Brak!
"Jungkook! Aku menemukannya! Astaga Jungkook!"
Yoongi menghampiri Jimin dengan langkah tergopoh. Menarik kasar bahu Jimin, lalu mendekap tubuh yang tengah meringkuk dibawah meja kamar tamu. Mengambil paksa silet dari tangan pemuda itu, lalu menyuruh Jimin membuangnya.
"Aku disini, Kookie, aku disini,"
Tubuh Jungkook gemetar hebat. Yoongi meminta Jimin untuk menidurkan Jungkook di kasur. Setelahnya dia ikut berbaring, sembari membisikkan berbagai kata penenang, memberi tahu bahwa dirinya ada di teritorial Jungkook.
Pundak itu melemah. Pandangan mata penuh ketakutan perlahan hilang, digantikan dengan kekosongan. Setelah memastikan napas Jungkook mulai stabil, Yoongi bangkit untuk mengambil tas nya. Mengeluarkan alkohol dan kapas, dia mulai mengobati luka sayatan di lengan atas Jungkook. Sesekali Jungkook meringis dalam tidurnya, dan Yoongi masih setia melantunkan kata-kata penenang pada Jungkook.
Menyelesaikan urusannya, Yoongi berjalan menghampiri Jimin yang tengah duduk termangu di sofa ruang tamu. Saat menyadari kedatangan Yoongi, Jimin langsung menarik pemuda bersurai mint itu ke pelukannya. Yoongi menangis dalam diam.
"Salahku."
"Iya."
"Ini salahku."
"Iya."
"Aku meninggalkannya."
"Iya."
"Dia sendirian, karena aku."
"Min Yoongi."
Jimin melepaskan pelukannya, menangkup wajah Yoongi. Mengunci pandangan Yoongi. Menyelami netra hitam pekat itu.
"Ya, ini salahmu. Kau meninggalkannya. Membuatnya sendirian," Jimin menghembuskan napas, lelah. "Aku juga salah. Membawamu pergi. Kita berdua sama brengseknya. Memikirkan kebahagiaan kita, tanpa memikirkan hal lain. Melupakan Jungkook yang masih berada di neraka itu."
Perkataan Jimin membuat Yoongi terisak. Berusaha menampikkan tangan Jimin yang berada di kedua pipinya, namun Jimin kembali bersuara. "Tapi kau kembali. Kita kembali. Mengulurkan tangan padanya. Kita akan menyelamatkannya, Hyung, kita akan menyelamatkan Jungkook."
Jimin kembali membawa Yoongi ke dalam pelukannya. Membiarkan Yoongi menangis malam ini.
.
.
.
.
Sekali lagi, Jungkook menendang kerikil yang berada di ujung sepatunya. Bibirnya mencebik sebal. Bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa Yoongi Hyung-nya takluk pada manusia kelebihan hormon macam Jimin. Dua jam lalu, pemuda bantet itu mengiriminya sms, berkata bahwa mereka tidak pulang ke apartemen malam ini—sampai minggu berikutnya.
Suara tawa seorang anak mengagetkan Jungkook. Dia melangkah ke arah semak-semak, dimana suara itu berasal. Menemukan seorang anak laki-laki berkalung 'V' menatapnya dengan berbinar. Ketika tangan Jungkook hendak menggapainya, anak itu berlari menjauh, yang mana berakhir dengan aksi kejar-kejaran antara V dengan Jungkook.
Merasa tungkai kakinya seperti jeli, Jungkook merebahkan tubuhnya pada rerumputan. Anak itu menarik ujung lengan sweater Jungkook, mengajaknya bermain. Karena tidak ada tanggapan, V merangkak ke sebelah Jungkook, lalu merebahkan dirinya disana. Jungkook memiringkan dirinya, tangan Jungkook terulur untuk mengelus rambut cokelat anak itu, yang terasa sangat halus. Pasti dia merupakan anak seorang model, dilihat dari kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang imut, serta wangi stroberi yang menguar dari tubuhnya. Dan jangan lupakan kalung rantai yang membuat V terlihat elegan.
