Disclaimer.
Masashi Kishimoto
Summary:
Naruto tahu, bahwa sakit hati mendatangkan trauma yang mendalam di benaknya. Kata cinta hanya kalimat yang sudah mati dan pergi begitu saja mencampakannya. Hingga ia sadar bahwa rasa itu kembali datang dengan sendirinya saat rasa keberanian muncul untuk mengubah semua.
(Bad summary)
Rate: T, T+
Genre: Comedy, Romance, School Life, Slice of Life and many more.
Warn: OOC, Typo, EYD ancur, Bahasa baku campur bahasa jaksel(?) dan bahasa sehari-hari/tidak baku.
Theme song: スキキライ (Suki Kirai) - Kagamine Rin & Kagamine Len
Bab 1 - Chapter 1: Kok ketemu terus?
Kriiiiiiing!
Jam beker pada meja buffet ranjang milik seseorang yang tidur dengan posisi terbalik dengan kaki diatas pada pinggir kasur terus berbunyi cukup kencang hingga hampir terdengar keluar dari kamar tidur. Jarum pendek yang menunjukan angka 7 serta jarum panjang pada angka 2, bahwa jam beker itu sudah berbunyi selama hampir 10 menit lebih.
Harusnya, bagi kebanyakan orang, suara nyaring jam beker mampu membuat telinga cukup pengang sehingga akan bangun untuk mematikannya dan tersadar dari tidur.
Tapi untuk orang ini beda, karena telinga babonnya cukup kebal dengan suara jam beker yang sepertinya hanya bisa pasrah jika ia benar-benar hidup melihat pemiliknya tidur terus seperti orang meninggal. Jika suara jam beker tidak mempan? Coba tunggu saja, kau akan lihat sebuah pengeksekusian..
"NARUTOOOOOOO!"
GEBRAAAK!
"ASTAGA, KUDA TERBANG!"
BRUKK!
Daun pintu kamar terbuka dengan kasar hingga engsel yang menyanggahnya hampir terlepas berkat tendangan luar biasa seorang wanita berambut merah dengan celemek kuning di badannya datang dengan spatula ditangan. Tampangnya menunjukan ekspresi 'ibu-ibu emosi mode on' karena menyaksikan anak semata wayangnya yang random itu tidak kunjung bangun untuk sekolah.
"HOI, SAMPAI KAPAN KAU MAU HIBERNASI HAH?"
Naruto latah mendadak ketika prosesi sakral rutinan dari Ibunya cukup membuat pertahanan telinganya jebol. Posisinya yang ada di pinggir kasur instan pindah ke lantai kamar karena tersungkur dan membut badannya membentur lantai cukup keras.
"Haduh.. Iya ini udah bangun kok.." Naruto bangun sambil memegang punggungnya yang agak sakit. Kemudian ia duduk sambil sesekali matanya kedap kedip berusaha mengumpulkan nyawa.
Namun tampaknya Ibu Naruto tidak menurunkan level kemarahannya karena Naruto masih santai di kasur. Melihat itu, tanpa aba-aba dan semprotan lagi ia mempersiapkan spatula yang akan mendarat diwajah Naruto.
BLETAK!
"WADAW!"
"CEPAT BERSIAP-SIAP SANA. SUDAH JAM SETENGAH 8 PAGI!"
Mendadak ngantuk Naruto hilang dan matanya terbuka lebar.
"HAH? Waduh gusti!"
Secara cepat Naruto ngibrit ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya sehabis tidur yang nampaknya akan dilakukan secepat cahaya untuk memangkas waktu karena kelalaian yang selalu diulang saat telat bangun tidur.
Kushina hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. Insiatif menyebut waktu jam yang sengaja diubahnya jauh dari jam beker setidaknya cukup menghemat semprotannya yang ketiga.
"Setelah berseragam jangan lupa sarapan dulu! Nanti Ayahmu akan mengantar ke sekolah!".
"Iyaaaaa!" Balas Naruto dari kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan badannya, Naruto bergegas memakai seragamnya. Tapi memang tipikal dirinya untuk memakai seragamnya dengan tidak cukup rapih dan hanya menyisir rambut seadanya sambil berjalan mengambil tas dekat meja belajar lalu keluar dari kamar tidurnya menuju dapur yang ada dibawah.
Kakinya melangkahi anak tangga dengan cepat kemudian berlari menuju dapur sambil memakai tas selempangnya ke pundak. Hanya beberapa detik hingga ada Ayahnya yang sedang menyesap kopi di cangkir dan Ibunya yang sedang mengambil beberapa roti dari panggangan roti.
"Ayo duduk dan sarapan—"
Tanpa dosa dan seenak jidat, Naruto mengambil roti dari piring yang sedang Kushina pegang sebanyak 2 buah dan malah ngibrit lagi.
"NARUTO!"
"Aku berangkat dulu! Dah Kaa-san, Tou-san!"
Setelah bunyi pintu utama rumah tertutup, dapur keluarga Namikaze mendadak hening karena gerakan kilat Naruto yang hampir sulit dilihat(?) oleh mata biasa.
"Minato?"
"Iya?" Ayah Naruto yang sangat tentram dengan kopinya menoleh ketika Kushina sang istri memanggil.
"Berapa menit ketika aku naik ke kamar Naruto hingga Naruto turun dan keluar beberapa saat tadi?"
"Hmm.."
Minato memutar lengan kanan dan menatap arloji miliknya dengan sedikit menajamkan mata. Tapi yang sangat disayangkan adalah ketika membalik lengannya, cangkir kopi yang digenggamnya ikut miring dan menumpahkan isi cangkirnya ke celana Minato, membuat kepala keluarga Namikaze itu kelabakan sambil ber'wanjay' ria.
