ragu. Pandangannya kosong menatap ke depan. Kemudian sedikit demi sedikit, gerakan kakinya mulai berubah menjadi cepat.

"Apapun yang terjadi diluar sana, kau tak boleh takut."

Dan ia mulai berlari. Berlari secepat yang ia bisa keluar dari desa.

"…Tetaplah hidup dan menjadi kuat, Naruto. Lalu saat kau siap, kembalilah ke Konoha dan selamatkan kerajaan ini."

Bocah pirang itu berlari tanpa arah. Terus berlari sejauh yang ia bisa. Ia harus kembali. Ia harus kembali ke Istana. Ia tak bisa berdiam diri disini. Dan membiarkan orang tuanya, kerajaannya tengah diserang. Tidak peduli seberapa jauh jarak yang harus ia tempuh, ia harus kembali dan menyelamatkan mereka!

BRUGH

Tiba-tiba ia terjatuh keras ke tanah. Kakinya terkilir. Ia pun meringis, pakaiannya semakin belepotan dengan tanah. Napasnya terputus-putus. Ia lalu membalikkan tubuhnya hingga berbaring di atas tanah, Ia tak tahu sudah berapa jam berlari. Namun, tubuhnya menjadi sangat berat ketika seluruh rasa letih yang ia hiraukan sejak tadi jatuh bersamaan ke dalam tubuhnya.

Bocah itu tak bisa bergerak, terbaring tak berdaya di tengah jalanan. Pandangannya menerawang jauh ke atas langit.

Tes

Air ?

Tes Tes Tes

Ahh… hujan.

ZAAAAAAAAASSSSSHHHHHHHHHHHHH—!

Guyuran deras dari langit pun berjatuhan membanjiri tanah sekaligus seluruh tubuhnya.

"Ukh—"

Benarkah itu hujan?

Bocah itu menyeka pipinya yang basah. Lalu mengusap lagi dan lagi dan lagi. Namun air itu terus bermunculan.

"Baka, kenapa kau menangis, Naruto?"

"Ukh—a-uhh—!"

"Aku senang kau baik-baik saja…" Ayahnya berkata dengan sebuah senyum yang terlihat sekali sangat dipaksakan. Rasa sakit terlihat jelas dari raut muka pucat ayahnya. Pria pirang itu mengusap sayang kepala putranya.

Ia menggigit bibirnya sangat keras, namun usaha itu tak bisa menghentikan air mata yang terus mengalir dari matanya. Isakan pilunya teredam oleh gemerisik hujan.

"Uhuk—!" Ia terbelalak shok, melihat ayahnya sudah berdiri di depan tubuhnya melindunginya dari serangan. Pria pirang itu terbatuk mengeluarkan darah. Tiga bilah pedang menancap ke dalam dadanya. Darah pun mengalir deras dari luka tusuk disana.

Bocah pirang itu pun berteriak. Mengeluarkan semua emosinya di tengah guyuran hujan.

"Kau harus tetap hidup…"

Saat itu ayahnya tersenyum. Senyum terlebar yang ia tahu adalah untuk terakhir kalinya. Hal terakhir yang ia lihat sebelum cahaya terang mengelilingi tubuhnya.

Dan ia pun dipindahkan. Melewati ruang dan waktu hingga akhirnya terdampar ratusan mil dari istana, berada sangat jauh dari ayah dan ibunya….

"Selamat tinggal… Naruto."

.

.

.

.

Hiruk pikuk jalanan terdengar sangat berisik mengusik telinganya. Obrolan, gurauan, teriakan dan tawa, bergemerisik disana-sini. Matahari sudah melambung tinggi di atas langit, memancarkan cahaya silaunya pada siapapun yang ada di permukaan bumi. Cahaya itu mulai mengenainya. Kelopak mata yang tertutup itu pun terusik, hingga akhirnya mulai membuka memperlihatkan dua manik sapphire yang tak fokus.

Bocah pirang itu akhirnya terbangun, lalu melirik jalanan pasar di depannya dengan setengah sadar. Pemandangan ramai pun segera terlihat oleh matanya. Orang-orang berlalu lalang menghiraukannya seolah ia tak ada disana.

Sudah berapa hari?

Itu pertanyaan yang pertama kali terlontar dalam pikirannya.

Ia memandang terawang ke depan. Hanya pandangan kosong. Ia duduk terdiam di sudut jalan, bersender pada dinding lorong kecil.

Kruyuukkkk~!

Meremas perutnya, ia menghiraukan rasa lapar yang kembali terasa. Menelan ludah, ia pun menjadi sadar tenggorokkannya sangat kering.

Sudah berapa hari?

Ia lalu berdiri, berjalan dengan lungtai ke jalanan desa. Ia berjalan tanpa arah. Hal yang terpikirkan olehnya hanyalah ia harus tetap berjalan untuk kembali ke ibukota.

Suara tawa anak kecil membuatnya menoleh. Anak laki-laki seumuran dengannya. Tertawa girang memamerkan es krim favoritnya pada orang tuanya. Seolah tahu sedang diperhatikan, anak kecil itu berhenti tertawa lalu menoleh padanya. Ia merengut, dan segera mengajak ayah dan ibunya untuk pergi.

Bocah pirang itu masih terdiam, hanya menatap kosong pemandangan itu sebelum ia kembali berjalan.

Sudah berapa hari… sejak ia terdampar sendirian jauh dari rumahnya.

Sejak istana diserang dan kedua orang tuanya...

Tidak. Mereka masih hidup. Mereka pasti masih hidup.

Itulah yang terus ia pikirkan, berjalan tak pasti menuju arah yang ia yakini mengantarkannya kembali ke ibukota. Tanpa menghiraukan rasa letih yang menumpuk di tubuhnya, tanpa peduli rasa lapar yang mulai mencekiknya. Bahkan jika ia harus tertidur di jalanan hanya untuk sekedar beristirahat sejenak.

Lagipula, apa yang bisa ia lakukan?

Ia sendirian. Jauh dari tempat tinggalnya, tak mengenal satu orang pun di luar Istana. Tak ada yang mempercayainya. Tak ada yang mau membantunya.

Ia yang dulunya disanjung tinggi oleh banyak orang di Ibukota, dilayani oleh begitu banyak pelayan di Istana, sekarang harus berjuang seorang diri untuk bertahan hidup.

Memang… apa yang bisa ia lakukan sebagai anak kecil?

.

.

.

.

.

"KABAR PENTING!"

Teriakan menggebu-gebu tiba-tiba terdengar dari tengah desa.

"Kabar penting! Cepat kalian semua harus membacanya!"

Kerumunan orang-orang pun segera terbentuk mengelilingi papan mading yang dipasang di tengah desa.

"Berita ini baru saja datang pagi ini!"

Bisikan-bisikan segera terdengar disana-sini, dengan masing-masing orang memegang sebuah kertas koran. Teriakan tak percaya, dan shok terlihat dimana-mana.

"Apa yang terjadi?!"

"Bagaimana bisa ini terjadi!"

"Tidak mungkin!"

"Kejam sekali!"

"Dasar penghianat!"

"TIDAK MUNGKIN MINATO OU-SAMA MENJADI PENGHIANAT?!"

Bocah pirang itu segera tersentak bangun ketika mendengar nama ayahnya disebut. Ia menatap bingung kerumunan warga yang bergemerusuk di tengah desa. Teriakan-teriakan protes tak percaya terdengar dimana-mana. Namun ada juga yang menggebu-gebu memuji seseorang karena berhasil mengalahkan sang penghianat.

