Jangan lupa fav n komennya ya kalau udah baca...

Bagian 1

Aku mengabaikan suara berisik Karin yang sedari tadi mondar-mandir sembari mengomel. Entah apa yang dicarinya. Bukan hal baru bagiku, hampir setiap hari dia melupakan letak sesuatu. Jika telinganya tak menempel mungkin saja dia juga akan melupakan letak benda itu. Aku berpura-pura tak melihat dia yang sekarang berkacak pinggang disampingku.

"Kau! Bisakah sedikit peduli dan berinisiatif membantu temanmu yang sedang kesusahan ini?!" Jeritnya tak terima sembari menunjuk tepat di wajahku. Aku menghela nafas bosan. Bahkan tanpa sadar aku memutar bola mataku, pertanda jengah dengan kelakuannya.

"Jika bantuanku berbayar, aku sudah kaya. Jadi, kali ini apa yang kau cari?" Tanyaku malas. Karin tak akan berhenti merecokiku sebelum aku membantunya. Atau berpura-pura membantunya.

"Jam. Jam tangan pemberian Pain saat ulang tahunku tahun kemarin."

"Kau sudah putus dengannya lebih dari tiga bulan yang lalu. Kenapa masih meributkan barang dari mantanmu." Gumamku malas. Meski begitu aku tetap beranjak menuju kamarnya.

"Setidaknya itu bukan barang murah. Siapapun yang memberiku, jam itu tetap milikku. Aku tak mau menyia-nyiakan barang bagus." Ucapnya mengekoriku masuk ke kamarnya.

"Setidaknya katakan itu saat kau mulai peduli letak setiap barang milikmu. Mendengarmu ribut kehilangan setiap hari itu menjengkelkan." Gerutuku.

Aku mulai membongkar laci-laci yang ada di kamarnya, sementara Karin memeriksa lemarinya sembari menguarkan semua pembelaan dirinya yang sangat membuatku bosan. Dia selalu mengulang kesalahan satu ini. Tak menemukan apapun disetiap laci, aku beralih pada ranjangnya. Menyibak selimut dan memeriksa setiap selipan yang mungkin menyembunyikan jam sialan itu. Helaan nafas kesal jelas mulai ku lakukan saat tak juga menemukan benda yang katanya berharga namun tak terurus itu. Pencarian terakhir, aku mengintip dibawah lemari besarnya dan... aku menemukan benda sialan penyebab Karin ribut sedari pagi.

"Lain kali pasang pelacak pada benda ini." Karin terkejut bersusah payah menangkap jam tangannya yang ku lempar padanya tanpa aba-aba.

"Kau berniat merusaknya!" Jeritnya tak terima.

"Cukup ucapkan terima kasih." Balasku malas dan keluar dari kamarnya.

"Oke. Terima kasih. Tapi aku tetap tak memaafkanmu yang nyaris membuat jamku rusak." Jeritnya. Itu terdengar seperti Karin. Menyebalkan. Kenapa aku bisa tahan serumah dengannya selama bertahun-tahun.

Aku dan Karin pertama kali bertemu saat ospek. Pertemuan tanpa kesan yang entah bagaimana membuatku dekat dengannya. Aku bahkan tak ingat apa yang membuat kami selalu bersama. Padahal jelas kami lebih banyak memiliki perbedaan daripada persamaan. Dia cerewet pada siapa saja, sedangkan aku cenderung pendiam. Hanya padanya aku bisa bicara lebih banyak. Dia penggemar acara bersenang-senang, sedangkan aku cenderung menikmati kesendirianku. Singkatnya kemungkinan aku seorang introvert. Yang membuatku iri, dia bergonta-ganti pacar seperti berganti pakaian. Rekor terlamanya berpacaran adalah enam bulan. Sedangkan aku dalam dua puluh tiga tahun hidupku hanya berpacaran dua kali saja. Terlihat menyedihkan jika dibandingkan dengannya. Tapi, meski ku bilang iri bukan berarti aku ingin sepertinya dalam hubungan asmara. Aku lebih menyukai kesendirianku.

