Naruto © Masashi Kishimoto
The Rare Omega ® Nagisa Yuuki
Warning: Chapter pertama penuh sama bagian Ashuin (Ashura X Indra), buat yang ga suka saya tidak menyarankan kalian untuk membaca, tapi di chapter keduanya penuh sama adegan Narusasu, jadi saya menyarankan kalian jika ingin membaca chapter keduanya harus baca yang bagian pertama biar ceritanya jelas.
Terlahir sebagai laki-laki bukanlah suatu kesialan. Laki-laki memikul banyak hal di bahunya, menjadi penerus di dalam sebuah keluarga menggantikan sang ayah jika telah berusia senja, tetapi laki-laki tak dapat mengandung atau bahkan melahirkan. Tanpa menghasilkan seorang penerus, laki-laki belum bisa dikatakan sebagai lelaki sejati. Hidup di zaman yang serba sulit, menemukan seorang wanita yang mau menerima dan mencintai laki-laki memang bukan perkara yang mudah. Karena 70% manusia yang hidup di bumi berasal dari kaum adam, lalu sisanya barulah kaum hawa.
Sudah menjadi kodratnya laki-laki bersanding dengan perempuan, membina rumah tangga, hidup berdampingan saling mengisi kekurangan, lalu membuahkan keturunan. Anak hanya bisa dihasilkan oleh rahim yang dimiliki perempuan, sementara lelaki tidak memilikinya. Tapi bagaimana jika lelaki juga bisa memiliki rahim? Bisa mengandung? Melahirkan? Apakah hal itu terdengar masuk akal? Apakah lazim? Tentu saja tidak.
Tidak. Memang begitulah seharusnya, sampai sebuah dosa dan bencana ini terjadi.
Zaman sudah semakin gila. Ketika pemerintahan belum terbentuk, manusia saling hidup berkelompok dan saling ketergantungan oleh seseorang yang lebih hebat. Si hebat disebut sebagai alpha, pemimpin, kaum dominan. Sementara pendukung disebut sebagai beta. Beta notabene-nya adalah para lelaki yang tidak cukup kuat membangun sebuah pemukiman, mereka tidak bisa menjadi raja karena kekuatan mereka tidak sebanding dengan golongan para alpha yang mutlak. Lalu perempuan? Makhluk terlemah dan paling sensitif itu dinamakan omega. Semua setuju dengan ketiga julukan itu dan menerapkan hal itu dalam sistem kehidupan.
Tapi… bagaimana jika ada omega bergender laki-laki? Kalian pasti akan menganggap hal itu mustahil. Tapi tidak, hal itu memang mungkin terjadi.
Di dunia ada 2 ras yang mendominasi daratan —selain para hewan tentunya. Yakni; bangsa siluman dan juga bangsa manusia. Siluman memiliki banyak wujud yang beragam —nyaris menyamai para binatang. Sementara manusia dikategorikan menjadi dua; ada manusia biasa, dan manusia luar biasa.
Seperti pada umumnya, manusia biasa tidak memiliki sesuatu yang spesial —mereka normal. Tapi berbeda dengan manusia yang satunya, mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan sihir —seperti bangsa siluman. Para tetua pernah bercerita, hal itu terjadi karena adanya persilangan antara manusia dengan siluman. Faktanya jika seorang wanita manusia dibuahi oleh kaum siluman, maka besar kemungkinan anak yang dihasilkan oleh keduanya akan mewarisi gen sang ayah. Tapi tidak, kasus ini terjadi karena sang anak ternyata mewarisi keduanya. Wujud sang ibu sebagai manusia, dan kekuatan sihir layaknya bangsa siluman. Anak itu dikenal dengan nama Kaguya.
Selang 17 tahun kemudian, Kaguya —nama anak persilangan itu, akhirnya menikah dengan seorang manusia, dan menghasilkan dua orang anak laki-laki yang juga ikut mewarisi kekuatannya. Anak-anak itu diberi nama; Hagoromo dan Hamura.
Hagoromo cenderung menuruni sifat sang ibu yang tidak terlalu banyak bicara, pendiam, dan juga keras kepala. Sementara Hamura jauh lebih bijak dan periang seperti ayahnya. Seharusnya kisah ini berakhir menjadi kisah yang bahagia, tapi sayangnya tidak.
Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal karena penyakit menahun yang dideritanya sejak lahir. Kaguya memang memiliki ilmu sihir, begitu juga dengan kedua puteranya, tetapi mereka tak bisa menyembuhkan apa yang telah digariskan langit terhadap para makhluknya. Mereka hanya bisa menggunakannya untuk melindungi klan dan desa, tapi tidak untuk menyembuhkan. Akhirnya setelah 3 tahun hidup tanpa sang ayah, ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Hagoromo dan Hamura tidak menentang keputusan Kaguya dan justru malah mendukungnya. Keduanya telah beranjak remaja saat ibunya dinyatakan hamil lagi lalu melahirkan seorang anak perempuan yang cantik.
Masalah tiba-tiba terjadi ketika sang anak perempuan tumbuh besar dan semakin memikat lawan jenisnya. Hagoromo jatuh cinta, ia lalu menjalin kasih dengan gadis itu yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri.
Hagoromo selalu membantah jika gadis itu memiliki darah yang sama dengan dirinya, karena faktanya ayah si gadis berbeda dengan ayah Hagoromo dan Hamura. Mereka seolah menentang takdir yang telah ada, dengan membiarkan seorang janin yang tidak berdosa hadir di tengah-tengah hubungan terlarang keduanya. Dan jabang bayi itu diberi nama Indra.
Saat mendengar berita kehamilan puterinya, Kaguya marah besar. Ia menghukum sang puteri yang baru saja melahirkan dengan hukuman cambuk. Hagoromo tak mampu berkutik karena terhalangi oleh dinding sihir Kaguya yang begitu dahsyat. Sang ayah lagi-lagi meninggal karena terkena serangan jantung, lalu disusul oleh puteri semata wayangnya yang terlalu banyak mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hal itu memberikan pukulan besar bagi hidup Hagoromo. Ia merutuki kesialan hidupnya dengan mengabaikan buah hatinya sendiri. Indra tumbuh besar di bawah didikan tangan dingin seorang Kaguya.
Ketika usia Indra beranjak 2 tahun, Kaguya menjodohkan Hagoromo dengan seorang puteri dari klan lain. Karena desakan dan paksaan sang ibu beserta sang adik —Hamura, akhirnya Hagoromo menyerah dan bersedia menikahi wanita itu sampai dikaruniai seorang anak laki-laki yang kedua. Kali ini anaknya diberi nama, Ashura. Namun naas, beberapa hari Ashura terlahir ke dunia, sang istri lagi-lagi harus meregang nyawa oleh penyakit yang tidak ia ketahui asal-usulnya.
