This is Our War
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Pairing: SasuNaru, ShikaNaru
Rated: M
Warning: Perombakan dan pencampur-adukan sejarah secara bejad, EYD berantakan, typo(maybe), imajinasi berdasarkan pelajaran geografi SMP, istilah kemiliteran yang aneh,konten dewasa, dll.
Genre: Romance, Tragedy, Hurt/Comfort
Summary: Naruto dan Sasuke. Dua Kolonel Tinggi dalam Perang Besar ke-2. Bertempur meninggalkan tunangan masing-masing yang menunggu di negeri suaka untuk saling membunuh satu sama lain. Kasih sayang yang timbul diantara darah para tentara, dan cinta yang melanggar perintah Para Petinggi.
DON'T LIKE, DON'T READ! So it's means no flame,ok?
.
.
.
Bumi mereka bukanlah bumi yang kita tinggali sekarang. Bumi mereka adalah bumi dimana dua benua, Eropa dan Asia bersatu membentuk Benua Eurasia. Satu-satunya benua yang layak ditinggali oleh manusia, dan satu-satunya benua yang memiliki tanah untuk dijajaki.
Benua Eurasia, benua besar yang dikuasai oleh dua negara berbeda. Sebelah barat, dimana tumbuhan hidup subur dan air melimpah ruah dengan udara sejuk dari pegunungan Alpen, dikuasai oleh Negara Api. Merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah dan dipimpin oleh pemerintahan yang menjunjung tinggi harga diri.
Sementara di sebelah timur, dikuasai oleh Negara Angin. Layaknya cermin, daerah kekuasaan Negara Angin merupakan kebalikan dari wilayah barat. Gersang, tandus, kering, namun memiliki hasil tambang emas murni dan berlian yang luar biasa. Minyak bumi tersebar di setiap sudut. Menjadikan mereka sebagai negara yang jauh lebih kaya dibandingkan Negara Api.
Kedua negara adidaya yang hebat. Dan juga keras kepala.
Sudah lebih dari 2 abad peperangan sengit terjadi diantara keduanya. Perang Besar ke-2 terjadi tak lama setelah Perang Besar Pertama berakhir. Setiap bayi yang lahir sudah ditakdirkan untuk 2 hal; mati di medan perang, atau hidup dalam ketakutan.
Keduanya bukanlah pilihan yang menyenangkan.
.
.
.
Wind Country Headquarter, Colonel Office.
Eurasia, February 12nd 1802.
Sesosok tegap memandang lurus dari balik kehormatannya yang bewarna hijau tua dengan berbagai macam pangkat di bahunya tergeletak di sudut ruangan. Hanya selembar kaus putih dan mantel hitam saja yang menutupi tubuh kekarnya.
"Menikmati pemandangan?"
Menyipit sejenak, sosok itu mengalihkan pandangannya kepada seseorang yang entah sejak kapan ikut memandang lewat jendela di sebelahnya. Dahinya berkedut seketika saat menyadari siapa yang berani menginterupsi lamunannya.
"Kupikir aku sudah menendangmu ke frontline, Shikamaru." Desahnya kesal. Kedutan itu tak juga hilang dari dahinya, malah semakin bertambah tatkala sang lawan bicara menguap lebar.
"Aku sudah menyelesaikan misiku, Kolonel." Sahutnya malas-malasan. Sebelah alis milik sang Kolonel terangkat tinggi.
"As expected from you," katanya mengangguk kecil. "Kalau begitu yang perlu kulakukan sekarang hanya memberikan misi lagi padamu."
"Cut it off. Kau adalah orang yang paling mengerti betapa malasnya diriku, Naruto. Dan kau pasti tahu bagaimana perasaanku setiap kali menerima misi yang merepotkan seperti kemarin." Sahut Shikamaru cepat.
Uzumaki Naruto, Sang Kolonel Negara Angin terkekeh pelan. Didekapnya tubuh Shikamaru dan membenamkan wajahnya di dada sang pemuda.
"Walau itu misi dariku?" godanya seduktif. Suara granat maupun tembakan yang terdengar dari luar sana tak menyurutkan hasratnya untuk menggoda Letnan Pertama di hadapannya ini. Seorang ahli strategi kebanggaan Negara Angin dan kekasihnya selama 4 tahun belakangan ini.
