Andromeda

.

.

.

.

Author : Haloooo, minna-san. Author kembali dengan fic baru~

Kaito : Lo masih utang sequel.

Rin : Iye, The Mysterious Accident juga belom kelar. Ngegantung badai.

Len : Malah bikin fic baru. Liat aja nggak sequel TMA, kita nggak mau jadi chara fic kamu lagi. Pergi sana ke fandom lain!

Miku : Kenapa rata-rata fic kampret BakArisa ini berisi pairing aku sama BaKaito?!

Author : Gomenasai~

All chara : *buang muka

Author : Kemungkinan Teleportation nggak jadi sequel-nya. Konsepnya ngelayap nggak tahu kemana. Sequel TMA on progress.. Arigatou, buat Kurotori Rei-san yang udah ngasih saran! Buat kalian semua yang pernah review juga! Arigatou!~

Udah jangan lama-lama!

Diclaimer : Vocaloid is Yamaha Corp., Crypton Future Media etc. mine's. Seluruh fanfik yang dipublish di akun saya, 100% milik saya!

Warning : AU, Canon, Abal, GaJe, OOC, OOT, Misstypo(s), Typo(s), litte bit of romance, sekali lagi ini berbau detektif.

Don't Like Don't Read!

Kembangkan budaya RnR! Jangan golput *dihajar*!

Author akan memberikan waktu untuk minna-sama menekan tombol back dalam..

5...

4...

3...

2...

1...

You're stuck in my world! Hahahaha (readers : seriusan dong!)

Check one, two!

One, two, three, four!

Andromeda start, desu! \( ^_^ )/

.

.

.

.

Kata orang, kalau kita menuliskan harapan kita pada sebuah pesawat kertas dan kita berhasil membuat pesawat itu terbang maka permohonan kita akan terkabul. Apa mungkin?

.

.

.

Matahari bersinar terik kala Paper Plane Festival pertama kali digelar. Banyak orang yang datang untuk mengikuti perayaan pesawat kertas itu. Salah satunya gadis beruntung yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Gadis berambut turqoise yang biasanya dikuncir dua dan masih duduk di bangku dua SMA. Hatsune Miku, nama gadis itu.

'Jika, festival kampret ini benar maka aku akan dapat jodoh!' teriaknya berapi-api dalam hati. Segitu kebeletnya pengen punya pacar?

"Baiklah, minna! Terbangkan pesawat kalian!" kata sang MC dari microphone. Serentak manusia-manusia penuh harapan itu menerbangkan pesawat kertas mereka.

Miku tersenyum bangga begitu melihat pesawat kertasnya masih terbang di ketinggian 20 meter dan belum mendarat ke tanah. Bisa didengarnya umpatan-umpatan kesal orang-orang di sebelahnya karena pesawat kertas mereka nurut sama gravitasi bumi.

'Buh, makanya pinter origami dong!' Miku meledek orang-orang yang ngedumel nggak jelas dalam hati.

"Rin!" dia memanggil salah satu temannya yang dia angkut kesini. Gadis yang dipanggilnya pun muncul dengan seorang pemuda yang cuma beda beberapa centi dengannya.

"Ada apaan, Miku?" tanya gadis bernama Rin itu. "Iya nih, Miku. Ada apa? Ganggu aja," timpal pemuda pirang di sebelah Miku.

"Jangan mentang-mentang kalian udah saling memiliki terus kalian ngelupain gue! Kita udah sama-sama selama,"

Miku menghitung lama pertemanannya dengan Rin dan Len, sang pemuda pirang, dengan jarinya. "Sepuluh tahun! Ingat itu!" lanjut Miku.

"Lo nulis apa di pesawat tadi?" tanya Len.

"Gue nulis supaya dapet jodoh. Puas lo?!"

Len dan Rin tertawa renyah bermaksud mengejek.

"Apa mungkin dengan pesawat kertas akan bertemu jodoh?" Rin meledek Miku. Miku menggembungkan kedua pipinya.

"Kamu nulis apa di kertas tadi?" tanya Rin pada Len, nggak menanggapi Miku.

