THE LAST THING LOST

A Sasunaru fict.

Rate: M

Romance/Angst

Story by charlottecauchemar

Inspired by Demi Cinta, a Kerispatih's song

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning:

AU. OOC. Yaoi. Lemon/Lime in later chapter.

Summary:
"Lepas… kumohon…" suaranya mulai melemah. Pukulannya berubah menjadi genggaman di baju seragam pemuda berambut hitam di hadapannya. "I hate you… I hate because you make me love you 'till it hurts…" -A Sasunaru fict-


"Haah… segarnya…"

Pemuda berambut pirang itu membuka jendela kamar di lantai duanya yang menghadap ke luar. Angin dingin pagi hari segera menyambutnya, membuatnya membuka mata lebar-lebar.

Disapukan pandangannya ke jalanan yang ada di bawah. Segera matanya menangkap objek yang dicarinya. Seorang pemuda berambut hitam sedang berdiri dengan bersandar ke pagar apartement bobroknya. Tangan pemuda itu sibuk dengan setangkup roti bakar yang sepertinya merupakan sarapan paginya.

"Ohayou…" teriaknya kepada pemuda itu. Mata biru langitnya bertemu pandang dengan mata hitam onyx.

"Ohayou…" balasnya sambil tersenyum. "Kau mau tidur sampai kapan? Kita harus segera berangkat ke sekolah…"

"Iya iya senpai…" katanya mengejek. "Tunggu 10 menit!"

Dengan itu, pemuda berambut pirang itu kembali masuk ke apartemennya dan bergegas menuju ke kamar mandi.

Tidak sampai 10 menit, dia sudah berpakaian lengkap dan dengan terburu-buru menuju ke halaman depan hanya untuk mendapati pemuda berambut hitam itu sudah tidak ada di tempatnya.

"Masa' aku ditinggal, sih… belum juga 10 menit…" gerutunya. " Dasar Sa…"

Tak sempat diselesaikannya kalimatnya ketika dirasakan sepasang lengan yang kokoh merengkuh tubuhnya dari belakang.

"Kau lama…" pemilik tangan itu kini membenamkan kepalanya ke leher pemuda yang ada dalam dekapannya. Diciumnya leher jenjang itu sambil sepuasnya menghirup aroma jeruk yang menguar dari rambut pirang itu.

"Ngghh…" erang pemilik mata biru yang kini terpejam. "Lepas… kita bisa… nggh… terlambat…" lanjutnya sambil berusaha melepaskan pelukan pemuda yang lebih tua darinya itu.

"Makanya, jangan suka bikin aku menunggu…" katanya sambil memberikan kecupan terakhir sebelum melepaskan tubuh yang mulai sedikit berontak itu.

Dilihatnya wajah pemuda berambut pirang itu yang sedikit memerah. "Aku suka wajahmu yang memerah begitu…" katanya sambil meraih pipi yang semakin bersemu itu. Disentuhnya tiga buah garis yang memanjang di pipi yang lembut itu.

"Berhenti menggodaku, brengsek…" Ditepisnya tangan yang mulai turun ke tengkuknya itu. "Berangkat, sekarang!"

"Aye aye, Sir!" godanya lagi. Kali ini sambil melangkah mengikuti pemuda yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.

Setelah bisa menyamai langkah pemuda pirang itu, dikeluarkannya tangannya dari saku jaket yang dipakainya dan meraih tangan pemuda di sampingnya.

"Tanganmu dingin…"

Ditunggunya jawaban yang akan keluar dari bibir pemuda itu. "Kau kenapa… Naruto?" tanyanya setelah diperhatikannya bahwa pemilik mata biru itu memandang kosong jalanan di depannya, sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakannya sedari tadi.

"Huh?" katanya setelah sadar bahwa sepasang mata onyx tengah menatapnya dengan khawatir. "Apa? Kamu ngomong apa tadi?"