"—njay,- Maksudku.. 8 menit, kurasa." Balas Minato sambil mengibaskan selembar roti pada area yang terkena kopi beserta ampas-ampasnya.
"Mungkin jika anak pirang kita itu telat bangun pagi lagi setidaknya ada cara yang se-efisien ini." Ucap Kushina menaruh tangannya di dagu.
"Bahkan dia juga lupa saat aku bilang kau akan mengantarnya ke sekolah. Dasar anak itu memang."
"Padahal aku kan juga pirang.."
.
Krieeet! Splash!
Sebuah bus baru saja tiba dan berhenti pada halte bus, tampak disana ada beberapa pelajar yang rata-rata adalah murid SMA Konoha Highschool dengan seragam khasnya. Untuk para siswa menggunakan kemeja putih, dasi panjang bercorak garis-garis serta blazer biru donker dan celana panjang berwarna abu-abu; sementara untuk para siswi hampir sama dengan siswa laki-laki pada bagian atasan, hanya berbeda dasi pendek corak garis-garis dan rok pendek selutut juga kaus kaki hitam panjang dibawah lutut.
Tidak terkecuali untuk Naruto. Dengan wajah cukup masam diwajahnya ia turun dari bus berbarengan dengan pelajar lainnya, tapi dari gerakan tangan dan sudut pandang mata birunya, kegiatan menggunakan dasi beberapa menit sebelumnya secara rapih belum bisa dikatakan 'jadi' karena memang sebenarnya Naruto tidak bisa mengikat dasi dengan benar.
"Ini begini.. Terus kesini, lalu masukin dan jadi—" Simpulan ikat dasi yang baru dilakukannya malah menjadi simpul ikat mati.
"—hancur." Sambung Naruto pada ucapannya yang terpotong sambil menatap karya simpul dari tangan ajaibnya.
Naruto membiarkan dasinya seperti itu dan melangkahkan kakinya. "Seperti bocah TK saja aku. Padahal kemarin aku bisa mengikatnya sesuai video panduan ikat dasi dari internet."
"Oi, Narutoo!"
Badannya tersentak sedikit ketika telinganya mendengar seseorang yang memanggil namanya. Dari nada dan gaya bicaranya sudah dapat Naruto tebak orang yang memanggilnya adalah orang yang cukup berisik dikelas selain dirinya dan merupakan maniak hewan berkutu dan suka menggonggong.
"Ngga denger lagi jalan." Jawab Naruto judes sambil tetap fokus pada jalan.
Bletak!
"Duh!"
"Ayolah, kau sudah menggunakan alasan itu selama 12 abad lamanya kan! Gunakan yang baru dong sesekali!" Setelah menjitak Naruto, orang itu merangkulkan tangan pada pundak Naruto.
"Untukmu aku tidak perlu membuat alasan baru, hanya buang-buang waktu saja, Kiba." Naruto menatapnya dengan mata sinis yang terlihat jenaka.
"Oh, kenapa kau menjadi dingin sekali kepadaku sekarang, hm?"
Kiba Inuzuka, atau teman-temannya memanggilnya Kiba, mengencangkan rangkulannya pada Naruto hingga sang pemilik bahu yang jadi sandaran tangannya sedikit kesakitan.
"Jangan bilang Sasuke dari kelas sebelah yang mendoktrinmu menjadi es batu sepertinya!"
"Apaan sih? Lepasin tanganmu itu!" Secara paksa Naruto melepaskan rangkulan Kiba dengan nada marah.
"Ei ei, santai mas! Canda doang kok, hehe." Kiba tersenyum iseng sambil memamerkan giginya yang bertaring.
"Heran aku, dari awal aku bertemu denganmu sampai kelas 2 sekarang, kadang-kadang kau muncul tiba-tiba seperti dedemit."
Naruto merapihkan blazernya yang agak terlipat dan naik sambil mengobrol dengan Kiba, teman sekelasnya dari kelas 1 SMA yang juga tergabung dalam geng kecil (lebih tepatnya berkumpul secara ramai-ramai terus, jadinya terlihat seperti geng) bersama Naruto dan lainnya.
"Masa sih?" Tanya kiba.
Naruto mengangguk. "Iya. Atau jangan-jangan kau stalker ya?"
Alis Kiba terangkat dan memasang wajah WTF kepada Naruto. "Mending aku stalker cewek cantik dari sekolah kita daripada melihat 'batang'mu."
"Sial, aku juga ogah aset berhargaku dilihat manusia pemuja anjing sepertimu!"
"Kenapa memang? Apa yang kau sombongkan dari hutan amazon disekitar 'pedang'mu, hah?"
Kok mendadak jadi rating M ya?
"Setidaknya dari rimbunnya amazon ada sebuah petarung tangguh yang kekar! Tidak sepertimu yang tandus namun setebal batang korek api kayu!"
Spontan orang-orang sekitar menutup telinganya sebelum pendengaran mereka rusak dan tidak berfungsi lagi karena obrolan layaknya om-om mereka berdua ini terlalu frontal bagi mereka yang cukup awam.
"Tapi itu kan.."
"Itu apa?" Tanya Naruto sambil sedikit memuncratkan kuah.
"Itu benar."
Supir bus yang dari kejauhan sedang ingin baru mau tancap gas malah mendadak jatuh konyol dari kursi supir, entah bagaimana dari jarak yang cukup jauh darinya bisa mendengar ucapan Kiba. Tapi yang pasti supir itu kini jadi sweatdrop.
"Btw, dasimu aneh tuh bentuknya. Kaya iketan setan." Kiba menujuk dasi Naruto.
"Kenapa? Oh ini." Naruto melepaskan ikatan mati pada dasinya hingga membuat dasi itu tidak tersimpul lagi.