"Aku nulis supaya kita bisa selalu bersama," jawab Len. Rin menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil melompat-lompat kecil. Wajahnya merah. "Kyaa, kita nulis harapan yang sama. Kita emang jodoh! Arigatou, Kami-sama!"

Miku cengo dengan aksi Rin. Daripada melihat aksi lebay Rin dan pasangannya mendingan aku pulang, pikirnya.

Akhirnya Miku pulang, meninggalkan double blonde itu pacaran di atap mall Crypton tempat Paper Plane Festival dilangsungkan. Dia menatap langit biru yang dihiasi awan-awan tipis. Pesawat buatan tangannya tak terlihat. Mungkin sudah jatuh. Miku menghela napas.

'Bodohnya, aku menaruh harapan pada sebuah pesawat kertas,' ratapnya.

"Aduh," ringis seorang pemilik suara baritone di belakangnya. Miku berbalik dan dia menemukan sosok pria berambut biru berkemeja biru dan bercelana panjang berwarna hitam dengan syal yang melingkar di lehernya. Cowok itu lumayan tinggi sampai-sampai Miku harus mendongakkan kepalanya untuk melihat pria itu.

Miku terpana. Cowok itu terlihat keren di mata Miku. Meskipun cowok itu terlihat kekanak-kanakan karena memegang es krim di tangannya. Mata Miku berbinar-binar. Pikirannya lari kemana-mana.

'Apa ini yang disebut jatuh cinta?!' jerit Miku dalam hati. Miku mengamati hiasan aneh pada ice cream pemuda tersebut.

"Miku Airlines." bacanya.

Itu 'kan pesawat kertasnya!

"Kampret, hari ini hari apa sih sampai banyak sekali pesawat kertas nggak jelas kayak gini!" umpat cowok itu. Cowok itu mencabut pesawat kertas itu dari ice creamnya.

"Berikan padaku!" pinta Miku sambil merebut kertas itu dari pemuda biru tersebut.

"Heh, apa-apaan sih! Aku yang menemukan kertas ini!" balas cowok itu sambil menarik kertas berwarna tosca itu dan..

SREET! Kertas itu terbagi dua. Pemuda langsung membaca sobekan kertas di tangannya.

"Aku harap, aku dapat jodoh minggu ini. Pppfftttt..."

Cowok itu menahan tawanya sampai-sampai menjatuhkan ice creamnya. Sementara itu, karakter utama kita tengah menyembunyikan warna merah pada wajahnya karena malu.

"HAHAHAHAHAHAHAHAH!" ledakan tawa pun terdengar oleh seluruh masyarakat yang tengah berlalu-lalang di depan mall itu. Tawa itu berasal dari sang pemuda berambut biru yang baru 15 detik menahan tawa.

"Ini kertas punyamu?" tanya cowok itu sambil menyusut air mata di sudut matanya.

Miku menggosok pipinya. "I-iya."

"Maaf karena telah mentertawakanmu. Kutraktir ice cream, bagaimana?" tawar pemuda itu. "Namaku Shion Kaito. Panggil saja Kaito."

"Miku." jawab Miku kini berhasil menghilangkan semburat di pipinya. "Hatsune Miku. Panggil saja Miku."

Mereka berdua pun berjabat tangan. Miku merasakan tangan sedingin es milik Kaito menyalami tangannya yang hangat.

'Apa dia sakit?' pikir Miku.

.

.

.

.

Miku dan Kaito berjalan beriringan menuju sebuah taman dengan ice cream di tangan masing-masing.

"Ne, Miku. Kau sekolah dimana?" tanya Kaito setelah acara diam-diaman mereka harus hentikan.

"SMA Vocasora."

"Kelas berapa?"

"Kelas dua. Kaito sendiri dimana?"

"Aku juga di SMA Vocasora. Aku kelas tiga, kelas 3-D."

Miku bicara sama kakak kelasnya dan dia seenak jidatnya menyebut pemuda di sampingnya tanpa embel-embel '-senpai?'. Lancang sekali dia.

"Gomenasai, senpai." kata Miku malu-malu.

"Lho, kenapa sekarang manggil 'senpai'?" sahut Kaito sambil menggigit ice creamnya.

"Habis kau 'kan kakak kelasku."

"Aku cuma kecepetan masuk sekolah. Umurku masih enam belas. Umur kau juga masih enam belas, 'kan?"