Bingung, bocah pirang itu segera menerobos kerumunan orang-orang untuk melihat apa yang terjadi. Ia hampir saja terjatuh ketika akhirnya berhasil melewati kerumunan dan sampai di depan papan mading.

Dengan napas terengah, ia mencoba membaca berita apa yang sedang mereka bicarakan. Segera, dua manik sapphirenya pun terbelalak shok. Tubuhnya membeku menatap berita koran yang tertempel jelas di papan mading.

Pembunuhan tragis seluruh anggota kerajaan.

Sang raja yang selama ini dipercayai ternyata hanyalah serigala berbulu domba!

Namikaze Minato membunuh seluruh anggota kerajaan, bahkan seluruh klan uchiha yang dipercaya sebagai kesatria penjaga. Pembunuhan ini ternyata sudah direncanakan sejak ia dipilih sebagai Raja Konoha. Shimura danzo, sang menteri kepercayaan konoha, berhasil membuka kedoknya dan mengeksekusinya di tempat.

Melihat jasanya, para council pun merekomendasikan Danzo sebagai Raja Baru Kerajaan Konoha. Penobatan Godaime Ou-sama akan dilakukan dua hari dari sekarang.

Tercatat pada Hari ke 13 Bulan 9 Tahun 211D

-Council Konoha.

Di bawah berita itu, tercetak dengan sangat jelas lukisan wajah Namikaze Minato, sang Raja, tidak, mantan Raja Kerajaan Konoha, dengan coretan merah berbentuk X menodai lukisan itu, dibawah gambar itu tertera tulisan hitam yang berbunyi 'RAJA PENGHIANAT!'

Sedang disamping lukisan itu, juga tercetak sebuah lukisan lainnya. Kini bergambar seorang pria dengan balutan perban menutupi setengah wajahnya. Dibawah lukisan itu, tertera tulisan kapital jelas berbunyi 'SHIMURA DANZO, SANG GODAIME OU-SAMA KERAJAAN KONOHA!'

BREEETTT!

Orang-orang yang sedang membaca berita itu tersentak kaget saat lembaran koran yang tertempel di papan mading tiba-tiba ditarik paksa oleh seorang anak kecil.

"Hey, tunggu, bocah apa yang kau lakukan?!" seorang pria mencoba menghentikan bocah pirang yang kini sedang menyobek-nyobek kertas berita itu penuh emosi. Bocah pirang itu bahkan membuangnya ke tanah, dan menginjak-nginjakkannya dengan keras.

"Apa yang kau lakukan bocah sialan!" pria itu pun marah, dan menjambak rambut pirang panjang bocah itu.

Bocah pirang itu menggeram, menepis tangan pria itu dengan kasar. "INI BOHONG!" teriaknya penuh amarah.

"BERITA INI HANYALAH OMONG KOSONG!" Ia meledak marah. "AYAHKU BUKANLAH PENGHIANAT! DANZO BUSUK ITU YANG SUDAH MEMBUNUH SEMUANYA!" Bocah pirang itu menggeram, menatap nanar semua orang disekelilingnya yang memandangnya dengan terkejut.

"Oi, oi, apa yang kau bicarakan bocah! Kau baru saja menghina sang godaime ou-sama!" seseorang yang sepertinya masih bisa berpikir meneriakinya.

"PRIA BRENGSEK ITU BUKAN GODAIME! AYAHKU LAH SANG RAJA KONOHA!" bocah pirang itu menggertakan giginya, lalu menerjang maju mencengkeram seorang pria yang meneriakinya barusan.

Kerusuhan pun segera terjadi, pria itu menggeram, memukul wajah bocah itu dengan kesal. "Apa yang kau lakukan brengsek!"

"Siapa bocah itu?!"

"Apa dia gila?!"

"Kenapa tiba-tiba berteriak seperti itu?!"

Bisikan dan bisikan segera memenuhi kerumunan itu, membuatnya semakin rusuh. Pandangan-pandangan rendah di arahkan pada sang bocah pirang.

Ia pun berteriak marah, membentak semua orang yang ada disana. Meneriaki dan memukul siapapun yang mencoba menyentuh apalagi menghentikannya. Ia mengamuk.

"Penjaga! Cepat panggilkan kesatria kemari!" seorang wanita berteriak dengan ketakutan melihat bocah itu.

"Siapapun! Cepat hentikan bocah itu! Cepat tangkap bocah itu!"

"BRENGSEK! LEPASKAN AKU!" Bocah itu menggeram, tiga garis tanda di kedua pipinya menajam, dan taringnya pun meruncing. Ia meronta-ronta, memukul para penjaga yang mencoba menangkapnya. "LEPAS!"

BAM!—Hentakan sangat kuat tiba-tiba meledak di sekitar bocah pirang itu. Chakra warna merah menguar di sekelilingnya seperti api yang menyambar. Sembilan ekor emas muncul tiba-tiba, bergerak liar di belakang tubuh sang bocah pirang.

Semuanya pun terkesiap memandangnya.

Bocah itu terengah-engah, mendelik sangat tajam pada siapapun yang ada disana. Gigi taringnya digertakan kuat, dan kedua telapak tangannya terkepal erat. Chakra merah di sekitar bocah itu membuat siapapun yang ada disana takut untuk mendekat.

"B-bocah gila!" Seorang wanita berteriak ketakutan. "Apa yang kau lakukan kesatria bodoh! Cepat tangkap bocah gila itu!" perintahnya pada beberapa kesatria yang sudah dipanggil kesana.

"T-t-tapi ekornya—d-dia berekor sembilan…" Salah seorang kesatria berkata tak berani, melihat kedudukan ekor yang jelas sekali lebih tinggi darinya. Hanya demon berkelas tinggi yang memiliki banyak ekor.

"Memang kenapa! Dia hanya bocah sinting yang mengamuk! Cepat tangkap sebelum ia melukai seseorang!" teriak wanita yang diikuti teriakan yang lain.

Bocah pirang itu menggeram seram, sebelum akhirnya ia berbalik dan berlari kabur dari tempat itu. Para penjaga pun segera mengejarnya, namun tak sanggup menyamai kecepatan sang bocah.

Bocah itu pun terus berlari hingga lenyap dari pandangan orang-orang.

Tak jauh dari kerusuhan itu, seorang pria berdiri memandang kesana dengan tatapan terkejut dan tertarik. Ia memperhatikan dari jauh ciri-ciri bocah pirang yang mengamuk tadi. Ciri yang sudah sangat familiar baginya yang sering pergi ke istana di Ibukota. Ia lalu menyeringai dengan licik.

"Danzo-sama akan sangat senang mendengar berita anak Minato masih hidup."

Ia lalu berjalan untuk kembali ke Ibukota. Ada satu berita penting yang harus dilaporkan.

.

.

.

.

SLAM

Sebuah poster lukisan dipasang jelas di papan mading ke seluruh penjuru kerajaan. Bocah pirang itu pun terbelalak. Menatap shok poster lukisan wajah yang tertempel hampir di setiap dinding di jalanan desa, dengan ciri-ciri tercatat jelas di sampingnya.

Lukisan wajah seorang anak laki-laki. Berumur sembilan tahun. Dengan rambut pirang memanjang sampai ke punggung. Memiliki tanda lahir khas di kedua pipi, yaitu tiga garis seperti kumis rubah. Memakai kimono sutra berwarna oranye bercorak hitam, dengan simbol spiral di punggung.

Dibawahnya tercetak jelas tulisan 'PUTRA RAJA PENGHIANAT MASIH HIDUP! BAGI SIAPAPUN YANG MENANGKAPNYA HIDUP ATAUPUN MATI AKAN MENDAPATKAN HADIAH EMAS'

Poster buronan.