"Seperti biasa. Aku lupa lagi cara mengikatnya."
"Naruto, masa kau kalah sama anak SD jaman sekarang yang lebih canggih daripada kau ini?" Tanya Kiba sedikit memancing.
"Provokasimu kurang membuatku terpelatuk lagi kali ini, maaf saja."
Naruto mencoba mengikat dasinya sendiri dengan Kiba sebagai penonton. Pertama Naruto menyilangkan bagian panjang dan pendek dasinya, kemudian ia terdiam sejenak karena step selanjutnya sedang dicoba proses otaknya.
Klop!
"..Eh?"
Naruto benar-benar kaget ketika sebuah tangan memegang dasinya dan membuatnya melepaskan ikatan dasi aneh dari karya tangan Naruto.
Kiba ikutan kaget karena ada seseorang gadis yang sepertinya adalah siswi dari sekolah mereka, dimana kini berada persis sangat dekat didepan Naruto. Karena kaget, mereka ikut diam dengan Naruto karena fokus pada dasi Naruto.
"I-ikatnya seperti ini."
Tinggi siswi itu sedikit lebih pendek dari Naruto dan membuatnya sedikit menjinjit. Ucapan lembut dan terkesan grogi itu menjadi start awal ia mencoba memberitahu atau sedang mengajari Naruto (mungkin?) bagaimana mengikat dasi secara rapih.
"B-bagian panjangnya diikat seperti ini. K-k-kemudian dilingkarkan pada b-bagian pendeknya.."
Siswi yang memiliki rambut berwarna biru indigo itu menjelaskanya dengan sedikit gagap dan guliran mata lavender itu menunjukan tatapan polos hingga Naruto tidak bisa berucap sepatah kata untuk berbicara.
Posisi badannya yang agak tegang kini rileks dan menikmati apa yang sedang dilakukan siswi tersebut dengan ikatan dasinya.
"K-kemudian masukan bagian panjangnya kebagian ini, t-tarik sedikit hingga pas pada bagian kerah." Tangan yang nampak cukup kecil bagi Naruto kini hampir menyelesaikan kegiatannya.
Bagian dasi yang panjang sedikit ditarik hingga ikatan segitiga dasi terbentuk rapih hingga pas berada dibawah kerah seragam.
"S-selesai.."
Ketika tugasnya selesai, siswi itu tersenyum kecil lalu menundukan wajahnya malu.
Naruto masih diam menatapnya dan telinganya tidak mendengar ketika gadis itu mengucapkan selesai.
"P-permisi!"
Siswi itu menundukan badannya atau ber-ojigi didepan Naruto dan kedua temannya secara cepat lalu pergi dengan berlari menjauh dari mereka. Keheningan masih hadir diantara mereka hingga Kiba memecahnya dengan bertanya.
"Itu.. Tadi apa ya?"
"Kurasa aku kenal dengan siswi tadi.." Ikut Kiba menimpali.
Naruto sebenarnya sudah sadar dari acara diamnya, tapi ia terus menatap siswi tadi hingga tak terlihat lagi oleh pandangannya. Kemudian ia menatap dasi miliknya yang kini sudah lebih rapih dan tersimpul sempurna.
"Rambut biru..."
Ucap Naruto dengan latar belakang para pelajar dari Konoha Highschool yang kini berjalan mendahuluinya yang tampak masih terkejut.
.
.
"Ayah Takeda Shingen sebenarnya menginginkan anak keduanya untuk menggantikan posisinya, tetapi akhirnya ayahnya dipaksa mengundurkan diri oleh—"
Mata pelajaran untuk hari ini pada kelas 2-A nampaknya cukup membuat sebagian dari mereka terlihat bosan dan mengantuk, bagaimana tidak? Mata pelajaran Sejarah Jepang dengan guru nyentrik yang terkenal bagi kelas 2 yaitu Anko Mitarashi, selalu diisi oleh ocehan guru murda tersebut yang lebih mirip seperti mendongeng anak kecil.
"—dan diasingkan ke Provinsi Suruga dibawah pengawasan Klan Imagawa."
Namun dari beberapa ada yang masih menyimak Anko-sensei dan mengikuti teks paragraf bacaan pada buku yang sedang dibacanya, atau setidaknya melamun menjadi hal yang cukup sibuk dan asyik daripada mendengarkan pelajaran Sejarah.
Ketika tanda baca titik ditemukan Anko-sensei, matanya bergulir menatap para murid dikelas secara bergantian.
"Nara-kun."
"Ha'i, Sensei."
Salah satu murid yang memiliki nama lengkap Shikamaru Nara dengan ciri khas rambut dikuncir nanas menyahut ketika Anko-sensei memangilnya.
"Tolong lanjutkan paragraf selanjutnya setelah saya."
"Mendoku—Maksud saya.. Baik Sensei." Sebenarnya murid itu ingin mengucapkan kata-kata yang menjadi ciri khasnya, tapi tatapan tajam Anko-sensei menyuruhnya untuk patuh dan jangan aneh-aneh.
"..Ketika Takeda Shingen berumur 49 tahun, dia hanyalah satu-satunya Daimyo yang sanggup melawan kekuatan militer pasukan Oda Nobunaga, dia melawan pasukan Tokugawa Ieyashu di tahun 1572—"
Namun demikian, fokus matanya menatap objek yang digenggamnya tidak dapat dialihkan oleh perbincangan singkat Anko-sensei dengan murid lain.
Mungkin mendengar kata ini kau akan bosan, tapi memang dasi yang tersimpul rapih pada kerah seragamnya terus ia tatap dengan pandangan serius, mencari sesuatu yang dapat membuatnya bertanya-tanya atas kejadian mengejutkan paginya.