Lalu ditahun ketiga pertemananku dengannya kami memutuskan mengontrak rumah bersama. Rumah mungil yang lokasinya cukup bagus, dekat dengan Minimarket dan juga tempatku bekerja. Yang ku maksud tempat kerjaku adalah sebuah Cafe.

Apa akan aneh jika aku bilang memiliki gelar .SD dibelakang namaku tapi kenyataannya aku hanyalah seorang karyawan Cafe? Mungkin iya. Banyak orang menyayangkan keputusanku yang tak mau memulai menjadi tenaga honorer disekolah manapun apalagi mengikuti tes CPNS dan sejenisnya. Yang paling dekat tentu saja orang tuaku. Mereka menganggap diriku tak tahu berterima kasih sudah dikuliahkan dengan susah payah. Mungkin iya. Aku hanya merasa tak sanggup menghadapi puluhan anak kecil disekolah dasar. Bukan karna membenci anak kecil, aku hanya tak tahu bagaimana caranya memperlakukan anak kecil dalam kehidupan nyata. Saat magang? Itulah saat-saat pemikiran ku tentang menjadi guru menyenangkan berubah menjadi keengganan berurusan dengan anak kecil. Aku benar-benar memahami betapa payahnya aku berurusan dengan anak kecil.

Orang kedua yang protes pada keputusanku tentu saja Karin. Gadis yang sudah lebih dari setahun menjadi guru honorer disalah satu sekolah dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami ini mendiamkanku selama seminggu penuh. Seperti orangtuaku, dia mengatakan betapa aku tak menghargai dan berterima kasih pada orang tuaku yang membiayai kuliahku. Ayolah, tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Aku tak bisa berpikiran sama seperti mereka. Bagiku menyelesaikan kuliahku memang sebuah keharusan karna bagaimanapun saat keyakinanku menjadi guru goyah itu di detik-detik terakhir. Tapi aku tak bisa merelakan diriku terus merasa tertekan dan tak nyaman dengan menjadi seorang guru bagi anak-anak yang terlihat menggemaskan itu. Aku tak bisa membayangkan seumur hidupku melakukan hal yang membuatku tak nyaman. Jadi aku memutuskan mencari jalan lain yang lebih membuatku nyaman pelan-pelan.

Setelah pergolakan yang membuatku tak pulang kerumah orang tuaku lebih dari setahun ini, aku memiliki beberapa penghasilan. Pertama tentu saja menjadi pegawai cafe, dan kedua dengan menjadi guru les privat untuk anak SMA. Ini lebih baik bagiku ketimbang berurusan dengan anak-anak yang membuatku bingung harus bagaimana. Untuk ini aku memiliki dua orang murid dengan tiga kali pertemuan perminggu untuk tiap murid. Membuatku harus melakukannya setiap hari dengan pola selang-seling. Pekerjaan dicafe selesai pada pukul lima sore, dan aku memulai memberi les dari pukul tujuh sampai pukul sembilan malam. Cukup melelahkan jika mengingat aku hanya memiliki satu hari libur perminggu.

Aku yang sadar menjadi guru les privat tak bisa dijadikan penghasilan utama akhirnya memutuskan mencari penghasilan tambahan yang sesuai dengan waktu yang ku miliki. Sayangnya sampai sekarang aku belum menemukan pekerjaan yang seperti itu. Sebenarnya aku mulai tertarik dengan jenis penghasilan dari PPC, sayangnya blogku belum menjanjikan. Aku harap dalam setahun ke depan blogku bisa menjadi lahan penghasilan ku.

Lupakan tentang kehidupanku yang bisa dibilang tak beres itu. Perhatianku teralihkan pada bel yang terus berbunyi. Aku melirik kamar Karin, yang datang pasti pacarnya atau siapapun yang mengajak gadis itu pergi. Mima tak akan pernah berdiam diri dirumah dihari minggu seperti ini. Sangat Karin sekali.

"Ra bukain pintu dong! Aku belum siap nih." Jerit Karin yang tak ku jawab. Lebih efisien jika aku langsung membuka pintu meski enggan. Membantah Karin sama saja berniat merusak gendang telinga, Karin akan dengan senang hati mengeluarkan suara berisiknya.