Pemuda itu menarik napas panjang sebelum menghentikan langkahnya. "Kau sedang memikirkan apa sih? Sampai aku ikutan dicuekin gitu…"

"Bu… bukan gitu!" Naruto mulai panik melihat pemuda itu berjalan meninggalkannya. "Jangan ngambek, Sa…"

Kembali ucapannya terpotong karena sepasang bibir yang menekan lembut bibirnya secara tiba-tiba. Sedikit terkejut, tapi akhirnya dia memejamkan matanya menikmati ciuman yang diberikan kekasihnya itu.

"Kalau gitu, bilang sama aku…" ujarnya setelah melepaskan ciuman itu.

"Ngg…" Naruto terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Aku sedang berpikir… bagaimana kalau kau… lulus nanti…" wajahnya tertunduk.

"Oh… Cuma itu…" katanya sambil melanjutkan langkah.

Naruto terkejut dengan kelakuannya. Sementara dirinya sangat bingung dengan hal itu, tapi orang itu bisa dengan tenangnya menjawab seakan tidak ada apa-apa yang terjadi?

"Kalau kau lulus… apa kau akan meninggalkanku?" tanyanya lagi. Kalimat itu berhasil menghentikan langkah pemuda berambut hitam itu.

"Naruto…" panggilnya tanpa membalikkan badannya. "… kemarilah."

Dipatuhinya perintah itu. Begitu sampai disampingnya, didapatinya pemuda yang lebih tua darinya itu menepuk pelan kepalanya.

"Jangan bodoh, Naruto… Siapa yang bilang aku akan meninggalkanmu?"

"Habis… kau pasti akan melanjutkan ke universitas, sedangkan aku akan melanjutkan pendidikanku di SMA-mu, di sini…" katanya sambil bergerak menuju pemuda itu dan membenamkan kepalanya di dadanya yang bidang. "Kau bilang kau mau melanjutkan kuliahmu di Konoha kan?"

"Baka… Konoha itu dekat dari Suna. Naik kereta saja cuma 3 jam." Dibelainya rambut pirang pemuda dalam pelukannya itu. "Aku akan sering-sering datang setiap akhir minggu. Lalu kalau aku tidak bisa datang, kau bisa menjengukku sekali-kali." Kali ini diciumnya kepala Naruto, menghirup sebanyak-banyaknya aroma jeruk yang sangat disukainya itu.

"Ta… tapi… di Konoha pasti banyak yang lebih baik daripada aku. Aku takut…"

"Naruto, lihat aku…" dipegangnya wajah pemuda yang kini mulai mengeluarkan air mata itu. "Nggak ada yang bisa mengganti kamu di hati aku. Nggak ada dan nggak akan pernah ada. Selalu. Selamanya. Cuma kamu." Dihapusnya butir-butir bening yang masih mengalir dari mata biru langit itu. Kemudian dipeluknya pinggang pemuda itu dan mendekatkan bibirnya dengan bibir milik orang yang sangat dicintainya itu. Naruto yang melihat gelagat itu, melingkarkan tangannya di leher kekasihnya dan memejamkan matanya.

Sebuah ciuman di pagi hari yang sanggup melelehkan gunung es keraguan yang ada di hati Naruto. Pemuda itu menekan kepala Naruto dengan sebelah tangan untuk memperdalam ciumannya. Kemudian, dijilatnya bibir lembut itu, meminta izin untuk masuk. Naruto membuka sedikit mulutnya untuk memberikan jalan bagi lidah kekasihnya untuk masuk ke dalam rongga mulutnya. Dijelajahinya dengan perlahan dan disapunya langit-langit mulutnya yang membuat Naruto sedikit mengerang dalam ciuman itu. Tak mau kalah, Naruto mulai melawan kekasihnya itu. Lidah bertemu lidah, berusaha saling mendominasi, yang tentu saja dimenangkan oleh pemuda berambut hitam.

"Ngghh…" erang Naruto ketika lidah itu kembali bermain dengan lidahnya.

"Ehem… pagi-pagi udah panas gini…" Sebuah suara menginterupsi kegiatan mereka.

"Eh… Ki… Kiba…" Naruto langsung melepaskan dirinya dari pelukan kekasihnya, sedangkan pemuda berambut hitam itu memandang Kiba dengan tatapan membunuh.