Jelas sekali terpampang di depan wajahnya. Sebuah poster buronan dengan gambar wajah mencerminkan dirinya. Mereka telah mengetahui tentang keberadaannya yang masih hidup, dan sekarang mencarinya sebagai buronan.

Marah, bocah itu mencabut poster di depannya dan menyobeknya penuh geram. Ia berlari, menyobek setiap poster yang ia temukan di jalanan, menyobeknya tanpa sisa.

"Psst, lihat bocah itu…"

Sebuah bisikan itu terdengar sangat jelas di telinganya. Ia menoleh, memandang kaku orang-orang yang berbisik melihatnya. Pandangan merendahkan. Bisikan-bisikan menuduh. Semuanya diarahkan padanya. Mereka mulai mencurigai penampilannya.

"Oi, bocah!" kini sebuah teriakan dari seorang pria memanggilnya. Dua, bukan tiga orang lelaki bertubuh kekar dan bertampang seram mendekatinya. Mereka memandangnya penuh selidik.

"Bocah, tunjukan wajahmu padaku!" Pria itu berkata lagi mendekatinya.

Menggigit bibirnya, bocah pirang itu merasa terperangkap. Orang-orang memandangnya penuh selidik, penuh dengan tatapan lapar seakan ia adalah sebuah harta karun yang tergeletak di tengah jalan.

Tanpa takut, ia menoleh pada pria itu, mendelik dengan tajam. Sisa sobekan poster ditangannya teremas kuat oleh kepalan tinjunya.

"Oh, lihat! Kau benar! Dia benar-benar mirip!" seorang pria lain menyeletuk senang, menunjukan sebuah poster yang digenggamnya, melirik bolak-balik poster dan wajah bocah pirang di depannya.

"Tidak salah lagi! Bocah itu pasti dia! Anak sang raja penghianat!" orang lain mulai berkata mendukung. Mereka pun bergerak mendekatinya. Bisikan-bisikan pun terdengar semakin keras. Mereka mengepungnya.

"Tak kusangka bisa menemukannya secepat ini!"

"Ini adalah keberuntunganku!"

"Apa kau bilang, bocah itu milikku! Aku yang melihatnya terlebih dahulu!"

"Apa?! Aku yang akan mendapatkan emasnya!"

"Bodoh. Siapa yang cepat yang akan mendapatkannya." Seorang pria dengan tubuh yang paling kekar dibandingkan yang lainnya berkata keras. Ia menyeringai, menepuk-nepuk kedua tinjunya seraya ia berjalan mendekat.

Bocah pirang itu pun tersentak saat tanpa sadar kakinya sudah berjalan mundur hingga menabrak dinding di belakangnya. Kini ia terperangkap. Disudutkan oleh kepungan orang-orang yang menginginkan kepalanya.

Napasnya pun memburu, ia memandang tegang pada orang-orang yang mengincarnya. Melirik ke sekeliling, ia mencoba mencari celah kabur.

Tanpa aba-aba bocah pirang itu pun menerobos maju, menabrakan diri melewati kepungan orang-orang. Mereka pun tersentak kaget, segera berteriak rusuh untuk mengejar bocah itu.

Lari.

"Kejar bocah itu!"

Ia harus lari.

"Kejar iblis kecil itu!"

Ia tak boleh tertangkap.

"Jangan biarkan bocah penghianat itu kabur!"

BRUAKK

Bocah itu berlari dengan panik ketakutan, menerobos melewati lorong kecil. Tong-tong sampah disana pun bergelimpangan jatuh berantakan ditabrak olehnya. Ia berlari sekencang mungkin dari kejaran orang-orang yang melihatnya.

Suara dan teriakan-teriakan terus mengerjarnya. Bocah itu berlari tanpa arah, hanya berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri. Menghiraukan rasa letihnya, mengabaikan rasa laparnya. Tak peduli apapun yang terjadi, ia tak boleh tertangkap!

,

.

.

Bisik kian bisikan saling menyahut. Rumor tentang keberadaan putra mantan raja keempat segera menyebar ke seluruh penjuru. Para kesatria dari kerajaan pun dikirim untuk menemukan bocah pirang itu hidup maupun mati. Juga tak sedikit pun orang-orang yang menginginkan hadiah emas dengan menangkap bocah itu.

Berhari-hari terlewati, lari kian pelarian terus menerus ia lakukan tanpa henti. Bocah itu bahkan hampir lupa sudah berapa hari terlewati.

"Pencuri!"

Ia segera berlari sekencang mungkin untuk meloloskan diri.

"Tangkap bocah pencuri itu!"

Beberapa kesatria yang mendengar teriakan itu segera berlari mengejar bocah pirang itu.

"Jangan biarkan iblis pencuri itu kabur!"

Namun bocah itu lebih cepat. Puluhan bahkan ratusan kali sudah ia dikejar, sekarang ia pun mulai terbiasa dan menjadi cerdik. Ia berlari menerobos melewati kerumunan ramai, membuat siapapun yang mengejarnya menjadi kesulitan. Setelah orang-orang yang mengejarnya mulai tertinggal ke belakang, ia segera berbelok memasuki lorong kecil. Menelusup masuk dan melenyapkan diri dari pandangan orang-orang.

"Hosh!—Hosh!—Hosh!—Hosh!" Ia menyenderkan tubuhnya ke dinding hingga merosot kelelahan ke tanah. Napasnya terengah-engah dan keringat pun bercucuran di tubuhnya. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Lalu melirik tangannya yang menggenggam erat sesuatu yang sudah ia curi.

Sepotong roti.

Hanya sepotong roti, namun ia harus mati-matian untuk mendapatkannya. Tak ada uang maka tak ada makanan untuknya bertahan hidup. Seperti itulah kondisinya sekarang. Ia harus mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya, tak peduli meskipun ia harus mencuri dalam melakukannya.

Perutnya segera berbunyi kelaparan melihat sepotong makanan itu. Tanpa menunggu lagi, ia pun menggigitnya dengan rakus.

.

.

.

Zaaaaaaassssssssssssshhhhhhh!

Hujan.

Disaat seperti inilah ia sangat membenci kondisinya yang tak punya tempat tinggal. Ia pun duduk meringkuk di pinggir jalan, hanya beratapan kanopi di pinggiran rumah seseorang yang tak ia kenal. Tubuhnya basah kuyup. Kanopi kecil tempatnya berteduh tak mampu menghalau hujan angin yang menerpanya dengan kencang. Ia memeluk tubuhnya dengan erat, mencoba menghilangkan hawa dingin yang membuat tubuhnya merinding.

"Huacih!" kedinginan, ia mengusap-usap hidungnya yang gatal.

Jalanan di depannya terlihat sepi, mungkin karena hujan deras sedang mengguyur, membuat orang-orang menjadi malas untuk keluar rumah. Menerawang, ia kembali mengingat-ngingat berapa hari yang sudah ia lewati sendirian disana. Ia tak boleh berlama-lama menetap di suatu desa. Poster buronan wajahnya masih tertempel dimana-mana, sedikit saja ia lengah, mereka akan segera mengejar untuk menangkapnya.

"Araa, apa yang kau lakukan disana, nak?" Bocah itu tersentak kaget ketika seseorang tiba-tiba memanggilnya.

Seorang wanita tua baru saja keluar dari rumah tempatnya berteduh. Wajahnya terlihat ramah, wanita itu tersenyum dan mendekatinya yang duduk di teras rumah.

"Apa kau tidak apa-apa?" Wanita itu menanyai dengan lembut. Tersentak adalah respon pertama bocah itu. Dengan was-was ia menatap wanita itu. Tubuhnya bersiap-siap untuk segera lari. Tak ingin siapapun melihat wajahnya.

