Pilihan Yang Salah
Disclaimer : J.K Rowling
Warning : DLDR, pelampiasan dunia nyata, fiksi yang aneh bin abal, kesamaan cerita bukan unsur yang disengaja, typo(s), jelek, dan sangat tidak mengesankan.
Happy Reading
Namaku Hermione, Hermione Granger. Bukan ideku tentunya. Orangtuaku yang memberikanya untukku. Dan aku terpaksa memakai nama itu. Kehidupanku bagai api yang membara ditengah turunya salju. Sebagaiman rasa pahit dan manis yang kurasakan saat ini. Umurku empat belas tahun. Dan ini tahun terakhirku disekolah menengah pertama ini.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa aku aneh dan menganggap bahwa aku sangat kotor. Aku tak tahu yang ada dipikiran mereka, tapi yang pasti pandangan mereka terhadapku, kotor. Hanya beberapa orang saja yang menganggapku masih ada didunia ini, dua sahabatku, dan ibuku. Ayah tak dihitung karena dia peduli padaku saat aku dibutuhkan saja.
Ibuku seorang dokter gigi. Dia cantik, mempesona, dan layak diacungi jempol, karena saat umurnya ini dia makin terlihat sangat sabar dan sigap menghadapi pasien-pasiennya. Dan itu sangat luar biasa. Ibu punya toko bunga didepan rumah, bersandingan dengan kliniknya. Toko buka tiap jam tiga sore sampai jam sembilan malam, tapi ketika pagi ibu selalu membukanya sedikit untuk matahari yang akan bertamu pada bunga-bunganya untuk beberapa jam.
Ibu adalah orang yang sangat cinta pada pekerjaannya. Dan aku sangat menyayanginya. Aku selalu mengintip dari balik jendela klinik, ibu melayani pasiennya dengan sangat baik, bagaiman ia memperkosa gigi-gigi pasiennya.
Ayahku seorang dokter, tadinya. Sekarang dia beralih profesi jadi orang aneh yang selalu bekerja dengan orang-orang botak yang tertawa bahka hanya karena melihat paramecium dan itu lebih aneh dari aneh. Ayahku adalah ilmuan. Ya.. ilmuan yang aneh.
Ibuku pernah tertular penyakit ayah. Sekitar dua tahun lalu. Ibu tergila-gila dengan rafflesia. Hampir tiga bulan, ia mencari-cari bunga itu. Ia dapat dari buku ayah yang menjijikan. Aku pernah tahu tentang informasinya, bunga berwarna merah padam dengan hasil nektar yang melimpah, dan tak kalah menjijikan dari ayah. Meskipun aku tak pernah mencium baunya didunia nyata, aku juga tak akan mau mencimnya karena, kata Cho –teman kecil Luna– baunya tak lebih enak dari bau mayat manusia. Dan aku tahu maksudnya.
Dan setelah mengetahui berita itu ibuku berhenti mencari informsi dari seluk-beluk bunga bangkai itu. Dan itu lebih baik. Ibu menjadi ibuku seutuhnya lagi.
Karena aku telah memberikanya beberapa informasi tentang bunga Dandelion, ayah memberiku seberkas senyuman. Itu terakhir kali ayah memberikannya untukku sejak tiga tahun lalu. Dan butuh beberapa bulan untuk membalas senyuman ayah. Ya.. kau bisa bayangkan bagaiman aku tak pernah mengumbar senyumku kecuali pada orang-orang yang menganggapku masih hidup.
Aku mengikuti program dua tahun sekolah. Dan itu tidak menyenangkan. Mereka para guru-guru menekanku terlalu kuat bahka bajapun akan rapuh karena tekanan mereka. Jadi aku meminta ibu menghadap kepala sekolah untuk mengeluarkanku dari program keji itu. Tetap saja aku yang paling muda dikelas.
Aku hanya punya dua teman. Satu laki-laki satu perempuan. Luna dan Ron. Ya.. meskipun aku tak terlalu dekat dengan Ron, dia satu- satunya laki-laki didunia ini yang peduli –tak banyak– padaku. Mereka yang pertama kali mengatakan 'Hai.. senang kau ada dikelas ini. Selamat datang', dan itu tak kan pernah kulupakan. Aku menyukai Ron. Sejak ia mengatakkan 'Hai' padaku.