Dilihat dengan tatapan seperti itu, mau tak mau Kiba mundur satu langkah. "Kelihatannya, a… aku mengganggu ya? Hehehe…" ujarnya sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Lanjutkan saja, Senpai. Aku tidak akan bilang apa-apa lagi." Dia mulai berjalan mengitari kedua orang –lebih tepatnya Naruto- yang masih salah tingkah.

"Nggak kok, Kiba… kita bareng aja ya…" Naruto melangkah mendekati sahabatnya itu, dan melambaikan tangan pada senpainya yang masih tidak beranjak. "Sampai ketemu nanti siang, Senpai!"

Hahh… pemuda itu menarik napas panjang sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan kohai yang sangat dicintainya itu.

'Kalau kau lulus nanti… apa kau akan meninggalkanku?'

~oOo~

"Naruto! Kau mau ikut?" Kiba kini sudah ada samping meja Naruto. Bel pulang baru saja berbunyi 5 menit yang lalu.

"Ke mana?" Tangannya masih sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

"Ada kafe baru yang di buka di depan stasiun. Katanya, ramen di sana enak sekali. Mau nggak?"

"Gimana ya?" Naruto melirik jam tangannya. "Bentar lagi anak-anak SMA bakalan keluar." Dia berpikir sebentar. "Tapi katanya, dia mau ada rapat apaaa… gitu. Jadi, kayaknya nggak papa deh. Aku ikut kamu aja, ntar balik lagi ke sini."

Tentu saja Kiba tahu siapa yang dimaksudnya dengan 'dia'. Pasti pemuda berambut hitam tadi pagi.

"Kalo gitu, tunggu apa lagi? Berangkat sekarang aja!"

Kiba segera mengambil tasnya dan menuju ke pintu keluar kelas sedangkan Naruto mengikuti di belakangnya. Mereka berjalan di koridor tanpa banyak halangan karena kebanyakan anak langsung pulang begitu bel pulang berbunyi pada pukul 14.00. Karena mereka sekarang sudah kelas XI, maka kelas mereka pun berada di lantai teratas, yaitu lantai ketiga.

Butuh waktu sekitar 10 menit sebelum akhirnya mereka berdua sampai di gerbang samping di bagian barat. Mereka tidak lewat gerbang utama karena biasanya pada jam-jam pulang sekolah seperti ini tempat itu dikuasai oleh anak-anak SMA.

Sekolah mereka adalah Suna High School. Di sini, SMP dan SMA disatukan, hanya saja berbeda gedung. Letak gedung SMP adalah gedung baru yang dibangun lebih masuk ke komplek sekolah, maka mudah bagi anak-anak SMA untuk menguasai halaman depan yang banyak terdapat pohon-pohon yang lumayan rindang di siang hari.

Dan 20 menit kemudian, Kiba dan Naruto telah sampai di tempat yang dimaksud oleh Kiba. Sebuah kafe dengan tatanan yang sederhana namun terlihat menarik bernama 'Ichiraku'.

"Beneran ada ramen yang enak di sini?"

"Yah… kita lihat aja dulu. Anak-anak sih pada bilang gitu…" Kiba langsung masuk tanpa menunggu Naruto dan mengambil kursi di samping jendela.

"Ngapain ngambil yang 4 kursi? Kita kan cuma berdua. Buang-buang tempat aja!" kata Naruto sambil mengambil tempat di seberang Kiba.

"Alah… ntar juga kamu tahu…"

Tepat saat itu , seorang gadis berambut biru panjang dengan seragam sekolah St. Marianne, sebuah sekolah khusus wanita, masuk melalui pintu yang tadi dilewati oleh Naruto dan Kiba.

"Hinata!" panggil Kiba dengan semangat.

"Elah… pantes aja dia semangat banget…" gerutu Naruto. Dia meletakkan dagunya bertumpukan pada telapak tangannya.

"Kiba-kun…" ucap gadis itu begitu sampai di samping mereka berdua. Kiba bergeser tempat duduk untuk memberikan tempat pada Hinata. "Naruto-kun…" tambahnya ketika menyadari kehadiran pemuda berambut pirang itu.