Kruyuukkkk~!

Perutnya tiba-tiba berbunyi dengan keras. Rona merah pun segera memenuhi pipinya karena malu, ditambah ketika melihat wanita tua itu menertawainya kecil.

"Kau pasti lapar? Aku baru saja membuat sup. Apa kau mau masuk dan memakannya bersamaku?" tawar wanita itu dengan lembut.

Bocah itu masih belum bergerak, hanya menatap curiga padanya. Belum pernah ada yang memperlakukannya begini baik sebelumnya.

Wanita itu sepertinya mengerti ketika ia kemudian tersenyum. "Ayo masuklah, di luar dingin." Ucapnya ramah yang kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya dan membuka pintunya lebar-lebar agar bocah itu masuk.

Ia pun terdiam menatap kepergian wanita itu. Perutnya kembali berbunyi ketika kemudian ia mencium harum sup yang lezat dari dalam rumah. Menelan ludah, ia berdiri dan berjalan mendekati pintu rumah itu dengan gugup.

Wanita tua itu segera tersenyum ke arahnya saat melihatnya berdiri didepan pintu, lalu memanggilnya ramah dan menunjukkannya semangkuk sup hangat di atas meja makan.

Ia pun berjalan dengan ragu. Melirik was-was saat melihat terdapat orang lain di meja makan itu. Seorang pria tua yang juga tersenyum ke arahnya. Mereka pasti pasangan suami istri.

"Kemarilah, makan ini untuk menghangatkan tubuhmu." Ajak pasangan suami istri itu dengan ramah.

Saat itu, ia merasa sup itu adalah sup terenak yang pernah ia makan. Awalnya ia memang ragu-ragu memakannya, namun begitu ia mencicipinya, air liur segera berkumpul di mulutnya dan perutnya pun menjadi berisik.

Itu adalah pertama kalinya ia merasa begitu segar dan kenyang setelah sekian lamanya berada di luar istana. Pasangan suami istri itu bahkan mempersilahkannya untuk mandi air hangat.

"Oh apa kau sudah selesai mandi? Bagaimana perasaanmu?" Wanita tua itu menghampirinya saat melihatnya keluar dari kamar mandi.

"Um..t-terima kasih.." balasnya kaku. Ia pun menunduk untuk menutupi pipinya yang memerah.

Wanita itu pun tersenyum padanya. "Hujan masih sangat deras diluar. Kau boleh tidur disini kalau mau." Tawarnya ramah.

"B-benarkah?" Bocah itu menatapnya penuh harap.

"Tentu saja, kau bisa tidur di kamar yang itu." Balas wanita itu menunjuk ke kamar yang ada di paling ujung.

Sebuah cengiran yang sudah lama tak ia tunjukkan pun segera melebar di bibirnya. Bocah itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih lagi pada wanita itu. Ia segera berlari ke dalam kamar yang dimaksud. Rasa senang memenuhi hatinya. Ini pertama kalinya ada yang berbuat sebaik ini padanya.

Ruangan itu berukuran kecil, terdapat sebuah lemari dinding yang ia tebak tersimpan beberapa matras futon di dalamnya. Dengan ragu ia membukanya, namun terhenti ketika akan mengambilnya. Bagaimana jika wanita itu melarangnya menggunakan futon? Ia hanya diperbolehkan tidur disana, belum tentu boleh menggunakan futonnya.

Ragu-ragu, ia pun berjalan keluar dari kamar untuk menanyakannya pada pasangan suami istri itu. Ia menemukan mereka berada di dapur sedang berbicara satu sama lain. Baru saja ia akan mengeluarkan suara untuk memanggil mereka ketika…

"Kau yakin 'dia' bocah itu?" bisik sang wanita tua pada suaminya.

"Benar, kau sudah melihat posternya kan? Ciri-cirinya sama persis! Rambut pirang panjang dan tiga garis di pipi. Baju yang ia pakai juga sama! Ada tanda spiral disana!" sang suami berkata lebih keras meyakinkan istrinya.

Eh?

Bocah pirang itu pun segera mematung saat menangkap maksud pembicaraan mereka. Ia pun bersembunyi di balik dinding. Telinganya yang sensitif bisa dengan mudah menangkap pembicaran pasangan suami istri itu.

"Aku sudah melaporkannya pada kesatria penjaga. Mereka akan kemari sepuluh menit lagi. Bukankah kita sangat beruntung?" pria itu terkekeh senang. "Tak kusangka bocah itu akan berteduh di depan rumah kita!"

"Kau benar, sayang. Bocah dekil itu bodoh sekali. Untung saja ia tak sadar kalau kita sudah memancingnya kemari. Aku tak sabar untuk menerima hadiah emasnya!" wanita yang seharusnya lembut itu terkikik senang.

"Hahaha sekarang kita hanya perlu menunggu para penjaga. Bocah itu pasti sudah tidur sekarang, tanpa tahu nasib yang akan menimpanya." Kekeh pria itu penuh senang.

Terbelalak, bocah pirang itu menggigit bibirnya. Kedua tangannya terkepal erat. Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia tahu kalau akan jadi seperti ini. Sejak awal mereka hanya berpura-pura baik padanya. Memberinya makanan dan air hangat, bahkan menyuruhnya tidur di rumah mereka agar penjaga bisa menangkapnya dengan mudah. Mereka hanya mengincar hadiah emas atas kepalanya. Bukan tulus membantunya.

Brak! Brak! Brak!

Gedoran pintu menyentakkan tubuhnya. Pasangan suami istri itu pun segera membukanya. Gerombolan penjaga yang berdiri di tempat pintu pun membuatnya terbelalak ngeri. Segera ia menoleh ke sekeliling untuk mencari jalan keluar. Apapun yang terjadi ia tak boleh tertangkap.

Ia segera berlari cepat ke arah jendela. Jantungnya berdegup sangat takut. Ia bisa mendengar langkah kaki para penjaga itu yang mulai berjalan mendekat untuk menemukannya.

PRANG!

Kaca jendela itu pun hancur berantakan oleh perbuatannya. Ia membukanya paksa. Tubuhnya bergetar dengan takut. Secepat mungkin ia melompati jendela dan berlari keluar dari sana. Suara-suara gaduh dari dalam rumah langsung terdengar tanda bahwa mereka sudah mengetahuinya yang berlari kabur.

"Cepat kejar!"

"Jangan biarkan bocah itu kabur!"

Teriakan-teriakan segera terdengar dari penjaga itu. Bocah itu berlari secepat mungkin, tak mempedulikan hujan deras yang masih mengguyur.

Langit sudah berganti hitam, jalanan pun menjadi gelap meremang. Ditambah guyuran hujan yang membuat pandangannya blur. Kakinya tak sengaja terpeleset ketika berlari ke tikungan. Tubuhnya yang tadinya bersih pun kini penuh dengan lumpur tanah.

"Itu dia disana! Cepat tangkap!" suara teriakan kembali terdengar mendekat. Salah satu penjaga sudah berhasil menemukannya.

Ia meringis saat merasakan kakinya terkilir. Mengacuhkannya ia pun berlari lagi.

"Kejar iblis kecil itu!"

Jalanan gelap itu menjadi blur. Ia berlari tanpa arah, hanya berusaha sekuat tenaga untuk kabur dari kejaran penjaga.

"Jangan biarkah dia kabur!"

Teriakan-teriakan itu semakin terdengar. Napasnya sudah tersengal-sengal. Namun ia tetap memaksakan diri untuk kabur. Ia bisa mendengar para penjaga itu mengejarnya dari arah manapun di belakangnya. Namun yang ia bisa lakukan hanyalah berlari.