Saat membuka pintu aku melihat seorang pria yang... tak lebih tampan dari Pain, mantan Karin. Pria ini cenderung Imut dan manis meski masih jelas memiliki sisi maskulin. Kulit putih bersih dengan mata sehitam arang terlihat memukau. Poin tambahannya adalah bibir semerah darah dan lesung Pipi yang terpampang saat dia tersenyum. membuat wajahnya terlihat semakin imut. Jika kata Ino dia ini berwajah Uke. Abaikan bahasa teman Fujoshiku itu. Di matanya pria hanya ada dua jenis, seme dan Uke. Lupakan. Aku tersenyum sekilas membalas senyum lebarnya. Mempersilahkannya masuk dan meninggalkannya diruang tamu. Tentu saja aku tak mau capek-capek merepotkan diri menemani pria yang kemungkinan besar pacar Karin itu. Lebih baik aku kembali bergelung disofa sembari menikmati tayangan sinema akhir pekan.

"Sasuke kau anggurin gitu aja?" Cerocos Karin tak percaya seolah baru kali ini aku melakukannya.

"Bukan hal baru. Memangnya apa yang harus aku lakukan dengan pacarmu itu?" Sahutku acuh tak acuh.

"Setidaknya ajak ngobrol atau apa. Kalau sifatmu tak pernah berubah seperti ini, kau tak akan pernah laku. Jadi perawan tua." Cerocos Karin yang menyakiti telingaku. Terserah sajalah. "Lagipula, Sasuke bukan pacarku." Dengusnya lalu pergi menghampiri pria bernama Sasuke itu diruang tamu.

Memangnya aku peduli mereka pacaran atau tidak. Toh hanya menunggu waktu hingga mereka pacaran. Karin bukan orang yang mau repot bersikap baik pada orang yang tidak disukainya. Aku terlalu mengenal gadis itu. Dan seharusnya Karin tahu itu.

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan diruang tamu hingga tertawa terlalu keras. Atau lebih tepatnya tawa Karin yang terlalu keras. Oke, mungkin tak terlalu keras. Tapi mengganggu acara menonton dihari libur ku. Kenapa mereka tidak keluar dan berkencan saja daripada merusak hari libur tenangku? Menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi karna tak ada yang bisa ku lakukan.

Aku mendesah lelah kehilangan konsentrasi menonton. Suara dua orang diruang tamu itu semakin jelas mengganggu. Aku kesal bukan karna sinema yang terlalu menarik. Tapi aku tak senang jika waktu santaiku terganggu setelah enam hari harus bersusah payah mencari uang. Aku jadi curiga jika Karin sengaja membuat perasaanku memburuk. Dia membuatku merasa menyedihkan karna menghabiskan liburan seorang diri. Harusnya aku tahu jika dia memang semenyebalkan ini.

Karna malas terus-terusan menggerutu dan semakin dongkol, akupun masuk ke kamar. Meraih Hoodie, ponsel dan dompetku. Ku putuskan untuk menghabiskan waktu di minimarket atau taman yang jaraknya hanya dua puluh menit berjalan kaki.

"Mau kemana?" Tanya Karin saat aku melewatinya.

"Entahlah. Hari libur berkualitas ku dirumah rusak. Jadi setidaknya aku harus mencari tempat lain." Sahutku sekenanya. Karin tak akan pernah tersinggung bagaimanapun kasarnya aku saat berbicara. Dia terlalu kebal dengan hal-hal seperti itu.

"Maaf. Apa aku mengganggu?" Ini Sasuke yang bicara.

"Jangan pikirkan. Dia memang menyebalkan. Aku sampai tak tahu apa yang ku pikirkan bisa bertahan satu rumah dengannya bertahun-tahun." Sahut Karin cepat menenangkan prianya. Meski Karin bilang mereka tak pacaran, aku tetap menganggap Sasuke adalah prianya. Dia tak pernah mau bersikap baik jika bukan pada orang yang disukainya. Apa aku sudah mengatakan itu?

"Kau tak punya pilihan yang lebih baik dariku. Dan Sasuke, ya aku lebih suka jika Minggu selanjutnya kalian berkencan diluar rumah." Acuhku sebelum berlalu keluar rumah. Aku masih sempat mendengar keluhan Sasuke yang merasa sungkan padaku dan Karin yang meyakinkannya jika semuanya baik-baik saja. Aku tak peduli.