Berbeda dengan Indra, Hagoromo justru merawat dan membesarkan Ashura dengan penuh cinta. Ia seolah ingin menyalurkan rasa penyesalannya kepada sang istri kedua, yang tidak sempat ia bahagiakan ketika semasa hidupnya dulu. Perbedaan kasih sayang yang diberikan sang ayah, lantas tidak membuat Indra mendendam atau membenci keduanya. Dia justru sangat menghormati Hagoromo dan juga menyayangi Ashura dengan sepenuh hati. Indra bertekat akan menjadi kakak yang baik, menjadi panutan untuk adiknya, dan menjadi penerus ayahnya jika ia sudah dewasa nanti.
Indra kecil sering menghabiskan waktunya berjemur di bawah langit biru. Ia paling suka memandangi langit sambil berbaring di antara rumput ilalang yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Sesekali tangan-tangan kecil Indra tampak menggapai-gapai, seperti hendak menggenggam permukaan khatulistiwa yang biru jernih. Ia begitu suka. Terkadang Indra bertanya-tanya, apakah di atas langit ada kehidupan lain selain yang ia ketahui di bumi. Tapi jawaban atas pertanyaannya tak pernah ada, karena tidak ada satupun penduduk desa yang sudi berteman dengannya. Karena itu Indra paling suka menyendiri dan berbicara kepada serangga terbang yang sering kali menemani kesendiriannya di tempat ini.
"Kak Indra ternyata disini."
Langkah tapak kaki yang menginjak rimbunnya ilalang kering bergemerisik di telinga Indra. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya. Tanpa menoleh Indra sudah tahu kalau adiknya yang manis, adiknya yang lucu telah berhasil menemukan keberadaannya di tempat ini.
"Bukannya Ayah menyuruhmu berlatih memanah?" ia bertanya halus. Dua pasang mata hitamnya menatap wajah lugu Ashura dengan penuh sayang.
"Aku bosan. Ayah mengajariku memanah setiap hari. Padahal aku ingin main bersama Kak Indra."
Kepolosan sang adik selalu membuat perasaan Indra menghangat. Ia tertawa tanpa sadar. "Kalau kau kabur, nanti Ayah marah loh."
"Ayah tidak akan pernah bisa marah padaku, Kak. Kalau Ayah marah aku hanya perlu menangis lalu beliau akan menuruti semua permintaanku."
Adiknya yang lucu, juga menjadi anak kesayangan sang ayah. Indra melupakan fakta penting itu. Jika Ashura yang menangis, Hagoromo akan melakukan banyak cara untuk membuatnya tersenyum kembali. Tetapi jika seandainya itu adalah Indra, maka yang dilakukan Hagoromo justru adalah sebaliknya. Hagoromo tak pernah membuat Indra tersenyum karena Hagoromo lebih senang mengabaikannya sepanjang waktu.
"Kakak," suara panggilan Ashura yang menggemaskan mengalihkan lamunan Indra. "Kenapa Kakak sangat suka berada disini?"
"Karena… ini memang tempatku. Aku suka berada disini, karena disini sangat tenang dan damai."
"Tapi sendirian kan tidak seru. Kenapa Kakak tidak bergabung dengan anak-anak yang lain lalu bermain bersama mereka?"
Indra menggeleng mendengar pertanyaan itu. Tidak ada satupun anak yang mau berdekatan dengannya. Bahkan sang ayah sendiri melarang Indra pergi keluar rumah tanpa izin. "Kau akan tahu saat kau melihat langit sambil berbaring di rerumputan ini."
Ashura menatap ke atas langit, lalu bergantian memandangi wajah cantik sang kakak. Sejak dulu ia tak pernah habis pikir, kakaknya ini laki-laki tapi kenapa wajahnya cantik seperti anak perempuan. "Baiklah…."
Tak ada salahnya bersantai-santai sebentar. Lagipula Ashura sangat suka berdekatan dengan sang kakak. Hanya dengan berada di sampingnya Ashura selalu merasa tenang dan bahagia. Ia perlahan membaringkan diri di sebelah Indra, menjadikan kedua pangkuan Indra sebagai bantal, lalu menatap teduh ke arah langit yang nampak biru dan sejuk.
"Wow…."
"Kau mengerti kan sekarang?"
Ashura mengangguk sambil tersenyum amat lebar. Bukan langit yang ia kagumi tapi wajah Indra yang jauh lebih bersinar dan cantik jika dilihat dengan langit sebagai latar belakangnya.
"Aku sangat suka melihat langit. Karena langit itu mencerminkan sebuah kebebasan," raut Indra menyendu. Ia selalu berpikir, alangkah baiknya jika ia terlahir sebagai burung yang bisa terbang bebas di udara.
"Kenapa begitu?"
Indra hendak menjawab pertanyaan adiknya, tapi suara berat yang cukup menggelegar lantas menghentikan pergerakan bibir Indra beserta perhatian Ashura darinya.
"Kenapa kau ada disini?" sosok Hagoromo telah menjulang di hadapan kedua kakak-berdik itu. Suara yang terdengar dari bibir pria itu juga terkesan dingin. "Apa kakakmu yang mengajakmu kesini?"
Sontak Ashura menggelengkan kepala, ia membantah tuduhan tak mendasar itu. "Bukan, Ayah. Aku kesini karena keinginanku sendiri. Aku ingin bermain dengan Kak Indra."
"Bermain?" Hagoromo terkesan tidak senang dengan pernyataan itu. Matanya yang begitu sinis menatap Indra, mulai memindai penampilan putera pertamanya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. "Bermain tidak akan menjadikanmu sebagai penerusku," Ucapan itu terdengar sangat lantang dan juga menusuk. Secara tidak langsung Hagoromo telah menolak harapan Indra untuk bisa menjadi penerus klannya kelak ketika ia dewasa nanti. "Kembalilah ke tempatmu berlatih."
Dengan lesu Ashura menuruti perintah ayahnya. Ia sempat mengerling ke arah Indra yang nampak tersenyum lembut memberinya semangat sebelum melanjutkan latihanya kembali. Di dalam hati Indra tersimpan secuil rasa iri ketika melihat adiknya yang kecil mendapatkan banyak keistimewaan dari sang ayah. Sementara dirinya, yang ia lakukan setiap hari hanya kegiatan yang tidak berarti. Padahal yang menjadi anak pertama di keluarganya adalah Indra, tapi justru adiknyalah yang disebut-sebut sebagai penerus klan Otsutsuki ketika dewasa nanti.