"Wah… sepertinya aku mengganggu kencan kalian nih… bukan salahku lho, Kiba yang mengajakku…" goda Naruto. Dia tertawa kecil ketika melihat gadis di hadapannya tersipu.

"Bu.. bukan kencan kok… kami cuma ja… janjian buat makan siang aja…"

Pipi Hinata makin bersemu merah.

"Berarti nggak papa dong kalo aku pergi sekarang?" Naruto bangkit berdiri tapi ditahan oleh tangan Kiba.

"Kalo kamu pergi sekarang, aku nggak akan anggap kamu temen lagi!" ancamnya. Naruto bisa melihat wajah Kiba yang sekarang sudah memerah seperti gadis di sampingnya.

Dia hanya mengangkat bahu melihat kelakuan sahabatnya itu kemudian kembali duduk. "Apapun katamu lah! Tapi berarti kamu yang traktir aku ya!"

Kiba mengangguk perlahan dan kemudian memanggil pelayan untuk memesan makanan. Tak berapa lama kemudian, 3 mangkok –dengan 1 mangkok jumbo- ramen tersedia di hadapan mereka.

Naruto memandang sepasang kekasih yang memakan makanan mereka dengan malu-malu. Dia hanya tersenyum kecil. Bukannya Naruto tidak tahu bahwa kedua orang temannya itu sudah jadi 'lebih dari sekedar teman' sejak seminggu yang lalu. Bagaimana tidak, setelah berhasil menyatakan perasaannya pada Hinata dan mendapatkan jawaban yang memuaskan, Kiba langsung mengabarinya dan menceritakannya berulang-ulang selama tidak kurang dari 2 jam, yang berhasil membuat kupingnya memerah.

Dengan kecepatan penuh, dia menghabiskan ramen porsi extra besar miliknya. Dilihatnya Kiba dan Hinata juga telah mengosongkan mangkok mereka.

"Ayo pergi," ajaknya begitu Kiba selesai membayar di kasir.

Begitu sampai di depan kafe, Naruto memisahkan diri dari kedua temannya itu. "Aku harus balik ke sekolah. Sampai ketemu di sekolah hari Senin, Kiba!"

Baru beberapa langkah berjalan, Naruto berbalik menghadap temannya dan berbicara dengan cukup keras kepada Hinata. "Hinata-chan! Kalau si bocah anjing itu berani macam-macam, pukul saja kepalanya, biar dia sadar!" Dia melambaikan tangannya kemudian berlari. Didengarnya sumpah serapah Kiba yang membuatnya tertawa kecil

~oOo~

Kenapa sampai dia juga harus rapat di lantai tiga sih? Menyusahkan saja…

Naruto terus berjalan menyusuri koridor di gedung SMA sambil terus menggerutu. Bukannya dia tidak tahu gedung itu, dia sering ke sini untuk menjemput atau hanya sekedar menemui kekasihnya itu. Hanya saja, gedung yang cukup luas itu sudah sepi. Hanya beberapa orang yang ditemuinya. Lampu-lampu di kelas sudah dimatikan. Naruto melirik jam tangannya. Sudah jam 3… kuharap dia belum pulang…

"Kau belum pulang, Dei?" Naruto berhenti ketika mendengar suara yang amat dikenalnya itu dari sebuah kelas yang masih terang dengan pintu yang sedikit terbuka. Tak ingin mengganggu pembicaraan, Naruto mengintip dari celah yang terbuka itu.

"Sebentar lagi, un. Aku hanya sedang memikirkan mau membuat apa untuk pameran seni sekolah bulan depan." Seorang pemuda berambut pirang –yang sepertinya bernama Dei- menjawab pertanyaan itu. Naruto tak bisa melihat wajahnya karena dia duduk membelakangi pintu.

"Yang biasanya kau buat juga bagus kok! Nggak dicoba aja? Yang dari tanah liat itu lho…" kembali, pemuda berambut hitam itu bertanya.