"Cepat bunuh bocah itu!"

Tidak! Berhenti! Jangan mendekat. Jangan mendekatinya. Tolong biarkan ia pergi. Ia sudah tak ingin berlari lagi.

"Tangkap dia!"

Hentikan.

"Jangan biarkah bocah penghianat itu kabur!"

Tolong hentikan! Kenapa mereka terus mengejarnya?! Kenapa mereka ingin membunuhnya?! Dia tak bersalah! Dia tak pernah melakukan kesalahan. Tapi kenapa mereka terus mengejarnya?!

"Raja menginginkannya mati! Cepat tangkap dan bunuh bocah iblis itu!"

KENAPA?!

Bocah itu berteriak. Berlari membabi buta dengan memeluk erat pedang pemberian ayahnya yang berharga. Bibirnya ditekuk, air mata yang mengalir segera terhapus bersama guyuran hujan. Tubuhnya pun basah kuyup.

Kakinya sudah mulai kuwalahan. Ia mencoba bersembunyi, namun penjaga itu terlalu banyak dan dengan segera menemukannya. Ia pun kembali berlari. Tak hanya satu dua kali, ia terpeleset jatuh di jalanan yang licin. Ia melirik ke belakang, melihat banyaknya penjaga yang mengejarnya sekarang.

Tak ingin tertangkap, ia pun mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa berlari lebih cepat. Matanya melirik kesana kemari mencari celah kabur ataupun tempat persembunyian.

"Cepat kejar!"

'Tidak! Berhenti mengejarku!' ia berteriak dalam hatinya. Berhenti mengikutinya. Ia sudah tak sanggup berlari.

Kenapa?

"Disana! Tangkap bocah itu!"

Kenapa tak ada satu pun orang yang berpihak padanya?

.

.

.

.

"Hah—hah—hah—!" Terengah-engah, ia tergusur lungtai ke tanah becek.

Setelah berjam-jam berusaha kabur, ia akhirnya berhasil lolos dari kejaran para penjaga. Tanpa tenaga ia pun menyenderkan tubuhnya di dinding. Lorong yang kecil dan gelap menjadi tempat persembunyiannya sekarang. Ia tak tahu dimana posisinya berada sekarang. Yang ia lakukan dari tadi hanya berlari sekuat tenaga untuk kabur, tak mempedulikan arah yang ia ambil.

Hujan masih mengguyur deras, namun ia sudah tak mengacuhkannya. Tubuhnya sudah basah kuyup dan penuh lumpur. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menunggu dan bersembunyi sampai besok pagi. Seluruh tenaganya sudah terkuras habis sekarang.

Bocah itu bernapas lega saat teriakan-teriakan kejaran itu sudah mulai menjauh darinya. Itu artinya ia sudah aman dari kejaran sekarang. Menghembuskan napas lelah, ia pun terduduk diam disana.

Lalu sesuatu tertangkap oleh mata sapphirenya. Tertempel di dinding tempatnya menyender. Sebuah poster. Apalagi kalau bukan poster buronan dirinya.

Ia pun mencabut poster itu dengan kasar. Giginya digertakan kuat. Ia hendak menyobeknya penuh amarah saat terpikir sesuatu. Dilihatnya lukisan wajah di poster itu. Sama persis dengan ciri-ciri wajahnya. Kemudian melirik ke sekelilingnya, berjalan mendekati sebuah kaca jendela saat menemukannya.

Bayangan yang terpantul di kaca itu segera membuatnya muram. Rambut pirangnya basah kuyup berantakan, namun masih bersinar dengan indah. Ia pun menjadi teringat saat-saat ketika ibunya yang selalu memuji keindahan rambut panjangnya. Sejak saat itu ia tak pernah memotongnya. Karena ibunya akan selalu memuji dan menyisir rambutnya dengan lembut.

Tapi sekarang…

Ia menatap poster itu dengan pandangan miris. Rambut pirang panjang jelas sekali terpampang disana. Rambut pirangnya yang dulu selalu ia banggakan kini menjadi hal yang membuatnya begitu mudah ditemukan.

Menggigit bibirnya, ia menarik pedang emas miliknya. Lalu menyingkap rambut panjangnya dengan satu tangan, dan dengan sekali ayun—KRASS!

Helaian pirang indahnya pun berjatuhan ke tanah. Kini hanya menyisakan rambut pirang pendek yang berantakan. Ia memotongnya sependek mungkin tanpa ragu. Tersenyum sedih saat menatap bayangannya di kaca.

Ia kemudian melepas kimono sutranya. Satu-satunya kain tebal yang menjadi penghangatnya sampai sekarang. Dilihatnya lambang klan Namikaze yang terpasang gagah di punggung kimononya. Dengan berat, dirobeknya lambang itu hingga tak dapat dikenali sebelum kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Bajunya kini hanya tersisa kaos hitam tipis yang ia pakai sebagai dalaman kimono dan celana hitam yang sudah lusuh.

Lalu yang terakhir…

Ia menyentuh dengan ragu tanda lahir di pipinya. Tanda permanen yang ia dapat sejak lahir. Ia tak bisa melakukan apapun untuk menghilangkannya. Melirik ke sekeliling ia mencari sesuatu.

Lumpur menjadi pilihan terakhirnya. Ia mengotori kedua pipinya, sebisa mungkin menyamarkan tiga pasang garis khas disana.

Selesai, ia pun merobek poster itu penuh benci. Ia melirik kembali kaca di depannya. Rahangnya pun mengerat, bibirnya membentuk garis yang sangat datar.

Ia menatap tajam pantulan dirinya di balik kaca. Dengan ini, tak akan ada lagi yang bisa mengenalinya.

"Mulai sekarang…Namikaze-Uzumaki Naruto sudah mati." Ucap bocah pirang itu dengan dingin.

Benar. Mulai sekarang ia bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang putra mahkota, ataupun seorang pangeran yang menjadi buronan.

Kini ia hanya seorang anak laki-laki bernama Naruto.

.

.

.

.

.

"Pencuri!"

Naruto berlari kencang menjauhi penjaga. Ia menyelinap dengan cerdik ke tengah keramaian, membuat para penjaga yang mengejarnya menjadi kesulitan. Sampai di tikungan, ia segera berbelok, lalu memasuki sebuah lorong kecil.

"Itu dia!" teriakan terdengar lagi bersamaan langkah kaki para penjaga yang mengejarnya.

Berdecak, ia segera memanjat tembok di ujung lorong itu. Memanjatnya dengan begitu mudah seakan sudah berkali-kali melakukannya. Ia melompati tumpukan tong sampah. Setelah berada di atas dinding, dengan cepat ia merobohkan tumpukan tong sampah itu. Para penjaga itu pun tersentak kaget. Jalanan di lorong itu segera tertutup oleh sampah-sampah yang menumpuk bahkan menjatuhi para penjaga yang tak sempat menghindar.

Menyeringai, bocah pirang itu mengacungkan jari tengahnya dengan berani. "Ha! Rasakan itu idiot! Kalian tak akan bisa menangkapku!" ejeknya meremehkan, tak lupa menjulurkan lidahnya pada lawannya. Dengan satu ledekan terakhir ia melompat turun dari dinding itu ke sisi lorong sebaliknya. Lalu berjalan pergi.

Dirogohnya tas lusuh yang ia bawa—yang tentu saja hasil curian—untuk mengeluarkan hasil curiannya kali ini. Beberapa potong roti dan buah.

"Ini akan cukup untuk satu dua hari…" gumamnya cukup senang.

Dengan santai ia mengambil apel dari tasnya, lalu menggigitnya lapar.