Miku mengangguk.

"Jadi, aku boleh manggil namamu tanpa embel-embel '-senpai'?"

"Kenapa nggak, Miku-chan?" Kaito tertawa sambil mengacak rambut Miku.

BATTTTSSS! Miku diserang semburat merah lagi. Kini pipi Miku benar-benar merah! Bagaikan rok anak SD! (author : anti-mainstream, desu~)

"Kau kenapa demam? Ini 'kan musim panas!"

'Nggak peka!' jerit Miku karena ketidakpekaan Kaito.

"Nggak kenapa-napa! Cuma kelilipan!" Miku menjawab ketidakpekaan Kaito dengan jawaban yang melantur kemana-mana dan nggak nyambung sama sekali. Apa hubungannya coba pipi merah sama kelilipan?

"Kelilipan?" Kaito berjalan mundur sambil menghadap Miku. "Kenapa nggak ada air mata?"

Blue ocean bertemu turqoise.

Miku terpana dengan manik biru lautan milik Kaito. Pipinya semakin merah. Kaito menyingkirkan poni Miku yang menghalangi keningnya dan meletakkan punggung tangannya di kening Miku.

BATTTTSSSS! Pipi Miku semakin merah. Belum pernah dia disentuh cowok seperti itu. Jantungnya berdegup kencang.

Kaito melepaskan punggung tangannya dari kening Miku. 'Bodohnya aku! Aku 'kan tak bisa membedakan mana dingin mana panas dengan tanganku!' umpatnya dalam hati.

"Kau yakin nggak apa-apa?" tanya Kaito cemas.

"Kukira kau sudah memeriksanya dengan tanganmu."

"Iya sih. Tapi tanganku ini nggak bisa membedakan mana dingin mana panas. Semuanya terasa sama pada tanganku."

'Pantas saja tangannya sangat dingin saat berjabat tangan denganku!' kata Miku dalam hati.

"Kau sedang sakit?" tanya Miku. Dia penasaran sekaligus khawatir.

"Tidak, aku baik-baik saja. Cuma punya sedikit cacat pada tangan." jawab Kaito sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

'Pasti sulit sekali hidup tanpa bisa membedakan suhu.' pikir Miku. Dia bersyukur tangannya masih normal.

Miku meraba saku roknya. Dia buru-buru mengambil benda berbentuk persegi panjang berwarna toska itu dari saku roknya.

"Boleh aku minta alamat e-mail-mu?" tanyanya sambil memperlihatkan ponselnya.

"Tentu."

Mereka pun bertukar alamat e-mail.

.

.

.

[SKIP TIME.

PLACE : MIKU'S HOUSE

TIME : 08.30 P.M]

.

.

.

Miku meraih ponselnya yang masih tersambung dengan charger di mejanya. Dia ingin mengobrol dengan pemuda yang ditemuinya tadi siang.

Kaito. Tepat sekali.

From : HimeNegi-sama

To : AoKaito Ice

Lagi ngapain?

Send this message

Miku mengarahkan tombol navigasinya untuk memencet tiga buah kalimat dalam bahasa inggris yang dipahami Miku sebagai 'Kirim pesan ini.' itu. Miku menekannya dan menunggu balasan dari sang penerima e-mail.

Tiga menit berlalu, Miku belum menerima balasan. Suara laporan terkirimnya pesan pun tak terdengar.

'Mungkin ponselnya habis baterai,' pikirnya sederhana.

Satu jam pun berlalu, Miku tak dapat balasan apa-apa. Akhirnya, Miku menyimpan ponselnya dan menyiapkan buku-buku pelajaran untuk esok hari lalu berlanjut tidur.

.

.

.

Keesokan harinya, Miku menunggu sang kakak kelas di depan sekolah. Dia sudah menunggu selama lima belas menit lebih di depan sekolah. Dia sudah menunggu dari awal gerbang sekolah dibuka.

"Miku! Ohayou," sapa Rin sambil berlari menuju Miku.

"Ohayou, Rin!" sahut Miku.

"Menungguku, 'ya?"

"Geer lu!" ledek Miku. "Mau ke kelas, 'kan? Bawain tasku dong!" Miku menyerahkan tasnya kepada Rin.