Dei menarik napas panjang. "Kamu sih enak, un, nggak perlu bingung-bingung. Lukisan kamu kan nggak pernah mengecewakan…"

Pemuda itu tertawa kecil. "Kamu terlalu berlebihan, Dei… Cuma kebetulan aja kok…"

"Kamu terlalu merendah tahu…" Dei berdiri dari tempatnya semula dan berjalan mendekati kursi tempat di mana pemuda bermata onyx itu sedang menatapnya. Sepasang mata biru langit menatap pemandangan itu dengan tatapan cemburu. "Nggak heran, Universitas Oto berani ngasih beasiswa penuh untuk kamu…"

Mendengar itu, bola mata biru itu kini berganti dengan tatapan bingung. Oto… nggak mungkin…

Mata hitam pemuda itu sedikit meredup. "Aku nggak pernah mengharapkannya… Tapi Ayah tetap ingin aku melanjutkan ke sana…"

"Kenapa nggak? Kita semua tahu, banyak lulusan Oto yang jadi seniman hebat, un. Harusnya kamu bangga dong bisa jadi salah satu dari mereka…"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya pelan. "Oto terlalu jauh dari Suna. Nggak mungkin aku bisa bolak-balik tiap minggu Suna-Oto."

Dei terlihat mengerti apa yang sedang dibicarakannya. "Anak SMP yang kelewat ceria itu kan, un? Kamu nggak bisa ninggalin dia gitu aja…"

Pemuda itu tersenyum kecil.

"Terus, kamu belum bilang apa-apa sama dia, un?"

Gelengan pemuda berambut hitam itu menjawab pertanyaannya.

"Lebih baik kamu cepat kasih tahu anak itu. Dia bakal lebih sakit hati kalau kamu nggak kasih tahu kamu bakalan ke Oto alih-alih ke Konoha, un."

"Aku nggak tahu harus ngomong apa sama dia. Aku takut… dia bakal marah besar sama aku…"

Hening. Kedua pemuda di dalam kelas maupun pemuda di pintu kelas tidak ada yang bersuara. Sedangkan pemuda pirang yang kini memegang kenop pintu dengan tangan bergetar, dia terlalu sibuk menata hatinya setelah mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.

"Terus? Kamu nggak bisa diam terus kan, un? Apa yang bakal kamu lakukan?" Melihat pemuda di hadapannya tidak menunjukkan adanya tanda-tanda akan menjawab, dia menambahkan. "Kamu mau mutusin dia?"

Jangan… please, bilang nggak… pleasebola mata biru langit yang biasanya bersinar dengan keceriaan sekarang sudah dipenuhi dengan air mata yang memaksa ingin keluar. Aku mohon… jangan bilang mau putus sama aku…

"Mungkin…" jawab pemuda itu dengan suara yang amat lemah, namun masih cukup untuk bisa didengar 2 pasang telinga yang dengan setia mendengarkan. "… itu yang terbaik buat kami berdua…"

Air mata pemuda pirang itu kini sudah menyeruak. Tak didengarnya kalimat apapun yang mungkin keluar dari pemuda berambut hitam di dalam kelas itu. Entah kekuatan darimana yang dapat membuat kakinya berlari dari tempat itu dengan sangat kencang. Hatinya sakit, sangat sakit mendengar orang yang sangat dicintainya berkata seperti itu. Padahal baru tadi pagi dia bilang bahwa dia tidak akan meninggalkannya, bahwa hanya dia satu-satunya. Dia terus berlari, tanpa tahu ke mana kakinya membawanya.

~oOo~

Kisetsu wa odayaka ni owari o tsugeta ne

Iro do rareta kioku ni yosete

Sayonara Ai o kureta ano hito wa

Kono hitomi ni yurameiteita…(1)

Pemuda itu mengambil HP-nya yang tidak mau diam. Secepatnya… aku harus ganti ringtone ini…

"Hm…?" katanya malas-malasan.

"Naruto!" Suara Kiba terdengar sangat bersemangat di ujung telepon. Guess he had a nice date with Hinata-chan…

"Dengar…" ujarnya tanpa menunggu pemuda pirang itu menjawab. "… seharusnya kau jangan pergi dulu tadi. Tadi setelah dari Ichiraku, kami berdua…" tapi Naruto tak mendengarkan apa yang dikatakan selanjutnya oleh sahabatnya itu. Dibiarkan pikirannya melayang jauh, berusaha melupakan apa yang didengarnya siang tadi.