Aku tahu yang kurasakan, aku bukanlah anak lima tahun, jadi meskipun aku tak pernah tau apa itu sebenarnya cinta, getaran membuatku, sedikit mengerti. Tapi aku tak pernah mengatakkan itu padanya aku hanya diam bertatapan lalu senyum, bertatapan senyum, sedikit topik pembicaraan, bertatapan dan hanya itu-itu saja yang kami lakukan jika tak ada Luna.
Teman. Cinta. Sedikit kebohongan. Mereka adalah hal yang sama. Kelak kau akan tahu apa yang membedakan mereka. Dan sekarang aku mulai mengetahuinya dari Ron. Aku sangat malu padanya. Malu. Yang biasa remaja rasakan ketika berhadapan dengan seseorang yang sangat spesial. Getaranku adalah Ron. Itu yang sedang kubaca dari pikiranku sekarang.
Hati yang berbunga akan menguncup ketika ada seseorang yang menyiram bunga itu dengan tinta. Atau mungkin layu. Mati, mungkin. Dan itu bukanlah sebuah pengharapan yang baik.
Musuh adalah salah satu penyebabnya. Musuh dalam selimut adalah pengkhianat. Dan musuh besar adalah sesuatu yang harus dimusnahkan. Anak-anak dikelas banyak menertawaiku hanya karena aku adalah seorang kutu buku. Julukan yang diberikan Dean padaku. Tapi itu kuanggap sepele, dan itu adalah hal yang biasa karena nyatanya aku memang seorang kutu buku.
Lain halnya dengan seorang bermata abu dengan rambut pirangnya yang khas kejam dan kusadari ia tampan. Aku tak pernah punya masalah denga anak laki-laki itu. Anak? Sedikit aneh. Hanya satu masalah yang membuatku sangat tahu tentang apa yang seharusnya aku lakukan ketika seseorang memberimu sedikit noda yang benar-benar sangat terhormat. Di kelas ia favorit anak perempuan, dia idola disekolah, tapi julukannya untukku tak lebih bagus dari Dean karena tatapannya padaku ketika memanggil 'sikutu' padaku, pandangannya mengartikkan bahwa aku hanyalah kutu busuk yang menjijikkan. Dan aku sangat ingin membunuhnya. Aku yakin dia sangat membenciku, saat insiden itu terjadi, ketika tahun pertamaku disekolah.
Aku tak menyadari bahwa sebenarnya disekolah aku hanyalah gadis kecil dengan sedikit keberuntungan mendapat IQ tinggi, yang sangat suka membaca dan menghabiskan waktu istirahat sekolahnya hanya dengan membaca. Karena untuk menutupi betapa butuhnya seorang teman dalam kehidupanku, sedikit kukoreksi, buku adalah segalanya karena rumah impian satu-satunya dalam hidupku adalah perpustakaan. Aku duduk diam dikursi depan kelasku. Saat kurasakkan ada seseorang yang telah menyolek daguku. Dan baru kusadari kata "Dasar kau brengsek, tak tau diri" keluar dari mulutku. Yang membuat seseorang itu menoleh cepat kearahku diikuti dengan dua makhluk mengerikan mengapitnya. Wow.. baru kusadari mereka seorang laki-laki. Aku memandangnya lekat-lekat sambil menampangkan wajah suram mendungku padanya, saat ia mencoba lebih dekat padaku. Aku takut.
"Bagus manis, kucari sesorang yang akan menjawab dengan kata yang sangat 'terhormat' itu, dan ketemukan padamu". Senyumnya menusuk, kedalam wajahku. Aku tetap pada ekspresiku. Menunjukkan betapa 'terhormatnya' ia melakukan hal tersebut.
"Apa maumu". Ekspresi datar yang kuberikan padanya tak ada apa-apanya dengan senyumnya yang mengikat kuat wajahku. Yang lebih mengerikan lagi., dia malah mendekatkan wajahnya padaku, bayangkan lima centi dihitung dengan hidungnya yang menempel dihidungku,hingga aku hampir jatuh kebelakang, terjungkir, hampir. Mendorongnya pasti. Itu yang kulakukan. Berdiri menghadapnya. Kau akan tahu bagaiman matanya yang mengikat kuat seperti mata Medusa yang membuatku terdiam, terpaku, seperti patung untuk tak berhenti melihat matanya. Dan apa lagi yang kutunggu, kuhantam bukuku kekepalanya, hanya sekali, tapi aku yakin itu akan membuatnya sedikit pusing.