Dalam benak pikirannya masih tergambarkan bagaimana salah satu siswi yang satu sekolah namun tidak dikenalnya mempraktekkan cara memakai dasi dan mengikatnya dengan rapih. Wajah yang cukup familiar namun tidak dapat ia ingat, ketika jari-jari tangan kecil yang tidak lebih besar dari Naruto itu melakukan pekerjaan itu dengan terkesan lentik.
'Maaf.. Aku tidak bisa. Aku menyukai orang lain.'
'Aku mohon. Setelah mendengar jawaban ini, jangan kembali mengutarakan perasanmu padaku.'
Kalimat yang paling ia benci saat gadis itu mengucapkannya secara langsung pada Naruto. Perasaan hancur, remuk dan lainnya yang tidak bisa ditangkap akal sehatnya seperti sebuah kejadian yang membekas dalam relung hati Naruto.
"Sebenarnya aku masih memikirkan itu yang selalu menghantuiku.. Lalu, kejadian tadi pagi juga.."
"Entah apa yang sedang aku bingungkan saat ini."
Selama pelajaran Sejarah dari awal sampai sekarang, Naruto beradu argumen pada dirinya sendiri, memikirkan kejadian tahun lalu yang seperti mimpi belaka hingga kejadian hari ini sebagaimana sedikit 'menyentil' sebuah rasa yang hampir ia lupakan sampai saat ini.
"Aku belum siap."
Waktu terus berjalan selama Anko-sensei mengajar dan memberikan soal essay untuk kelas setelah ia memberi materi Sejarah yang cukup panjang. Para murid yang tidur, melamun dan lainnya juga ikut mengerjakan meski mereka tidak mendengarkan materi secara detail.
Keadaan hening kelas yang fokus pada bukunya kini terpecah ketika bel istirahat berbunyi beberapa kali. Ada yang berhenti menulis dan tetap fokus dengan menulis isi jawaban pada nomor-nomor soal essay.
"Oke~ Karena bel istirahat sudah berbunyi, kita akhiri mata pelajaran Sejarah hari ini. Jangan lupa dikumpulkan esok lusa!" Ucap Anko-sensei dengan mengedipkan matanya sambil tersenyum.
"Jika ada yang tidak mengumpulkan, akan saya hukum dengan memberi makan ular peliharaan saya dengan mulut!"
"H-ha'i Sensei."
Jangan terkejut, sudah biasa kok ancaman tersebut. Bahkan ancaman hukuman yang paling parah adalah ketika sang penerima hukuman hampir diberi kecupan manis oleh ular milik Anko-sensei karena sengaja tidak mengerjakan tugas.
"Jaa! Sampai jumpa lusa nanti!"
Sepeninggal guru killer yang baik tersebut membuat kelas menjadi ramai oleh murid yang ngerumpi pada temannya masing-masing.
"Hoaaam.. Aku selalu benci pelajaran sejarah."
Kiba mendatangi ke bangku Naruto yang pemiliknya masih diam duduk dengan nyaman.
"Ey!"
"Y-ya?" Naruto menengok kesamping karena Kiba menepuk bahunya.
"Tumben aku melihatmu melamun seperti ini. Biasanya kau rame ketika aku menyapamu."
"Biasa aja kok." Balas Naruto singkat sambil berdiri dari bangkunya.
Alis Kiba sedikit terangkat ketika Naruto jadi lebih cuek hari ini. "Apa karena cewek pagi tadi yang pakein dan iket dasimu secara tiba-tiba?"
Gubrakk!
Spontan Naruto yang ingin menyandarkan tangannya pada meja malah terjengkang karena pertanyaan Kiba. Buru-buru ia bangun dan menyusun meja miliknya kembali sambil memasang wajah biasa saja tapi berkeringat. "A-apa maksudmu?"
"Hoooh, aku paham." Kiba tersenyum iseng.
"Paham apa?" Balas Naruto dengan meninggikan nada bicaranya.
Kiba tidak menjawabnya namun mendekatkan tangannya kemulutnya.
"Oi semuanya, Naruto disukain cewek kelas lain!"
Reaksi penghuni kelas beragam, para siswi ada yang nampak melihatnya saja dan masa bodo setelahnya, hingga ada siulan dari beberapa siswa juga.
"Wah, kelihatannya ramai. Apa Naruto-kun menghamili cewek itu?"
"Wat the F—"
Satu orang dengan wajah putih pucat yang kadang-kadang bicaranya sopan namun ceplas-ceplos terpancing karena ucapan Kiba.
"E-engga gitu juga maksudku, Sai."
Kiba mendadak sweatdrop karena yang pertama menanggapinya adalah Sai, atau nama panjangnya Sai Himura, merupakan siswa aggota klub ekstrakurikuler Seni Lukis sekolah.
"Mendokusai na— palingan mungkin itu adiknya Naruto."
Sang ketua kelas dan yang sering jadi korban Anko-sensei, Shikamaru ikut gabung bersama sambil memasang wajah khasnya, malas. Kemudian ia mengambil posisi duduk dikursi seberang Naruto yang kosong. "Kurasa seperti itu."
"Bukannya setauku Naruto tidak punya adik ya?"
Kali ini murid bertubuh agak gempal gend—maksudku gemuk juga terpancing sambil menyiapkan sebuah bungkusan snack ditangannya yang sering dipanggil Chouji, Chouji Akimichi.
"Memang benar 'kan si pirang ini tidak punya, Chouji!" Tukas Kiba sambil menunjuk wajah Naruto seenak jidat.
"Kalau dia punya adik pun mungkin bakalan kena grepe dia terus!"
