.
Hanya menginginkanmu
Disclaimer by Masasi Kisimoto
Naruto x Hinata
.
.
Pagi kembali datang, membawa sinar matahari yang cerah untuk menerangi bumi. Beberapa kicau burung di pagi hari menjadi nyanyian merdu bagi yang mendengar, walau tidak semuanya.
Di sebuah kamar yang terbilang cukup luas dan mewah, tampak berkas-berkas cahaya mulai mengintip dari balik tirai yang tertutup, membentuk garis lurus yang menurun. Namun cukup untuk mengganggu sedikit kenyamanan seseorang yang terbaring tidur di atas ranjang.
Tubuhnya menggeliat pelan saat kesadaran mulai merasukinya, perlahan mata itu terbuka dan menampilkan sepasang mata amethyst indah yang semakin membuat orang yang menatapnya terpaku. Perempuan bermata amethyst itu mulai melihat apa yang tertangkap di netra indahnya. Mengernyit saat merasakan pelukan posesif dari arah sebelahnya.
Dia mendongak dan terdiam menatap sosok di sampingnya itu, cukup terkejut saat mendapati sosok itu menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca. "Naruto-kun," lirih suaranya terdengar, mungkin karena dia bangun tidur hingga suaranya terdengar sedikit serak walau masih mampu di dengar oleh sosok di depannya.
"Hm." Singkat, begitu singkat jawaban itu hingga membuat sang perempuan berkedip bingung.
"Kau…" ucapannya terputus saat dagunya terangkat karena tingkah tangan kanan Naruto. Wajah pria itu mendekat dan dengan hangat memberikan ciuman di bibir peach perempuan dengan rambut indigo itu. "Ehhm.."
Desahan itu lolos, terdengar dan membangkitkan suatu getaran di dalam diri Naruto. Terasa nyaman dan begitu hangat. Membuatnya semakin dalam memberi lumatan di bibir itu. Setelah cukup lama, Naruto melepaskan ciumannya dan kembali menatap sang perempuan dengan tatapan datarnya.
"Kau.. tidak bekerja?" ucapan yang sebelumnya terhenti kembali di ucapkan oleh sang perempuan sembari mengumpulkan nafasnya yang sedikit terengah.
"Kenapa?" pertanyaan itu membuat pandangan mereka bertemu. "Kau tidak suka aku masih disini?"
Dengan cepat perempuan itu menggeleng, "Tidak! Bukan begitu, aku… hanya terkejut karena kau… masih disini.. kupikir, kau sudah pergi… seperti biasanya." Suara itu semakin mengecil di ujungnya. Diucapkan dengan setengah keraguan, jelas dia tidak ingin membuat Naruto salah paham atau bahkan sampai marah, walau dia tidak yakin ada hal dari kata-katanya yang pantas membuat pria itu marah.
"Hm." Gumaman itu kembali terdengar saat sang pria memutuskan untuk tidak membahas hal itu lebih banyak lagi dan lebih memilih kembali menikmati bibir peach di depannya. Lembut namun menuntut, sang perempuan hafal akan hal itu. Ciuman dari prianya memang selalu memabukkan, walau dia tidak tahu apa pria itu memang pantas di sebut 'prianya'.
Setelah melepaskan ciuman itu, Naruto kembali menatap amethyst di hadapannya.
Bukannya Naruto tidak tahu apa yang di pikirkan oleh wanitanya. Sering mereka melakukan hal itu di setiap malam, tapi di pagi hari, Naruto akan pergi begitu saja bahkan saat sang wanita masih terlelap. Jadi jika pagi itu Naruto memilih tinggal dan justru ingin menyentuh wanitanya lagi, bukan hal aneh jika sang wanita merasa bingung dengan penuh tanya.
"Ada apa?" pertanyaan itu membuat Naruto semakin terdiam. Tapi dia tentu tidak ingin menghabiskan waktu dengan kecanggungan. Apalagi jika hubungan mereka memang sedikit merenggang seminggu ini.
"Tidak ada," Naruto menyingkarkan rambut indigo wanita itu ke samping, "Aku hanya ingin menyentuhmu lagi." kembali Naruto melumat bibir itu lembut, menyampaikan kepada sang wanita betapa dia menginginkan wanita itu lagi dan lagi.
Dan saat penyatuan itu terjadi, pelukan mereka semakin erat. Membuat mereka melebur dalam kenikmatan dunia yang tak akan pernah mereka lupakan setiap detiknya.