Keren teman. Itu saaaangat keren. Aku meninggalkannya tanpa mengatakan hal apapun lagi. Dan masuk dalam kelas. Itulah dialog terpanjang pertama yang kulakukan dengan seorang anak laki-laki. Pertama.
"Draco, kau tak apa?" Tanya salah satu makhluk mengerikan disampingnya. Aku mendengarnya dengan baik. Jadi namanya Draco? Draco siapa? Ah.. lupakan.
Dan sialnya, kenapa tahun ketiga harus satu rumpun dengan makhluk yang satu ini.
.
.
.
.
Jika kau tanya apa yang diinginkan Draco sebenarnya, aku sangat tahu apa sih yang sebenarnya ia mau. Kepopuleran dan keramah-tamahan yang dibuat-buat. Aku selalu mendengar bagaiman mereka para anak perempuan berteriak 'Oh.. ' dan 'Ah..' ketika ia sedang lewat, dan hanya aku saja yang sangat seperti kukang sedang memanjat dan menampangkan wajah malas yang menjijikan saat melihatnya. Iya, aku percaya tatapan mautnya.
Diam. Dulu aku takut akan segalanya, kecuali pada ujian. Dan sekarang aku terlalu takut untuk kehilangan semuanya. Luna, anak perempuan yang sangat disukai semua anak dikelas. Dia. Hanya dia orang yang tahu tentang rahasia kecilku, bahkan rahasia yang kupendam tentang Ron. Ia janji tak kan pernah mengatakkan hal ini padanya.
Sayang, dia tak telalu suka singgah sana yang menjadikanku tampak hidup kembali setelah sekian lama. Perpustakaan, dimana kau akan menemuka surga dunia. Jadi itulah kerajaanku. Setelah ujian ini pasti ada pesta kelulusan. Yang membuatku terlalu takut akan takut adalah pesta.
Saatnya kau tahu bahwa satu minggu lagi akan diadakan pesta kelulusan. Dan ini bertemakan pesta dansa. Itu sangat-sangat menjijikan dan aku tahu kemenjijikan itu tak akan pernah sekalipun bersiur diotakku. Dimana lokasinya? Gaun mana yang akan kupakai? Dengan siapa aku pergi? Siapa yang mau mengajakku berdansa? Aku tak peduli.
Hanya karena aku anak pandai, tak berarti semua anak dikelas menyukaiku, malah kebanyakan membenciku, aku terkena Bullying, mereka membenciku, dan itu menyakitkan.
Luka dan memar yang tak tampak membuatku sedikit tegar dan masih percaya akan ada seseorang yang mau mengajakku. Dan harapanku hanyalah pada Ron. Janggal, mungkin, iya, sedikit bumbu-bumbu cinta mungkin membuat hati perempuan luluh, tapi tidak denganku.
"Jadi pergi dengan siapa?" Ron mulai mengajakku bicara.
Apa yang harus kukatakan, apa yang kemungkinan akan terjadi,apa yang seharusnya kukatakan, jika aku mengatakan aku belum menemukan pasangan dansaku apakah dia akan mengajakku, jadi..
"Belum tahu". Lega. Aku sudah mengatakkannya. Aku menunduk, menampangkan wajah sedihku.
"Oh.. sabarlah, pasti ada seseorang yang akan mengajakmu" Hah.. itu keluar, kata yang tak pernah kuinginkan sebelumnya. Karena aku berfikir dia akan mengatakan 'Aku juga, jadi.. maukah kau pergi denganku?'. Kenapa dia tidak peka sih?
Jadilah nada dalam kesunyian, cahaya dalam kegelapan, gambar dalam kebutaan. Mungkin itu makna yang disampaika Ron padaku. Sepertinya memang kehendak, aku memang harus berlagak baik pada semua anak laki-laki. Harry, Dean, Seamus, atau bahkan pada si mata Medusa –Draco–. Oke. Jadi itu tujuanku satu minggu ini.
Luna selalu memberiku beberap arti penting yang sangat sulit kukatakkan, makna dalam kata-kata yang ia ucapkan padaku sedikit menguras tenaga untuk berfikir, karena aku hanyalah gadis biasa yang ber IQ tinggi, jadi sesusah apapun itu aku pasti bisa mencapainya. Hari ini dia datang kerumahku. Aku membantu ibuku untuk menjaga toko bunga karena hari Minggu toko dibuka lebih awal dan Luna selalu datang untuk membantuku.