Sementara Naruto hanya facepalm ditempat duduk menanggapi rumpi dadakan yang membahas sesuatu dari mulut ember Kiba hingga memancing perhatian teman satu geng mereka.
"Ampun dijeh. Bangun tidur kena semprot lagi, masalah dasi pagi tadi dan si pemuja hewan menggonggong ini malah nyari masalah pula. Aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi."
Naruto bicara sendiri pada dirinya sambil menyimak bahasan yang terus dilontarkan masing-masing mulut kampret temannya yang juga random. Hela nafas bosan, Naruto memilih berdiri dari kursinya dan melambaikan tangan.
"Udah, selesai? Aku mau ke kantin dulu ya "
"Eh, jangan kabur begitu dong." Kiba menahan Naruto yang mau kabur.
"Oke deh, aku punya ide."
Duhilah, ide gila apalagi yang mau dilakukan Kiba saat ini?
"Semuanya kumpul! Kau juga Naruto!"
"Iyee.."
Dengan arahan Kiba mereka membentuk lingkaran kecil sambil menjelaskan sebuah permainan yang kedengarannya cukup asik.
"Jadi yang kalah saat jan-ken-pon harus ke kantin dan membeli makanan untuk kita. Tenang, masing-masing dari kita akan ganti uangnya nanti setelah yang jadi korban kembali ke kelas."
"Baiklah."
"Menarik juga."
"Hmm.."
"Krauk!"
"Perasaanku mendadak jadi ngga enak."
Kiba mengangkat tangannya diikuti yang lain sambil mengucapkan mantra jan-ken-pon bersamaan.
"Jan-ken-pon!"
...
...
...
"Hilih, sama saja aku yang jadi korban lagi. Kambing."
Selama berjalan di koridor sekolah menuju kantin, sumpah serapah yang diucapkan pelan dari mulut Naruto terus dilakukannya sambil mengentak lantai koridor untuk mengutarakan dongkol yang tidak tertahan.
Mau bagaimana lagi? Kayanya sih ini akal-akalan Kiba mensabotase yang lainnya dan permainan agar Naruto jadi korban. Sudah ada niat mencekik Kiba saat itu juga namun dirasa kurang pas untuknya. Mungkin membakar stok makanan peliharaan anjing milik Kiba lebih cocok dan kejam baginya.
Dua kantung makanan berukuran cukup besar yang ia pegang bersamaan dengan kedua tangannya hampir menghalangi pandangan, sesekali ia hampir menabrak seseorang didepannya tapi dengan cara 'sopan' tentu saja Naruto meminta maaf karena menabrak.
"Permisi, air panas."
Nah, itu juga. Termasuk mengucapkan hal konyol itu dan beberapa murid ada yang langsung memberi jalan untuk Naruto.
"Permisi air—".
"Kyaaah!"
Brukk!
Naruto sedikit terpental ketika ada seseorang menubruknya dengan kencang hingga ia jatuh beserta makanan dari kantung coklat yang berceceran, bahkan salah satu ada yang gepeng karena terinjak seseorang yang lewat tanpa disengaja.
"TEDAAAAAAK!"
Naruto berteriak lebay karena roti yang terinjak itu merupakan miliknya. Untuk yang lainnya aman karena terlindung bungkusan plastik, hanya saja berantakan dilantai koridor.
"Kenapa musti milikku juga yang kenaaaa!"
Seperti drama picisan di televisi, Naruto bersujud didepan rotinya yang kini tewas dengan mengenaskan karena terinjak orang, mungkin judul yang bagus buat acaranya yaitu 'Balada Seorang Anak Pirang Yang Badluck Terus'.
"Hei, kau! Ganti rugi rotiku!". Dengan emosi tertahan, ia berdiri dan mencoba menatap pelaku penabrakan.
"Aku akan menuntu—Astaga.."
Ternyata murid perempuan alias siswi dari kelas lain yang menabraknya. Posisinya kini hampir tiduran dan roknya cukup tersingkap tinggi hingga Naruto bisa melihat warna 'uhu uhu' milik siswi tersebut.
Eh, salah deng. Bukan cuma itu yang membuat Naruto speechless.
"M-maafkan aku!"
Waduh. Beneran tidak bisa bicara Naruto. Siswi yang membuatnya melamun dikelas ternyata yang menjadi pelaku penabrakan. Nampaknya ia kesakitan karena menabrak Naruto cukup kencang, ya karena kalian tahu tubuh Naruto kan lumayan kebanting dibandingkan siswi itu
Reflek ia mendekati siswi itu dan membantunya berdiri, tanpa mengucapkan sepatah kata.
"A-a-aku minta maaf! Akan k-kuganti!." Siswi itu membersihkan seragam dan roknya yang sedikit kotor karena debu dari lantai.
"...!"
Siswi itu juga kaget karena yang ditabraknya adalah Naruto. Wajahnya yang putih kini merona merah dengan badannya sedikit gemetar, entah itu malu atau merasa bahwa Naruto ingin menjahatinya.
"T-tidak. Aku yang salah karena sedang emosi, lagipula bawaanku juga terlalu banyak hingga tidak bisa melihat dengan jelas." Ucap Naruto membalas maaf siswi itu.
"..."
"H-halo?"
"..."
"Errr.. Apa kau mendengarku?"
Sapuan angin sedikit menerbangkan rambut Naruto, belum beberapa menit Naruto berbicara tapi siswi itu kabur lagi sambil berlari. Namun otaknya mencerna itu dengan cepar, kepalanya menoleh kebelakang dimana siswi itu kabur berlari darinya.
"Hey, namamu siapa!"
"Waduh keburu hilang duluan."
Naruto mengambil nafas kemudian memasang wajah bete sambil bersedekap.