"Bawa sendiri gih! Jangan nyuruh-nyuruh orang!" Rin mengembalikan tas Miku ke pemiliknya.

"Onegai!" Miku meminta dengan puppy eyes-nya.

"Nggak mau!"

Miku berjuang lebih keras untuk membuat matanya semakin berkaca-kaca. Rin memalingkan wajahnya ke arah lain untuk tak melihat mata Miku yang bersinar penuh permohonan itu.

1 detik.. Rin masih sangat tahan.

2 detik... Rin masih tahan.

3 detik.. Rin pertahan mulai hancur.

4 detik.. BUMMM! Pertahanan hati Rin hancur!

Rin menyerah dan mengambil tas Miku.

'Miku's Puppy Eyes Jutsu, level increase!' inner Miku berbicara layaknya NPC dalam game RPG.

Miku bersorak dalam hati.

"Kau nunggu siapa sih?" tanya Rin agak kesal karena bawaannya sekarang tambah berat.

"Rahasia~" jawab Miku.

Miku melihat kakak kelas yang dicarinya lewat bahu Rin yang kecil (juga pendek (author : *digilas roadroller)). Kaito, kakak kelas yang ditunggu Miku, membawa banyak kardus di tangannya.

"Kau masuk kelas duluan. Syuh! Syuh!" Miku menyuruh Rin masuk kelas dengan usiran seperti mengusir ayam.

Miku mendorong-mendorong Rin dan Rin tetap bersikeras untuk melihat siapa yang ditunggu Miku sedari tadi. Miku menyerah atas sikap Rin, akhirnya dia berlari menuju Kaito dan menyambar beberapa kardus dari tangan kakak kelasnya itu.

"Biar kubantu." kata Miku.

"Itu 'kan berat, Miku!" balas Kaito sambil berusaha mengambil kardus itu dari tangan Miku menggunakan sebelah tangan kirinya.

"Jangan sok-sok-an di depan adik kelas deh, senpai." cibir Miku bermaksud bercanda.

"Bukannya sok-sok-an tapi kalau ada yang melihatmu bersamaku, terlebih beriringan begini, kau bakal disemprot!"

"Disemprot sama siapa?"

Kaito diam. Miku menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum miring.

"Tenang saja, senpai. Aku ini murid kurang terkenal. Jadi, apapun yang kulakukan nggak akan jadi masalah."

"Terserah deh," Kaito menundukkan kepalanya untuk menatap Miku. "Pulang kutraktir ice cream, bagaimana?"

"Masa' aku ditraktir terus?"

"Kau nggak mau ditraktir?"

"Bukan gitu sih," kata Miku salah tingkah. "Bagaimana kalau balasannya aku membantumu seminggu ini?"

"Seminggu?"

"Hehe, alasan utamanya sih karena aku pengen nyobain pulang sore." Miku meneruskan kalimatnya sambil terkekeh.

"Terserah deh," Kaito meniup napasnya. "Mau jadi anggota komite perawatan sekolah nggak? Kami kekurangan anggota."

'Komite perawatan sekolah? Aku punya tangan yang bagus untuk merawat barang. Apa salahnya untuk dicoba?'

"Aku ikut."

Kaito tersenyum lagi. Mereka berdua melangkahkan kaki mereka menuju gedung sekolah.

Sementara itu Rin masih diam membatu di gerbang.

'Kenapa Miku bisa dekat dengan tukang onar di sekolah?' pikirnya.

.

.

.

.

"Miku!" jerit Rin begitu sampai di kelasnya. Miku menghampiri Rin masih ngos-ngosan di depan pintu. "Ada apaan?" tanya Miku sambil mengambil tasnya.

"Kau lama banget sih sampai di kelas? Pacaran dulu sama Len?" lanjut Miku sambil berjalan menuju bangkunya lagi. Rin berjalan menuju bangkunya, menyimpan tasnya, lalu berjalan tergesa-gesa menuju bangku Miku yang paling depan.

"Miku!" kata Rin dengan tambahan suara gebrakan meja. Miku memandang Rin bingung. 'Keracunan jeruk apaan 'ni bocah?' pikirnya.