"Itu malah membuatnya lebih merepotkan," balas Shikamaru seraya balik memeluk Naruto. Dikecupnya bibir atasannya itu lembut. "Karena aku harus bekerja ekstra keras agar misi itu berhasil, atau aku tidak akan dapat 'jatah', hm?" bisiknya di telinga Naruto, membuat pemuda pirang itu mendengus geli.
"Tapi kau selalu berhasil, kan? Apapun misi yang kuberikan pasti kau selesaikan dengan baik."
"Kau benar," kata Shikamaru. Tangannya mengenyahkan mantel hitam yang tersampir di bahu Naruto dan menyelusupkan tangannya di balik kaus, menelusuri cetakan otot dan kulit yang terbentuk dengan baik berkat latihan militer yang dijalani kekasihnya sejak dulu.
"Karena itu aku meminta imbalanku sekarang."
Shikamaru mendorong Naruto dengan paksa dan segera memerangkap figure yang paling disegani dalam dunia kemiliteran itu cepat. Seringai kecil terpampang di bibir Shikamaru sebelum lengan kokohnya menarik pinggang Naruto dan mengelusnya pelan, membuat tubuh Naruto bergetar halus saat merasakan sensasi menggeletik di pinggangnya. Perlahan, Shikamaru membawa tubuh itu mendekat lalu memerangkap bibir ranum itu dengan bibirnya.
Ciuman itu terasa amat lembut pada awalnya. Hanya menekan halus dan menggesekkan permukaan bibir mereka. Namun dalam waktu singkat ciuman manis itu tergantikan dengan ciuman panas penuh nafsu dari Shikamaru saat pemuda itu mulai menjilat bibirnya, meminta akses menuju dirinya lebih dalam. Naruto yang mengetahui maksud terselubung itu-tentu saja-terlihat ragu-ragu dan tak kunjung membuka bibirnya. Dan Shikamaru, yang benar-benar tak bisa menahan diri untuk mencicipi pemuda itu lebih jauh sontak meremas pantat Naruto dan menggigit bibirnya.
"Akh!" Naruto yang terlalu kaget dengan sentuhan brutal seperti itu refleks berteriak. Shikamaru tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat dia melesakkan lidahnya ke rongga teritori pemuda emerald tersebut dan menjelajah isinya. Dengan gerakan sensual lidahnya menjilat langit-langit mulut Naruto dan mengabsen giginya, membuat Naruto mendesah tanpa sengaja.
"Ukh," Naruto mengerang tertahan saat Shikamaru menggoda lidahnya. Tanpa sadar Naruto mencengkram bagian depan jubah pemuda itu dan memiringkan kepalanya, mencoba mendapatkan posisi untuk mengakses bibir Shikamaru lebih dalam.
"Aku yakin Hyuuga akan membunuhku jika ia mengetahui hal ini." desah Shikamaru diantara pagutannya. Kedua bola mata Naruto memutar bosan sebelum menarik helaian rambut Shikamaru kasar dan menggigit lidahnya.
"Jangan menyebut nama Hinata disaat seperti ini, Shika. Kau menghancurkan mood-ku." Gerutu Naruto seraya mengusap sudut bibir Shikamaru yang mengeluarkan darah. Sang Seme menjulurkan lidahnya yang terluka dan membiarkan Naruto membersihkannya dengan ibu jarinya.
"Hanya mengingatkanmu, itu saja."
Naruto mendengus. "Dan sekarang ingatkan aku tentang apa yang terjadi pada sesuatu di bawah sini, Letnan." Ucapnya seduktif sembari menyentuh sesuatu di balik celana Shikamaru dengan gaya commander perang. Shikamaru menyeringai tipis.
"So, hurry…" bisik Si Pirang di telinga Shikamaru. "And satisfy me."
Dan suara desahan serta lenguhan penuh hasrat memenuhi ruangan itu. Bahkan rentetan tembakan dan suara retakan benteng akibat serangan granat dari pihak lawan tak mampu menyembunyikan melodi nafsu dari balik pintu ruang kerja Kolonel Tertinggi mereka. Kedua insan yang tengah dibutakan gairah sibuk menggerakkan tubuh mereka demi mencapai puncak. Apapun yang terjadi, mereka harus mendapatkannya.