"Yasudah. Kayanya aku harus sedikit meminta jatah dulu pada mereka. Soalnya jika balik lagi ke kantin pasti sudah habis sebelum bel berbunyi.
Sisa tenaga kesabaran Naruto memungut makanan-makanan malang tersebut dan kali ini ia berhati-hati membawanya. Jangan sampai ia kembali dari kelas malah bonyok digebuki massa karena makanannya keburu hancur duluan sebelum masuk perut. Murid lain pun yang melihat sinetron dadakan itu hanya diam seperti bilang 'oh' lalu kembali sibuk melupakan Naruto.
.
.
"Lama sekali kau beli makanan, aku kira aku akan mati kelaparan karena menunggumu."
"Apa itu tidak berlebihan Kiba-kun? Mungkin saja Naruto-kun pergi ke toilet dulu sebelumnya."
"Baiklah, baiklah. Untung masih bisa dimakan pas dijatuhkan Naruto."
Awalnya Naruto menceritakan kejadian yang barusan dialaminya, namun hanya bagian ketika ada seseorang yang menubruknya, selain itu ia tidak bicara tentang lainnya. Bukannya peduli tapi ya bagaimana lagi, sudah biasa melihat temannya tertimpa sial tapi mereka biasa saja.
Sebenarnya mereka peduli kok, tapi dengan cara bercanda seperti tadi.
"Meh.."
Yang dibicarakan hanya bermuka kecut dan sinis karena makan siangnya sudah lenyap duluan daripada yang lain.
"Naruto."
"Ape?" Balas Naruto ketika Kiba memanggilnya.
"Ini, tangkap."
Hap!
"Aku tidak sarapan hari ini, jadi ibuku memberiku snack bar itu buat cemilan berangkat pagi. Tapi ibuku lupa bahwa aku tidak suka kacang-kacangan."
Naruto menatap snack bar bermerek Joy S*y dari Kiba yang kini ada ditangannya.
"Kau yakin?"
"Engga sih, aku cuma ingin liat bagaimana cara lempar tangkapmu itu semahir Akamaru atau tidak."
"Tapi beneran, aku malah enek kalau makan itu."
"Baiklah, terima kasih."
Kemudian acara ngumpul sambil makan siang bersama itu layaknya seperti hari-hari sebelumnya, membahas hal-hal seputar anak sekolahan dan remaja masa kini. Padahal sebenarnya mereka juga anak baik-baik, tapi selalu dianggap Yankee sekolah karena dari cara mereka berteman ya ngumpul berbondong begini.
Biasanya tempat duduk Sai yang jadi tempat bersarang mereka, tapi kali ini ditempat Naruto lagi, lagipula juga Shikamaru dan Chouji sedang absen ngumpul dulu kali ini karena walikelas mereka memanggil keduanya. Paling biasanya disuruh memilah-milah dan menyusun buku tugas.
"Kau baik-baik saja Naruto-kun?"
Naruto yang melamun menengok kearah Sai. "Iya?"
"Jika karena aku mengucapkan hal tadi, aku hanya bercanda saja kok, Naruto." Tambah Kiba yang juga bingung atas sikap Naruto.
"Hari ini kau banyak melamun."
"Tidak juga.. Mungkin karena aku kurang tidur." Balas Naruto mencoba meyakinkan Kiba dan Sai dengan berpura-pura menggaruk kepala
"Masih memikirkan kejadian pagi tadi?"
"..."
"Sudah kuduga." Kiba menepuk tangannya sendiri seperti menemukan nyamuk dikelas.
"Kutebak, pasti saat ketika kau jatuh tadi.. Karena bertubrukan dengannya?"
"Hmm.. Benar."
"Jadi, sebenarnya ada apa dengan Naruto-kun?" Tanya Sai.
Karena Sai yang tidak tahu awal ceritanya, Kiba memberitahu sesingkat mungkin dan ditanggapi Sai dengan senyuman anehnya itu yang terlihat dipaksakan.
"Ah.. Aku paham sekarang."
"Nah, menarik kan ketika Naruto yang biasanya tidak bisa diam sepertiku jadi mendadak kalem gini, Sai?"
Sai hanya mengangguk, mungkin karena Sai masih tidak paham Kiba berbicara apa.
Sementara Naruto mengambil kursi dari tempat duduknya lalu memangku dagu menggunakan tangan yang ia sandingkan pada meja. Snack bar dari Kiba ia gigit sedikit demi sedikit sambil tetap melamun.
"Kurasa aku mengenalnya, karena aku dulu cukup dengan dengannya sih."
"Benarkah?" Tanya Naruto sambil tetap memandang meja.
"Setahuku, dia pernah jadi teman sekelasku saat SD saja, karena ketika SMP ia melanjutkan sekolahnya diluar kota mengikuti ayahnya yang berpindah-pindah sesuai tuntutan pekerjaan."
Naruto menyimaknya dan sedikit merubah posisinya agar wajah Kiba kini bisa ia lihat dari ekor mata.
"Tapi sepertinya ia kembali ke Konoha dan melanjutkan jenjangnya di Konoha Highschool ini. Ya, kurasa hanya itu saja yang aku tau, aku juga sebenarnya kurang akrab dengannya, bisa dibilang hanya teman biasa aja."
"Namanya?"
"Nama?"
Naruto mengangguk.
"Oh, okay." Kiba tersenyum.
"Kalau tidak salah.. Emm.. Hinata Hyuuga. Ya, aku memanggilnya dulu Hinata saja." Ucap Kiba sambil mencoba mengingat memori diotaknya.
"Hinata.." Beo Naruto dengan nada lirih.
"Oh iya." Kiba sedikit berdehem karena tenggorokannya serak habis berbicara panjang lebar.
