Conceal the Truth
Disclaimer © Masashi Kishimoto
Warn: Typo(s), OOC(maybe), And many more mistake(s)
DLDR
RnR
.
.
.
Sayangnya, siang itu adalah waktu yang tepat bagi seseorang untuk menikmati secangkir ocha dan semangkuk kari dari kedai pak tua Teuchi. Namun seseorang yang sangat menyukai hidangan itu tidak nampak bahkan hingga waktu menunjukkan pukul dua siang.
Dua pria berikat kepala bersetelan yukata sederhana dengan salah satunya yang cenderung agak kumal, masih duduk di salah satu kursi kedai milik pria tua yang sudah membuka kedainya hampir 50 tahun lamanya. Meski sama-sama mengenakan ikat kepala, fungsi kedua benda tersebut sangat berbeda tergantung di dahi siapa kain itu terpasang.
Satu pria terlihat sedang sibuk dengan kelingking kiri di salah satu lubang hidungnya, sedangkan pria yang lain fokus pada buku setebal dua puluh senti di hadapannya. Di atas meja lebih tepatnya.
Bosan karena sudah hampir satu jam pria penggali kotoran hidung tadi di acuhkan, ia merebut salah satu buku lain yang berada tak jauh dari buku tebal temannya.
"Entah apa alasan yang tepat untukmu tidak menghiraukanku demi benda ini. Cukup lama bahkan terlampau muak aku melihat benda ini di banyak tempat. Tapi tidak ada satu hal pun yang membuatku tertarik denganya." ujarnya membalik-balikkan halaman demi halaman buku bersampul merah di tangannya.
"Kenapa kau begitu membenci buku?" tanya pria beralis tebal yang duduk di hadapannya.
Lelaki bergurat merah di pipi itu melempar asal buku di tangannya hingga mengenai bagian siku temannya.
"Buku membuat hidupku runyam dan terasa tidak menarik. Mereka penyebab orangtuaku saling menyalahkan satu sama lain. Entah apa hubugannya miskin dengan buku. Namun yang pasti, aku sama sekali tidak pernah memiliki pengalaman baik dengan tumpukan kertas yang dijadikan satu itu." jawabnya sekenanya.
Ujung bibir si lawan bicara terangkat sesaat. Persis seperti dugaanya, Kiba akan menjawab seperti itu.
"Cara berpikirimu terhadap buku terlalu rasis, Kiba. Bagaimana bisa citra buku begitu buruk di matamu sementara banyak manusia yang menjadi sukses dan menikmati masa tuanya dengan damai berkat buku yang mereka baca semasa sekolah?"
"Lee, kau juga akan berpikir sama sepertiku jika kau berasal dari keluarga yang hanya mengandalkan naik turunnya harga kayu untuk makan sehari-hari."
Pemilik mata bundar sempurna itu menengadah. Memutus fokusnya pada deretan huruf yang baru saja dibacanya.
"Lalu kenapa kau tidak mencoba memperbaiki hidupmu sejak sekarang?" tanya Lee.
"Sangat mudah untukmu bicara seperti itu. Menyenangkan jika terlahir sebagai putra saudagar sepertimu. Sementara aku hanya rakyat jelata yang harus taat pada peraturan bahwa rakyat jelata tidak berhak mendapatkan pendidikan."
"Bukankah sekarang ada solusi untuk itu? Kau bisa mengikuti ujian terlebih dahulu. Dengan begitu para guru bisa mengakui dirimu lewat ujian tertulis itu."
"Mendengarnya saja aku sudah muak. Daripada menghabiskan waktuku untuk belajar dan mengikuti ujian selama sebulan, lebih baik aku membantu ayahku menebang kayu dan membantu ibuku menebar bibit di ladang sayur."sambarnya cepat.
"Semua pilihan ada di tanganmu. Awalnya aku senang saat Kaisar mengumumkan para rakyat menengah kebawah juga bisa ikut andil dalam hal pendidikan. Namun melihat mentalmu yang hanya sebesar pupil mata ayam, tidak ada lagi alasan untuk aku senang dengan pengumuman itu." Lee menggelang samar.
Tusuk gigi yang sejak tadi berada di sudut bibir Kiba perlahan berjalan ke tengah. Mata sipitnya memicing, semakin menyembunyikan pupilnya yang sudah kecil itu dari orang-orang di sekitarnya.