Percuma. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya.

'Kamu mau mutusin dia?'

'Mungkin… itu yang terbaik buat kami berdua…'

Sejak kapan keputusan seperti itu jadi yang terbaik?

"… dan dia bilang besok dia mau jalan lagi sama aku! Kau dengar itu, Naruto?" tanya Kiba dengan penuh antusias. Tapi Naruto sama sekali tidak mendengarkannya, dia terlalu sibuk dengan dunianya.

"Halooo… bumi kepada Naruto… Kau masih di sana kan? NARUTO!"

"Uh… huh?" teriakan Kiba berhasil menyadarkan Naruto dari lamunannya. "Apa? Nggak usah teriak-teriak juga aku dengar, tau!"

"Oh yeah? But you didn't," katanya dengan nada mencemooh.

"I… I'm sorry, ok," ujarnya setelah sadar bahwa sahabatnya itu mulai sedikit kesal. "Look… I'm busy right now. So I can't… er… I just… emm… well, see you next Monday, ok?"

Sebelum Kiba sempat menjawab, Naruto sudah memutuskan hubungan dan melempar HP tak berdosa itu ke tempat tidur setelah menonaktifkannya. Sedangkan dia berbaring di ranjang tanpa mengganti seragam dan menutup wajah dengan tangannya.

Di tempat lain, Kiba memandang HP-nya sendiri dengan tatapan 'WTF'. Anak itu kebanyakan makan ramen ya?

~oOo~

"Naruto… kau ada di dalam?" Pemuda berambut hitam itu memutar kenop pintu. Tidak dikunci. Mungkin dia ketiduran…

Ketika sampai di depan pintu kamar tidur yang amat dikenalnya, dia membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam dan mendapati seorang pemuda berambut pirang tertidur di atas ranjang. Dia tersenyum. Lebih baik tidak mengganggunya… kelihatannya dia sangat lelah…

Lagi-lagi dengan sangat perlahan ditutupnya pintu kamar dan melangkah menuju dapur. Dibukanya pintu lemari es. Setelah mengacak-acak sedikit, didapatinya apa yang sedari tadi dicarinya. Bongkahan es batu. Setelah itu, dibukanya lemari di samping lemari es, dan mendapatkan lap yang cukup bersih. Ditaruhnya beberapa bongkah es batu di atas lap itu kemudian dibungkusnya sedikit asal-asalan. Puas dengan hasil kerjanya, dibawanya lap itu ke pipinya, berusaha untuk mendinginkan pipi kirinya yang terlihat membiru. Dei sialan… nggak perlu mukul sekeras itu kan?

Merasa sudah cukup baikan, dia menaruh lap itu di tampat cuci piring dan berjalan menuju kamar tidur yang tadi diintipnya.

Ketika sampai di sana, didapatinya Naruto tengah duduk di tempat tidurnya, sedang mengucek matanya. Dia melangkahkan kakinya sambil tersenyum, senyum hangat yang hanya diberikannya pada rubah kecilnya itu. "Naruto… kau tidak ke kelasku hari ini. Nggak lupa kan kalau aku ada rapat? HP-mu juga nggak aktif. Aku pikir ada apa-apa terjadi padamu. Syukurlah ternyata kamu cuma kecapekan dan ketiduran di sini…" ujarnya sambil duduk di sisi lain ranjang Queen Size itu.

Dan tidak disangkanya, bukan pelukan manja seperti biasa yang diterimanya, sebuah bantal yang tadinya ada di pelukan Naruto, kini melayang ke wajahnya.

"Hei!" ujarnya kaget. Bantal itu dengan sukses mengenai mukanya yang tak sempat menghindar. "Kau kenapa, Naruto?"

"Pergi…" gumam pemuda pirang itu tanpa memandang mata onyx yang kini menatapnya dengan bingung.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Aku bilang pergi, Tuan Jenius… kata predikat sederhana seperti itu harusnya bisa diterima oleh otakmu itu!"