"Dia itu pemalu, cukup pemalu. Aku pernah berbicara padanya tapi dia selalu grogi dan kadang hanya mengangguk." Kiba mengusap dagunya layaknya berpose kritis.
"Hanya itu, untuk sifatnya yang kuingat darinya hanya itu saja."
"Oke.."
"Satu hal yang kau harus ingat juga, dia punya kakak laki-laki, dan sister complex akut tentunya."
"Hah?"
Tangan Kiba memegang pipinya yang ada sedikit bekas luka untuk menunjukannya pada Naruto.
"Ini."
"Err.. Bukannya itu codot karena kau berantem sama kucing tetanggamu?".
"Bukan bodoh." Kiba sweatdrop.
"Ini bekas luka dari kakaknya Hinata karena aku tidak sengaja menarik bangkunya saat dia mau duduk."
"Kok bisa?" Tanya Naruto yang kini menyender pada kursi.
"Iya. Soalnya kakaknya itu merupakan seniorku dulu. Kejadian itu terjadi saat aku ingin meminjam krayon tapi tidak diberi Hinata."
"Jadi kakaknya Hinata ini satu sekolah dengannya?"
"Ya, tentu saja."
"Bekas lukanya?"
"Karena mendengar bahwa adiknya kuisengi, saat pulang sekolah aku malah kena bogem kakaknya."
"Waduh, kalau sampe berbekas seperti itu sekeras apa pukulannya?"
"Jelas, aku sampai pingsan karenanya. Untung kakaknya itu sudah puas karena memukulku satu kali."
Kiba mengusap bekas lukanya dan mendadak badannya merinding mengingat kejadian itu. "Pokoknya, kakak Hinata itu berbahaya."
"Menurutku Kiba-kun mendapat karma karena melakukan hal iseng tersebut."
"Tentu saja aku sudah tau itu, Sai. Namanya juga saat itu aku masih bandel bukan main." Balas Kiba menghela nafas.
"Kukira Kiba-kun sampai kritis karena dipukul, mengingat jatuh dari kursi itu cukup fatal juga kalau cukup kencang jatuhnya. Jadi kakanya Hinata membalasnya juga fatal." Kembali Sai berbicara dengan seenaknya.
"Hah? Jadi kau mendukung kalau aku dipukul kakaknya sampe koid?"
"Sepertinya, iya."
Kerah baju Sai diangkat Kiba cukup tinggi hingga murid yang selalu tersenyum palsu tersebut berdiri dari kursi.
"Kau ingin berantem jadinya nih?"
"Kiba-kun.. Berantem itu bukan cara yang baik lho."
"Halah!"
Ketika Kiba mulai mencekik Sai dengan beringas, Naruto hanya menatap perkelahian yang aneh itu, hanya saja pikirannya tak sedang ada ditempat. Kepalanya kemudian megadah keatas, membiarkan dua orang itu tetap berantem tanpa harus ditonton Naruto.
"Aku malah ingin jadi mengenalnya lebih lanjut."
Sudah ditetapkan, mungkin besok Naruto akan coba mendekati siswi itu. Sebuah rintangan yang menarik minat Naruto saat Kiba menjelaskannya, apa mungkin kakaknya itu juga bersekolah disini? Entahlah, Naruto tidak begitu mengenal banyak senior kelas 3.
Tapi rasanya bukan masalah besar, kalau belum dicoba mana tahu juga bukan?
Kemudian Naruto memikirkan rencana yang tepat untuk mendekati Hinata ini, kursinya yang berada di tempat duduk Sai dikembalikannya ke tempat semula untuk mencari inspirasi kembali, melupakan dua orang temannya kini yang hampir saling membunuh karena hal sepele.
Sepertinya kalimat 'belum siap' darinya perlahan akan disunting menjadi kalimat baru, entah itu kalimat indah atau kalimat itu lagi.
.
Cahaya mentari yang berwarna kejinggaan menerangi sekolah dan ruangan kelas, menerangi setiap ruangan yang mulai sepi dari aktifitas belajar mengajar, menutup hari ini dengan posisinya yang hampir tenggelam digantikan bulan.
"Ya, cukup."
Naruto menepuk tangannya beberapa kali setelah tong sampah kelas yang kini kosong karema sudah ia buang isinya ke tempat pembuangan milik sekolah. Hari ini merupakan jadwal piketnya bersama Kiba.
"Naruto, aku pulang duluan ya."
Kepalanya menengok kearah Kiba yang sedang mengambil tas pada tempat duduknya. "Iya, hati-hati."
"Kalau nanti kau ingat ada PR untuk besok, chat aku saja ya."
"Siap."
Badanya yang pegel Naruto regangkan sambil memutar badannya hingga sendi-sendi berbunyi, melegakan rasa pegal yang menghinggapi punggung.
"Saatnya pulang."
Koridor, berbagai ruang kelas, dan lapangan hanya ada beberapa murid yang terlihat dari matanya, rata-rata sudah pulang duluan dan sisanya pasti ada kegiatan organisasi maupun ekstrakurikuler.
Halaman sekolah yang luas baru saja Naruto lewati, menuju halte bus yang sedikit berbeda dari halte bus untuk berangkat sekolah, hanya perlu menyeberang dan berjalan beberapa meter untuk sampai.
Selama perjalanan, pikirannya fokus menatap trotoar dan arah depan laju kakinya, sambil sedikit bersenandung pelan.
"Berjalan ke rumah dudu~ Terus naik bus dudu~".
Bagi kalian yang tahu kalimat aslinya, tolong jangan olok-olok Naruto. Sengaja diplesetkan agar tidak kena copyright dari pencipta aslinya.