"Bagaimana bisa peraturan yang sudah turun-temurun seperti itu bisa dirubah hanya dalam satu masa jabatan Kaisar Seiyu? Itu yang membuatku sedikit heran." Kiba mengelus bagian bawah dagunya.
Mata hitam bundar itu melirik Kiba. Lee tertawa sesaat. "Semua berkat Yang Mulia Puteri. Karena usulannya dan usahanya peraturan itu di setujui oleh para tetua dan anggota dewan."
Pria bergigi runcing itu menoleh kagok. "Sang Puteri?" tawa kerasa spontan keluar begitu saja dari bibir Kiba. "Memang apa yang Puteri itu lakukan? Bukankah dia hanya sosok gadis yang hanya memikirkan rupa dan menjurus ke pribadi yang nepotisme"
Dengan cepat Lee melempar sapu tangannya tepat mengarah ke wajah Kiba. "Sst! Diam! Kau bisa melewati masa absolusi jika sampai ada yang mendengarmu." tutur Lee tajam.
"Untuk ukuran rakyat biasa yang tak memakan bangku sekolah, kata-katamu cukup tinggi kawan." Ucap seseorang dari balik tubuh Kiba.
Sebuah pukulan mendarat di bahu pria itu. Keduanya menoleh dan mendapati seorang pria dengan setelan yukata lusuh yang dihiasi keringat dimana-mana.
"Naoto,"
Pria bernama Naoto itu menaikkan kedua alisnya guna menganggapi panggilan Kiba. Tidak ada yang istimewa dari pria berwajah imut dan bermata madu tersebut. Dia hanya pria biasa yang beranjak dewasa. Setidaknya itulah yang ketahui oleh ketiga temannya.
Wajah pria itu tampak kusam. Lehernya kotor akibat tanah, kulitnya yang bisa dikatakan cukup putih untuk ukuran seorang pria, tertutupi oleh debu berwarna cokelat samar.
"Apa kalian sudah lama menunggu?" tanya pria bernama Naoto itu.
"Cukup lama. Apa saja yang kau lakukan?" tanya Kiba.
Dahi Naoto berkerut. Helaan napas, kedikan bahu dan terangkatnya kedua alisnya menandakan ia sedang tak ingin membicarakan apapun yang berhubungan dengan pekerjaanya.
Kiba mendengus. "Sudahlah, jangan dipikirkan."
Tangan Naoto mengudara merangkul bahu Kiba. Ia tertawa lebar menampakkan eye smilenya. "Tidak apa. Sebenarnya hari ini kami cukup sibuk. Karena salah satu kereta kuda kerajaan lepas rodanya. Dan lagi, Hiruzen-sama pemilik perkebunan buah dan kelapa sawit memesan 6 gerobak dorong baru. Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai sejak satu jam yang lalu, tapi para pekerja senior disana tak mengijinkanku pergi." jelasnya di akhiri decapan dan gelengan kepala.
"Apa kau di tindas lagi oleh mereka?" tanya Kiba dengan kerutan tipis di pangkal hidungnya.
Dua bahu Naoto mengedik samar. Wajahnya berubah masam. Tatapan anak pertama dari Inuzuka itu seolah mengorek dalam pikirannya.
"Kenapa kau tidak bilang pada Danzo-sama saja, Naoto? Bukankah kau bilang dia orang yang baik?" katanya membuang muka.
"Aku tidak akan melakukan itu. Mungkin untuk beberapa saat Danzo-sama akan membelaku. Tapi jika Danzo-sama tidak ada bersamaku, apa yang harus aku lakukan? Lagipula aku sudah mulai terbiasa dengan itu semua." tuturnya.
Segelas teh muncul dari balik siku Naoto yang terlipat di atas meja. Satu tangan membungkus dinding gelas tersebut.
"Ayame!" Naoto terkejut.
Ayame menunduk sopan. Semburat merah terlihat begitu matang di kedua pipinya. Gadis yang selalu mengikat rambutnya itu lantas menyajikan semangkuk kari tanpa lemak dan tambahan bawang seperti yang Naoto pesan setiap harinya. Seperti biasa.
"Terimakasih Ayame." kata Naoto sebelum Ayame pergi membawa serta wajah malunya.
"Dia menyukaimu Naoto." Lee yang sejak tadi diam kini angkat bicara.
Naoto diam. Di balik bungkamnya, kepala Naoto memikirkan berbagai macam alasan untuk dikatakan jika pertanyaan yang ia takutkan terlontar keluar dari bibir salah satu temannya.
