Menunggu, mungkin bisa menjadi salah satu kegiatan paling tidak diminati di dunia, namun bagi Park Jimin, menemani Kim Seokjin menghadiri pesta adalah kegiatan yang paling tidak ia minati. Terutama ketika pesta itu adalah pesta membosankan yang diadakan hanya untuk menjunjung ego para petinggi di negara ini.
Hobi dari orang-orang tua yang menyebut diri mereka sendiri sebagai 'petinggi'di negara ini adalah membuang harta dan waktu mereka untuk melakukan hal-hal tidak berguna. Seperti contohnya sekarang ini, saling memuji satu sama lain namun dibelakang saling menghina dan merendahkan. Menggelikan.
Yang ingin dilakukan Jimin saat ini adalah pulang ke apartemennya, berendam dalam air hangat untuk melepas penat yang seharian ini ia rasakan, lalu tertidur untuk melupakan semua hal tidak lazim ini. Ah, mungkin menonton film dokumentasi forensik dari Amerika yang baru dikirim kolaganya dari laboratorim kriminal di DC.
Sebagai kepala dari laboratorium kriminal Seoul, Kim Seokjin dengan mudahnya mendaulat dirinya sebagai asisten untuk mendatangi pesta membosankan ini.
Bekerja di laboratorium kriminal dan membantu KNIS menyelesaikan kasus kriminal adalah impian Jimin. Sejak kecil, sosok ayahnya yang merupakan seorang analis laboratorium kriminal yang sering kali membantu FBI ketika mereka masih tinggal di Amerika, merupakan orang paling hebat dimata Jimin kecil. Maka setelah ayahnya meninggal dan mereka pindah ke Korea Selatan, Jimin memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan mulia ayahnya dengan menjadi patologis forensik di Bangtansonian -julukan untuk laboratorium kriminal tempat ia bekerja sekarang.
Bangtansonian sebenarnya adalah sebuah laboratorium yang didirikan oleh pemerintah untuk membantu kinerja Korea National Intelligence Service (KNIS), sebuah badan intelijen yang juga berada dibawah perintah langsung Presiden. Para analis yang bekerja di Bangtansonian akan memberikan bukti nyata dari setiap petunjuk yang didapatkan para agen KNIS yang dapat membantu penyelidikan dari kasus kriminal yang sedang mereka tangani.
Dalam kasus Jimin, lebih sering ia mendapat kadaver -mayat. Kasus yang sering ditangani olehnya hampir semuanya adalah kasus pembunuhan.
Bukannya ia mengeluh, toh ia mencintai pekerjaannya.
"Kau terlihat bosan,"
Suara berat yang terdengar malas itu sukses membuat perhatian Jimin yang sedang melotot ke arah Seokjin teralihkan. Seorang pria berkulit pucat memandang malas kearahnya dari tempatnya berdiri -menyandarkan punggungnya pada salah satu pilar gedung yang tak jauh darinya.
"Wajahmu terlihat bosan." sergahnya, mengundang sebuah tawa rendah dari si pria tadi.
Pria berambut perak itu berjalan perlahan ke arahnya dan dengan santai mendudukkan dirinya di sofa tepat di sebelah Jimin. Membuatnya sedikit bergeres menjauh.
"Berani bertaruh, temanmu yang berwajah cantik itu yang memaksamu menghadiri acara membosankan ini."
Jimin sedikit melirik kembali ke arah Seokjin yang terlihat memaksakan senyuman sambil terus melayani beberapa pria tua yang sedang berbincang dengannya. Jujur, Jimin merasa Seokjin tak kalah menderitanya dengannya. Mungkin lebih.
Yah, dan Seokjin memang pria dengan wajah yang cantik,
"Menurutmu dia sangat cantik?" tanya Jimin, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Menurutku kau lebih cantik."
"..."
"Terutama dengan bibirmu yang penuh itu."
Jimin memandang pria kurang ajar itu dengan tatapan tidak suka, "Kau biasa merayu pria yang baru kau temui? Sungguh tak sopan."
"Sebenarnya ini pertama kalinya aku melakukan ini." Pria yang Jimin akui sangat tampan itu tersenyum, menyunjukkan deretan gigi dan gusinya terlihat, "Biasanya aku lebih bisa mengontrol hasratku, namun kali ini kau membuatku gagal."
"Kau mengira kau sangat menggoda."
"Aku memang menggoda, jika pipi merahmu itu bukan apa-apa."
Ya Tuhan, mengapa ia harus bertemu dengan pria ini disaat seperti ini. Ia ingin ditinggalkan sendiri, bukan dibuat melayang tinggi dengan kata-kata pria tampan berambut perak ini. Pipinya terasa semakin panas.