"Kenapa kau bisa dekat dengan monster kelas tiga itu?!" lanjut Rin kini berteriak. Satu kelas mendadak diam karena teriakan Rin. Tiba-tiba seluruh siswa di kelasnya mengerubungi bangku Miku.

"E-emangnya kenapa sih?! Ka-Kaito-senpai 'kan orang baik-baik!" sergah Miku agak kesal.

Lalu datang Megurine Luka, sang komite kedisplinan, menyerahkan sebuah kopian kertas ke meja Miku.

Miku membuka lembar demi lembar kertas itu. Itu adalah daftar kasus seorang Shion Kaito selama masa jabatan Luka yang baru menginjak 3 bulan itu.

"Sebaiknya kau jauhi dia. Aku takut kau kena masalah." kata Luka dengan wajah stoic-nya. Padahal, semua orang tahu kalau Luka benar-benar peduli dengan anggota kelasnya itu.

Bel pun berbunyi. Kerumunan yang mengerumuni meja Miku pun bubar. Mereka kembali ke meja masing-masing dan menyiapkan pelajaran yang akan mereka ikuti.

.

.

.

Ketika jam istirahat, Miku menghabiskan bekal makan siangnya sendirian di atap sekolah. Berbagai pikiran tentang Kaito berkecamuk di kepalanya. Kertas kasus Kaito yang diberikan Luka masih di tangannya.

Miku menghela napas berat. Dia mengambil ponselnya, mencolok port earphone-nya pada ponselnya dan mendengarkan lagu.

'Watashi dekinai dekinai dekinai ko...

Dekinai anoko wa mou imasen...

Watashi dekinai dekinai dekinai ko...

Dare mo tasukete kuremasen..'

Lagu itu cukup membuat dadanya terasa sesak. Miku mencopot earphone pada sebelah telinganya sambil mengganti lagunya.

Miku menutup matanya ketika angin sepoi-sepoi musim panas membelai dirinya. Lalu Miku menatap langit biru yang terhampar diatasnya.

Tentang harapannya yang ingin memiliki kekasih itu, entah kenapa menghilang sejak dia bertemu Kaito. Justru sekarang dia benar-benar ingin mengetahui lebih banyak tentang kakak kelasnya yang berambut biru itu. Dia kembali meniup napasnya, mengosongkan pikirannya.

Tiba-tiba dia ingat tentang kenangan masa kecilnya. Miku meremas rambutnya frustasi. Dadanya terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat. Bodohnya dia karena dia mengosongkan pikirannya. Seharusnya dia terus membuat pikirannya dipenuhi oleh segala hal, baik itu hal yang penting maupun hal yang tak penting. Satu per satu bulir air matanya terjatuh. Sakit merasuki dadanya. Memori menyakitkan itu kembali teringat...

"Miku?" panggil seseorang yang membuat gadis berambut tosca itu kaget bukan kepalang.

'Siapa yang berani datang ke tempat ini?' pikirnya. Dia buru-buru menyusut air matanya dan memalingkan wajahnya ke sumber suara. "Kaito? Sedang apa kau disini?"

"Kau sendiri ngapain disini?" Kaito balik bertanya.

"Suka-suka aku dong!" balas Miku cuek. "Kenapa kau kemarin nggak balas e-mail-ku?"

"Hehe, maaf. Kemarin aku lagi kerja sambilan."

Miku mendengus. "Kaito, kudengar, bukan, kata Luka -ketua kedisiplinan- kau itu tukang bikin onar."

"Kau baru tahu?"

"Ya gitu deh.. Aku terlalu cuek sama keadaan sekolah sih.."

"Yah, aku buat onar juga punya alasan, kau tahu?"

Miku menatap Kaito yang sedang duduk di sebelahnya.

"Aku selalu berharap bisa dikeluarkan dari sekolah ini, pergi ke luar kota dan hidup sendiri. Mereka selalu membanding-bandingkan aku dengan Akaito. Aku selalu buat onar dengan kawanan si cabe narsis itu. Itu saja," Kaito menatap Miku. "Kau habis nangis?"

"Bukan. Aku cuma kelilipan." Miku berbohong. "Bohong." timpal Kaito.