Tapi hari ini lain. Ibu melarangku menjaga toko, ia mengizinkanku untuk melakukan semua kesukaanku dengan Luna. Jadi aku dan Luna pergi kekamarku dan luar biasa.
"Jadi" kataku "kita mulai dari topik apa, fisika, matematika, bunga, ayahku, ibumu, atau kucingku?"
"Semuanya sudah pernah, bagaimana dengan pesta dansa?" Luna memulai.
"Aku tahu kau sudah punya pasangan, tapi aku, tidak sama sekali." Jelasku padanya.
"Ada dua orang, aku akan memutuskannya besok, karena pesta dimulai kurang tujuh hari lagi, maksudku satu minggu, dan yah.. aku tau bagaimana mereka akan sangat cepat mengatakan ini padaku."
Aku tahu ini menjijikan tapi jika aku tak datang, julukan apa lagi yang akan kudapat, siapa yang akan menyandang gelar nilai terbaik tahun ini. Sedikit sombong, tapi... hanya karena tak pergi ke pesta. Kutu buku, menikahi buku, pacar buku, semuanya yang mengandung pasangan dengan buku. Aku tak akan jauh pada buku karena itulah satu-satunya benda yang membuatku tidak bosan sama sekali. Sekali aneh ya tetap aneh. Aku ingin sekali berubah. Tapi berubah jadi apa?
" Jadi dengan siapa aku kelak?" tanyaku pada Luna " tidak ada yang akan benar-benar mengajakku apalagi mncintaiku, karena aku gila, gila ,gila"
" Baiklah, sedikit cerita untukmu" mulainya. " dulu Cho pernah mengatakan hal yang sama seperti yang kau katakan tadi, dia bingung hanya karena tak punya pasangan untuk pergi ke pesta dansa, tepat pada saat tahun pertama disekolah menengah. Kebanyakan anak laki-laki malu mengajak anak perempuan karena kau tahu kan umurnya masih sebelas dua belas. Dan itu sangat lucu." Luna tertawa, saat aku mengernyitkan sudut mulutku. " Lalu Cho bersikap baik pada semua anak laki-laki, lalu dia datang bersama Harry saat itu. Sekarang ia pindah ke Prancis karena urusan orang tuanya, aku sangat merindukannya, lalu.. tunggu, tahun pertama kau pergi dengan siapa?"
Sial. Kenapa harus bertanya sih. "Aku tidak datang karena... karena..." Luna mengangkat sebelah alisnya sambil menyangga dagu dengan kedua tangnnya.
"cacar air" Jawabku.
Aku tahu itu lucu, sangat lucu, bagaimana bisa aku... kau boleh tertawa.
"Jadi itu masalahnya" suaranya tak jelas karena tawanya. " oh.. malangnya gadis kecil ini"
Aku sedikit benci karena itu terulang kembali. Mungkin hal yang harus kulakukan kali ini adalah bersikap seperti apa yang disarankan Cho. Siap.
" Bagaimana aku bisa percaya dengan omongan dan saranmu, jika kau saja menertawakanku." Aku mulai cemberut. " Siapa yang kau pilih diantara kedua bocah laki-laki yang mengajakmu"
"Aku tidak tahu," Jawab Luna. "mereka tak memberiku banyak alasan untuk menjawab ajakannya".
"Ya, jika aku jadi kau aku akan mengatakan pada salah satu dari mereka yang keren, dan cocok jika berjalan denganku, maksudku tidak lebih pendek dariku,' ya, kau bisa pergi denganku', dan aku yakin itu tak mengecewakan". Aku sangat berharap saat ini aku adalah Luna.
"Mh.. aku tahu itu sama sekali tidak gampang, bagaiman dengan satu yang lain" Luna mencoba mencari sesuatu yang janggal.
"Kau bisa mengatakan 'maaf, seseorang telah lebih dulu mengajakku', dan selesai " kataku sambil tersenyum.
"Ya, itu tidak akan selesai jika ibumu tak datang untuk membawa kue coklat.. "
Kami berdua langsung menatap kearah depan pintu, dan baru kusadari ibuku telah berdiri disana sambil membawa nampan berisi kue coklat. Ibu tersenyum pada kami berdua, lalu ia masuk kekamarku dan menaruh nampan berisi kue di meja dekat kasurku yang berhadapan dengan Luna yang sedang duduk di kasurku sambil memeluk Crookshank.