Asyik memandangi V, Jungkook tidak menyadari keberadaan orang yang sekarang tengah merebahkan tubuhnya di sebelah Jungkook. Mengamati setiap gerak yang dilakukannya.
.
.
.
.
Pemuda ber jas ini baru saja menyelesaikan rapat mendadaknya di salah satu café. Menghampiri mobilnya, dan mendapati supirnya tengah berjongkok, mengintip kolong mobil. Membuatnya mengernyit.
"Ada apa?"
Sang supir lantas berdiri. Membungkuk ke arahnya.
"Tuan muda,"
"Mana V?"
Tubuh supir menegang. Perlahan, dia menegakkan tubuhnya, dengan kepala yang masih tertunduk.
"Ma-maafkan saya, Tuan muda. Sa-saya kehilangan dia,"
Rahang Taehyung mengeras. Dia melempar tas dan jas nya ke arah sang supir, lalu berjalan menjauh tanpa mengatakan apapun. Demi Tuhan, bagi Taehyung, V adalah satu-satunya keluarganya. Hanya V tempat Taehyung pulang.
Dalam hatinya, Taehyung bersumpah akan memecat supir itu.
Sejam lamanya Taehyung berkeliling mencari bocah kesayangannya. Taehyung mengacak surai cokelatnya frustasi. Penampilan Taehyung yang 'menggiurkan' membuat beberapa wanita terpaku. Rambutnya acak-acakan, peluh menetes dari dahi hingga lehernya, kulit tan nya yang terlihat mengkilat karena keringat, tubuhnya dibalut kemeja putih yang dilipat hingga siku, celana hitam yang membalut kaki jenjangnya, membuat orang-orang salah mengira Taehyung merupakan model yang tersesat.
Taehyung nyaris putus asa, saat melihat seorang pemuda tengah berlarian dengan seorang bocah yang setengah mati dicarinya. Taehyung hanya diam, mengamati, sampai akhirnya pemuda itu menjatuhkan dirinya pada rerumputan. Bocah itu menarik-narik ujung lengan baju pemuda itu, lalu tidur di sebelahnya.
Langkah Taehyung menghampiri mereka secara tak sadar. Dia ikut menidurkan dirinya di sebelah pemuda itu, mengamati V dan pemuda itu secara bergantian. V bukan anak yang mudah akrab dengan orang lain, selama ini V hanya menurut pada Taehyung. Anak itu lebih memilih ditinggal sendirian di apartemen, daripada dititipkan pada tetangga.
Jadi Taehyung pun tidak terlalu terkejut saat mengetahui V kabur dari supirnya. Hanya saja, dia kecewa pada dirinya sendiri yang meninggalkan V terlalu lama.
Pemuda itu masih tidak menyadari keberadaan Taehyung, dia menutup kedua matanya.
"Anakku."
Jungkook membuka kedua mata bulatnya lebar. Dia mendudukkan dirinya dengan tiba-tiba. Jungkook menatap Taehyung dengan tajam.
"Apa?"
"Dia anakku. Kemari kau bocah."
Taehyung menunjuk ke arah V, sedangkan yang ditunjuk langsung melompat ke pangkuan Taehyung dengan girang. Dia memeluk leher Taehyung dan mengusak kepalanya pada dada Taehyung, membuat Taehyung terkekeh tanpa berusaha menghentikan aksi V. Jungkook terpana dibuatnya.
"Namamu?"
Jungkook kembali ditarik ke realita. "Uh, apa?"
"Siapa namamu?"
"Jungkook. Jeon Jungkook."
"Kim Taehyung. Terima kasih sudah menemukan bocah ini, Jungkook-ssi."
V mengerang protes. Taehyung menoleh. Memperlihatkan senyumannya, yang mana membuat Jungkook ingin tertawa. Senyuman itu begitu dipaksakan, sangat tidak pantas dengan wajah datar Taehyung.
"Sama-sama." Lalu mereka terdiam, tanpa ada niatan untuk pergi. Tangan Taehyung masih setia mengelus V yang berada di pangkuannya. Diam-diam Jungkook melirik, Taehyung tampak begitu sempurna. Dia sangat tampan, apalagi dengan V di pangkuannya, pemandangan ini bagaikan masterpiece yang sayang sekali jika dilewatkan begitu saja.