Tanpa ia sadari, ia pun larut dalam perbincangan antar mereka berdua. Entah apa yang mereka perbincangkan, Jimin sendiri tidak ingat pasti. Mungkin mereka berbicara banyak hal, mungkin juga mereka tidak berbicara dan hanya tertawa bersama, yang berakhir dengan Jimin berada dalam dekapan pria itu.
Mengabaikan Seokjin yang masih sibuk meladeni pria-pria tua bangka itu.
Kring... kring...
Sial, bunyi ringtone jadul itu pasti bunyi ponselnya. Siapa yang menelpon disaat ia tengah terlelap.
Sambil menyumpahi siapapun yang berani menghubunginya malam-malam begini, Jimin meraba nakas disamping tempat tidur dan menggeser tombol hijau di layar ponsel pintarnya.
"Halo?" jawabnya, suaranya terdengar serak tanda baru bangun tidur.
"Yah, kau ada dimana? Cepat ke lab, kita dapat kasus!
Suara teriakan Bossnya, Kim Seokjin, disebrang sana membuat kantuknya menghilang seketika. Segera ia duduk di atas tempat tidur sebelum meringis keras, merasakan bagian bawah tubuhnya -hampir semua bagian tubuhnya- pegal dan nyeri.
Ia mengedarkan pandangannya ketika ia merasa kamarnya tidak terasa familiar.
"Kau sudah bangun?"
Ya Tuhan!
Tidak!
Ini tidak mungkin!
Disana ada pria pucat yang menggodanya ketika di pesta, keluar dari ruangan yang ia yakini sebagai kamar mandi dengan hanya sebuah handuk kecil yang melingkar di pinggangnya. Tubuh bagian atas pria itu terekspos untuk dinikmati oleh mata sipit Jimin, membuat jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat.
Kau tidak akan mengira pria berperawakan kecil itu memiliki deretan otot yang jelas di perutnya. Tuhan, maafkan Jimin jika pikiran mesumnya bergelora mengingat hampir satu tahun sudah Jimin sendiri.
"A-ah, ya. Aku harus segera pergi." Jimin mengutuk dirinya yang panik sehingga membuatnya tidak lancar berucap. Ia harus segera menemukan seluruh pakaiannya dan pergi dari tempat ini.
"Kenapa buru-buru?"
Tubuh Jimin menegang ketika ia rasakan sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang, menghentikan aktifitasnya memasang kemeja putihnya. Bibir tipis yang ia ingat terus menempel pada bibirnya semalam tadi kini sibuk menjelajahi tengkuk lehernya. Mengirimkan sengatan-sengatan listrik kecil pada tubuhnya.
"Maafkan aku. Aku harus pergi."
Jimin harus memberikan penghargaan pada dirinya sendiri yang mampu menyingkirkan lengan itu dari tubuhnya dan berlari keluar ruang -hotel, Jimin kini tau- itu setelah menyambar Jas hitamnya yang tergeletak di lantai dekat tempat tidur. Ia terus mempercepat langkah kakinya hingga suara dentingan Lift yang berjalan berbunyi dan membuatnya bisa menghembutkan nafas yang sedari tadi ditahannya.
Oh, astaga, ia tidak bisa percaya ini.
Dirinya telah tidur dengan pria yang bahkan belum ia ketahui namanya.
Otaknya mungkin tidak begitu ingat kejadian beberapa jam lalu itu, namun tubuhnya jelas mengingatnya. Rasa sakit yang berada di tempat yang tepat memberitahukan betapa ia menikmati keintiman mereka malam itu. Betapa ia memohon pada sang dominan untuk tidak menghentikan kegiatan mereka.
Panas kembali menjalar di wajahnya.
Tidak, tidak, ia tidak boleh terus memikirkan hal ini. Bukan pertama kalinya Jimin tidur dengan pria yang ditemuinya secara tidak sengaja, namun ini pertama kalinya ia begitu terpesona pada seorang pria hingga ia lupa untuk menanyakan namanya -atau nomor telponnya.
Just in case.
Sebuah taksi berhenti didepannya ketika ia melambaikan tangan. Suaranya masih sedikit bergetar ketika menyebutkan alamat kepada sang supir taksi untuknya diantarkan. Mesin penghangat dalam taksi pun tak dapat membuat tubuhnya yang hanya dilapisi sebuah kemeja tipis itu berhenti menggigil.
Beruntung ia tak lupa mengambil jasnya dari kamar hotel pria tadi, paling tidak ini bisa sedikit membantu suhu tubuhnya sedikit lebih tinggi.
Sreek
Tangannya menyentuh sebuah kertas ketika ia memasukkannya kedalam saku jasnya -untuk menghangatkan jari-jarinya. Ditariknya keluar secarik kertas berwarna putih dengan logo Hotel yang baru ditinggalkannya dipojok atasnya.
"Oh, Tuhan..."
010 xxx xxxx
Call me
- Min Yoongi
.
tbc
