Gundam SEED & Gundam SEED Destiny © SUNRISE

Warning ; OOC, Typo, short story in the chapter, perusakan karakter, etc.

...

Seandainya aku boleh merasakan perasaan itu lagi...

Maka...

Aku...

Mungkin akan tetap jatuh cinta padanya disetiap bentuk waktu—seperti apapun sang takdir mempertemukan kami kembali...

...

" Ya, Kira?"

Iris violetku mengerjap pelan ketika bayangan seseorang menghalangi padangan langit yang terus kunikmati sembari berbaring di hamparan rumput dipinggir lapangan sekolah.

Cosmic Era 7.3

PLANT, cuaca yang cukup cerah untuk sebuah koloni luar angkasa buatan manusia yang sudah satu tahun ini kutempati. Disini masih ada udara untuk kami bernafas, masih ada keramaian, laut, langit senja, dan juga... setahuku, disini juga tempat 'dia' tinggal.

Dia?

Apakah kalian tahu siapa 'dia' yang sedang kubicarakan ini?

Dia adalah cinta pertamaku. Ah—tidak, cinta pertama terlalu biasa untuk kubahas. Masa-masa cinta pertama itu sudah lama kulalui sejak masa sekolah menengah. Ketika aku mulai menyukai seorang gadis berambut merah cerah dengan senyum ceria yang setia menemaninya. Sayangnya senyum itu selalu muncul ketika dia sedang menggandeng seseorang—yang kabarnya—adalah tunangannya. Cinta pertamaku kandas begitu saja tanpa berbalas. Tapi aku cukup puas, setidaknya aku merasakan perasaan bahagia dari sebuah kisah cinta pertama.

Dan—'dia', kurasa 'dia' lebih spesial. Bersamanya, aku tidak akan tersipu layaknya pemuda kasmaran, aku juga tidak perlu merasa kikuk setengah mati seperti saat aku mencoba menyapa cinta pertamaku dulu. Bersama 'dia', perasaan yang kurasakan adalah kenyamanan. Aku tidak perlu takut orang akan menyakitiku—

"Ya! Kira? Kau melamun lagi?"

"Eh?" ya, benar. Baru saja aku tidak menyimak apa yang dikatakan temanku ini.

"Ckckck... aku tahu kau itu orang yang suka ketenangan, tapi bukan bearti kau seenaknya saja melamun."

Aku hanya bisa tertawa pasrah, hari ini memang sudah sekian kalinya aku mengacuhkannya karena asyik melamun. Sebernyanya aku tidak melamun, pikiranku hanya sedang terbang saja. "Maaf, Athrun. Aku hanya sedang mengantuk saja."

Pemuda berambut navie blue itu hanya menghela nafas lelah. Athrun cukup tahu kebiasaanku yang satu ini memang sulit di ubah. Bagaimanapun, Athrun adalah sahabatku saja kecil. Baik-buruk apapun kebiasaanku, dia lah yang paling tahu dengan sedetailnya. Dia tahu aku orang yang tidak suka keributan, aku cenderung lebih seperti orang yang penurut meskipun sebenarnya akulah yang lebih keras kepala dari Athrun. Dan Athrun lah orang yang paling berbahagia mengetahui akhirnya aku mau pindah—setelah ribuan kali membujuk—untuk tinggal di PLANT. Sayang, Athrun hanya tidak tahu alasanku pindah ke PLANT adalah untuk menemukan 'dia'.

"Kira, apakah—" ekor mataku diam-diam mengamati ekspresi Athrun yang terlihat tidak biasa, aku yakin ada yang mengganggu pikirannya, "—apakah aku terlalu memaksamu untuk pindah ke PLANT?"

Eh?

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu, Athrun?" senyum aneh tergambar di wajahku. Sebenarnya aku ingin memberikan senyum ramah seperti biasanya, tapi pertanyaan Athrun cukup mengelitik. Athrun terlalu perasa.

"Yah—aku memang senang ketika kau mau melanjutkan sekolah disini. Bagaimanapun juga kau—kita—adalah coordinator, bakat kita akan jauh lebih berkembang kalau bersekolah disini. Jelas PLANT lebih menjanjikan fasilitas yang lebih maju dari Bumi. Tapi—melihatmu setahun belakangan ini sering melamun, aku merasa meski fisikmu disini, isi pikiranmu sedang memikir tempat lain. Asumsiku jadi mengacu bahwa ada tempat lain yang sebenarnya ingin kau datangi."

"Ya. Kau benar, Athrun. Kita berdua memang sudah saling memahami sejak kecil—"

Dan lihat betapa bodohnya ekspresi wajahmu sekarang. Kau memang terlalu perasa.

"—aku memang lebih ingin pergi ke Orb."

"Orb?"