"Ini yang mereka sebut 'Ahjussi rasa Oppa'," bisik Jungkook pelan. Dia langsung merutuki kebodohannya saat Taehyung memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Aku masih muda, kalau kau mau tau."
Ekspetasi Jungkook mengenai Taehyung yang akan meninggalkannya karena perkataan bodohnya, menghilang entah kemana. Taehyung masih asyik mengelus kepala V, seraya memandang ke depan. Jungkook menggaruk tenguknya, gugup. Tiga tahun dia berusaha ditarik keluar oleh Yoongi, dan dia masih belum terbiasa dengan orang baru.
"Taehyung-ssi, kau tidak pulang?"
Jungkook kembali merutuki mulut bodohnya. Apa-apaan itu, seakan-akan dia mengusir Taehyung.
"Aku masih ada pertemuan setelah ini."
Jungkook mengangguk saja, tak peduli juga. Dan ucapan selanjutnya membuat otak Jungkook kosong seketika.
"Kecuali jika kau mau diantar pulang olehku. Bagaimana?"
.
.
.
.
Dan Jungkook tidak tau bagaimana caranya, hingga kini dia berada di apartemen Taehyung. V langsung masuk ke kamarnya begitu sampai disini tadi. Taehyung tengah bertelepon entah dengan siapa, yang dapat Jungkook tangkap dari pembicaraannya hanya mengenai memecat seseorang. Sepertinya, Taehyung adalah seorang manajer, atau direktur? Yang jelas, dilihat dari apartemen luasnya yang tampak elegan, Taehyung pasti sangat kaya.
Beberapa saat kemudian, Taehyung datang seraya membawa dua cangkir teh hangat. Jungkook meminumnya hingga separuh, lalu meletakkannya di atas meja. Mereka terdiam, hening seperti di taman tadi. Perbedaannya, suasananya lebih canggung.
"Dia tidak mudah akrab dengan orang lain."
"Eh?"
"V."
Sepertinya Jungkook harus terbiasa dengan perkataan Taehyung yang tiba-tiba dan kurang—err, jelas? Membicarakan hal yang tak terduga.
"Begitu?" Jungkook mengusap tenguknya, lagi. "Yah, tadi dia sempat menjauh juga, saat aku datang. Tapi kukejar, jadi, yah, begitu." Persetan dengan Taehyung yang entah mengerti atau tidak, Jungkook gugup setengah mati sekarang.
Taehyung mengangkat sebelah alisnya. Jungkook terlihat sangat gugup—jelas, omongannya berantakan. Tangan itu tak henti-hentinya mengusap tenguknya sendiri, yang malah membuat Taehyung terpaku dengan leher mulus Jungkook. Dia juga menggigit bibir bawahnya, ciri khas orang gugup. Membuat bibir pink itu sedikit memerah dan bengkak. Sexy —
Fuck. Tahan dirimu, Kim Taehyung.
"Jangan gugup begitu. Aku tidak menggigit."
Ucapan itu tidak membuat Jungkook tenang, malah membuatnya makin gugup. Digigitnya bibirnya sendiri lebih dalam, demi mengurangi rasa gugup.
Taehyung beringsut mendekat, lalu berbisik di telinganya.
"Kutarik ucapanku, Jeon. Aku bisa menggigit—"
Taehyung menarik dagu Jungkook kasar, lalu melumat bibir bawah Jungkook dengan tidak sabar.
"—bibir indah ini."
Mata Jungkook membola. Refleks, dia menutup mulutnya dengan punggung tangan, lalu menatap Taehyung dengan pandangan kaget. Sedangkan yang ditatap menjilat bibir bawahnya sendiri sensual.
"Jangan gigit bibirmu sendiri. Nanti terluka. Kalau mau, gigit saja milikku."
Dan Jungkook meluncurkan bogem mentahnya pada Taehyung.
.
.
.
.