"Ya sudah kalau nggak percaya!" Miku mendengus dan memalingkan wajahnya. Kaito tertawa.

Miku mendengar sesuatu. "Sssstt!" Miku meletakkan telunjuknya di depan mulut.

Saat itu juga mereka mendengar isakan tangis. Kaito dan Miku saling memandang satu sama lain. Mata mereka seakan mengisyaratkan 'Apa pikiranmu sama dengan pikiranku?'. Mereka saling mengangguk.

Kaito berjalan mengendap-endap menuju datangnya sumber suara.

Untuk beberapa saat mereka melihat cewek itu bergumam dengan isakan tangisnya.

"Apa dia Tateyama Ayano?" tanya Kaito dengan wajah polosnya. Miku menjitaknnya. "Bukanlah!"

Gadis itu mencengkram pegangan di depannnya.

"Ja-" kalimat Miku terputus begitu sang pemilik isakan tangis terjun bebas dari tempat berpijak ke tanah di bawahnya. "-ngan."

Suara debuman keras pun terdengar.

"Iroha," gumam Kaito.

Miku menelan ludahnya. Memori itu menghampirinya lagi. Tubuhnya bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang. Miku mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk hebat. Tiba-tiba Kaito mendekapnya.

"Kau tak melihat apa-apa. Tenangkan dirimu," suara Kaito seakan menghipnotis Miku. "Tenangkan dirimu, Miku."

Tubuh Miku masih bergetar. Keringat dingin membasahi keningnya. Kaito belum berhasil menenangkan Miku.

Suara hentakan kaki terdengar. Jumlahnya gerombolan.

"Kita sebaiknya sembunyi." bisik Kaito. Miku tak bergeming. Manik mata itu terlihat ketakutan. Kaito pun menggendong Miku dan membawanya bersembunyi di ruang peralatan yang kosong.

.

.

.

"Karena sekolah sedang mengadakan penyidikan atas kematian siswi kita tercinta Nekomura Iroha, maka hari ini kalian akan diliburkan sampai penyidikan selesai. Sebelum itu marilah kita mengheningkan cipta..."

Penjaga piket itu berhenti berbicara pada megaphone-nya.

"Selamat berlibur musim panas~"

Suara penjaga piket sekolah kembali terdengar di megaphone. Suara sorak-sorai siswa-siswi yang senang libur musim panas mereka diperpanjang sampai terdengar di ruang peralatan yang letaknya di atap sekolah.

"Nampaknya diluar sedang hujan," kata Kaito pelan sambil memandang langit-langit transparan di atasnya. Terlihat tetesan air menghantam langit-langit itu. "Dunia nampaknya menunjukkan gejala rusaknya."

Miku tak memperdulikan komentar Kaito tentang keadaan bumi saat ini. Miku masih memeluk lututnya, membenamkan wajahnya, dan menangis tanpa suara. Kaito mendesah putus asa, bingung bagaimana cara menenangkan Miku yang nampaknya ketakutan.

"Miku, kita diperbolehkan pulang. Ayo, kita pulang!" ajak Kaito sambil membelai rambut Miku ragu-ragu. Miku menatap Kaito lalu memeluknya dan menumpahkan air matanya.

"Aku ingin melupakannya! Aku ingin melupakannya! Aaarrgghhh!" erang Miku yang berteriak diredam oleh dada Kaito. Miku mencengkram tangan Kaito. Kaito meringis tapi tak berani protes. Dia peduli kini kemeja putih seragamnya telah sobek dan kuku Miku berhasil melukai dirinya.

"AARRRRGGHHH!" Miku menjerit sambil menghantamkan kepalanya pada dada Kaito. Kaito mengerang kesakitan tertahan. Cengkraman Miku mengendur. Tubuhnya tak bergetar lagi. Dengan ragu, Kaito mengguncang tubuh Miku perlahan. Rupanya Miku pingsan.

.

.

.

Kaito menahan nyeri di tangannya ketika menggendong Miku menuju UKS. Dia tak tahu bagaimana perkembangan suhu tubuh Miku mengingat kedua tangannya tak bisa membedakan mana panas, mana dingin. Terakhir kali dia merasakan suhu tubuh Miku dengan cara menempelkan keningnya dengan kening Miku, suhu tubuh gadis itu cukup panas.