Indra melirik pergerakan punggung Hagoromo ketika membalik badan. Tatapan Indra seketika berubah nanar. Sejak dulu ia selalu melihat figure sang ayah hanya dari balik punggungnya saja. Ia tak pernah merasa sangat dekat dengan beliau. Indra merasa kalau Hagoromo memang sengaja menjauhinya karena suatu hal.
"Ayah, aku juga ingin berlatih seperti Ashura," ucapan spontannya berhasil menghentikan langkah ayahnya.
"Apa? Kau bilang apa?" ulangnya berusaha meyakinkan. Punggung pria itu seketika berbalik, dan hal itu justru membuat Indra kehilangan kata-katanya. Hagoromo tengah menatap Indra dengan kedua iris matanya yang tajam. Indra merasa Hagoromo tak begitu menyukai permintaannya yang barusan.
"Aku..."
"Kau tidak akan pernah bisa," kecamnya yang semakin membuat Indra membeku di tempat. "Kau tidak bisa menjadi penerusku. Sebaiknya lupakan keinginanmu itu karena kau tidak akan pernah bisa membanggakanku."
"Tapi... kenapa Ayah?"
"Karena kau bukan Ashura, dan sampai kapanpun kau tidak bisa menjadi sepertinya."
Perkataan itu bagaikan vonis mati untuknya. Menyakitkan sekaligus membinasakan. Indra tak mengerti bagian dirinya yang mana yang tidak memuaskan Hagoromo. Kenapa hanya dia yang diperlakukan berbeda, tak hanya oleh ayahnya tapi juga neneknya. Dulu saat Indra berusia 5 tahun, Kaguya pernah menatapnya dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak disukai oleh beliau. Semacam sesuatu yang memalukan atau mungkin tak diinginkan. Indra pernah bertanya, tapi tak ada satupun pihak keluarganya yang menjawab. Suaranya tak pernah sampai, tak pernah didengar oleh siapapun. Ia bagai sesosok hantu yang tak terlihat. Ia ada, namun tak ada yang mempedulikannya.
"Tapi aku ingin seperti Ashura," bisiknya sepelan angin. Tatapannya tertuju pada punggung ayahnya yang mulai menghilang dari balik sekat pintu. Indra masih tetap diam mematung, meratapi nasibnya, lalu menunduk. "Kalian selalu memperlakukannya seperti seorang pangeran, sementara aku... aku hanya akan berakhir menjadi bayangan. Tidak ada yang peduli padaku," Indra mengepalkan tangan, napasnya terhirup seperti batu, berat dan sesak. Tapi meski begitu ia masih menaruh harapan pada ayahnya, mungkin suatu hari beliau akan sadar jika tak hanya Ashura yang pantas menjadi penerusnya tetapi juga dirinya.
Namun harapan hanyalah tinggal harapan. Angan-angan yang selalu tersimpan dalam hatinya terpaksa harus pupus begitu saja. Indra tak pernah membayangkan saat dirinya tengah tertidur lelap di tengah malam yang sunyi, seseorang akan menarik tubuhnya sekasar ini. Ia bahkan sampai tersentak, tapi tak mampu mengucapkan sepatah katapun saat tahu bahwa seseorang yang memperlakukannya seperti ini adalah ayahnya sendiri. Indra diseret keluar rumah —tanpa alas kaki dan dalam keadaan yang masih memproses sehabis bangun tidur. Ketika berada di luar rumah, Indra mendapati beberapa ketua klan terkenal di desa ternyata tengah menanti kedatangan dirinya bersama sang ayah.
"Dimana Kaguya-sama?" tanya pemimpin klan Aburame. Tatapan pria itu begitu dingin ketika menatapnya, membuat perasaan Indra berubah gelisah.
"Di kuil rahasia."
Orang-orang itu mengangguk seolah paham dengan apa yang dikatakan Hagoromo. Hanya Indra yang sepertinya tak mengerti arah pembicaraan mereka, terlebih lagi selama hidupnya ia baru tahu kalau ternyata desa Ninshu memiliki sebuah kuil rahasia. Tapi untuk apa fungsinya kuil itu?
Indra tersentak saat melamun, ia lagi-lagi diseret oleh ayahnya menuju suatu tempat, mungkin kuil rahasia yang dikatakan ayahnya tadi, tapi untuk apa ia dibawa kesana malam-malam begini? Dan kenapa semua orang yang ikut nampak memasang ekspresi serius begitu? Indra jadi semakin tak mengerti.
"Ayah —" suara Indra tertelan ke dalam tenggorokannya, napasnya tertahan. Selama ini ia tahu ayahnya selalu memasang ekspresi datar dan dingin ketika berpapasan dengannya, tapi Indra berani bersumpah jika ekspresi yang diperlihatkan ayahnya malam ini jauh lebih dingin dan mengerikan. Akhirnya Indra memilih bungkan dan menelan seluruh pertanyaannya bulat-bulat. Ia tak ingin ditatap seperti itu lagi.
Ternyata kuil rahasia tidak sejauh apa yang ia pikirkan. Kuil itu terletak di bawah tanah kuil utama, letaknya yang tersembunyi menjadikan kuil itu nampak spesial dari apa yang terlihat dari luar. Jejeran tatami yang menutupi lantai kuil utama digeser hingga memperlihatkan sebuah tangga curam nan gelap yang menghubungkan mereka ke sebuah ruangan yang cukup besar. Disana tak hanya ada neneknya saja, tapi sebagian penduduk desa yang tak ia kenal nama-namanya juga tampak menunggu kedatangan mereka.
"Hagoromo-sama apa Anda yakin dengan keputusan Anda ini?"
Bersamaan dengan adanya pertanyaan itu, Indra didorong ke tengah-tengah ruangan sampaidirinya terjerembab menghantam lantai beton. Ia hanya bisa mengaduh dalam desisan.
"Demi desa apapun akan kulakukan," bertepatan dengan Indra yang menoleh pada ayahnya, Hagoromo ternyata juga sedang meliriknya dengan tatapan yang sama dengan yang ia lihat saat di perjalanan menuju kuil ini. "Dari pada gadis-gadis tak berdosa itu yang menjadi korban, aku lebih rela jika anak ini yang kukorbankan demi keselamatan penduduk dan juga desa."