"Yoongi Hyung~"
Yoongi merasakan punggungnya bertubrukan dengan dada telanjang Jimin. Pelukan Jimin terasa hangat, hingga Yoongi hampir tenggelam dalam kenyamanan ini. Namun, ego nya terlalu besar. Jimin membuatnya kesal setengah mati.
"Kau masih marah, Hyung?"
Tidak ada jawaban. Jimin membalik tubuh Yoongi, lalu cemberut lucu. "Maaf, Hyung. jangan diamkan aku seperti ini. Aku mengajakmu ke sini bukan untuk berbicara sendiri."
"Kau yang membuatku seperti ini, Jim." Yoongi memutar bola matanya. "Bisa-bisanya kau menipuku, membuatku meninggalkan Jungkook sendirian di apartemen."
"Dia sudah besar, Hyung. Dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Dia masih membutuhkanku, Jim. Bagaimana jika dia melakukan itu lagi? Bagaimana jika aku terlambat lagi? Bagaimana jika dia kembali—"
Jimin menempelkan bibirnya pada bibir Yoongi. Mengecupnya penuh kelembutan, menyesap rasa manis bibir Yoongi dalam hingga membuat Yoongi mabuk karenanya. Saat Yoongi mengalungkan lengannya pada leher Jimin, Jimin menghentikan ciuman itu.
"Sayang, dengar," Jimin menyatukan kening mereka. Mengunci tatapan Yoongi. "Jungkook sudah berhasil kau tarik, dia berhasil menggapai tanganmu, dia sudah keluar dari sana. Kau berhasil," Jimin mengelus pipi Yoongi dengan tangan kanannya, membuat sang empunya memejamkan mata. "Kau berhasil menyelamatkannya, sayang. Dan sekarang, tugas kita adalah percaya padanya. Percaya pada Jungkook. Memastikan bahwa dia bisa berdiri dengan kakinya sendiri."
Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata kanan Yoongi, yang langsung Jimin usap dengan halus. "Jangan menangis,"
"Jimin..." Yoongi memeluk Jimin erat. Yoongi ingin sekali menangis, namun dia telah berjanji, mulai dari hari dimana pertama kalinya Jungkook terapi, dia takkan menangis lagi. Dia akan berusaha kuat, demi Jungkook, yang masih membutuhkannya sebagai rumah. Tempat untuk pulang, sampai nanti akhirnya Jungkook menemukan seseorang yang pantas untuknya. Rumah barunya.
"Hyung, aku membawamu ke sini juga bukan untuk menceramahimu."
Yoongi memukul dada Jimin pelan. Terkekeh karena lawakan garing Jimin. "Park sialan. Aku membencimu."
"Aku juga mencintaimu, Hyung."
.
.
.
.
Sudah tiga hari ini, Jungkook tidak bisa tidur dengan tenang. Bayang-bayang dirinya tengah memukul Taehyung, lalu langsung pergi dari apartemennya terus menghantui pikiran Jungkook. Rasa bersalah bersarang di hatinya. Jungkook ingin menemui Taehyung. Menyampaikan permintaan maaf atas perilaku kurang ajarnya.
Sebenarnya, Jungkook berusaha berpikir bahwa tindakannya itu benar. Taehyung merebut ciuman pertamanya dengan kurang ajar, mengatakan hal yang kurang ajar, maka harus dibalas dengan kurang ajar juga. Tapi, itu juga pertama kalinya Jungkook memukul seseorang. Jungkook tidak bisa fokus dalam melakukan apapun, pikirannya dipenuhi oleh Taehyung.
Ingin rasanya Jungkook menelepon Yoongi, tapi dia sudah terlalu banyak menyusahkan pemuda pucat itu. Biarlah masalah yang ini Jungkook urus sendiri. Jungkook yakin, dia dapat menyelesaikan masalah ini sedirian.
Sampai dia melihat sebuah majalah di rak supermarket.
Taehyung menjadi foto sampul majalah tersebut.
Kim Taehyung, CEO Kim Ent. Pembisnis termuda dengan kecerdasan luar biasa.