"Narutooo…"
"Hinata.." mengeram tertahan di perpotongan leher wanitanya sembari melafalkan nama sang wanita yang selalu hadir di setiap detik helaan nafasnya. Sungguh, Naruto begitu menginginkan wanita itu.
Setelah beberapa menit berlalu, hanya detak jantung mereka yang seolah terdengar dengan keras. Naruto masih memilih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hinata, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan setelah kegiatan ranjang mereka. Biasanya, Naruto akan langsung memeluk wanita itu erat di dadanya sembari mengelus lembut helai indigo Hinata.
Tapi kelakuan Naruto yang begitu, membuat Hinata yang justru membelai lembut rambut pirang Naruto. Entah perasaannya saja atau Naruto memang bersifat lebih dingin dan lebih manja seminggu ini. Dia tidak tahu dan tidak akan mencari tahu kecuali Naruto sendiri yang memberitahunya.
Apapun masalah pria itu, jika pria itu tidak bercerita padanya, itu berarti hal tersebut adalah sebuah rahasia dan urusan pribadi sang pria. Hinata tidak ingin mencampurinya tanpa izin pria itu. Dapat menyentuh dan memiliki pria itu di setiap malamnya saja sudah lebih dari cukup bagi Hinata, dia tidak akan meminta lebih.
"Apa aku berat?"
Pertanyaan singkat Naruto membuat Hinata berkedip, kesadarannya masih sedikit melayang setelah percintaan mereka. Tapi setelah ia tahu apa maksud Naruto, Hinata menggeleng pelan. "Tidak, kau tidak berat." Tubuh Naruto yang menindihnya seperti itu jelas memiliki beban berat tersendiri tapi jika hal itu bisa membuat Naruto lebih nyaman, Hinata tidak keberatan sama sekali. Belaiannya justru semakin lembut agar sang pria semakin nyaman dalam dekapannya.
Meski Hinata tidak pernah protes saat Naruto pergi, tapi wanita itu tetap merasa ada yang hilang dari kepergian pria itu di setiap paginya. Dari itu, Hinata akan melakukan apapun agar pria itu bisa lebih lama di sisinya.
"Aku akan pergi ke Russia siang ini."
Sebaris kalimat itu sanggup membuat gerakan tangan Hinata terhenti tapi tidak lama karena dia segera membelai surai pirang itu lagi. "Uhm," gumamnya merespon perkataan Naruto.
"Aku akan di sana beberapa hari."
Hinata mengangguk, "Uhm" lagi dia bergumam.
"Jangan pergi!" permintaan yang itu benar-benar menghentikan gerakan tangan Hinata, apalagi saat Naruto menyusupkan tangannya di balik punggung sang wanita dan mendekapnya erat. "Jangan pergi dan bertemu siapapun selama aku belum pulang. Tetaplah di sini."
"Tapi… Kau tahu kalau—"
"Baiklah," Naruto segera memotong perkataan Hinata, "Baiklah, ku berikan waktu dua jam setiap harinya. Hanya dua jam dan setelah itu tetaplah di sini."
Hinata menghela nafas dan mengangguk pelan. Dia tidak heran lagi akan permintaan aneh pria itu yang terkadang muncul. Pria itu akan terus mendesaknya jika dia tidak mengabulkan keinginan pria itu. Bahkan Hinata yakin, pria itu akan menguncinya di apartemen ini kalau Hinata menolak keinginannya.
"Baiklah, aku akan tetap di sini. Aku hanya akan keluar dua jam sehari. Apa aku harus memberitahumu saat aku keluar ataupun pulang kesini?" anggukan pelan kepala Naruto membuat Hinata tersenyum, "Baiklah, aku akan memberi kabar."
.
Flashback..
Hubungan mereka di mulai setahun yang lalu. Saat Naruto datang ke sebuah apotik dimana Hinata bekerja paruh waktu di sana. Bukan pertemuan pertama sebenarnya. Mereka adalah teman satu kelas saat di kelas dua SMA. Hanya setahun mereka sekelas tanpa bertegur sapa.
Tapi siapa mengira jika mereka telah memendam perasaan sejak lama. Pertemuan mereka kembali di apotik itu hanya sebaris takdir yang menyatukan mereka. Di mulai dari sapaan ringan dan basa-basi singkat. Namun satu hal yang tidak di duga Hinata, Naruto mengenalinya sebagai teman SMA-nya dan tanpa ragu meminta nomor telpon gadis itu.
