Jika Ran bukan teman masa kecil Shinichi, apakah Shinichi akan tetap memilihnya?
Chapter 1 : Friendzone
Seorang gadis bermata coklat amber berjalan cepat melewati koridor ruangan. Rambut coklatnya yang terurai sedikit berantakan tertiup angin, tapi tak sedikitpun mengurangi kecantikan wajah gadis berdarah campuran itu.
Shiho adalah murid paling cantik di SMA Teitan. Setiap kali ia berjalan, orang-orang selalu melihatnya dengan pandangan penuh kekaguman. Tak terhitung banyaknya laki-laki yang pernah menyatakan cinta pada Shiho , tapi tak ada satu pun kabar pernyataan cinta yang diterima.
Ia terus berjalan dengan acuh, seolah tak peduli dengan tatapan banyak laki-laki yang ia lewati. Tangan kirinya sedikit mengangkat tas ransel hitam yang ia bawa, sedikit menariknya ke arah bahu. Tas hitam itu selalu berat dan terisi penuh, karena sang pemilik yang selalu membawa laptop di dalamnya.
Hari ini ia ada janji dengan Shinichi untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Shinichi adalah teman dekat Shiho , tak hanya pintar, Shinichi juga orang yang ramah. Shiho pertama kali bertemu Shinichi di olimpiade komputer, hingga akhirnya mereka menjadi rekan satu tim dalam mewakili indonesia ke perlombaan internasional. Mereka memenangkan juara pertama untuk perlombaan itu, dua orang siswa SMP dari kota Beika.
Bagaikan flashback film kuno, ingatan Shiho membawanya kembali ke masa-masa awal pertemuannya dengan Shinichi.
Shinichi diminta maju ke depan ketika namanya dipanggil sebagai pemenang. Ia melangkah pelan ke arah podium, melewati para peserta lain yang melihat dengan tatapan tidak percaya. Mereka dikalahkan oleh siswa SMP, yang bahkan seharusnya belum mendapatkan pelajaran komputer di sekolah.
Postur tubuh Shinichi yang tegap dan cukup tinggi untuk ukuran anak SMP, dengan senyum simpulnya ketika berjalan ke podium, membuat para wanita di ruangan itu semakin histeris. Shinichi masih berjalan menuju podium tanpa memperhatikan pandangan mata seisi ruangan yang tertuju padanya.
Mungkin bukan hanya orang-orang di sekitarnya, ia juga tak memperhatikan langkah kakinya saat itu. hingga tiba-tiba..
Brukkk.
"Ugh.." Kaki Shinichi tersandung dan ia jatuh tersungkur di depan para juri.
Saat itu sepasang bola mata mengawasinya dari depan podium. Iris matanya terlihat berwarna coklat amber, terkena cahaya lampu podium yang begitu terang.
Konyol sekali, pikir Shiho yang saat itu memperhatian rekan satu timnya.
Tak dapat dicegah, senyum mulai mengembang di wajah Shiho ketika ia memikirkan Shinichi. Terlihat rona merah juga menghiasi wajahnya, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Segera ia menutupi senyum itu dengan jemarinya yang lentik. Mungkin berpura-pura batuk adalah solusi terbaik..
"Sepertinya hari ini kau bahagia sekali Shiho ?"
Mata Shiho membulat, menunjukkan warna coklat amber irisnya yang melebar. Tak sampai hitungan detik, Shiho segera menyadari suara di belakangnya adalah suara Shinichi. Ia menurunkan jemari tangan yang tadinya ingin ia gunakan untuk menutupi senyumnya yang jarang tampak - terlebih ketika ia sedang berjalan sendirian di koridor.
Tak butuh waktu lama, secepat hitungan yang tak kasat mata Shiho dapat kembali mengontrol ekspresi wajahnya. Mata coklat itu tidak lagi menunjukkan keterkejutan yang sesaat muncul. Ia segera segera memasang senyum ketus yang sering ia tunjukkan pada Shinichi.
Ai memutarkan tubuhnya ke belakang, hingga Ia dan Shinichi kini berhadapan . Ia menatap Shinichi tajam.
"Bukannya kau yang hari ini bahagia, setelah tim mu menang dalam pertandingan sepak bola sekolah kemarin?" Shiho masih tersenyum, tapi kali ini sengaja ia pasang untuk menggoda Shinichi.
"Kau benar, Shiho . Kali ini untuk pertama kalinya aku tidak menjadi pemain cadangan, dan dengan skor akhir tim kami kemarin, semua orang akan mengetahui kehebatan tendangan bola Shinichi Kudo. Haha".
"Dasar amatir. Bukannya kau sudah menyukai sepak bola sejak kecil? Tapi kenapa kau hanya menonton saja? Tak pernah ikut bermain. Mungkin jika dulu kau sering berlatih bermain bola dan meninggalkan komputer kesayanganmu itu sejenak, kau bisa masuk timnas sepak bola sekarang.
"Kau tahu Shiho , teori itu banyak dibutuhkan sebelum kau turun ke lapangan. Bahkan aku bisa mengalahkan tim lawan hanya dengan berjalan membawa bolanya." Ujar Shinichi, sembari mengarahkan satu jari telunjuknya ke langit-langit.
"Ya, aku yakin kau selalu menang saat memprediksi gerakan lawan. Bahkan meksipun kau tidak tahu cara menendang bola" Shiho mendengus kesal. Tangannya ia lipatkan di dadanya.
Shinichi tertawa mendengar komentar Shiho , tak sedikitpun menanggapi nada sinis yang dilontarkan padanya. Ia sudah terbiasa dengan ucapan Shiho yang kadang terlihat ketus padanya. Shinichi tahu, teman dekatnya itu tidak pernah bermaksud marah padanya, meskipun terkadang Shiho sering bicara dengan nada ketus pada Shinichi.
"Ah, sudahlah. Ayo kita ke kantin saja, temani aku makan siang."
Shinichi merangkul pundak Shiho , menariknya ke arah kantin.
Hari ini untuk kedua kalinya Shinichi tak melihat bola mata Shiho yang membulat lebar. Jantung Shiho berdegup kencang, tapi tak ada seorangpun yang dapat mendengar suara detak jantung itu, bahkan seorang jenius seperti Shinichi sekalipun.