Sebenarnya kakinya ingin di gerakan dan memperagakannya sesuai dalam kartun, tapi kalau dilihat orang kan juga malu, nanti bisa saja orang-orang melihat aneh Naruto layaknya melihat pertunjukan topeng monyet(?).
Langkahnya terhenti ketika kakinya sudah menginjak lantai halte bus, kemudian menoleh kesamping bergantian lalu duduk pada bangku halte.
"Nah. Sepi juga disini."
Resleting tas ia buka dan mencoba merogog-rogoh isinya untuk mencari dompet, nanti kalau busnya sudah tiba Naruto kan bisa bayar langsung buat karcisnya.
"Mana tuh dompet?"
Mendadak jantung Naruto memompa darah lebih cepat ketika tangannya tidak mampu menemukan dompet kodoknya yang sering dibawa dalam tas.
"Perasaan tadi ada deh."
Merasa tangannya tidak cukup, entah karena konyol atau kurang kerjaan, Naruto mencelupkan kepalanya kedalam tas dan melihat isinya secara langsung karena tidak percaya sama sekali saat tangannya tidak menemukan dompet
—duh kadang edan memang—.
"H-halo? I-iya, Otou-san. Aku segera pulang kerumah."
Naruto mendengar orang yang kelihatannya berbicara lewat ponsel, tapi sekarang ia lebih fokus untuk mencari dompetnya yang masih belum ketemu.
"Oh iya. Tadi siang'kan kutaruh dalam kantung depan tas." Ucap Naruto mengingat kesalahannya.
"Loh?" Naruto merasa kepalanya tersangkut dalam tas. Beberapa kali didorong tapi kepalanya tak kunjung bergeser.
"Baiklah. Kekuatan turbo!"
Kepalanya ia angkat hingga kini Naruto terlihat seperti orang aneh dengan tas dikepalanya, kedua tangannya memegang sisi tas, dalam gerakan dan aba-aba dalam hati Naruto menariknya dengan sekuat tenaga.
"BANZAAAAI!"
Plop!
Hidungnya merasakan udara segar ketika gerakan turbonya berhasil melepaskan tasnya yang entah mungkin memiliki wangi semerbak itu dengan bangga.
"Pasti disini."
Naruto membuka resleting kecil pada bagian depan tasnya, tangannya merogoh beberapa lama dan perasaan lega mengalir dihatinya.
"Bisa bahaya kalau nanti aku pulang jalan kaki."
Resleting tas ditutupnya kembali dan kini Naruto kembali menaruhnya pada sampingnya yang kosong.
"Selamat sore." Ucap Naruto sambil tersenyum, basa-basi pada penumpang lain yang juga menunggu bus.
Kayanya sih satu sekolah juga dengan Naruto, rambut biru indigo dan mata lavender, menatap balik kearah Naruto dengan wajah kaget.
Tunggu sebentar—
"Eh—AKHIRNYAAAA!"
Dengan semangat membara yang muncul tiba-tiba Naruto menunjuk siswi-, atau mungkin gadis saja ya? Sekarang kan sudah bukan di pekarangan sekolah bukan lagi, bukan?
Spontanitas Naruto yang aneh dengan wajah seperti om-om senang lantas membuat gadis itu tambah takut, bagaimana tidak? Dari awal ia melihat tindakan mencobloskan kepala pada tas dan tiba-tiba Naruto menunjuknya. Serasa seperti melihat orang gila beneran.
"A-a-ah.."
Greb!
"Maaf, maaf. Sepertinya sikapku barusan menakutimu ya?"
Ngga usah ditanya segala, blekok. Kau keliatan seperti ingin menculiknya.
Tangan kiri gadis itu Naruto pegang sambil menatapnya dengan senyuman terbaik yang Naruto bisa.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh."
.
.
.
.
To be Continued!
Haloo, salam kenal! Selamat datang di fic pertama saya dalam fandom Naruto!
Sebenarnya udah cukup lama masuk di dunia ffn, tapi baru tertarik buat nulis lagi dan mencoba hasil imajinasi konyol milik saya setelah menonton anime yang cukup lawas yaitu Amagami SS. Yap, bentuk fic ini berformat omnibus atau bahas mudahnya yaitu para gadis yang akan mendapat chemistry bersama Naruto akan mendapat masing-masing ceritanya sendiri yang akan saya bagi menjadi 4 chapter. Setelah menonton anime tersebut, saya mikir 'kayanya seru kalo ada versi Naruto-nya ya? Coba buat ah.' dan terlahirlah proyek aneh ini.
Pair canon, ataupun crack pair akan mendapat keseruan yang berbeda satu sama lain, setiap ending juga berbeda, jadi contohnya jika si A ini udah selesai arc atau babnya dengan Naruto maka di arc gadis selanjutnya si A ini hanya menjadi figuran atau hanya lewat saja. Karena gilirannya untuk dekat dengan akang(?) Naruto sudah habis, bad ending atau good ending itulah akhir arc si A ini.
Tapi tenang, akan saya jamin semua gadis akan mendapat good atau malah perfect ending kok :)
Pada bab 1 ini kenapa saya pilih Hinata? Hm, ya karena Hinata adalah true pairing Naruto dan saya rasa posisi start nya akan cocok untuk Hinata. Ngga terima? Kuy gelud! *Plak*
Ngga beneran, saya rasa Hinata sudah cukup pas.
Untuk yang lain? Rahasia dong :p Yang pastinya, akan saya usahakan untuk tiap gadis memiliki keseruan alurnya masing-masing.
Dan sepertinya chapter 1 ini terlalu panjang untuk prolog, mungkin chapter yang akan datang akan lebih pendek agar para reader membacanya tidak pegal :D
Ya, cukup sekian dari saya. Have a nice day!
Dadaah!