Hinata tidak mengira jika Naruto akan mengingatnya dan lebih dulu ingin menjalin komunikasi di antara mereka. Dari sana, mereka sering berkomunikasi dengan ponsel ataupun bertemu langsung.
Sebulan pertama, Naruto sudah mengetahui detail kehidupan dan kegiatan Hinata. Jelas hal yang mudah bagi directur utama Namikaze Corp untuk menyuruh orang mencari informasi yang dia butuhkan.
Di bulan kedua, Naruto mulai sering mengajak Hinata pergi ke acara teman-temannya. Mulai dari pesta biasa sampai pertemuan penting yang formal. Hinata cukup takjub akan hal itu, tidak menyangka jika Naruto akan melibatkannya dalam hampir setiap pertemuan.
Sampai suatu malam, Naruto terlihat sedang ada masalah dan menelpon Hinata agar menemaninya minum di apartemen pria itu. Hinata hanya ingin sedikit membantu dengan mendengar curahan sang pria. Tapi bukannya masalah yang di ceritakan Naruto, pria itu justru mengajaknya mengenang masa lalu dengan menceritakan masa-masa remaja mereka.
.
Hinata mengedipkan matanya yang mulai berat dan tidak lagi terlalu fokus. Gelas di tangannya mulai terlihat tidak mantap di genggam tapi dia masih berusaha mempertahankan kesadarannya yang mungkin tinggal seperempat persen.
"Hinata, kau mendengarku?" pertanyaan Naruto membuatnya mengangguk kuat hingga beberapa helai rambutnya terjatuh. Membuat seulas senyum hadir di wajah Naruto. "Bagaimana denganmu, apa kau menyukai seseorang saat SMA dulu?"
Lagi Hinata mengangguk, "Aku suka seseorang.." ucapnya tak jelas karena sudah mabuk.
"Siapa?"
"Kau," telunjuk Hinata mengarah ke Naruto, membuat pria itu tersentak sesaat dan kembali mengulas senyum tipis agar tidak di sadari oleh Hinata. Jelas dia harus memberi kesan kalau dirinya juga mabuk. "Uzumaki Naruto, aku menyukaimu."
"Aku?"
Hinata mengangguk lagi sembari menaruh gelasnya di atas meja, dengan sedikit menyondongkan tubuhnya dan menatap netra biru Naruto. "Aku menyukaimu, saaaaangat menyukaimu." Ucapnya lagi dengan gaya khas mabuknya,
"Aku selalu melihatmu dari kursiku yang ada di belakangmu. Aku selalu memperhatikanmu. Bagaimana kau bercerita dan bercanda dengan teman-temanmu, bagaimana kau berdebat dengan teman sebangkumu. Aku bahkan selalu mengintipmu diam-diam setiap kali istirahat, kau sering makan di kantin atau mendengarkan music di taman belakang sekolah sampai tertidur.
Kau suka ramen dan benci matematika yang membuat kepalamu pusing. Kau juga… sering memperhatikan teman perempuanmu yang berambut pink itu." ucapnya dengan suara lirih di ujung, tak lama dia menggeleng mengusir kantuknya. "Aku juga selalu melihatmu yang sering dihukum karena terlambat. Dan kau juga sangat ahli dalam basket. Aku di sana, aku selalu disana melihatmu."
Hinata kembali memundurkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya di sofa. Ungkapan perasaannya yang setengah sadar semakin membuat senyum Naruto melebar. Pria itu… sedikitpun tidak mabuk dan mendengar semuanya dengan jelas.
Safirnya melirik Hinata yang masih bersandar di sampingnya. Perlahan dia menaruh gelasnya di meja dan mendekatkan tubuhnya pada gadis itu, gerakan yang terasa membuat Hinata menegakkan tubuhnya dan balik menatap.
Dengan cepat pria itu segera merengkuh tubuh mungil Hinata dan menyatukan bibir mereka, memberikan ciuman yang lembut dan hangat bagi gadis itu. Membuat tubuh Hinata sempat tersentak namun selanjutnya, gadis itu memejamkan matanya dan membalas ciuman itu.
.
.
Paginya, Hinata terbangun sendiri di ranjang king size di kamar Naruto yang begitu luas dan mewah dengan tubuh yang terasa lelah dan sakit yang kentara di selangkangannya. Kesadaran menamparnya akan suatu yang entah menyakitkan atau menyenangkan. Dia merasa senang mengingat sentuhan Naruto tadi malam, tapi bangun di pagi hari tanpa kehadiran pria itu di sisinya, membuat kesedihan itu terasa menyakitkan.