Apa-apaan semua ini?! Indra terperangah tak bergerak ketika mendengar kalimat kejam itu dari mulut ayahnya. Ia ingin bertanya, tapi suara tegas sang nenek ternyata lebih dulu menarik perhatian ketimbang dirinya yang malah berakhir gemetar —nyaris menangis.
"Anak ini berbeda. Dia dikutuk. Seorang laki-laki tidak mungkin menjadi seorang omega, dan anak ini justru memiliki hal yang seharusnya hanya dimiliki oleh wanita."
"Apa maksud Nenek? Aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan kalian," sela Indra yang pada akhirnya berani bersuara. "Lalu apa maksud perkataan Ayah? Gadis-gadis yang tak berdosa, korban, apa maksud semua itu? Jika mereka tak berdosa akupun juga sama. Seharusnya Ayah juga melindungiku."
Semua orang terdiam mendengarkan rintihan Indra. Tapi meski begitu mereka tetap bersikeras memandanginya seolah ia adalah makhluk pembawa bencana dan malapetaka.
"Tolong hentikan... aku memang tak tahu apa yang ingin kalian lakukan terhadapku, tapi aku sungguh takut. Kalian menatapku seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang fatal."
"kesalahanmu memang fatal," jelas Hagoromo yang masih mempertahankan tampang dinginnya. "Kau ingat saat aku mengatakan kau tak akan pernah bisa menjadi seperti Ashura? Kenyataannya kau memang tak bisa, sejak kau dilahirkan aku tahu memang ada sesuatu yang salah dengan dirimu."
"Apa yang salah dengan diriku?" tanya Indra frustasi. Ia tak menyukai tatapan yang dilayangkan para warga kepada dirinya.
"Kau tidak sepertiku, tidak juga seperti para lelaki di desa ini. Kau berbeda."
"Apa yang sebenarnya Ayah maksudkan? Aku benar-benar tidak mengerti..."
Kaguya maju ke depan, menatap Indra yang sudah menangis tergugu ketakutan. Dipikirannya masih terbayang sosok sang puteri yang ia hukum karena melahirkan anak terlarang ini. Kaguya jadi semakin yakin jika apa yang ada di dalam diri cucu pertamanya adalah sebuah kutukan, sebuah aib. Ia berjongkok mensejajarkan pandangannya dengan wajah Indra. "Kau terlahir sebagai omega, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama ini. Dan itu bukan hal yang lazim terjadi pada diri manusia normal."
"Nenek..." Indra meradang. Kenyataan itu menamparnya. Ia tak pernah membayangkan jika di dalam dirinya terdapat jiwa seorang omega, selama ini Indra merasa dirinya normal, wujudnya juga laki-laki tapi kenapa ia terlahir dengan predikat yang seharusnya mendiami raga seorang perempuan. Indra ingin meraih kaki neneknya, atau kaki ayahnya untuk kembali memohon sedikit saja belas kasih dari keduanya, tapi beberapa warga yang mencekal kedua tangannya tentu saja membuat ia terkejut. "Apa-apaan ini? Lepaskan aku! Ayah, tolong aku, Ayah..." Indra meronta-ronta, lalu tanpa sadar menghempaskan salah satu tubuh pria dewasa dengan kekuatan tenaga dalamnya, melihat hal itu tentu saja Hagoromo terkejut. Pasalnya selama ini ia tak pernah mengajarkan ilmu apapun kepada putera sulungnya. Tapi hari ini Indra menunjukkan sesuatu yang cukup mencengangkan semua orang. Seluruh tubuhnya diliputi aura berwarna ungu, bola matanya pun berubah warna menjadi merah dengan tiga koma di bagian luar retinanya.
"Kau..." Hagoromo tiba-tiba saja melesat secepat kilat. Ia berdiri di belakang Indra kemudian menekan titik syarat lehernya. Indra lengah, tubuhnya tak mampu bergerak menuruti perintah otaknya. Tiga totokan syaraf yang menyerang bagian leher belakangnya seketika membuat dirinya kehilangan kesadaran. "Dia bisa menjadi ancaman jika tidak segera dihentikan. Aku tidak ingin hal ini menguntungkan pihak mereka."
"Lalu kita harus bagaimana? Kau sudah terlanjur mengumpankan anak ini pada mereka."
Semua orang berbisik penuh kekhawatiran, namun Kaguya justru tak memberikan banyak reaksi. Ia terlalu hanyut menatapi wajah Indra yang terlelap. Bayangan masa lalu beserta masa depan yang akan terjadi, terasa berputar-putar di dalam benaknya. Ia tak ingin kesalahan yang sama kembali terulang di garis keturunannya. Ia tak ingin hubungan terlarang yang menyebabkan seorang anak terkutuk lahir ke dunia ini lagi. Ia tak ingin anak dalam ramalannya benar-benar mengacau di masa depan. Indra dan Ashura harus dipisahkan, atau kesalahan yang sama akan kembali terjadi pada keluarganya.
"Kau harus membuat anak ini lemah. Jangan sampai kekuatannya menguntungkan pihak mereka."
Tak ada satupun yang dapat menebak rencana Kaguya, tetapi satu hal yang mereka pahami. Membiarkan kekuatan Indra terus berkembang adalah sesuatu yang membahayakan bagi desa dan juga kehidupan mereka di masa mendatang. Hagoromo terpaksa menunda perjanjiannya dengan bangsa siluman untuk menyerahkan Indra sebagai balas ganti agar para siluman tidak lagi menculik gadis-gadis di desa Ninshu dan menjadikannya sebagai omega mereka.
Selama masa pelumpuhan kekuatan Indra, Hagoromo memutuskan mengurung Indra di kuil rahasia. Ia mencekokinya ramuan racun setiap hari. Ramuan itu tidak akan membunuhnya tetapi hanya akan melenyapkan ilmu Ninshu dalam tubuh Indra. Sehingga ketika perjanjian nanti ditepati, setidaknya Hagoromo yakin Indra tidak akan menjadi masalah bagi keluarga dan desanya di kemudian hari.
Lamanya Indra menghilang dari rumah, tentunya membuat Ashura khawatir. Karena hanya dia yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi di malam saat kakaknya dinyatakan menghilang. Setiap kali ia menanyakan perihal kakaknya, Hagoromo selalu mengatakan bahwa Indra sedang berlatih di tempat rahasia, tapi saat ia tanya dimana tempat rahasia itu Hagoromo tak menjawab. Begitu juga saat ia bertanya pada Kaguya, sang nenek juga mengatakan hal yang serupa. Ashura kesal. Padahal ia ingin bermain bersama kakaknya, tapi sang kakak justru tak pernah kembali selama apapun Ashura menunggunya di rumah. Pernah suatu kali ia bertanya pada Hamura selaku pamannya, tapi yang dilakukan pria itu justru berbeda. Dia tak menjawab ataupun berbicara, hanya mengusap sayang puncak kepala Ashura sambil tersenyum dengan wajah sedih. Ashura jadi semakin tak mengerti, 3 tahun Indra menghilang tak sekalipun kakaknya itu pulang ke rumah ataupun menemuinya.