Walau di luar jendela sana, berkilo-kilo meter jauhnya, perang masih berkobar tanpa jeda.
.
.
.
"Kau masih menunggu juga?"
Naruto lebih memilih menghisap cerutunya daripada meladeni pertanyaan Shikamaru yang menurutnya kelewat tidak penting. Matanya kembali menatap keluar jendela, dimana sebuah benteng yang memisahkan negara mereka dengan Negara Api dibangun.
Uzumaki Naruto, 26 tahun, adalah seorang Kolonel yang memimpin Perang Besar II sejak 4 tahun lalu menggantikan Kolonel sebelumnya yang tewas terbunuh. Ia membawahi langsung Headquarter, kantor pusat yang memiliki wewenang untuk memerintahkan tentara dan mengatur infrastruktur negara selama perang.
Ah… perang.
Terkadang Naruto bertanya-tanya sendiri, sebenarnya apa yang menjadi latar belakang perang yang sudah berlangsung lebih dari 2 abad ini. Para Petinggi—sekumpulan orang terpandang yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab penuh atas peperangan—mengatakan bahwa Negara Api telah melanggar batas territorial Negara Angin dan menguras minyak bumi dari daerah perbatasan.
Alasan yang membuat Shikamaru dan Naruto mengerenyitkan dahi. Pelanggaran batas territorial memang bukan masalah enteng. Tapi jika itu menyebabkan perang diantara kedua negara sampai 200 tahun?
Omong kosong.
Naruto yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Para Petinggi. Sesuatu yang membuat mereka lebih memilih untuk mempertahankan kerugian perang selama beratus tahun daripada mengungkapkannya.
"Obsesiku telah berubah," tangannya membelai dada telanjang Shikamaru dan mengecupnya. "Jadi aku akan tetap menunggu."
Shikamaru menghela napas. Kekasihnya ini benar-benar keras kepala. Sejak penyerangan Negara Api yang menewaskan lebih dari seperempat tentara mereka, Naruto menjadi sangat terobsesi dengan perintah dari Para Petinggi. Menganggapnya seperti kitab suci yang wajib dipatuhi dan melakukan apapun agar perintah yang lebih ekstrim datang lagi padanya.
Tapi Shikamaru tahu, bahwa sebenarnya Naruto hanya menunggu satu perintah saja.
"KOLONEL!"
Tubuh Naruto mengejang. Dengan cepat ia memutar kepalanya dan mendapati seorang tentara—dengan pangkat sersan—yang berpakaian hijau dari ujung kaki sampai ujung kepala tengan memberi hormat padanya.
"Sersan Lee…" gerutu Naruto, nyaris jantungan. Untung saja dia sempat menarik selembar kain untuk menutupi bagian bawah tubuhnya dan Shikamaru.
"Lapor, Colonel Uzumaki! Saya membawa surat perintah dari Para Petinggi!" serunya penuh semangat. Kelihatannya dia sama sekali tidak terganggu dengan posisi Naruto dan SHikamaru yang cukup mengundang.
Hei, siapa yang tidak syok jika melihat atasanmu yang terkenal tak punya rasa iba jika menyangkut soal perang tengah duduk dipangkuan seorang laki-laki dalam keadaan naked di ruangan penuh 'kekacauan'?
"Hn. Kau boleh pergi sekarang."
Naruto menghela napas lega ketika sosok Lee menghilang di balik pintu. Secepat kilat ia menyambar secarik amplop bersegel emas dan membukanya tak sabaran.
"Naruto?" panggil Shikamaru, heran dengan kekasihnya yang tidak memberikan reaksi apapun. Biasanya Si Blonde akan tertawa saat melihat isi surat dari Para Petinggi.
"Akhirnya perintah ini datang juga."
Mata Shikamaru menyipit. Disambarnya surat yang berada di tangan Naruto dan membacanya cepat.
"Sepertinya mereka membuat kekacauan lagi di perbatasan," ucap Naruto, terkekeh puas. "Para Petinggi itu terdiri atas orang-orang tua, kau tahu. Membuat mereka marah hanya akan menyulitkan pihak Negara Api sendiri."