Sesampainya di UKS, dia langsung membaringkan Miku di tempat tidur yang ada dan menyelimutinya. Tak ada orang sama sekali. Kaito buru-buru menempelkan keningnya pada kening Miku.

DUG! Sebuah tas yang lumayan besar mendarat di kepala Kaito.

"JANGAN MENTANG-MENTANG MIKU LAGI SAKIT JADI KAU BISA SEENAKNYA! DASAR IBLIS!" teriak Rin sukses membuat Kaito tuli sesaat.

Rin menarik kursi yang ada di dekat pintu dan membantingkannya ke kepala Kaito (author : Rin galak bener *bulu kuduk berdiri). Tak cukup sekali rupanya, Rin membantingkan kursi itu ke beberapa bagian tubuh Kaito sampai kursi itu hancur. Yah, Kaito bukannya tak ingin melawan tapi Rin sama sekali tak memberikannya waktu untuk melawan.

Rin siap memukul Kaito lagi (kini dengan tangan kosong (untuk catatan, Rin adalah atlet karate)) tapi kini sang mangsa sudah bersembunyi ke kolong ranjang Miku.

"Keluar kau, bajingan!" teriak Rin.

'Keluar kau, bajingan!' kalimat itu bergema di kepala Kaito.

Kepalanya terasa sakit. Tanpa sengaja Kaito mengingat masa lalunya. Dia menggelengkan kepalanya, mengusir memori itu jauh-jauh.

Rin berhasil menemukan tempat persembunyian Kaito. Mata psikopatnya Rin menarik kaki Kaito keluar dan menginjaknya. Kaito meringis. Dia tak terima dihajar terus-terusan oleh seorang siswi yang notabenenya adalah seorang adik kelas, kecil, kurus pula (author : *dilindas roadroller) akhirnya dia membalikkan badannya dan menendang bahu Rin sampai cewek bertubuh mungil itu menghantam dinding dan pingsan.

Kaito mencoba berdiri dengan sebelah kakinya dan akhirnya jatuh karena kaki yang sebelahnya pun rupanya terkilir. Tapi Kaito terus berusaha berdiri sampai akhirnya dia berhasil berjalan dan menggendong Rin ke tempat tidur di sebelah Miku.

.

.

.

Kaito menatap kedua cewek di sebelahnya.

Cewek yang satu punya trauma luar biasa dan yang satunya buas luar biasa.

Kaito sebenarnya ingin mengobati dirinya yang luka parah disana-sini (lengannya yang ditembus kuku-kuku jari Miku, kepalanya yang belum berhenti mengeluarkan darah karena hantaman kursi Rin dan luka-luka lain berkat perbuatan liar Rin) tapi semua lemari obat-obatan dikunci. Matanya mulai terasa berat. Baru saja dia mulai tertidur, suara dering ponselnya membangunkannya.

"Moshimoshi?" sapanya begitu panggilan tersebut diangkatnya.

"Athena telah mati," kata orang disebrang sana.

"Saya tahu, saya ada di tempat kejadian."

"Carikan orang baru, pastikan dia lebih cantik, lebih muda, dan lebih menggairahkan."

"Ehm, sulit menemukan wanita seperti itu," Kaito menjeda kalimatnya. "Tapi saya telah menemukan partner saya."

"Heh, ada juga orang yang mau kenal dengan monster sepertimu."

Kaito melirik Miku. "Aku telah menemukan Putri Andromedaku."

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

Author's Line :

Yatta, chapter ini selesai. Untuk bisa lanjut ke chapter selanjutnya saya mengharapkan 5 reviews (readers : serakah dasar!)

Gomen, gomen, berapa pun review yang datang, saya dengan senang hati akan meng-update chapter demi chapter dalam fic ini.

Spoiler : Masa lalu Kaito terbongkar!

A/N : Tetap review meskipun fanfik ini kelewat nggak jelas. Beri tahu apa kekurangan saya, biar saya bisa memperbaikinya! Serius, flame itu nggak masalah bagi saya. Semakin pedes flame yang terima, saya akan semakin berusaha untuk lebih baik!

Mind to Review?

.

.

.

.

Shintaro Arisa, out~