...
Bunyi gerendel pintu yang dibuka adalah satu-satunya suara yang didengar Indra setiap hari selain bunyi napas dan suaranya sendiri. Gemerincing suara kunci beserta decitan pintu kayu menghantarkan sebentuk udara semilir yang menyegarkan tubuhnya. Entah sudah berapa lama Indra tak merasakannya, yang pasti ia sudah tak bisa lagi menghitung ribuan hari yang terlewat begitu saja sejak dirinya dikurung bahkan dipasung di tempat ini.
Setiap hari akan ada seseorang yang memberinya makanan serta memaksanya meminum ramunan pahit yang selalu membuat tenggorokannya panas bagai terbakar percikan api. Awalnya Indra selalu menolak, tak terhitung berapa kali dirinya memohon ataupun menangis, tidak ada satu orangpun yang mau mengasihani atau bahkan menolongnya keluar dari sini.
"Kali ini Ayah yang mengunjungiku," katanya sembari tersenyum lemah. Akhir-akhir ini tubuhnya semakin tak bertenaga, untuk menggerakan tangannya saat makan saja terasa sulit, tak jarang Indra memakan makanannya langsung dari piringnya tanpa menggunakan tangan.
"Kau ingin aku memaksamu atau kau minum ramuan ini sendiri secara sukarela?" dingin dan datar, seperti yang ia duga suara ayahnya tak banyak berubah.
Indra tersenyum semakin lebar. Ia tahu ayahnya meracuni setiap ramuan yang ia minum selama 7 tahun belakangan ini. "Aku akan meminumnya jika Ayah yang memintanya. Tapi aku tidak sanggup menggerakan tanganku karena lapar, apakah Ayah bisa membantuku meminum ramuan itu?" di luar dugaan Hagoromo menuruti permintaan itu. Tentu saja Indra senang bukan kepalang. Selama ia hidup, ia tak pernah dimanjakan seperti ini oleh Hagoromo. Meskipun ramuan itu pahit dan membuat tenggorokannya sakit, Indra rela menegaknya sampai habis asalkan minuman itu diberikan langsung oleh kedua tangan ayahnya sendiri. "Ohok!" seperti yang sudah-sudah, Indra memuntahkan darah dari mulutnya saat merasa tenggorokannya kembali terbakar oleh ramuan itu. "Ghok —hkk—Ohok!" ia terkulai lemah setelahnya, tapi Indra tetap berusaha terjaga agar bisa melihat wajah ayahnya sedikit lebih lama lagi.
...
Indra berpikir, ia takkan pernah dibebaskan dari tempat ini seumur hidupnya, tapi rupanya hal itu salah. Karena pada hari ini, hari yang kesekian ribu dari hari-hari beratnya dikurung di bawah kuil rahasia ini, akhirnya kebebasannya pun tiba. Seluruh belenggu yang mengekang tubuhnya dilepas, Indra lalu digiring menuju kuil utama, melewati pintu sorong demi mempertemukan dirinya dengan sinar matahari yang sangat terik. Dulu ia tak pernah merasa sinar mentari akan semenyenangkan ini ketika menyengat kulitnya, ia lebih suka berjemur di bawah langit biru yang memperlihatkan khatulistiwa jernih dengan gumpalan awan putih yang selalu berarak bagaikan parade di musim panas. Mengingat hal itu ia jadi teringat pada sosok kecil adiknya yang berwajah manis. Apa kabar Ashura sekarang ini? Dia pasti sudah besar dan tampan. Indra jadi tak sabar bertemu kembali dengan adiknya setelah sekian lama.
Rumahnya begitu sepi ketika beberapa orang pelayan yang membawanya pulang langsung menuntunnya ke arah kamar mandi. Mereka membantu Indra membersihkan diri, mereka juga memakaikannya sebuah kimono putih bergaris hitam di bagian pinggang serta pergelangan lengannya. Indra merasa tak pernah sesegar ini sejak dirinya dikurung pada malam hari itu. Tapi ia juga bingung kenapa setelah sekian lama dirinya justru dibebaskan. Bukannya Indra tak senang, ia justru bersyukur ayahnya mau membebaskannya dari ruangan kumuh itu, tapi tak dipungkiri juga ia merasakan adanya firasat buruk mengenai kebebasannya hari ini.
"Kak Indra?" pekikan kaget seseorang menyentak lamunan Indra di tepi kasur lamanya. Ia sampai tak sadar kalau sejak tadi ia duduk termenung setelah para pelayan meninggalkannya sendiri di kamar ini.
"Kau..." belum sempat Indra mengucap, orang itu segera memeluknya dengan sangat kuat.
"Akhirnya Kakak pulang juga. Kenapa latihanmu begitu lama sekali sih?"
Perhatian Indra jatuh sepenuhnya pada penampilan laki-laki itu. Tentu saja ia mengenali sosok adiknya yang telah berubah menjadi remaja tampan. Memangnya siapa lagi yang memanggilnya dengan sebutan 'kakak' selain Ashura. Tapi tak lama Indra malah tercenung, seingatnya tadi Ashura mengatakan kalau dirinya berlatih begitu lama. Tanpa sadar Indra tersenyum kecut, ayahnya pasti berbohong demi menyembunyikan dirinya yang dikurung di bawah kuil rahasia itu.
"Kakak? Kak Indra?"
Indra tersentak merasakan bahunya diguncang oleh Ashura. Ternyata meskipun sudah sebesar ini Ashura masih bersikap kekanakan seperti dulu. "Ashura... kau sudah besar sekarang."
"Kakak juga," Ashura membalas ucapan itu dengan cengiran lebar. Ia duduk di tepian kasur tepat di sebelah Indra. "Ayo ceritakan padaku seperti apa pengalaman Kakak selama berlatih di tempat rahasia yang diceritakan Ayah."
Tak ada yang bisa diceritakan Indra kepada Ashura, karena selama Indra dikurung tak ada kejadian lain selain dirinya yang dipaksa meminum ramuan berisi racun pelemah dan juga dirinya yang sering menangis kesakitan tanpa ada siapapun yang menolongnya dari tempat itu.