"Kenapa? Apa kau tidak menyukai Ayame?" imbuh Kiba.
Manik Naoto berlarian kesana kemari. Tepat seperti dugaanya. Cepat atau lambat pertanyaan semacam itu akan ditanyakan padanya. Entah dari Kiba, Lee, atau bahkan Sai yang notabenya paling pendiam di antara mereka.
"B-bukan itu maksudku. Hanya saja aku tidak bisa." jawabnya menyeringai kikuk.
Alis tebal berwarna pekat itu berkedut. "Kenapa?"
Kerutan muncul di sudut mata pria itu. "Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa balik mencintainya." jawabnya tertawa ragu.
Bibir Kiba mengerucut. Pandangannya menyelidik menatap Naoto di sampingnya.
Lee kembali bertanya, "Apa Ayame tidak cukup cantik untukmu?"
"Bukan itu maksudku. Dia gadis yang cantik dan pendiam. Sungguh jika di ibaratkan, dia adalah buah semangka di musim panas. Hanya saja..."
"Apa kau penyuka sesama jenis?" pertanyaan Kiba yang terlontar begitu saja membuat Naoto menciptakan jarak di antara mereka.
"K-kau gila?! Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" serunya tak terima.
Kiba menarik dirinya menjauh. "Aku hanya berasumsi. Berteman dengamu hampir 2 tahun, sekalipun aku tidak pernah melihatmu tertarik pada wanita. Lihat Lee, dia tertarik pada Sakura yang jelas-jelas menolaknya. Dia berusaha melakukan segala cara agar putri tunggal pemilik perkebunan kelapa sawit itu tertarik kepadanya.."
"Sialan! Kenapa aku kau jadikan patokan?" sahut Lee tak terima.
"...Sai, dia tertarik pada putri penjual bunga Inoichi Jiisan. Sedangkan aku, tertarik pada tunangan Gaara-sama Kaisar muda dari negeri tetangga. Meski aku tahu itu tidak akan berhasil, tapi setidaknya aku membuktikan bahwa aku adalah pria dengan menyukai seorang wanita. Tapi kau? Tidak satupun gadis disini dapat menaklukan hatimu. Apa kau yakin kau ini pria?" kata Kiba panjang lebar tanpa menghiraukan interupsi Lee.
Naoto berjengit. Dahinya kusut di hiasi keringat dingin di sekitarnya. Baju lusuhnya sisa bekerja seolah mencekiknya di bagian leher. Pertanyaan Kiba dan tatapan Lee, sungguh Naoto belum siap dengan pertanyaan ini.
"Maaf permisi, boleh aku bertanya?"
Kini Naoto harus bisa bernapas lega dan mungkin juga harus bergegas ke kuil untuk mengucap syukur. Tuhan telah mengutus seseorang untuk mengalihkan kedua temannya tanpa dirinya harus mencari alasan yang akan berakhir pada kecurigaan tertinggal di kepala mereka.
Seorang pria berperawakan tinggi, berpakaian rapih dan rambut tergerai indah kebelakan, tampak di pelupuk mata ketiganya. Pria itu tak memakai ikatan kepala di dahinya. Hakama abu-abu gelap dengan garis putih terlihat garang saat di kenakannya. Bawahan yang berwarna serupa dengan aksen putih tersebut menambah nilai tambah penampilannya di setiap mata yang memandangnya.
"Silahkan." jawab Lee menutup bukunya dan menatap pria asing itu dengan sikap sempurna. Melipat kedua tangan di atas meja.
"Aku sedang mencari rumah singgah milik Tsunade-sama. Apa kalian tahu dimana tempatnya?"tanyanya dengan wajah datar.
Sosok pria di sebelah Kiba sudah sepatutnya terkejut. Melihat pria di depannya, tampaknya tidak ada lagi alasan untuk Naoto tersenyum dan berakting tenang. Begitu jelas tampak di matanya, wajah karsimatik itu dan juga pupil pucatnya. Detik itu juga Naoto berharap pupil pucat itu berarti katarak, bukan mata khas keturunan bangsawan.
"Cukup dekat dari sini. Tapi jika siang hari seperti ini, Tsunade-sama tidak menerima tamu karena beliau sedang mengajar. Mungkin sekitar setengah jam lagi asistennya Shizune-sama akan segera pulang dari rumah pengobatan. Kau bisa menunggunya di sini." jawab Lee ramah. Seperti biasa. Wataknya.