"Ya," aku tersenyum lebar menatap wajah berkerut Athrun. Dia pasti heran mengapa aku ingin mengunjungi tempat yang jelas-jelas hampir setiap minggu ku kunjungi. "Aku ingin menemui adikku Cagalli dan memberitahukan padanya bahwa Athrun Zalla yang sempurna sebernya takut setengah mati menyatakan cinta padanya."

Kena kau, Athrun...

Wajah Athrun yang putih seketika menyemburatkan rona merah. Entah kesal karena kukerjai, atau terlampau malu karena rahasia kecilnya sedang kubahas.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Kira..."

Aku tertwa geli, berdiri meninggalkannya untuk menghadiri kelas berikutnya. Yah—maaf, Athrun. 'Dia' bukan sesuatu yang harus kubagi padamu.

...

"Kira, apakah kau akan ikut kelas sampai sore juga hari ini?"

Aku mengalihkan pandanganku dari jendela, melirik seorang gadis yang berdiri disebelah mejaku. Wajahnya begitu antusias menunggu jawabanku.

Aku menganguk dengan senyum.

Wajah ramahnya memang selalu tidak bisa ku tolak untuk menyenangkannya. Rambut pendeknya, sifat manisnya, dan wajah kuatnya. Karena 'dia' tidak pernah berubah. Tidak perlu tersipu ataupun kikuk, cukup kutahu 'dia' special.

"Benarkah?" wajahnya semakin berbinar senang.

"Iya, Luna," pernyataanku kembali meyenangkannya.

Dia tersenyum senang. Senyumnya lah yang paling kunanti. Tak perduli apa yang terjadi dalam 24 jam aktifitas yang kulalui, aku hanya ingin—setidaknya sekali—melihatnya tersenyum. Dari senyumnya membuatku sadar ada yang berarti dalam eksistensi kehidupan. Aku tidak terlalu serakah untuk berambisi memilikinya, membiarkan dia bebas lebih baik. Tidak perlu dia tahu perasaanku, dan tidak perlu pula dia memberi sambutan. Karena dia memang spesial. Perasaanku yang sederhana terhadapnya.

"Kalau begitu, bisakah akhir kelas nanti kau menemaniku pulang? Aku tidak berani sendiri mengambil jalan memutar. Bisakah?"

Untuk dia yang spesial, bagaimana aku bisa mengatakan 'tidak'.

"Eh? Benarkah?" wajah manisnya sedikit terkejut melihat responku yang cuma mengangguk tanpa menanyakan alasan kenapa dia memintaku menemaninya pulang mengambil jalan memutar.

"Kebetulan aku juga bosan pulang jalan sendiri," dustaku. Aku tahu dia tidak akan langsung percaya, dia pasti akan menghujaniku dengan seribu pertanyaan. Aku tidak keberatan meladeninya, tidak perlu juga protes karena merasa dia terlampau berisik untuk orang yang sedang meminta pertolongan. Yah—kubilang karena dia spesial.

"Luna—" aku senang mendengarnya terus berceloteh, tapi setidaknya dia harus dihentikan sejenak, "—jam 5 aku tunggu di depan gerbang kalau ingin pulang bersamaku. Okeh?"

"Ya, Kira—" Luna-ku memang suka merengek kalau tidak ada yang mendengarkan celotehnya sampai selesai.

...

"Jujur padaku, kau suka pada Lunamaria kan?"

Heh?

Sepasang mata Athrun terus menatapku dengan serius. Matanya tidak sedikitpun berkedip, menatapku seakan akulah tersangka utama yang perlu di adili. Aku tidak tahu ini adalah Athrun yang penasaran atau Athrun yang khawatir pada situasiku. Aku tidak ingin membahasnya, tapi kalau tidak di jawab, Athrun—kadang—bisa sama rewelnya dengan adikku Cagalli.

"Aku melihatmu pulang bergandengan tangan dengan Lunamaria Hawk kemarin sore," terang Athrun memperkuat tuduhannya padaku. "Aku tahu kau tidak lupa kalau kemarin sore ada test di pelajaran terakhir, tapi kau malah membolos untuk pulang bergandengan dengan gadis itu."

Aku masih acuh berjalan meninggalkannya, sudah kubilang kalau aku tidak ingin berbagi apapun tentang 'dia' pada Athrun.

"Berhenti menutupinya dariku, Kira. Suka pada Luna itu tidak baik. Kau tahu kan, Luna itu sudah berpacaran dengan Shinn Asuka."

Kenapa dari dulu orang-orang selalu mempermasalahkan hal yang sama?

"Memangnya kenapa kalau aku bergandengan tangan dengan Luna?"

"Kira, kenapa kau tidak mengerti juga? Itu sama artinya kau mencoba—"

"Aku tidak sedikitpun berniat merebut Luna dari Shinn Asuka, kami berteman, apakah tidak boleh bergandengan tangan? Lagi pula siapa yang bilang kalau aku suka pada Luna?"