Kuapan malas terdengar. "Dan selamat untukmu. Akhirnya perintah yang selama ini kau tunggu-tunggu keluar juga." Sahut Shikamaru dengan nada malas, membuat dahi Naruto berkerut dan memilih untuk tidak mengacuhkan bibir Shikamaru yang mulai bermain di lehernya.
"Lalu apa yang kau tunggu? Cepat umumkan misi baru kita kepada tentara yang lain." Lanjutnya sembari menggigit pelan telinga Naruto. Sang lawan bicara hanya mendengus singkat dan mengambil telepon di sudut meja kerjanya.
"Tenten…" ucap Naruto memanggil sekretarisnya. "Sambungkan aku pada saluran utama. Kita mendapatkan misi langsung dari Para Petinggi."
"Baik, Sir."
Terdengar suara berisik dan dengungan pendek di telepon. Sepertinya Tenten tengah mengubah salurannya agar suara Naruto dapat terdengar di seluruh Headquarter.
"This is your Colonel speaking," ujar Naruto. Suaranya menggema di penjuru Headquarter. Tentara yang berada di aula, gudang peralatan, maupun barak mereka dapat mendengar dengan baik suara Naruto, membuat mereka bertanya-tanya misi apa yang sampai membuat Kolonel mereka lebih memilih untuk memerintahkannya secara langsung.
"Kita mendapatkan misi baru, langsung dari Para Petinggi…" lanjutnya, mengakibatkan bisik-bisik mulai terdengar. "Perbatasan dalam keadaan siaga satu. Frontline dan Headquarter berada dalam keadaan urgensi. Karena itu, besok pagi, kita akan melakukan penyerangan langsung ke perbatasan dan mempertahankan benteng dari serangan udara dan darat. Aku akan mengirim Komandan masing-masing untuk menjelaskan detailnya pada kalian. Sekian."
"Jadi begitu?" tanya Shikamaru setelah Naruto menutup teleponnya. "Kau ingin mengalihkan perhatian musuh, sementara kau yang akan menyantap hidangan utamanya?"
Naruto tertawa terhibur. Kekasihnya yang satu ini benar-benar jenius. Jika di bandingkan dengan Hinata yang membosankan, Shikamaru jauh lebih menarik baginya.
"Aku sudah menantikan perintah ini sejak lama, Dear. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun ikut campur, termasuk kau." Bisik Naruto dengan nada nakal. Tangannya membelai paha Shikamaru dan memijat lembut 'benda' favoritnya. Kedua bola mata Shikamaru memutar malas sebelum sang empu mendorong Naruto ke meja.
"Aku pun tidak berminat, Naruto. Mengurus 'hidangan' ini saja sudah cukup merepotkan, dan aku tidak tertarik pada menu yang lain." Ucapnya penuh arti. Naruto tersenyum mendengarnya.
"Yeah. Menghabisinya adalah menuku, Shika. Dan kau memiliki menu-mu sendiri."
"Walaupun kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Lagi-lagi Naruto tertawa. "Aku memang tidak tahu siapa dia, maupun melihat wajahnya. Yang jelas aku sangat ingin menghabisi orang yang telah mengakibatkan kerugian terbesar sepanjang sejarah Negara Angin. Dia pasti bukan orang biasa, dan aku sangat ingin menunjukkan kepalanya pada rakyat kita."
Shikamaru menatap tajam Naruto. Kekasihnya ini benar-benar terobsesi rupanya, heh?
Satu-satunya orang yang mampu membuat Negara Angin yang jelas-jelas memiliki persenjataan jauh lebih baik dari mereka kalang kabut. Satu-satunya orang yang mampu menggerakkan tentaranya untuk berani menyerang perbatasan dengan senjata pedang dan tombak. Satu-satunya orang yang mampu menyebabkan kekalahan telak Negara Angin setelah 100 tahun, itulah objek yang menjadi target Naruto.
"Akh! Shikamaru!" Naruto menjerit saat Shikamaru mengeratkan genggaman tangannya yang bermain di bawah sana.