Jungkook mengambil majalah itu dengan kasar, lalu membantingnya ke troli. Membayar belanjaannya di kasir, lalu pulang dengan berjalan kaki. Dia terus menghentakkan kakinya saat berjalan.
Sampai di apartemen, Jungkook mengubek-ubek plastik belanjaan, mengambil majalah yang dibelinya, lalu merobek bungkus plastiknya dengan tidak sabar. Dia mulai membaca halaman per halaman, dan akhirnya menemukan artikel yang memuat Taehyung. Ada lima lembar yang berisi foto full body Taehyung, dan dua lembar yang berisi tentang karir Taehyung.
Setelah membaca dengan seksama, Jungkook membanting majalah tersebut. Menutup kedua matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Dilakukannya sampai beberapa kali, sambil merapal 'Calm down, Jungkook,' dalam hatinya.
"PERSETAN! BAGAIMANA AKU BISA TENANG, BODOH! DIA ORANG TERKENAL, SIALAN!" teriak Jungkook frustasi. Dia mengacak surai kelamnya, lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Bagaimana jika dia menuntutku? Tapi, aku bisa balik menuntutnya karena sudah menciumku. Ah, tapi dia orang kaya, pasti dia bisa menyogok hakim."
"AAAAARRRGGHHHH! KIM TAEHYUNG BRENGSEK!"
Di tengah depresinya, Hp Jungkook bergetar. Dengan malas dia mengangkat telepon dari Park Jimin.
"Yo, Kook! Bagaimana keadaanmu?"
"Aku di ambang kematian, Hyung."
"Ah-eh,apa? Siapa yang mati?"
"Aku."
"Jangan bercanda, Kook. Kau—"
"Ada apa, Kookie?"
Jungkook meringis. Itu suara Yoongi.
"Tidak ada apa-apa, Hyung."
"Tadi Jimin bilang mati. Ada apa? Kenapa suaramu serak? Kau baik-baik saja, kan?"
"Aku baik. Tadi aku karaoke seharian, Hyung. Hyung kapan pulang? Tega sekali kalian meninggalkanku disini," Jungkook berusaha mengalihkan pembicaraan. Suara Yoongi berubah lesu di seberang sana.
"Maafkan aku, Kookie. Apa kau benar-benar kesepian? Aku akan pulang sekarang juga kalau kau mau," terdengar suara erangan protes dari Jimin, membuat Jungkook terkekeh.
"Tidak apa-apa, Hyung. Kau di sana saja, aku tidak apa. Masih ada empat hari lagi. Aku tau kalian butuh waktu berdua."
"Aish, bocah. Jangan lupa makan. Kalau ada sesuatu, telepon aku atau Jimin. Setidaknya kabari aku sehari sekali, aku khawatir, bocah."
Jungkook tertawa. Jika Yoongi memanggilnya 'bocah', itu berarti pemuda pucat itu tengah menahan malu. Tawa Jimin pun terdengar.
"Iya, iya, Hyung. Bocah ini mengerti. Sudah dulu ya," Jungkook memutuskan sambungan. Setelah mendengar suara Yoongi, hatinya tenang kembali. Untuk saat ini, lupakan dulu soal Taehyung. Perutnya sudah berbunyi, menandakan bahwa dirinya harus makan sekarang juga.
.
.
.
.
Taehyung mendecih melihat Namjoon masih setia menertawai dirinya. Padahal ini sudah berjalan tiga hari, namun anak itu masih saja tertawa kala melihat lebam ungu di dagu Taehyung.
"Oh Tuhan, Tae, kenapa ini sangat lucu?"
"Oh Tuhan, Hyung, hanya kau yang menganggapnya lucu."
Dengan susah payah, akhirnya Namjoon berhasil menghentikan tawanya, meski dirinya masih terkikik kecil. "Aku jadi ingin bertemu dengannya. Orang yang sudah berhasil melukis wajah seorang Kim Taehyung dengan warna ungu,"
"Aku bahkan tak tau dia tinggal dimana, Hyung." Taehyung mengusap kasar wajahnya. Sebenarnya dia merasa sedikit kosong saat Jungkook pergi. Bahkan ketika melihat V, Taehyung selalu teringat Jungkook. Bagaimana dia mengusap tenguk dan menggigit bibirnya sendiri saat gugup, bagaimana caranya melirik Taehyung malu-malu, dan bahkan Taehyung masih ingat rasa bibir Jungkook—
Astaga.