Atrun menghembuskan nafas, terlihat ia sedang bertahan untuk tidak melayangkan tinju padaku. Sudah kubilang, aku bisa lebih keras kepala dari Athrun.

"Kira—"

"Kira!" dari arah berlawanan kulihat Luna berlari kecil menghampiri kami, dia tidak sendiri, dia datang bersama adiknya Meyrin dan seorang gadis lagi.

"Hai, Athrun!" sapa Luna. Athrun memasang kembali topeng innocentnya, sebisa mungkin menutupi fakta bahwa kami baru saja berdebat karena Luna.

"Nanti sore Shinn akan menjemputku, jadi kau tidak perlu menungguku."

Senyum tipis mengembang di bibirku, "Oke."

Lagi-lagi Athrun hanya geleng-geleng kepala.

...

Aku menghembuskan nafas berat. Langit senja yang menemani perjalanan pulangku tidak begitu kunikmati karena terlalu lelah dengan aktifitasku hari ini. Sebenarnya aku tidak begitu mengeluhkan perdebatanku dengan Athrun tadi siang, aku hanya merasa kurang nyaman saja.

Kesekian kalinya mataku melirik kekanan, mengawasi sisi lain kereta yang tengah ramai dipenuhi penumpang yang melakukan perjalanan pulang. Yah—situasi ramai ini yang kurang aku kusukai, berdesakan dengan orang-orang membuat stressku naik satu level. Terlalu banyak yang kukhawatirkan bila terjebak dalam keramaian seperti ini.

Lagi, kulirik mataku kesebelah kanan.

"Maaf, bisakah geser sedikit, aku hampir terjepit," keluh suara dari sisi kananku itu.

Seingatku dia adalah salah seorang gadis yang sering bersama Meyrin disekolah. Dia adalah gadis yang populer. Semua temanku banyak yang mengidolakannya, tapi sedikitpun aku tidak tahu tentangnya kecuali fakta bahwa arah rumah kami satu arah dan—setiap paginya dia selalu berjalan dibelakang atau didepanku ketika menuju sekolah serta pulang kerumah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu.

Diantara kami, tidak ada satupun yang pernah mulai menyapa lebih dulu. Akupun tidak ambil pusing karena sedikitpun aku tidak tertarik.

"Maaf, aku terjepit," dia mengeluh lagi.

Aku sungguh ingin mengabaikannya, tapi tetap saja pemandangan itu menggangguku. Gadis itu sedang berdesakan dengan beberapa penumpang laki-laki, aku tahu beberapa dari mereka sengaja melakukannya, untuk menempel pada gadis itu. Dia populer, tentu saja banyak yang ingin menjamah keindahannya. Yang membuatku heran, kenapa gadis berpenampilan bak puteri itu harus repot-repot pulang berdesakan naik kereta ketimbang dengan mobil mewah orang tuanya. Sungguh melenceng dari plot seorang puteri.

"Maaf permisi," kugerakkan badanku mendekatinya, mengambil celah berdiri diantara dia dan penumpang laki-laki yang mendesaknya sendari tadi. Tatapan sinispun langsung dihujankan padaku oleh penumpang laki-laki tersebut. Aku berusaha memasang wajah datar seolah tidak merasa apapun. Tubuhku tetap bediri kaku menghadapi gadis yang tengah kutolong ini.

Senyum tipis terlukis dibibirnya dengan gerakan halus mulutnya bergerak tanpa suara mengisyaratkan ucapan 'terima kasih'. Wajahnya yang tadi hampir memerah, perlahan berseri kembali seperti pada saat disekolah. Aku tahu meskipun dia tersenyum, sebelumnya dia pasti hampir menangis karena penumpang tadi terlalu ekstrim mendekatinya. Walau dia tidak mengatakan seberapa jahatnya penumpang-penumpang itu menghimpitnya, aku mengerti dia sebenarnya takut. Karena ekspresi wajahnya mengingatkan pada diriku sendiri waktu kecil. Aku yang lemah, cengeng, serta tidak mampu mengekspresikan emosiku selain tersenyum.

"A—no," kulirik sosoknya yang kini memerah kembali. Ada apa dengannya?

"Namaku Lacus Clyne, kau—Kira Yamato kan?"

Lalu?

"Apakah kau mengenaliku?"

Apa yang sedang dia coba bicarakan sebenarnya?

.

.

To be continued...

.

Salam semua, mencoba memasuki fandom berbeda dan memakai karakter kesukaan sejak zaman masih pakai merah-putih dulu sampai jadi mahasiswi sekarang...

Sudah lama ga nulis, jadi tolong masukan dan bimbinganya... ^^