.

"Oi, kau yang disana! Berhenti!" sebuah teriakan tiba-tiba memanggilnya dari kejauhan.

Naruto pun menghentikan langkahnya, melirik sinis pada tiga anak laki-laki yang bertubuh lebih besar darinya. Dari penampilannya, jelas sekali mereka beberapa tahun lebih tua darinya.

"Serahkan semua barang yang kau punya!" perintah seorang anak yang berdiri di tengah dengan angkuh. Dari gayanya menandakan dia adalah pemimpin dari teman-temannya.

Naruto tak menjawab, hanya mendelik benci pada ketiga orang itu.

"Apa yang kau tunggu! Cepat serahkan! Ini adalah wilayah kami! Kau harus membayar pada kami jika ingin lewat sini!" perintah angkuh si pemimpin itu, rambutnya botak berjambul, sedang tubuhnya tinggi besar.

"Lalu?" ketus Naruto meremehkan ketiga anak yang mengaku preman disana. "Aku tidak punya kewajiban untuk menuruti anak pengecut seperti kalian."

"A-apa kau bilang?!" Anak botak menggeram kesal.

"Benar, Pe-nge-cut. Dasar bocah pengecut yang manja~! Kalian bahkan tak berani melawan bocah berumur sembilan tahun sepertiku sendirian~!" ledek Naruto menjulurkan lidahnya.

"B-brengsek!" Anak botak itu meledak marah. Ia menerjang maju dan menghantamkan tinjunya pada Naruto.

Dengan gesit, bocah pirang itu menghindar mudah. Latihan beladirinya sejak kecil sudah melekat dalam tubuhnya. Ia menjulurkan lidah dan menarik kulit bawah matanya mengejek. "Tidak kena~!" ledeknya.

"Bocah sialan!" Dua preman lain yang tadinya diam pun ikut marah dan menyerang bersamaan.

Namun Naruto bisa menghindarinya dengan mudah. Ia melompat ke samping, saat bocah botak itu meninju wajahnya lagi. Lalu sebagai bonus, ia pun balas meninju dan—Buak!—mengenai tepat pipi si botak. "Rasakan itu, sialan!" ledeknya menyeringai.

"B-brengsek!" si anak botak itu meringis kesakitan. "Pegangi dia!" perintahnya pada kedua temannya.

"H-huh?!" Naruto tersentak kaget saat badan dan kakinya kini dikunci erat oleh dua orang dari samping dan belakang. "Tunggu, ini curang!" protesnya kesal.

"Ha! Sekarang kau tak akan bisa kabur lagi, cecunguk sialan!" anak botak itu menyeringai licik. Dengan beringas, ia melayangkan tinjunya ke pipi Naruto—Buagh!

"Gyaarrgh! Bos kenapa kau memukulku?!" salah seorang anak yang mencengkeram tubuh Naruto dari belakang menjerit kesakitan.

Naruto pun menjulurkan lidahnya santai. Ia berhasil menghindari pukulan wajah itu dengan mudah. Hanya karena tubuhnya dipegangi bukan berarti kepalanya tak bisa bergerak.

"S-sial!" anak botak itu meninju lagi. Namun seperti tadi, Naruto dengan gesit menolehkan kepalanya ke samping menghindari tinju itu, yang berakhir mengenai wajah temannya lagi.

"Berhenti bergerak brengsek!" geram anak botak itu.

"Jangan bercanda! Aku tidak mau kena pukul!" protes Naruto dengan nada meremehkan.

"Grrah! Kalu begitu akan kupukul tubuhmu!" anak botak itu menggeram marah saat gagal meninju wajah si bocah pirang, lalu melayangkan tinjunya pada perut Naruto. Ia menyeringai puas karena yakin pukulannya sekarang akan berhasil mengingat seluruh tubuh Naruto dikunci.

"T-tunggu! Sial!" Naruto melebarkan matanya. "Jangan meremehkanku, brengsek!" Ia berteriak mengerahkan seluruh tenaganya ke depan, lalu—Wush!—mengangkat tubuh yang mencengkeramnya dari belakang dan—buakk!—membantingnya ke depan.

"Gyarrh!" anak yang terbanting itu meringis kesakitan.

Naruto pun segera membangkitkan tubuhnya setelah berhasil lepas dari cengkeraman.

Anak lain yang tadinya memegangi kaki bocah pirang itu tersentak kaget, dan melepas cengkeramannya akibat bantingan itu. Ia memandang ngeri bocah yang ternyata sangat kuat didepannya. Melirik, ia menangkap silauan dari pidang emas yang terpasang di punggung sang pirang.

"B-brengsek!" anak itu menerjang maju dan menarik pedang itu dari sarungnya.

Naruto yang tersentak kaget, segera berbalik menoleh ke arahnya. Namun anak itu sudah mengayunkan pedang itu padanya dan—

BAM!

Sebuah hentakan panas tiba-tiba muncul dari arah sang pirang. Anak itu pun terdorong jatuh ke belakang. Ia terbelalak ngeri dan segera mengacungkan pedang digenggamnya ke depan dengan ketakutan.

"GRRR!" Naruto menggeram marah, mata langitnya berganti menjadi merah menyala, tiga garis di pipinya menebal, dan kuku taringnya meruncing. Di belakang, sembilan ekornya menyalang marah. Aura chakra merah pun menyambar panas.

"Jangan sentuh pedang itu!" desis Naruto penuh benci.

"J-j-jangan m-mendekat!" ketiga anak itu meringkuk ketakutan, memandang ngeri bocah berekor sembilan di hadapan mereka.

"Kembalikan pedangku." Naruto mendesis tajam. Ia mencengkeram satu anak yang paling dekat, lalu membantingnya keras ke dinding.

Kedua anak yang lainya pun terbelalak, segera bergerak mundur untuk kabur, namun tubuh mereka gemetaran takut. Pedang emas itu pun tergeletak jatuh dari genggaman anak tadi. Ia berusaha berdiri dan berlari kabur. Namun Naruto segera menerjang maju dan menyerangnya.

"G-gyaarrghh!"

.

.

BUAGH!

Ketiga anak itu tergeletak tak sadarkan diri oleh amukannya. Naruto menggeram benci pada tubuh ketiga anak yang mengganggunya tadi. Ia lalu berjalan menuju dimana pedangnya dijatuhkan. Diambilnya pedang itu, lalu mengusapnya dengan kain.

"Maaf sudah menjatuhkanmu…" gumamnya dengan pandangan muram, seolah pedang itu sama berharganya dengan nyawanya. Menghela napas, ia memasukan pedang itu kembali ke sarungnya. Lalu mengembalikan kekuatannya. Sembilan ekornya pun lenyap kembali. Tubuhnya menjadi normal seperti sebelumnya.

Pandangannya menengadah ke langit saat teringat sesuatu. Warnanya yang sudah menggelap menandakan malam akan segera tiba. Ia lalu merogoh tasnya untuk mengeluarkan sesuatu. Buku kecil dan pulpen. Ia membuka buku itu pada halaman depan, dimana sudah terisi beberapa coretan, lalu membaliknya ke halaman yang kosong terakhir kali ia menulis.

Ia mengarahkan pulpennya di kertas putih itu, lalu membentuk tanda garis '' di samping garis lainnya. Lalu melirik tanda-tanda garis lainnya yang sudah tercatat disana dan mulai menghitungnya.

"Hmmm… 78…" gumamnya. "Sudah 78 hari sejak itu…" Sejak ia membuang namanya, dan memutuskan untuk bertahan hidup apapun yang terjadi…

...hingga ia bisa memenuhi janjinya pada sang ayah.

.

.

.

.

