Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Lea Kreuz
Warning : Dont Like Dont Read, OOC.
Genres : Romance
Main Pair : SasuSaku
.
.
.
SERATUS DUA PULUH EMPAT
Sore yang damai, hangat dan tenang. Kembali ia memandang jauh kearah langit sore yang abu-abu. Langit sore yang sangat disukainya, bukan jingga namun abu-abu. Perlahan lapisan tanah disekeliling kakinya berubah warna setingkat lebih gelap. Dirapatkannya jaket merah yang sedari tadi membungkus tubuh kecilnya. Kepulan uap mulai terbentuk disekitar hidung dan mulutnya. Dingin.
Matanya kembali meneliti sekitar. Sore yang tadinya damai perlahan menjadi riuh dengan jejak anak kecil yang berlarian disekitarnya. Bermain, tertawa, menikmati suasana ditengah hawa dingin yang menerpa. Sedangkan para orang dewasa tengah sibuk berlari kesana kemari mencari tempat yang masih kering. Ahhh... gerimis yang indah. Kenapa mereka harus berlari? Ini hanyalah air, hanya gerimis. Gerimis itu indah, gerimis itu manis.
Bunga matahari disudut pekarangan rumah nenek tukang roti itu nampak tertunduk. Kehilangan matahari membuatnya sedikit malu ditambah lagi kini tetes air hujan membuat kelopaknya semakin berat. Tak lama dilihatnya segerombol manusia dengan baju yang sama, seragam yang sama. Dilihatnya satu per satu. Kembali ia menghembuskan nafas, belum datang.
Diketuk-ketukkannya sepatu hitam yang ia kenakan. Ia menutup matanya dan mulai berhitung. Satu, dua, tiga... dua puluh dua, dua puluh tiga. Iris mata emeraldnya kembali telihat. Bergerak dari kiri ke kanan, mengamati keadaan sekitar dan tertutup kembali. Dua puluh empat, dua puluh lima... delapan puluh, delapan puluh satu. Matanya terbuka saat mendengar jeritan dari arah kanan tempatnya berdiri. Ia terkejut. Iris emeraldnya meneliti sekitar, sekejap saja dan kini ia kembali berhitung.
Delapan puluh dua, delapan puluh tiga... seratus dua puluh tiga, seratus dua puluh empat. Angka terakhir yang muncul sebelum diciumnya aroma mint yang sangat kuat, segar dan sangat familiar. Alisnya sedikit mengerut, perlahan dibukanya sepasang emerald itu. Gelap. Kini yang dilihatnya sepasang mata berwarna sehitam batu obsidian. Secara reflek ia mundur satu langkah, memalingkan wajahnya. Semburat merah nampak di kedua pipinya.
"Ayo pulang..."
Satu patah kata yang ditunggunya. Ajakan? Perintah? Entahlah... Yang ia tahu kini kakinya mulai melangkah mengikuti pria berpayung hitam di depannya. Bukan hanya pipinya yang menghangat, tangannya pun menghangat. Menghangat dalam saku jas hitam bersama tangan lain yang menggenggamnya. Dan juga... hatinya.
-FIN-