"Kakak? Kenapa wajah Kakak pucat?" tanya Ashura Khawatir. Seingatnya dulu Indra tidak bertubuh sekurus dan berwajah sepucat ini. Memangnya latihan seperti apa yang diberikan ayahnya selama ini kepada kakaknya.
"Aku hanya lelah... Ohya, selamat karena sebentar lagi kau akan menjadi penerus kebanggaan Ayah."
"Seharusnya kaulah yang menjadi penerus Ayah, bukan aku. Lagipula usiaku masih 14 tahun Kak, belum pantas menjadi penerus."
Oh ternyata usia Ashura sudah beranjak 14 tahun, berarti kalau tidak salah hitung seharusnya usia Indra sudah 17 tahun sekarang. Rupanya ia dikurung selama 7 tahun, benar-benar waktu yang sangat lama sekali.
"Kaulah yang pantas," suaranya serak ketika mengingat apa saja yang telah ia lalui selama 7 tahun terakhir, sendirian. "Kau seorang alpha, sudah sepantasnya kau menjadi penerus untuk klan ini dan juga pemimpin bagi desa ini kelak."
"Kenapa harus aku? Yang menjadi putera tertua di keluarga ini adalah kau Kak."
"Aku tidak bisa. Mana mungkin lelaki sepertiku memimpin klan dan desa."
"Kenapa?" tanya Ashura tak puas. Mimik wajahnya berubah tegas ketika bertatapan dengan Indra. Kontur wajah Ashura sedikit berubah, dulu ia terlihat menggemaskan dengan pipi sebulat bakpao, tapi sekarang pipinya tirus dan rahangnya begitu kokoh seperti ciri khas seorang alpha pada umumnya. Indra sampai tak bisa berpaling ketika menatap wajah adiknya dari jarak sedekat ini.
"Karena aku —"
"Karena kau seorang omega?" tebakan itu tepat mengenai sasaran. Indra berjengit, kenyataan kalau Ashura mengetahui jati dirinya sebagai seorang omega tentunya memberikan pukulan berat terhadap mentalnya.
"Kau... tahu?"
Ashura menjatuhkan kepalanya di bahu Indra. Ia menarik napas sembari membaui aroma manis yang tercium dari tubuh kakaknya. "Seperti katamu, aku ini seorang alpha. Tentu saja aku bisa mencium bau tubuhmu," ia tercenung sebentar, lalu menggeleng kuat-kuat seraya bangkit berdiri. "Tidak, sebenarnya aku sudah tahu dari dulu. Baumu berbeda dengan anak laki-laki lainnya, baumu cenderung manis seperti anak perempuan, karena itulah aku berpikir kau adalah omega. Tapi karena dulu aku masih sangat kecil, aku tidak berpikir seperti itu."
"Sekarang kau sudah tahu. Apa kau akan menganggapku aib seperti warga lainnya?"
"Tidak!" Ashura membantah tegas. Keningnya yang tertutupi kain pengikat kepala berwarna putih terlihat mengerut tak senang. "Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu. Memang kenapa jika kau berbeda? Memang kenapa kalau kau adalah omega? Itu bukan kesalahanmu. Kalau mereka tak bisa menerimamu, biar aku saja yang menerimanya kalau begitu. Jika mereka menganggapmu sebagai aib, biar kupatahkan lehernya agar tidak menghinamu seperti itu lagi."
"Itu tidak perlu..."
"Itu perlu!" desaknya keras kepala seraya menarik lengan Indra sampai sang kakak berdiri sempoyongan. Tapi dadanya yang bidang lekas memberikan bantalan ketika kepala Indra terantuk ke arah depan. "Kau omega dan aku adalah alpha. Lihat? Kita bisa bersama dengan dua perbedaan itu kan?"
Indra tersentak, cepat-cepat ia mendorong tubuh Ashura menjauh, tapi tangan-tangan kokoh sang adik yang berwarna kecokelatan akibat terpaan sinar matahari itu lagi-lagi meraup tubuhnya yang sekurus tulang berjalan. "Apa yang kau lakukan?" ia meronta tak nyaman. Tatapan mata Ashura begitu mutlak tak terelakan.
"Sejak dulu aku ingin mengatakan ini padamu. Kau sangat cantik Kak dan aku menyukaimu."
Pernyataan itu membekukan seluruh syaraf di tubuh Indra. Inginnya ia berkelit, melepaskan diri dari rengkuhan posesif adiknya, tapi ia tak sanggup. Aura dominan yang menguar dari tubuh Ashura serasa melemaskan seluruh otot di tubuh Indra. Ia tak bergeming, bahkan ketika naluri pendominasi di diri Ashura bergerak mengikis jarak wajah mereka berdua. Menempelkan bibirnya yang penuh untuk melumat bibir tipis Indra secara hati-hati. Menyesapnya. Mengulumnya. Memperlakukan belah bibir seranum buah apel itu bagaikan kaca yang mudah pecah. Ashura hanya butuh naluri alpha-nya untuk membimbingnya. Karena naluri seorang alpha selalu ingin menyentuh bagian tubuh omega yang disukainya.
Suara dehaman keras yang begitu menggelegar lantas menghentikan keinginan Ashura untuk menjamah kulit tubuh kakaknya yang sehalus dinding kaca. Spontan ia bergerak mundur, melepaskan pelukan posesifnya terhadap pinggul Indra, lalu membeku ketika mendapati sosok ayahnya yang tegas telah berdiri di depan ambang pintu kamar.
"A —Ayah."
"Kembali ke kamarmu, Ashura," ujarnya dengan wajah keras dan dingin.
Mau tak mau Ashura kembali ke kamarnya. Ia begitu malu untuk sekedar berpamitan pada Indra, dan lebih memilih menatap jari-jari kakinya ketika melangkah pergi. Setelah Ashura benar-benar menjauh dari mereka, Hagoromo berjalan menghampiri Indra yang hanya diam seperti patung. Ketika dekat, telapak tangannya telah melayang cepat menampar pipi Indra.
"Jangan pernah coba-coba," kecamnya. "Aku akan membunuhmu jika kau masih berani mendekati Ashura!"
Ini pertama kalinya Hagoromo mengancamnya, biasanya pria itu hanya menatapnya dingin atau mengabaikannya ketika berpapasan. Sewaktu Indra masih dikurungpun Hagoromo tak banyak berbicara. Tapi hari ini Indra justru mendapatkan ancaman serta tamparan. Indra mengaku bersalah karena dengan bodohnya ia malah menikmati ciuman itu dan berharap Ashura akan melakukan hal yang lebih ketika hasrat telah membutakan fungsi otaknya. Ia benar-benar berdosa, tetapi kenapa hanya dia yang disalahkan disini. Kenyataannya Ashuralah yang memulai ciuman itu lebih dulu.