"Kau milikku, Naru…" desahnya sebelum melahap bibir Naruto dan memberikan open-mouthed kiss yang amat panas. Suara permainan liur dan napas yang terengah-engah menjadi pelengkap kebisingan di ruangan itu.
"Cem-ahh~ ukh!—buru, eh? Nnghhh~" ditengah-tengah ekstasi pun Naruto sempat-sempatnya menggoda Shikamaru. Tubuhnya yang maju mundur akibat penetrasi brutal yang dilakukan Shikamaru bergetar hebat.
"Oh, there, Dear! THERE!" teriak Naruto saat Shikamaru dengan sengaja menggoda sweetspotnya. Shikamaru menyeringai.
"Here?"
"NYAAHHH~~!" jeritan Naruto menggema di udara. "So good, Shika~ "
"Kau mau yang lebih dari ini?" tanya Shikamaru pelan. Dengan sengaja ia melambatkan gerakannya, membuat Naruto mengerang frustasi.
"Y-ye..s… More~ gimme more…"
"Kalau begitu, berjanjilah…" bisiknya di telinga Naruto. Dihentakkannya pinggulnya hingga Naruto terlonjak hebat.
"Setelah kau menghabisi Kolonel mereka, kembalilah kesini secepat mungkin. Got it?" kata Shikamaru dengan napas memburu. Nafsunya sudah amat meledak-ledak, tapi dia tetap berusaha untuk menahannya.
"Of course, Dear." Bisik Naruto dengan mata terpejam. "Karena obsesiku adalah kematiannya, bukan dia."
.
.
.
Eurasia, February 12nd 1802.
"Aku yakin kau akan aman disini, Sakura. Daerah ini adalah daerah mandiri yang memiliki kedaulatan sendiri. Tidak akan ada tentara Negara Angin yang bisa melukaimu disini."
"Tapi…"
"Bangsawan sepertimu tidak sepantasnya berada di wilayah perang. Berhentilah bersikap keras kepala dan nikmati hidupmu disini."
"Tapi, Sasuke-kun!" jerit wanita berkimono yang disebut-sebut Sakura itu. "Bagaimana denganmu? Kau baru saja menyerang mereka dan keselamatanmu pasti terancam! Kau juga bangsawan, Sasuke! Bangsawan Uchiha yang terhormat! Kau hanya perlu menyuruh orang lain menggantikan posisimu dan semuanya akan baik-baik saja!" katanya keras kepala.
Pemuda 20 tahunan yang dipanggil Sasuke itu menyipitkan matanya jengah. Anak buahnya sedang bertarung mati-matian di frontline dan disinilah ia, membujuk seorang gadis agar tinggal di negeri suaka?
Demi Kami-sama. Kalaupun gadis ini tidak mau, itu bukan masalah buatnya. Yang mati juga dia.
Tapi akan lain ceritanya kalau gadis ini adalah tunangannya sendiri.
"Dengar, Sakura…" Sasuke meraih bahu Sakura dan memaksa gadis itu agar menatap matanya. "Aku diberi kepercayaan untuk memimpin peperangan ini. Jika aku harus mati di medan perang, maka aku akan mati secara terhormat. Kau paham itu?" ucapnya serius. Dia tidak ingin membuang waktunya lebih lama disini. Pekerjaannya di kantor menumpuk dan masalah perbatasan juga semakin rumit.
"Sasuke-kun…"
"Maaf menganggu kebersamaan Anda, Kolonel…" sebuah suara menginterupsi keduanya. Sasuke memandang tak suka pemuda sebayanya atas penggunaan kata 'kebersamaan' yang terdengar rancu di telinganya.
"Ya, Letnan Kedua Neji?"
"Saya membawa kabar dari mata-mata kita yang berada di Headquarter Negara Angin. Sepertinya mereka berencana untuk melakukan penyerangan langsung besok pagi."lapor pemuda yang dipanggil Neji itu, tak lupa dengan senyum hormat menghiasi wajahnya.
Ekspresi Sasuke mengeras. "Aku harus pergi, Sakura."
Sebuah tangan menghentikan gerakannya yang hendak berbalik. "Sasuke-kun… A-aku…"
"Kalau ada yang ingin kau bicarakan, kau bisa menyuratiku kapan saja. Sekarang aku permisi dulu."ucapnya cepat-cepat dan bergegas menjauh. Neji yang mengikutinya dari belakang berbisik.