Mata onyxnya melebar. Naruto tidak pernah membentaknya seperti ini. Bertengkar pernah, pastinya. Namun Naruto tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. "Hei… ada apa denganmu, Naru-koi…?"

Kali ini, sebuah boneka rubah dilayangkan padanya, tapi dia berhasil menghindar dan membuat boneka itu sukses mencium lantai.

"Nggak ada apa-apa denganku. Dan jangan panggil aku seperti itu lagi! I hate you!"

Ok… pasti ada yang salah dengannya…

"Naruto… ada masalah apa? Kau tahu kau bisa cerita semuanya padaku…"

"Masalah? Nggak ada masalah apa-apa, kau dengar itu? Sekarang pergi!" wajahnya merah menahan amarah yang sudah ditahannya sejak siang tadi. Tangannya yang menunjuk ke pintu bergetar sangat hebat.

Pemuda itu menurunkan tangan Naruto dengan sebelah tangannya. Dia benar-benar tak habis pikir, apa yang dilakukannya sampai membuat pemuda di hadapannya benar-benar kehilangan kendali?

"Aku… kau marah padaku, Naruto?" tanyanya akhirnya.

Naruto tertawa dengan sinis. "Marah? Kau tanya apa aku marah padamu? Setelah kau bilang kau mau putus dariku, kau masih tanya apaaku marah padamu?" Nada bicaranya semakin tinggi di setiap kalimat.

"Pu… putus? Kapan aku bilang aku…" oh crap! Dia pasti dengar pembicaraanku dengan Dei tadi siang. "Naruto… aku bisa jelaskan semua ini. Kau pasti tidak dengar sampai selesai, kan?"

"Buat apa? Semua itu nggak penting sekarang! Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi!"

Tanpa diduga, pemuda berambut hitam itu melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Naruto yang masih terus berteriak-teriak di telinganya.

"I love you, Naruto. No matter what… I won't break up with you…"

"Lepas! Lepas aku bilang! Lepas! Lepas!" mata biru langitnya kini mulai mengeluarkan butiran bening yang seakan tidak ada habisnya. Tangannya memukul-mukul dada pemuda yang masih terus memeluknya dengan erat itu.

"Lepas… kumohon…" suaranya mulai melemah. Pukulannya berubah menjadi genggaman di baju seragam pemuda berambut hitam di hadapannya. " I hate you… I hate because you make me love you 'till it hurts …"

Pemuda itu tersenyum mendengar kata-kata itu. Tidak dipedulikannya bagian depan bajunya sudah basah oleh airmata.

"Lihat aku, Naruto…" Naruto mengangkat wajahnya yang masih sembab. Tangisannya sudah mereda menjadi isakan kecil. Diciumnya cepat bibir yang sekarang terasa asin karena bercampur airmata itu.

"Well… sebenarnya aku nggak mau kamu denger hal itu dari orang lain. Aku ingin memberitahumu sendiri, bukan dengan cara seperti tadi." Ditatapnya mata biru langit yang balik menatapnya.

"Jadi… kau benar-benar akan… pergi ke Oto…?" Dirasakannya genggaman Naruto mengencang di bajunya.

"Itu… sebenarnya… well… ya…" Dengan susah payah dijawabnya pertanyaan itu.

Mata biru Naruto mulai berkaca-kaca lagi. "Kau mau… meninggalkanku?"

Lagi, hatinya sakit mendengar pertanyaan itu. "Hei… makanya, kubilang kau pasti tidak mendengarkan percakapanku dengan Dei sampai selesai kan?"

Malu-malu, Naruto menggeleng perlahan. Dan lagi, pemuda itu tersenyum.

"Waktu aku bilang, mungkin sebaiknya aku putus denganmu, Dei tiba-tiba naik pitam dan memukulku." Naruto memperhatikan pipi kiri pemuda itu yang masih terlihat membiru kemudian menyentuhnya perlahan. "Lalu dia bilang, jarak bukan halangan dan putus bukan jalan keluar, karena kita berdua akan sama-sama tersakiti. Dia benci orang pengecut seperti itu. Dengan alasan mungkin menemukan orang yang lebih baik lagi, seseorang tega menghancurkan hati pasangannya hanya untuk suatu kebahagiaan yang belum tentu didapat. Ya, Naruto, dia bilang aku pengecut," tambahnya ketika dilihatnya Naruto menatapnya dengan pandangan tidak percaya.