Indra menatap kecewa pada punggung sang ayah yang sekali lagi meninggalkannya setelah menggoreskan luka di hatinya. Ia kembali mendudukan dirinya di tepian kasur, melamun. Rasa panas yang ada di pipinya tak sebanding dengan rasa panas yang bergejolak dalam dada. Napas dihempas kasar, tapi sesak yang menggerogoti perasaannya tak juga membaik, justru malah semakin membuatnya sesak.
...
Jam berdenting menunjukan pukul 12 malam. Suara ketukan angin yang menggerakan ranting menggesek permukaan jendela kayu dari luar. Indra terbangun, tidurnya sangat terusik. 7 tahun dikurung di bawah kuil, berteman sunyi dan rasa sepi tentunya tak membiasakan dirinya dari kegaduhan secuilpun. Ia bangkit terduduk pada sandaran kasurnya yang terbuat dari dipan kayu, ada suara langkah kaki dan bisikan samar dari arah luar pintu kamarnya. Tak lama dahan pintu kokoh itu menjeblak terbuka. Indra spontan menarik diri sampai punggungnya bersinggungan dengan sandaran kasur. Beberapa orang yang ia kenali sebagai penduduk di desanya memasuki ruang kamarnya, mereka menarik tubuh Indra, menyeretnya keluar kamar, sementara Indra hanya diam membiarkan orang-orang itu membawanya ke suatu tempat.
"Hagoromo-sama," panggil seseorang yang mendorongnya dari belakang. Indra yang baru saja terjatuh lekas mendongakan kepalanya untuk melihat sosok sang ayah yang sedang berdiri bersebelahan dengan Kaguya.
"Sudah kukatakan aku akan menepati janjiku asal kau berhenti menculik para gadis di desa kami," ucapnya. Indra mengernyitkan dahi. Ia bingung dengan siapa ayahnya berucap.
Angin berhembus menerbangkan helaian panjang Indra di udara. Tubuhnya sedikit menggigil karena dingin yang serasa menusuk sampai ke tulang-belulang. Tengkuknya meremang, ia mendengar suara kekehan serak saat hembusan angin dingin itu berhenti membelai kulitnya.
"Kami tidak suka menunggu lama, Manusia," geraman suaranya seperti binatang.
Indra berkelit dari kumpulan warga yang menutupi arah pandangannya. Ia melihat seseorang dengan rambut kuning panjang tak beraturan tengah berhadapan sinis dengan sang ayah. Lalu seseorang menarik lengannya, Indra terhuyung berdiri lalu terhempas menuju cengkraman ayahnya. "Jika aku memberikanmu seorang omega, kau berjanji tidak akan mengganggu ketentraman desa ini lagi kan?"
"Ya, aku berjanji," mata lelaki itu berkilat buas, campuran mata manusia dengan lensa seekor hewan. "Berikan aku satu, maka aku tidak akan menculik para gadis di desa ini lagi. Itupun jika dia tidak berniat kabur ataupun bunuh diri seperti mereka."
Hagoromo menggertakan giginya saat mendengar kekehan menyebalkan lelaki itu. Ia lalu menoleh hanya untuk menatap Indra tepat di mata. "Kau dengar? Jangan mencoba untuk kabur, dan turuti semua perintah alphamu."
"Apa maksud Ayah?"
Tapi Hagoromo tak menjawab, beliau dengan segera justru melemparkan Indra ke arah pria itu. Tubuh ringkihnya berhasil ditangkap dan Indra membaui aroma tubuh si pria yang tercium sangat menusuk. Itu bau darah. Pria ini pasti siluman pembunuh manusia yang sering ia dengarkan ceritanya sewaktu kecil. Anak-anak perempuan seusianya dulu sering bercerita mengenai hal ini, dan Indra pada saat itu hanya bisa menguping cerita mereka secara sembunyi-sembunyi.
"Apa maksudnya ini Ayah?" tanya Indra tak terima. Tangannya memberontak ketika lelaki itu mencekal tubuhnya erat-erat.
"Ayahmu membuangmu, Sayang... Beliau mengorbankanmu demi menyelamatkan ketentraman desanya dari kaumku."
"Tidak," ia menolak mentah-mentah perkataan si pria siluman. "Katakan itu tidak benar Ayah. Aku anak Ayah, Ayah tidak mungkin melakukan hal ini padaku kan?" tanyanya penuh harap.
Namun sekali lagi Hagoromo tak mejawab. Ia hanya menatap datar sosok mengiba Indra dan segala linangan airmata di pipinya.
"Ayah boleh mengurungku lagi tapi tolong jangan buang aku."
Telapak tangan si pria siluman mengusap kasar puncak kepala dan pipinya. Kekehan seraknya yang menyebalkan itu lagi-lagi mengalun memecah kesunyian malam. "Aku sudah menantikanmu selama 7 tahun. Usiamu sudah pantas menjadi seorang omega dewasa yang melahirkan keturunanku."
"Tidak!"
Hagoromo membalik tubuhnya tanpa menghiraukan jeritan Indra. Hatinya benar-benar keras seperti batu. Tak ada yang lebih menyakitkan selain dikurung selama 7 tahun lalu diumpankan menjadi tumbal demi ketentraman desa yang bahkan tak pernah menerima kehadirannya. Kenapa harus dirinya yang mengalami seluruh kepahitan ini. Pria yang paling ia sayangi dan hormati justru malah mnghancurkan hidup serta perasaannya sampai berkeping-keping.
"Ayah!" Indra menjerit lebih keras saat merasakan tubuhnya diangkat lalu dipanggul seperti beras. Tangannya memukul-mukul punggung pria siluman itu, ia berharap bisa mengeluarkan sedikit saja kekuatannya untuk menyelamatkan diri, tapi rupanya nihil. Selama ini Hagoromo telah melemahkan kekuatan Indra melalui ramunan yang diminumnya setiap hari.
Rombongan warga yang memenuhi tempat transaksi itu perlahan-lahan memudar. Mereka nampak tak peduli pada nasib Indra dan juga pada jeritannya yang memilukan. Ia mendengar beberapa bangsa siluman yang juga ada di tempat itu bersorak kegirangan saat ketuanya berhasil mendapatkan seorang omega meskipun bergender laki-laki. Suara auman ala binatang berlomba-lomba memecah suasana malam hari. Hingga di tengah rasa putus asanya Indra mendengar suara teriakan Ashura dari tempat transaksi dirinya dilaksanakan.