Aku memasukkan tanganku ke kantong Hoodie yang ku kenakan. Sebenarnya aku tak terlalu suka berada diluar ruangan saat matahari nyaris diatas kepala seperti ini. Terlalu silau dan membuatku pusing. Karna itulah aku suka memakai Hoodie disaat-saat seperti ini. Tudungnya sangat membantu melindungi kepalaku.

Setelah membeli sebotol minuman, es krim dan beberapa camilan, aku melangkahkan kaki menuju taman kota yang berjarak kurang dari lima ratus meter dari minimarket. Memilih satu tempat duduk untuk menikmati udara sejuk dan camilanku, tentu saja. Ku edarkan pandanganku. Taman ini cukup lengang. Tengah hari memang bukan waktunya banyak pengunjung. Biasanya pagi dan sore hari tempat ini menjadi pilihan untuk joging atau sekedar bersantai.

Tapi perhatianku terfokus pada seorang gadis yang duduk gelisah di bangku yang tepat berada di depanku. Maksudku jaraknya cukup jauh hanya saja tepat di depanku. Berkali-kali gadis itu menempelkan ponselnya ke telinga sebelum mengomel sembari menyentuh layarnya. Itu dia lakukan berkali-kali. Mungkin orang yang ditunggunya tak bisa dihubungi. Kasihan.

Namun tak lama kemudian seorang pria datang menghampirinya. Mereka terlibat adu mulut yang aku tak tahu isinya meski suara mereka terdengar sampai ke telingaku. Berakhir dengan si gadis menampar si pria lalu pergi. Kini si pria mengacak rambutnya kesal. Drama tadi terlihat cukup lucu. Sampai mata si pria itu bertemu dengan mataku. Maksudku dia jadi mengetahui jika aku sedari tadi memperhatikan mereka. Tapi, memangnya kenapa? Daripada memikirkan hal itu, aku lebih tertarik mencari sisa snack diantara tumpukan sampah bungkus kosong dalam kantung belanjaan ku. Hahhhh. Sepertinya aku sudah menghabiskan camilanku.

Gerakan tanganku terhenti saat melihat sepasang kaki yang kini berada didepanku. Saat mendongak, aku menemukan pria yang seharusnya berada jauh didepanku sana kini berdiri tepat di depanku. Dia pria yang ditampar tadi. Aku mengernyit saat dia meraih botol minum ku dan menghabiskan isinya. Apa tamparan bisa membuat seseorang jadi aneh?

"Terima kasih." Ucapnya sembari memasukkan botol kosong itu ke kantung belanjaan ku yang kini penuh sampah.

Aku hanya mengedikkan bahuku menyahuti ucapannya. Bukan salahku. Dia yang seenaknya mengambil milikku tanpa Ijin. Mungkin dia stres akibat tamparan dari gadis tadi. Baru saja aku berniat pergi membuang sampah ke tempatnya, sebuah suara mengejutkanku.

"Kau selingkuh?!" Jerit suara yang ternyata milik gadis yang menampar pria didepanku tadi. Aku mengernyit bingung mendengar tuduhannya. Iya, itu bukan pertanyaan melainkan tuduhan. Lagipula kenapa dia kembali lagi? Ku pikir dia sudah pergi.

"Apa maksudmu Mei?" Decak pria didepanku sebal. Dia tak terlihat marah, hanya sebal.

"Kau harusnya mengejarku dan membujuk ku kembali padamu saat ku bilang putus! Bukannya langsung mencari pacar baru! Kau brengsek Naruto!" Jerit gadis itu terlihat tak terima. Wajahnya merah padam seperti marah bercampur akan menangis. Tapi ucapannya justru membuatku ingin tertawa. Drama macam apa yang sedang ingin diciptakannya sebenarnya. Jadi dia kembali karna merasa tak dikejar? Yang benar saja.

"Kau gila?" Pria yang dipanggilnya Naruto itu berucap tak mengerti. Seolah yang didepannya adalah alien dan bukannya gadis cantik. Ah meski menarik untuk ditonton tapi aku lebih ingin pulang sekarang.

...tbc