Dengan berbalut selimut, dia berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dia tidak peduli akan di mana dia, yang penting dia membutuhkan air hangat untuk berendam saat itu.
.
Hinata memejamkan matanya ditengah redaman air hangat itu. Dia mencoba mengingat kembali setiap hal yang terjadi semalam. Saat dia berbicara dengan Naruto, saat pria itu bercerita panjang lebar, hingga akhirnya kegiatan ranjang mereka yang samar diingatnya.
Yang sangat jelas dia ingat adalah tatapan penuh damba Naruto saat pria itu meminta izin untuk memasukinya. Bagaimana pria itu begitu lembut memperlakukannya.
"Naruto-kun, kenapa kau lakukan itu? Apa kau juga menyukaiku?"
.
Setelah cukup lama berendam dan membersihkan diri. Hinata keluar dari bathup dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang ada di sana. Dia melirik kaca yang ada dan mendekat, mematri setiap jengkal tubuhnya yang penuh tanda merah dari Naruto.
Dia menggeleng dan menepis ingatan itu, dengan memakai piyama yang juga ada disana, dia keluar dan mengedarkan pandangannya. Pakaiannya yang semalam tidak ada, kamar itu rapi kecuali ranjang yang berantakan karena belum dia bereskan. Matanya bergulir dan mendapati satu stel pakaian yang ada di atas nakas samping tempat tidur lengkap dengan dalamannya.
Tidak menemukan pakaiannya yang semalam, Hinata terpaksa memakai pakaian itu. Setelah selesai memakainya, dia segera melangkah keluar kamar untuk pergi dari apartemen itu. Sungguh, dia merasa sangat sakit karena Naruto sudah meninggalkannya pagi itu.
Tapi… niat untuk meninggalkan apartemen itu musnah saat dia menyadari kalau pintu apartemen itu terkunci dari luar. Satu-satunya jalan keluar tertutup. Jendela di trali, walau tanpa di tralipun, tidak mungkin dia meloncat dari lantai delapan.
Setelah setengah jam mencari jalan keluar dan menenangkan diri, dia kembali terkejut dengan makanan yang sudah tersaji di meja makan, seolah memang di sajikan untuknya. Dia tahu tidak sopan jika memakan tanpa izin pemilikinya. Tapi rasa lapar itu tidak sejalan dengan pemikirannya, lagipula, pemiliknya kan yang mengurungnya disini?!
Terkunci sendirian di apartemen orang lain jelas membuatmu merasa risih. Apalagi itu adalah pertama kalinya kau ke sana. Itulah yang di rasakan Hinata. Dia tidak pernah menyangka akan berakhir terkurung di sana seharian. Menghabiskan waktu, Hinata memilih untuk membersihkan apartemen yang sudah cukup bersih dan rapi itu.
Dia cukup takjub karena apartemen Naruto terbilang rapi untuk seukuran seorang pria. Dia mencuci baju, mencuci piring bekas makannya sendiri, menyedot debu bahkan mengepel. Waktu menunjukkan jam sebelas siang saat dia selesai. Bingung tidak ada yang di kerjakan, dia memilih untuk menonton TV.
Seolah itu adalah rumahnya sendiri, dia bahkan tidak memikirkan sedikitpun jika Naruto akan marah padanya. Dia memang heran akan hal yang terjadi padanya, tapi dia sadar akan semua yang terjadi dan berpikir kalau semua bukanlah kesalahannya.
Naruto yang menelponnya, Naruto yang memintanya datang, Naruto yang memaksanya minum, Naruto yang… lebih dulu menyentuhnya, dan sekarang, Naruto yang menguncinya disana.
.
Satu hal yang tidak Hinata sadari. Kalau semua itu sudah masuk dalam rencana Naruto. Bahkan pria itu sama sekali tidak mabuk semalam. Dia mendengar dengan jelas setiap perkataan Hinata tentang perasaannya. Dia memperhatikan wajah gadis itu yang bercerita di luar kesadaran dengan sangat jelas, memetakan setiap ekspresi sang gadis.
Bahkan Naruto dengan sangat sadar mendekatinya dan menyentuhnya lebih jauh hingga kegiatan pertama mereka di ranjang. Naruto juga sengaja meninggalkan wanita itu sendiri sebelum berangkat kerja dan memastikan kalau wanita itu tidak akan bisa kabur dari apartemennya.