"Terima kasih nyonya Granger" Luna tersenyum.
" Kalian sangat asyik, lanjutkanlah, aku akan pergi ke klinik terlebih dahulu"
Ibuku keluar dan menutup pintu kamarku. Sedikit komentar untuknya. Bagaiman ia membuat kue ini jika pasiennya saja sedang menunggu dengan hati yang tinggal separo di klinik?
"Kenapa ibumu membiarkanmu makan kue coklat, kau kan anak seorang dokter gigi, jika gigimu.. kau tahu maksudku, bagaimana?
" Pertanyaanmu aneh" karena dia temanku, kata-katanya pun semakin lama semakin aneh karena penyakit anehku tertular. " kalaupun ibuku seorang dokter gigi, dia akan memberikan padaku perawatan plus-plus kau tahu?"
"Tidak. Sama sekali." Jawabanya menjengkelkan aku sangat ingin memuntahkan kue coklat yang kukunyah ini didepannya. Tapi, menjijikan. Makanan adalah sahabat ketigaku setelah buku, dan Luna. Jadi aku yakin ketika kalian dalam masa bulan kalian, makan adalah hobi mu, nah setelah selesai kau akan marah pada badanmu karena beban tubuhmu bertambah. Coklat. Coklat itu kadang kala sangat diinginkan dan dimusnahkan. Satu karena keromantisan pacarmu, kedua coklat itu enak, ketiga coklat seperti morfin. Dan dimusnahkan maksudnya, satu karena membuatmu ketagihan, kedua membuatmu gendut, ketiga kau akan terkena kolesterol dan MATI. Bagus. Jangan pernah makan coklat oke.
Seperti biasa aku takkan pernah mencoba eksperimen yang sangat dibebankan diotakku. Luna memberiku banyak jawaban yang sangat sulit ditebak karena kegilaan dan keanehan yang dibuatnya sedikit membuatku takut akan sesuatu. Sangat rumit.
"Sedikit peringatan untukmu jika kau tak datang, siapa yang akan mendapatka penghargaan peroleh nilai ujian terbaik" Luna sedikit memanipulasi.
"Anak yang dulu satu kelas denganku di kelas dua tahun mungkin" Ya.. benar meskipun aku tak mengikuti program itu lagi, guru-guru menyayangkanku jika aku tetap menginjak kelas dua. Jadi mereka membiarkanku masuk ketahun ketiga sekolah tapi tetap pada kelas anak normal. Maksudku, kelasku rata-rata berumur lima belas tahun.
.
.
.
.
Pagi hari. Hari selasa, enam hari lagi pesta itu akan dimulai dan tak ada yang mengajakku. Malangnya nasibku. Aku membuka perlahan mataku untuk melihat bagaiman semangatnya matahari menyambut kedatanganku dipagi hari. Berlebihan? Tentunya, aku memang berlebihan. Jadi hari ini takkan ada pelajaran, karena setelah ujian kami hanya akan mengetahui nilai ujian kami yang telah kami selesaikan selama satu minggu penuh, dengan pelajaran-pelajaran yang bahkan aku sangat menyayanginya. Sekarang mari jalani hidup dengan sedikit senyuman.
Aku berjalan perlahan menuju kerajaanku, perpustakaan sekolah tentunya. Dengan kepala menunduk meresakan ketebalan daging bagian dalam pipiku yang sedang kugigit sekarang. Kebiasaan yang sampai sekarang tak hilang sejak dulu. Diam. Ya.. aku tahu itu sangat membosankan. Tapi kali ini kebosanan akan menghilang karena pintu istanaku telah terbuka. Saberkas senyum mulai nampak dari bibirku lalu aku masuk menuju singgah sanaku. Aku mengambil beberapa bacaan ringanku. Beberapa novel fiksi, novel tenlit, dan komik. Itu membuatku sedikit beristirahat dan menurutku ini juga boleh disebut refresing.
Perasaanku mulai aneh, karena hanya masalah itu saja aku sangat terbebani dan aku ingin sekali menjerit sekuat tenaga. Sekarang tugasku yang satu itu tak akan selesai. Aku mendengar seseorang menggeret sebuah kursi. Tiba-tiba..