Pria itu mengangguk. Dengan cepat ia melesat dan duduk di samping Lee tanpa banyak bicara. Angin siang menjelang sore berhembus dari arah barat. Wangi pria asing itu sontak melesak langsung kedalam penciuman Naoto. Melenyapakan bau keringat pengunjung lain yang juga sedang berada di meja sekitarnya.
"Siapa namamu?" tanya Lee membuka percakapan.
"Hyuuga Neji. Aku adalah Pa.. maksudku pelajar dari negeri Onohama." katanya sedikit terbata.
"Pertukaran pelajar atau.."
Neji mengangguk. "Antara aku dan seorang pelajar disini bernama Aburame Shino."
"Hah, si serangga." Ejek Kiba tertawa licik.
Di bawah meja, telapak tangan kasar Naoto bertaut gusar. Bibirnya berdecap lalu mengatup berulang kali. Senyum manisnya, wajah kikuknya, dan tatapan polosnya tak lagi tampak. Semuanya lenyap dan berubah menjadi ekspresi takut lengkap dengan keringat dingin di sekitar dahinya.
"Naoto, kau kenapa?" tanya Lee yang menyadari perubahan sikap temannya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya memikirkan sesuatu saja." jawabnya setenang mungkin.
Kedua lutunya tegak berpijak kokoh pada bumi. Tangannya masih berada di kedua sisi badannya. Bagaimanapun caranya ia harus pergi. Naoto tidak akan membiarkan Neji menatapnya lebih lama lagi. Situasinya akan runyam jika pria itu mengenalinya.
"Kau mau kemana Naoto-san?"
"Aku harus segera pergi Lee. Gerobak-gerobak Danzo-sama tidak akan jadi dengan sendirinya bukan." jawabnya berbalik. Keringat dingin di sekitar dahinya membuatnya semakin merinding.
Wajah Kiba berubah heran. "Kenapa begitu? Bukankah kau baru saja tiba?"
"Baru tiba atau tidak, aku harus tetap mempertanggung jawabkan pekerjaanku Kiba."
Lelaki berpipi merah itu mengangguk paham.
Naoto membungkuk. Sesaat ia menoleh pada Lee, melambaikan tangannya singkat untuk mengucapkan selamat tinggal. Melupakan Neji yang notabennya mahkluk hidup yang juga masih bernapas dan harus di beri salam jika Naoto paham arti sopan santun.
"Siapa dia?" tanya Neji pada kedua pria itu.
"Naoto. Dia adalah pembuat kereta kuda dan gerobak dorong di bengkel Danzo-sama sekaligus teman baik kami." jawab Kiba.
"Teman dekat?"
Pria berambut mangkuk itu mengangguk. "Sudah hampir dua tahun."
Pupil pucat itu menyorot langsung pada garis kayu yang terukir di atas meja. Neji merenung sejenak memikirkan tentang seseorang yang sudah bersemayam di pikirannya bertahun-tahun lamanya.
Aroma pinus khas tubuhnya menyatu dengan bau kari yang baru saja matang dari kuali besar di dalam kedai. Ia tersenyum samar. Dirinya kembali mengingat masa lalu dimana tatapan itu masih menghanyutkannya meski sudah lewat 8 tahun lamanya.
'Kau tumbuh dengan sangat baik Yang Mulia Puteri.' batin Neji sembari mengingat wajah Naoto yang baru saja menghilang dari pandangannya.
To Be Continued...
A/N singkat aja ya XD Gak tahu kenapa ide ini tetiba terbesit. Aku mah selalu gitu, kalo buat NejiTen tanpa rencanapun jadi ="3 Kejadian waktu bikin 'Gadis Pencuri' terulang lagi sekarang. Ide ini secara mendadak muncul aja dan langsung jadi gak sampe 2 jam X"D Emang dikit wordsnya di chapter pertama. Dan aku masih gak tahu ini fanfic akan jadi panjang atau enggak. Tapi prediksi aku kayanya enggak. Lihat aja nanti gimana otak ini mainin peran NejiTen sebagai Puteri Kaisar dan Putra Mahkota ini XD
And then...
Delete or Next?
Chapter depan lanjut atau enggaknya tergantung kalian sendiri yaaaa... X"D
See you~
Ran Megumi sign out!