"Cari data tentang Jeon Jungkook." Titah Taehyung pada sekretarisnya lalu menutup telepon setelahnya. Namjoon mengangkat alis mendengarnya.
"Namanya Jeon Jungkook?"
"Hyung, kalau kau tidak ada urusan lagi selain menertawai daguku, lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak bisa konsentrasi."
"Kau tidak bisa konsentrasi karena memikirkan orang itu, Tae. Siapa namanya tadi? Jeon Jungkook?"
"Hyung, aku serius. Pergi sebelum aku yang menyeretmu keluar."
"Adik kurang ajar." Namjoon bangkit. "Aku ada di ruanganku, kalau kau mau curhat."
Pintu ditutup. Taehyung terfokus pada laptop dihadapannya. Lima belas menit kemudian, telepon kantornya berdering.
"Kirim ke e-mail ku."
Telepon ditutup. Taehyung langsung membuka e-mail nya ketika mendapat notifikasi. Senyuman kepuasan tercetak di bibirnya.
"Jeon Jungkook."
.
.
.
.
Menganga lebar.
Itulah yang dilakukan Jungkook saat mendapati Taehyung tengah berdiri di luar apartemennya jam delapan malam seraya menenteng plastik McDonald.
"Ta-Taehyung-ssi," Jungkook mengusap tenguknya. Siapapun, kubur Jungkook sekarang juga. Tenggelamkan Jungkook di samudera lepas. Demi Tuhan, Jungkook sangat malu. Matanya melirik dagu Taehyung, lebam keunguan masih tercetak jelas disana.
"Kau mau kita makan disini saja?" Tanya Taehyung seraya mengangkat plastik itu ke hadapan Jungkook. Jungkook gelagapan, mengambil plastik itu, lalu berlari ke dapur.
Taehyung mengernyit. Dia melangkah masuk, lalu menutup pintu. Tertegun sebentar, seluruh dinding apartemen dihiasi foto Jungkook bersama dua orang laki-laki lain. Yang satu bermata sayu, yang satunya lagi bermata bulan sabit kala tersenyum. Taehyung mengambil salah satu figura, yang menampilkan foto Jungkook dengan mulut belepotan karena es krim. Taehyung tersenyum kecil.
"Taehyung-ssi,"
Taehyung menoleh. Jungkook tengah menaruh piring berisi ayam goreng dan kentang di meja ruang TV. Dia berjalan mendekati Jungkook, lalu duduk di sofa. Jungkook menuang Coca cola ke dalam gelas di hadapan Taehyung.
"Taehyung-ssi, dari mana kau tau apartemenku?"
Taehyung mengambil ayam goreng. Jungkook memperhatikan bagaimana cara Taehyung menggigitnya, menjilat bibir bawahnya saat ada remah-remah ayam yang tersisa, membuat Jungkook tanpa sadar membuka bibirnya sendiri.
"Itu tidak penting, Jungkook-ssi. Omong-omong, aku sedikit kesulitan membuka mulutku sekarang."
Jungkook tau arah pembicaraan ini. Dia menunduk dalam. Takut untuk sekedar bertatap muka dengan Taehyung.
"Ma-maafkan aku, Taehyung-ssi. Aku-aku tidak—itu, itu refleks,"
Taehyung menyeringai. Dia meminum cola nya.Diangkatnya dagu Jungkook dengan jari telunjuk. Wajah Jungkook memerah menahan malu. Taehyung mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya pada bibir Jungkook. Jungkook mengerang tertahan, saat Taehyung melumat bibir bawah dan atasnya bergantian. Tangan Jungkook merambat ke kepala Taehyung, menarik pelan rambutnya. Taehyung menelusupkan lidahnya diantara kedua belah bibir Jungkook, membuat Jungkook refleks membuka mulutnya.