Psst—psst—pssst—psst

Bisik-bisikan keramaian desa terdengar disana-sini. Naruto memandang bingung akan kondisi desa yang lebih berisik dari biasanya. Mereka saling menggosip disana-sini seakan sesuatu yang lain dari biasanya sedang terjadi. Penasaran ia pun berjalan mendekati salah seorang pedagang di pasar yang juga ikut bergosip. Ia menarik syal merah—yang merupakan hasil curian—yang dipakainya ke atas untuk menutupi separuh wajahnya.

"Hey, paman." Panggilnya pada seorang pedagang buah yang sedang menata barang dagangannya. "Apa sesuatu sedang terjadi? Semua orang lebih berisik dari biasanya. Apa yang sedang mereka bicarakan?' tanyanya penasaran.

"Oh, soal itu, hmmm…" paman itu sok berpikir mengusap-usap dagunya. "Katanya ada orang dari istana yang akan datang melewati desa ini."

"dari istana ibukota?" sahut Naruto penasaran.

"Ya, iya, aku tidak tahu siapa, katanya dia orang penting. Mungkin saja sang raja sendiri hahahah." Canda lelaki tua itu tertawa.

'Istana… itu berarti akan ada banyak penjaga yang dikerahkan kemari.' Pikir bocah pirang itu menutupi tiga pasang garis di kedua pipinya dengan syal.

Benar seperti yang dirumorkan, beberapa jam setelah gossip itu menyebar, sebuah kereta kuda mewah yang diiringi dengan banyak sekali penjaga melewati desa itu. Para penduduk pun segera menyingkir ke pinggir jalan untuk mempersilahkan kereta itu lewat. Mereka saling berbisik-bisik dan mengintip penasaran dari celah jendela kecil kereta kuda itu agar bisa melihat siapa yang sedang duduk di dalamnya. Melihat banyaknya kesatria penjaga yang mengiringi, siapapun yang ada di dalam kereta itu pastilah orang yang sangat penting.

Naruto menyelinap di kerumunan orang-orang, melirik kereta itu dengan was-was. Rambut dan separuh wajahnya ia tutupi dengan syal, menyisakan celah di bagian matanya saja. Ia memperhatikan para penjaga disana, lalu membelalakkan mata saat menyadari sesuatu.

Topeng putih.

Beberapa kesatria disana menggunakan topeng porselen putih, sama persis seperti yang ia ingat saat malam itu, ketika ayah dan ibunya…

Tidak.

Sekelebat ingatan tentang bagaimana kedua orang tuanya terbunuh terbayang di kepalanya.

"Tidak mungkin…" bisiknya entah pada siapa.

Bayangan seorang pria tua yang tertawa kejih saat membunuh ayah dan ibunya.

Tidak mungkin orang yang didalamnya adalah…

"ARRGGH!" Bocah pirang itu tiba-tiba berlari menerjang ke depan kereta itu.

Para penjaga disana pun tersentak kaget saat tiba-tiba ada seorang bocah kecil yang melompat ke atas kereta kuda. Kerusuhan pun segera terjadi, para penjaga itu segera saling berteriak dan menghampiri untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"DANZO BRENGSEK!" Naruto menggeram penuh benci, mendobrak marah pintu kereta dan mengacungkan pedangnya untuk menyerang siapapun yang ada didalamnya.

Namun seorang penjaga berhasil menghentikannya. Wajahnya dipukul keras, hingga ia terjatuh dari atas kereta dan terbanting ke tanah. Pedangnya pun terjatuh ke tanah bersama tubuhnya.

"Bocah brengsek! Kau pikir apa yang kau lakukan hah?!" Penjaga itu mendecih marah padanya.

"Berisik! Aku harus membunuhnya!" teriak Naruto marah yang kemudian berlari menerjang lagi ke kereta itu, namun penjaga yang lain kembali memukulnya. Lalu mencengkeram rambut dan tubuhnya agar tak bergerak.

"Bocah sialan! Jangan main-main bocah!" Penjaga itu menendang kepala bocah pirang itu tanpa ampun.

Darah pun keluar dari kulit dalam pipinya yang robek. Naruto meronta keras, berusaha melepaskan diri dari cengekeraman penjaga dan menerjang ke depan lagi. Namun tendangan lain kembali mengenai tubuhnya.

"Berisik bocah!" penjaga itu meneriakinya marah.

"Apa yang terjadi?" sebuah suara rendah dari seorang pria terdengar dari dalam kereta. Pria berbadan besar mengenakan helm wajah yang mirip dengan respirator turun keluar dari singgasana keretanya.

"Y-yang Mulia…"

Naruto terbelalak saat menemukan pria itu ternyata bukanlah Danzo seperti yang ia kira.

"Siapa bocah ini? Lancang sekali berani mengganggu perjalananku?" pria itu memandangnya sinis.

"M-maafkan kami Hanzo-sama. Kami akan segera membereskannya." Salah seorang penjaga menunduk ketakutan.

"Tunggu, wajahmu…" Pria yang merupakan pemimpin Kerajaan Ame itu mendekati bocah pirang di depannya. "Tunjukan wajahnya!" perintahnya pada penjaga.

Naruto tersentak saat syal yang menutupi wajahnya tiba-tiba ditarik paksa. Tiga garis khas di pipinya pun terlihat jelas.

Hanzo melebarkan mata saat merasa pernah melihat tanda itu sebelumnya. "Kau…"

"Grrrhh!" Naruto menggertakan giginya marah, tanpa membiarkan seorang pun disana bertindak dan menyadari identitasnya. Dia meronta keras dan menggigit lengan penjaga yang mencengkeramnya tanpa ampun. Penjaga itu pun berteriak kesakitan dan tanpa sengaja melepaskannya. Naruto segera menggunakan kesempatan itu untuk bebas, ia mengambil pedangnya yang jatuh dengan cepat sebelum berlari kabur dari sana.

"Tung—!" Para penjaga disana tersentak kaget, dan segera berlari mengejar bocah itu.

"H-hanzo-sama, apa yang harus kita lakukan?" tanya salah penjaga disana.

"Tangkap dia. Aku ingin tahu siapa bocah itu sebenarnya." Perintahnya sebelum pria itu kembali naik ke dalam kereta.

.

.

.

"Kyaa!"

"Hey, berhenti!"

Teriakan dan makian diarahkan padanya saat Naruto berlari membabi buta menghindari kejaran para penjaga, tanpa mempedulikan siapapun—apapun yang ia tabrak.

"Kejar dia!" salah satu penjaga yang mengejarkanya meneriakinya.

Menggertakan giginya, Naruto mempercepat larinya keluar dari desa itu. Ia berlari ke arah hutan saat melihatnya dari kejauhan. Langkah kakinya berhenti ketika sampai di depan hutan itu. Ia menjadi ragu sejenak. Dari luar hutan itu terlihat berbeda dari hutan biasanya yang ia lihat. Pepohonan disana terlihat sangat besar bahkan raksasa. Ada hawa mencekam misterius yang ia rasakan dari arah hutan itu.

Masih dengan napas yang terengah-engah, ia menoleh ke belakang. Para penjaga itu berlari semakin mendekatinya. Tinggal beberapa meter lagi, mereka akan segera mencapainya. Ia menoleh ke sekelilingnya namun tak menemukan jalan kabur lain selain hutan itu.

Menggigit bibirnya, ia pun menerjang masuk ke dalam hutan dengan cepat, mengacuhkan instingnya yang melarangnya masuk kesana.

.

.

.

"B-berhenti!" salah satu penjaga menghentikan larinya dan teman-temannya.