"Hai manis..."
Bisa kutebak dengan jelas bahwa hanya satu orang yang memanggilku dengan sebutan sangat 'terhormat' itu. Aku menoleh perlahan. Lalu mengambil sebuah note kecil dari dalam tasku. Lalu kutulis, 'tidak ada yang boleh bicara didalam perpustakaan tuan blonde hair, kau akan mengacaukan suasana.' Lalu kuberikan padanya.
Yang membuatku sangat sangat terganggu adalah, dia malah tersenyum menyebalkan, menyangga kepala dengan tangan kirinya, dan menyondongkan kepala sambil menatapku.
"Apa yang kau lihat". Suaraku tak lebih keras dari bisikan.
"Tidak ada, hanya ingin melihatmu". Jawab Draco.
Aku melanjutkan bacaanku sambil mengira bahwa Draco tidak ada disampingku.
"Aku tahu sebenarnya kau gadis baik, kenapa kau selalu mengacuhkanku?" Tanyanya. "dengar ya Ms. Granger, aku tak sejahat yang kau kira, aku punya hati kecil yang paling dalam yang sejak kemarin ingin sekali aku utarakan kepadamu, bukan kejuatan. Tapi aku tahu kau akan terkejut mendengarnya". Katanya.
Apa sih yang dia inginkan. Aku tak pernah mencoba untuk berani menatapnya karena, sudah ku katakan padamu di-awal . Aku tahu aku munafik, aku selalu tenggelam dalam kemunafikan. Aku hidup dalam orang-orang yang kuanggap munafik. Jadi, aku tak akan mungkin mengatakan kepada orang-orang ini karena aku juga munafik. Aku tahu aku juga menyukainya, hanya sekedar suka sebagai fans. Seperti anak-anak gadis yang lain. Aku memang masih kekanak-kanakkan, tapi aku tahu mana orang jelek dan mana orang tampan. Dan Draco masuk dalam kategori 'tampan'. Hah.. munafik.
"Apa maumu?" tanyaku, dan aku menggunakan penekanan disetiap suku katanya.
"Mauku?" ekspresinya menjengkelkan. "Kau mau tahu?"
Aku hanya menghembuskan nafas sambil memutar kedua bola mataku.
"Ya sudah, jika kau tidak mau tahu, aku juga tak akan memberi tahu tentang ini padamu" Ketusnya pelan.
"Oh.. baiklah. Apa itu?"
"Jadi kau mau tahu?"
"Yy-yaa,"
"Berikan senyuman untukku,"
"Tidak mau,"
"Baiklah aku akan pergi," Draco bangkit dari kursinya dan aku menarik tangannya. "Oke.. oke". Jawabku. Apa? Aku menarik tangannya. Dengan cepat aku menarik tanganku kembali, maksudku melepaskannya.
"Bagus.." Draco tersenyum sambil kembali duduk.
"Jadi apa 'itu' tuan blonde hair ?" kataku sambil sanyum yang sangat terpaksa.
"Aku gugup.. oh..aku sangat gugup." Katanya. Ku jawab dengan bahasa slang 'nggak usah lebay deh..'. Lalu dia sedikit kaget dan seperti tak pernah mendengar kata itu digunakan pada saat ini.
"Jadi kau mau tidak menjadi pasanganku pada pesta dansa?" Keluar. Aku tak pernah menyangka kata itu akan keluar dari mulut sang idola, jika aku menolak aku akan pergi dengan siapa lagi. Waktunya membuka kapsul waktu yang telah kukumpulkan menjadi satu bagian dan sekarang aku harus berani untuk merasakan isi dari kapsul itu. Baiklah.
"Mh... bagaimana ya.. " sedikit jual mahal. "Aku akan mh.."
Dan sekarang kata 'nggak usah lebay deh' keluar dai mulutnya.
"Aku tidak berlebihan aku hanya... mh.."
"Ku anggap Iya" katanya sambil pergi, meninggalkanku.
Bersambung
A/N : terima kasih sudah menyempatka membaca fict ini. Buatan saya yang sangat tidak mempesona. Ini adalah fict yang lebih mendekati sinetron yang saya buat, ceritanya atau diksinya mungkin sangat berlebihan. Jadi saya harap kritik dan saran teman-teman yang sangat membantu saya untuk menyelesaikan fict ini. So review ya...