Taehyung membungkuk sedikit, menarik tenguk Jungkook agar sedikit mendongak, lalu meniupkan cola yang diminumnya tadi ke mulut Jungkook. Jungkook berdesis, ketika merasakan minuman bersoda itu mengalir di tenggorokannya. Lidah Taehyung membelit lidah Jungkook, membuat Jungkook tanpa sadar mengalungkan lengannya pada leher Taehyung.
"Ahn—"
Jungkook kembali menarik rambut Taehyung pelan saat pemuda itu menyesap tulang belikatnya dengan kuat. Taehyung menjilat bekas gigitannya, lalu kembali menyesap bagian lain dari leher Jungkook. Jungkook terus mendesah, dia tidak pernah merasa senikmat ini. Tangan Taehyung menelusup dibalik sweater Jungkook, mengelus pelan kulit halus itu. Membuat akal sehat Jungkook kembali. Didorongnya tubuh Taehyung hingga terjatuh dari sofa.
"Aw! Shit..."
Jungkook menutup mulutnya, terkejut. "A-ah, Taehyung-ssi, maafkan aku, oh astaga maafkan aku," Jungkook membantu Taehyung kembali duduk di sofa.
"Aku akan mengambil obat untuk dagumu, Taehyung-ssi,"
Taehyung menarik lengan Jungkook yang hendak pergi. Membuat Jungkook terjatuh ke pangkuannya. Taehyung menghirup tenguk Jungkook dalam-dalam, aroma stroberi menguar dari sana, mengingatkannya pada V.
Jungkook merasa geli pada lehernya. "Taehyung-ssi, aku ingin mengambil—"
"Sssstt..."
Taehyung mengeratkan pelukannya pada perut Jungkook. Berbisik, "Kalau aku berkata bahwa aku merindukanmu, apa kau percaya?" lalu dengan kurang ajarnya, Taehyung menjilat belakang telinga Jungkook. Membuat Jungkook menggelinjang geli.
"Jadilah milikku, Jeon Jungkook..."
Tubuh Jungkook menegang. Suara Taehyung yang terdengar jauh lebih berat membuatnya meremang. Tubuhnya melemas seiring lidah Taehyung yang menurun ke pundaknya.
"Ta—Tae—hyung-ssi—"
"Hyung. Panggil aku begitu."
"H—Hyung," Jungkook kembali menggigit bibirnya sendiri. Dia merasa tidak nyaman dengan posisi ini, namun lidah Taehyung yang menari di lehernya membuatnya tidak memiliki tenaga untuk melawan.
"Kumohon—hentikan," ucapan Jungkook lebih terdengar seperti rengekan. Tangannya memukul pelan tangan Taehyung yang mengurungnya. Taehyung memutuskan untuk mengakhiri aktivitasnya dengan menggigit pundak Jungkook, meninggalkan warna merah keunguan disana.
"Ini," Taehyung mengusap tanda keunguan itu. "sebagai balasan pukulanmu padaku. Apa kau marah padaku?"
Jungkook menggeleng lemah, hampir terjatuh kala Taehyung melepas pelukannya. Dia berjalan sempoyongan ke kamar Yoongi, mengambil alkohol dan kapas. Dia berhenti sebentar di depan cermin, melihat lehernya yang dipenuhi bercak merah, dan pundaknya yang memiliki tanda keunguan. Jungkook meringis, warnanya ungu, harusnya dia kesakitan saat digigit tadi. Tapi, kenapa rasanya malah nikmat?
.
.
.
.
TBC
.
.
...
Apa ini. Kutang (re:utang) masih numpuk dah apdet lagi. Pendek kok, dua-tiga chap selesai.
Ini sebagai permintaan maafku tentang kemarin. Kemarin, aku sempet update chap 2 Jeon Jungkook, tapi kuhapus lagi karena alurnya sangat-sangat-sangat cepet.
Buat yang udah baca chap 2 kemarin, biarkan itu jadi rahasia antara aku dan kamu ya /kedipkedipmanja/
Mine(?) nanti sore di post.
Hope you enjoy this story! Cya!
Kiika246.