"A-apa yang harus kita lakukan? Bocah itu masuk ke dalam sana!" salah satu temannya menyahut.

"K-kita tidak mungkin bisa mengejarnya! Hutan itu terlalu berbahaya!" penjaga yang lain ikut berkomentar.

"T-tapi bagaimana dengan Hanzo-sama?! Dia akan menghukum kita jika kita tak berhasil menangkapnya!"

"Itu Hutan Terlarang! Ada banyak monster buas dan berbahaya di dalam sana! Aku masih belum mati mati, sialan!" salah satu penjaga menyuarakan ketidak setujuannya.

"Itu benar! Tidak ada yang berhasil selamat setelah masuk kesana! Bocah itu pasti juga akan mati dimakan monster disana!"

"K-kita kembali saja! Aku tidak mau masuk kesana dan diserang mosnter!" ucap salah satu penjaga bergidik ngeri.

"K-kita katakan saja bocah itu sudah mati diserang monster! Ayo kita kembali!" usulnya.

"B-benar, k-kita kembali saja!"

.

.

.

.

.

"Hah—hah—hah—!" terengah-engah, Naruto melambatkan larinya. Ia melirik sekelilingnya dengan was-was. Para penjaga itu seperti sudah tidak mengejarnya lagi. Namun entah kenapa ia tak bisa bernapas tenang setelah memasuki hutan itu.

"U-uwaaa!" ia menjerit ketakutan saat mendengar gemerisik dari arah pepohonan. Tangannya mengangkat pedangnya ke depan bersiap menyerang siapapun.

Kuak—kuak—kuak—kicauan burung terdengar ketika beberapa burung terlihat berterbangan dari tenggerannya di ranting pohon.

"B-burung—?" ia menelan ludan. "T-tentu saja itu hanya burung hahahah—" tawanya kikuk berusaha menghilangkan takut. Namun ia kembali menelan ludah gugup.

"S-sial, kenapa hutan ini menyeramkan sekali.." rutuknya kaku.

Ia menggenggam gagang pedangnya lebih erat, namun tidak menyimpannya kembali ke dalam sarungnya di punggung. Takut-takut sesuatu terjadi tiba-tiba.

Tanpa tujuan, Naruto pun berjalan was-was menelusuri hutan itu. Sesekali berjengit kaget saat mendengar gemerusuk yang tiba-tiba dari pepohonan ataupun semak-semak.

Setelah beberapa menit berjalan, ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat. Bocah pirang itu menyenderkan tubuhnya pada salah satu akar raksasa lalu menghembuskan napas lelah. Diliriknya pemandangan hutan di sekelilingnya. Suasana disana sebenarnya cukup rindang dan sejuk, namun entah kenapa ada hawa mencekam yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kalau melihat besarnya tumbuhan dan pepohonan di hutan itu. Dia bahkan tak bisa melihat ujungnya.

Tes

"Ng?"

Tes. Tes. Tes

"Apa ini?" dahinya mengkerut saat sesuatu yang basah tiba-tiba menetes di wajahnya. Ia mengusapnya, namun dari atas muncul tetesan lainnya. Mengendusnya, ia segera memasang muka mau muntah saat mencium bau busuk tak enak mirip bau napas seseorang yang tak pernah sikat gigi. Ia pun mengusapnya dengan kaos hitamnya, lalu melirik ke atas dengan penasaran dari mana sebenarnya tetesan itu berasal.

Dan kedua sapphirenya pun segera membola saat melihat—

"GYAARGHH!" Ia tersentak kaget dan melompat mundur beberapa langkah, kakinya bahkan sampai tersandung dan terjatuh ke tanah.

"M-m-mo-monster!" jeritnya ketakutan, tangannya mengacung gemetaran ke depan dimana makhluk menyeramkan yang merupakan asal usul tetesan bau tadi, yang ternyata adalah air liur.

Makhluk itu berdiri tinggi sepanjang tiga meter, dengan taring memanjang sampai ke bawah leher dengan tajam. Tubuhnya berbentuk seperti serigala, namun memiliki tanduk tajam dan ekor berbadan ular.

Monster itu menggeram, air liur pun menetes dari mulutnya yang tak tertutup akibat taring yang panjang. Ia berjalan mengintimidasi mendekati bocah pirang di depannya.

Meneguk ludah, ia bergerak mundur dengan gemetaran. Jika dalam kasus yang berbeda dimana ia masih dalam masa latihan, ia akan melompat kegirangan karena akhirnya bisa melawan monster pertamanya, yang tentu saja akan ditemani Itachi. Tapi sekarang keadaannya sangat berbeda. Mungkin benar itu monster pertama yang ia lihat seumur hidupnya, tapi kalau sendirian seperti ini…

Gulp—Ludah seperti mengganjal berat di tenggorokannya. Ia terbelalak saat monster itu tiba-tiba berlari menerjangnya.

"T-t-tu-tunggu! Gyaaarggh!" Ketakutan, tubuhnya dengan refleks melompat berdiri menghindari gigitan tajam dari monster itu. Tanpa pikir panjang ia pun segera melarikan diri secepat yang ia bisa. "S-SIAAAAAAALLLLLLLLL!

Monster itu segera menggeram dan mengejarnya. Tanpa memakan waktu langsung segera menghilangkan jarak dengan mangsanya. Ia pun menyeruduk keras pada sang bocah.

"GAHK!" Naruto meringis kesakitan. Tubunya terbanting keras ke tanah bahkan berbunyi 'krak'. Satu dua rusuknya pasti baru saja hancur. Ia menggertakan giginya menahan sakit, lalu memaksakan diri untuk bangkit dan berlari lagi, namun tak secepat seperti yang sebelumnya.

Tubuhnya akhirnya jatuh tak berdaya ke tanah ketika sampai di depan goa. Ia terbatuk mengeluarkan darah. Diliriknya monster menyeramkan yang berjalan santai mendekatinya. Kondisinya benar-benar sudah seperti mangsa yang siap dimakan.

"Uhuk—!" ia meringkik kesakitan, lalu terkekeh kecil menertawakan diri.

'Apa aku akan mati disini?' pikirnya miris. Pandangannya mulai menjadi blur, seluruh badannya terasa sakit. Napasnya juga sesak.

'Sepertinya aku akan mati disini…' pikirnya lagi tersenyum muram. Air hangat pun sudah mengalir sejak tadi dari sudut matanya.

Pandangannya pun meremang gelap. Di tatapnya monster yang berjalan mendekatinya. Beberapa langkah dari tempatnya, monster itu tiba-tiba berhenti, lalu menengadah ke atas seperti sedang melihat sesuatu yang ada di belakang tubuh bocah itu. Satu detik kemudian monster itu berlari kabur seperti menyadari sesuatu yang menakutkan.

Naruto tak mampu merespon ataupun melirik ke belakang untuk melihat apa yang sudah dilihat monster tadi. Hal terakhir yang ia lihat adalah dua ekor rubah berwarna hitam dan putih sebelum seluruh pandangannya menjadi gelap.

.

.

.

.

.

.


to be continued in part two...


Hai, hai~!

Fro tau, fro sudah lama sekali tidak muncul, hiatus berbulan-bulan huhuhu
tapi fro benar-benar mengalami kesulitan dalam menulis sekarang. Ada sesuatu yang terus-terus mengganggu pikiran fro hingga fro tidak bisa berkonsentrasi, gomenneee...
Cerita ini adalah kelanjutan dari masa lalu di Royal Revenge, sebenernya sih bisa di anggep lanjutan ceritanya, cuma fro putuskan untuk membuatnya sebagai prequel...

masih ada satu part lagi, tunggu fro selese nulis ya? wkwkwkwk

mind to review?