"Tak pernah kulihat kau bersikap selembut itu, Kolonel. Kau benar-benar serius dengannya, ya?" tanya Neji tanpa melepas topeng seriusnya. Sasuke hanya mendengus.
"Diam."
Neji menaikkan salah satu sudut bibirnya. Atasannya ini benar-benar menarik. Lahir dari keluarga bangsawan Uchiha yang memegang teguh kesucian membuat Neji yakin bahwa atasannya ini pasti masih virgin dalam urusan 'this' and 'that'.
"Berikan laporan yang kuminta tadi pagi, Neji." Perintah Sasuke angkuh. Kentara sekali bahwa dia memiliki harga diri yang tinggi. Dari gerak-gerik dan juga nada bicaranya, tidak diragukan lagi bahwa dia berasal dari keluarga yang terhormat.
Sasuke terdiam melihat laporan yang disodorkan Neji. Kerugian jiwa dari pihak mereka nyaris mencapai kerugian jiwa dari pihak musuh.
"Kau kesal eh, Kolonel?" sindir Neji. "Pimpinan mereka yang sekarang jauh lebih cerdas dari pada yang sebelumnya. Walau mereka dulu tidak pernah kalah dari kita, tapi kerugian finansial mereka membengkak dan menyebabkan keseimbangan internal mereka goyah. Tapi sepertinya mereka bisa mengatasi itu kali ini."
Sasuke menatap Neji dengan pandangan dingin. Sepupunya ini benar. Negara Api sepertinya memilih orang yang tepat sekarang.
Sang Raven mendengus sinis. "Mereka terlalu percaya diri. Jika mereka berpikir bisa mengalahkan kita dengan mudah, mereka salah."
"Tapi secara logika mungkin saja," sahut Neji, membuatnya sukses mendapat deathglare lagendaris keluarga Uchiha. "Mereka berperang menggunakan senjata canggih seperti granat dan bazooka, sementara kita masih menggunaka senjata tradisional. Tombak… pedang… kunai…"
"Kita harus tetap mempertahankan harga diri bangsa kita, Neji." Ucap Sasuke dingin. "Aku tidak sudi menggunakan senjata yang sama dengan manusia tidak bermoral seperti mereka. Kita memiliki kekayaan batin yang tidak mereka punya, sampah-sampah itu." Lanjutnya penuh dendam. Masih segar dalam ingatannya bagaimana masa kecilnya ia lewati dengan menyaksikan rakyat-rakyat kelas bawah menjadi korban perang.
"Yah… terserah kau saja." kata Neji maklum. Dia tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan. "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"
Seringai perlahan muncul di wajah tampan Sasuke. Mata oniksnya berkilat. "Jika kita ingin membasmi semut sampai akar-akarnya, yang harus kau lakukan bukanlah membunuh semut tentaranya terlebih dahulu, bukan?" tanyanya penuh arti. Neji yang sudah amat paham watak Sasuke dengan cepat menangkap maksudnya.
"Yeah…" sahut Neji, ikut-ikutan menyeringai. "Seperti yang diajarkan para tetua dulu; Bunuh ratunya terlebih dahulu, maka semut lain akan mati dengan sendirinya."
Sasuke balik menatap Neji. Wajah dinginnya menggelap. "Jadi sekarang, beritahukan pada mata-mata itu, aku akan menggantikan posisinya. Suruh ia kembali malam ini juga dan sebelum pihak Negara Angin memulai penyerangan, mereka akan mendapati pimpinan mereka membusuk di bawah kakiku."
Neji membungkuk hormat.
"Siap, Kolonel Uchiha Sasuke."
To Be Continued
First fic! FIRST FIC, YEIII! Akhirnya Ita bisa juga buat akun. Tapi keren banget, fic pertama langsung rate M! #bejadhamatgua. Jadi gimana menurut reader? Dilanjutin apa nggak? Ita sebenernya kurang pede sih, buat fic yang beginian. Tapi mau gimana lagi, Naruto mencuri hatiku… #aw, aw, aw…
Saran? Kritik? Please RnR! ^^