Dan lihatlah, rencananya berhasil.
Disaat dia pulang jam makan malam, dia di sambut dengan tatapan canggung dan bingung dari Hinata. Mengabaikan tatapan itu, Naruto masuk dan kembali mengunci pintu itu. Membuatnya harus menahan tawa karena melihat wajah cengok Hinata untuk beberapa saat.
Hinata masih tidak berani menginsterupsi kegiatan Naruto. Pria itu langsung mandi begitu pulang dan membuat Hinata menunggu di ruang tamu. Saat Naruto keluar dari kamarnya dengan pakaian santai, niatan Hinata untuk bertanya alasan pria itu mengurungnya sirna karena kalimat pria itu yang mengatakan kalau dia lapar.
Menghembus nafas pelan, diam-diam Hinata tidak menyesali perbuatannya yang cukup lancang dengan mengolah bahan makanan di dapur Naruto hingga tersaji beberapa makanan yang cocok untuk makan malam.
Dengan mata berbinar dan lahap, Naruto memakan semua itu. Membuat tanpa sadar semua pertanyaan dan keraguan di hati Hinata lenyap tanpa sisa. Hinata tersenyum menatap pria itu yang makan seperti anak kecil.
.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Baru lima menit yang lalu Hinata dan Naruto duduk berdampingan di depan TV dengan acara yang tidak mereka hiraukan. Sebenarnya Hinata sudah ingin bertanya dari tadi atau mungkin dia sudah ingin mengatakan kalau dia ingin pulang. Tapi entah kenapa semua sangat sulit terucap.
"Tinggallah disini!"
Hinata tersentak dan menoleh pada pria di sampingnya, pria itu lebih dulu membuka suara dengan kalimat yang tidak dapat di cernanya dengan mudah.
Naruto menoleh dan membalas tatapannya. "Berhenti bekerja dan tinggallah disini, bersamaku!" lagi, Naruto mengulang kalimatnya yang semakin membuat Hinata terdiam.
Hening. Keadaan itu semakin canggung.
"Kenapa?" akhirnya Hinata menemukan suaranya, "Kenapa kau tiba-tiba menawarkan hal itu? apa karena…" menelan ludah, Hinata mengumpulkan keberaniannya. "Apa karena yang… semalam?"
Tatapan Naruto berubah sendu dan dia menggeleng pelan. Pria itu semakin mendekat dan membelai pipi gembil Hinata. "Aku menginginkanmu untuk tinggal bersamaku. Itu saja!"
Hinata semakin tidak mengerti dengan pria itu, "Apa maksudmu?"
"Tidak ada yang bisa ku jelaskan. Yang pasti aku menginginkanmu tinggal disini bersamaku." Ucap pria itu mutlak yang membuat Hinata terdiam. Naruto menarik tangannya dan kembali duduk di tempatnya semula, "Aku sudah mengatakan pada kepala Apotik kalau kau berhenti. Aku juga sudah menyuruh orang untuk membereskan barang-barangmu dan membawanya ke sini besok."
Semakin terdiam akan hal itu, Hinata memejamkan matanya dengan helaan nafas kasar. Mencoba meredam semua kebingungannya. "Naruto-kun, katakan sesuatu. Kenapa kau melakukan ini?"
"Sudah kukatakan aku menginginkanmu dan ingin tinggal bersamamu."
.
Saat itu Hinata tidak bisa mempercayai apapun. Dia diam dan langsung pergi ke kamar, mengunci pintu itu tanpa berniat membukanya meski Naruto sudah mengedor berulang kali. Alhasil, pria itu harus tidur di sofa sampai pagi.
Sesuai dengan perkataan Naruto. Pria itu benar-benar tidak melepaskannya. Barang-barangnya sampai jam sembilan pagi dan langsung disusun oleh orang suruhan Naruto meski Hinata sudah berusaha untuk melarang.
Dari itu, selama tiga hari Hinata tidak menegur pria itu. Selalu mengunci kamar setiap malam dan mengumpat di siang hari karena selalu di kurung oleh Naruto. Dia kesal dan gelisah. Selain merutuki sifat Naruto yang ternyata belum dia pahami seutuhnya, dia juga gelisah dengan keadaan Ayahnya yang sekarang tengah di rawat di rumah sakit karena koma sejak enam bulan yang lalu.