"Jadi… sepanjang sore tadi aku berfikir… aku akan berangkat ke Oto, 2 bulan lagi setelah kelulusan. Lalu… mengingat kau baru akan pergi ke universitas 3 tahun lagi, selama itu aku akan berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin, percuma meminta ayahku, mengingat dia tidak menyukai hubunganku denganmu." Dia berhenti sebentar untuk mengambil nafas.

"Dan setelah itu, aku harap kau mau melanjutkan kuliahmu di Oto. Kita bisa menyewa apartemen untuk kita berdua, tentu saja dengan uang yang aku hasilkan. And… well… if you don't mind, I will… umm…" kata-kata terakhir hanya keluar berupa sebuah gumaman tak jelas yang tak bisa didengar oleh sepasang telinga yang menunggunya.

"Yes?" tanyanya.

Pemuda itu menggaruk rambut hitamnya yang sama sekali tidak gatal. "Umm… yeah… will you… er… will you marry me?"

Mata biru itu sudah tidak bisa lebih lebar lagi. Jika mungkin, bola matanya yang akan loncat dari rongganya. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Aduh… jangan nangis lagi dong… kalau kamu memang nggak mau, aku juga…" kalimat berikutnya terpotong oleh bibir Naruto yang menekan bibirnya.

"Jangan bodoh…" katanya di sela-sela ciuman,"… aku menangis bahagia, tahu!" dijauhkannya bibirnya dari pemuda di hadapannya. "Yes yes yes yes! Itu keputusan akhirku. Berapa kali pun kau mau, aku akan mengulangi jawaban itu… kalimat itu yang aku tunggu selama ini, bodoh…"

Bibir pemuda itu membentuk sebuah senyuman. "Thank you, Naruto…"

~oOo~

Mata hitam itu terbuka perlahan. Cahaya matahari yang masuk dari jendela mengganggu tidurnya. Sedikit menggerutu, dia melihat objek yang kini ada dalam pelukannya. Senyumannya menggantikan gerutuan. Rambut pirangnya lebih acak-acakan daripada biasanya. Matanya masih terpejam. Selimut yang menutupi tubuh mereka berdua tak mampu menyembunyikan tubuh indah milik rubah kecilnya. Miliknya. His. Tanda merah di leher Naruto adalah buktinya.

Dibelainya rambut pirang itu. Sangat halus. Diciumnya puncak kepala pemuda itu yang menyebabkan bola mata biru itu tampak perlahan.

"G' Mornin'" katanya ketika melihat senpai kesayangannya memandanginya. Begitu sadar akan posisinya, wajahnya langsung memerah dan menarik selimutnya hingga ke dadanya yang telanjang. Kemudian dia duduk perlahan hanya untuk mendapati bagian bawah tubuhnya terasa sakit. "Auch…"

Senyum pemuda berambut hitam itu makin lebar ketika menyadari pipi Naruto memerah. "Sakit? Aku terlalu kasar ya tadi malam?"

"Brengsek…" gerutunya, tapi pipinya semakin memerah.

Pemuda berambut hitam itu menarik tangan Naruto sehingga sekarang kepala Naruto berada di atas dada bidangnya. Naruto tidak melawan, dia menyukai bau senpainya itu. Bau mint. Walaupun sekarang bau itu sudah tercampur dengan dirinya.

"Hei…" Naruto mengangkat wajahnya. Sekali lagi mandapati sepasang bibir menekan miliknya. "I love you, Naru-koi…"

Naruto tersenyum. Diciumnya sekali lagi bibir pink itu sebelum menjawab, "Love you too… Sai…"

- TO BE CONTINUED –

(1)English translate

I was told that the calm season is over

The differently colored memories gather

For those people, love ends in goodbye

Their eyes waver

-4th Avenue Café by L'arc~en~Ciel-


Edited.

Semarang. 110613.

.charlottecauchemar.