Dia sudah sering meminta Naruto agar di perbolehkan keluar. Tapi Naruto tidak mengijinkannya keluar sebelum Hinata berjanji untuk menyetujui keingannya yang ingin tinggal bersama. Sampai suatu hari, Hinata mendengar pembicaraan Naruto dengan bawahannya di telpon.
.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
Suara teriakan tertahan Naruto membuat Hinata mengintip dari balik tembok kamar tanpa berniat untuk mengganggu.
"Aku tidak tahu, kau harus menyelamatkannya. Aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu padanya. Aku akan segera ke sana."
Naruto menutup telponnya dan mengumpat lirih. "Semoga keadaan Hiashi-san baik-baik saja. Hinata tidak boleh tahu akan hal ini." ucapnya lalu segera bergegas dan melangkah untuk keluar.
Tapi baru selangkah dia berbalik, langkahnya terhenti karena keberadaan Hinata yang menatapnya menuntut. "Apa itu?" suara Hinata sedikit bergetar.
"Hinata.."
"Apa itu Naruto-kun? Kau menyebut nama Ayahku,, dan siapa yang menyelamatkan siapa?"
.
Sejak Naruto mengurung Hinata, pria itu sudah menugaskan seseorang untuk selalu menjaga Ayah Hinata 24 jam. Tentu dia tahu tentang semua itu dari informasi yang dia kumpulkan sebelumnya. Naruto menjelaskan keadaan Hiashi yang tiba-tiba drop tadi pagi hingga membuatnya naik darah kepada bawahannya.
Jelas Naruto tidak bisa menyembunyikannya lagi setelah Hinata mendengarnya sendiri. Mereka berdua segera melesat ke rumah sakit dan mendengar kabar jika Hiashi harus di operasi. Tanpa bertanya apapun, Naruto langsung berteriak kepada dokter agar melakukan apapun yang terbaik untuk menyelamatkan Hiashi.
Selama operasi, Naruto hanya bisa memeluk Hinata untuk menenangkan wanita itu.
3 jam dan operasinya berjalan lancar. Hinata langsung memeluk Naruto erat ketika kebahagiaan itu terdengar olehnya. Dia tidak bisa lebih bersyukur lagi akan hal itu. Dia juga sangat bersyukur atas kehadiran Naruto saat itu.
Jika tidak ada Naruto, bagaimana mungkin dia bisa membiayai operasi Ayahnya itu. Untuk perawatan Hiashi saja, Hinata harus kerja siang malam.
Naruto tahu akan hal itu dan kembali menawarkan hal yang sama. Pria itu berkata akan menanggung semua biaya pengobatan Hiashi dan juga akan menanggung semua kebutuhan Hinata.
Yang diinginkan pria itu cuma satu. Yaitu mereka tinggal bersama layaknya kekasih walau Naruto tidak pernah mengatakan hal itu. Pria itu bahkan tidak pernah membahas tentang perasaan bahkan cinta. Dia selalu mengatakan kalau dia menginginkan Hinata dan ingin wanita itu terus berada di sampingnya.
Mungkin terdengar seperti Hinata menjual diri untuk pengobatan sang Ayah, tapi Hinata tidak peduli lagi. Dia menyadari jika perasaan cintanya pada Naruto masih sangat besar dan apa yang di tawarkan pria itu begitu menggiurkan.
Dari sanalah hubungan mereka terjadi. Mereka tinggal bersama layaknya suami istri. Bahkan di saat Naruto mendekatinya dan menginginkannya di ranjang, Hinata tidak menolak.
Pernah sekali Naruto mengajaknya ke acara pesta teman pria itu. Dan tanpa ragu Naruto memperkenalkan Hinata sebagai tunangannya.
Hubungan mereka hanya sekitar orang-orang terdekat yang tahu. Naruto akan pulang kerja di malam hari dan pergi di pagi hari. Bahkan setelah enam bulan berlalu hubungan mereka terasa mulai dingin. Naruto akan menginap di hotel atau lembur di kantornya. Pria itu akan pulang jika sudah sangat merindukan wanitanya.
Mereka bercinta, dan pria itu akan pergi di pagi hari bahkan sebelum wanita itu terbangun.
Tanpa disadari, Hinata menjalani hidup seperti seorang simpanan. Wanita itu tidak pernah berniat mencampuri urusan Naruto lebih jauh. Mereka hanya akan mengobrol hal seadanya dan menjalani hubungan yang terasa abstrak.
Flashback off..
.
.
To be continued
.
.
.