"Kak Indra!"
Dari jauh Indra menyaksikan kedatangan Ashura, disusul sosok ayahnya yang tengah murka mengejar langkah sang adik.
"Ashura! Ashura tolong!"
Pria siluman itu menggeram marah mendengar Indra yang memanggil nama lelaki lain di dekat telinganya. "Diam!" ia membentak, lalu menggertakan giginya yang berupa taring tajam.
Keputusasaan Indra tak juga berakhir saat ia menyaksikan Hagoromo yang berhasil menghentikan langkah Ashura kemudian menyeretnya pergi. Harapannya terasa hilang, ia hanya memandangi wajah kesakitan Ashura ketika Hagoromo memukul tengkuk lehernya sampai pingsan. Dunianya runtuh seketika. Kepahitan hidup yang ia rasakan lagi-lagi menghancurkannya begitu dalam.
...
Sesampainya ia di sarang makhluk itu, tubuh Indra segera dihempaskan ke arah lantai. Ruang bangunan ini terbuat dari batu yang beralaskan tanah kering, tak heran jika pakaian Indra yang berwarna putih seketika langsung kotor penuh debu dan tanah.
Makhluk itu tertawa melihat ekspresi kesakitan Indra saat terjatuh. "Mulai sekarang kau adalah pengantinku. Lahirkanlah banyak omega untukku."
"Aku tidak mau!"
Seketika tawa lelaki siluman itu berhenti. Wajahnya berubah murka, dan dia langsung menerkam Indra yang telah tersudut di tanah.
"Ah! Lepaskan aku, Brengsek!"
"Panggil namaku yang benar! Panggil aku Kinkaku."
Indra mengerang, dua pergelangan tangannya dicengkram sampai ia tak bisa menggerakannya seinchipun, "Aku tidak sudi! Lepaskan aku!"
Geraman siluman bernama Kinkaku semakin keras bergaung. Ia menyentak kedua tangan Indra yang telah memerah lalu mencabik ganas Kimono putihnya. Ketika Indra berusaha memberontak, naluri kebuasan Kinkaku semakin menjadi-jadi. Ia tertawa saat melihat airmata meluncur membasahi kedua pipi Indra yang mulus. "Khh! Kenapa kau menangis? Malam ini kau telah resmi menjadi pengantinku," jari-jari tangannya yang kasar meraba-raba perut Indra yang tak terhalangi apapun. Kimono putih miliknya telah koyak menjadi beberapa bagian, sementara sisanya yang masih bertahan di tubuh Indra hanya menggantung di antara bahu dan punggungnya yang menyentuh tanah. "Aku akan segera mengisi perut ini dengan banyak benihku. Kau akan menjadi sumber penghasil omega untuk klanku, karena kami para siluman tidak seperti manusia yang mudah mendapatkan omega. Sperma kami itu sangat mematikan, kuharap kau sanggup menahannya lebih lama dari para gadis jalang itu, setidaknya sampai kau melahirkan anak-anak kita."
"Tutup mulutmu!" Indra menyentak kasar tangan Kinkaku yang bermain-main dengan perutnya. Ia ingin menarik diri, tapi Kinkaku dengan segera mengurung tubuhnya kembali di atas tanah.
"Kau tidak bisa menolak perintahku. Aku adalah alphamu sekarang!" bentaknya. Mata Kinkaku bersinar merah, memperlihatkan iris lensanya yang berbentuk vertikal. Di masing-masing pipinya ada semacam tiga goresan yang membentuk kumis hewan, Indra baru menyadarinya saat melihat sedekat ini, dan ketiga goresan itu semakin menebal seiring besarnya kemarahan lelaki itu. Indra panik. Naluri terdalamnya berkali-kali berbisik agar dia segera lari, tapi tubuhnya tak mampu berkelit. "Aku tidak pernah menandai omega laki-laki sebelumnya, dan kau adalah yang pertama, Manis..." ia terkekeh memperlihatkan taringnya yang baru menyembul dari dalam gusi.
"A —Apa yang akan kau lakukan?" Indra mencicit ketakutan. Kinkaku lagi-lagi mencengkram kedua tangannya lalu mengangsurkan helai rambut yang menempel di sekitar leher Indra. "Le—Lepaskan aku! Lepaskan!" dan bersamaan dengan itu Indra tak lama berteriak. Lehernya seperti terkoyak oleh gigi-gigi tajam Kinkaku. Urat-urat lehernya menegang, rasa panas dan perih yang tak tertahankan membuat tubuhnya mengejang penuh penderitaan.
Sebuah tanda kepemilikan berhasil tercipta. Kinkaku menggeram puas. Sekarang ia punya omega, omega laki-laki yang sangat langka. Ia yakin omeganya kali ini takkan bisa kabur ataupun bunuh diri seperti para gadis yang ia culik dari desa Ninshu. Kinkaku lantas melucuti seluruh pakaiannya. Ia segera mempersiapkan Indra yang hanya bisa merintih menahan sakit di lehernya.
...
Hari-hati bergerak sangat lambat. Setiap hari yang dilakukan Indra adalah mengutuk hidupnya yang penuh kepahitan. Kinkaku selalu menemuinya setiap malam, melakukan penyatuan, menandai seluruh jengkal kulitnya, dan melakukan banyak hal sampai rasanya Indra mau mati di detik itu juga. Tapi bagaimana caranya ia bunuh diri jika di tempat ia dikurung tidak ada satupun benda yang bisa Indra pakai untuk melukai dirinya. Kinkaku juga merantai tangan dan kaki Indra, membuatnya tak bisa berkutik sekalipun ada kesempatan untuk lari dari tempat neraka itu.
Setiap pagi, perasaan Indra selalu kacau. Perutnya mual, penuh dengan benih siluman pirang itu. Sekujur kulitnya juga bertanda biru, hasil kekerasan dan cumbuan Kinkaku yang begitu liar dan brutal. Terkadang Indra tak habis pikir, kenapa langit menghukumnya seperti ini. Indra tak pernah melakukan kesalahan, ia selalu menuruti perintah ayahnya, tapi kenapa ia dibuang. Dulu ayahnya selalu mengabaikan Indra, lalu di suatu malam tiba-tiba saja ayahnya menyeret Indra dan mengurungnya selama 7 tahun di kuil rahasia, setelah dibebaskan tak sampai 12 jam Indra sudah diserahkan pada Kinkaku sebagai tumbal untuk keselamatan desanya. Apakah bagi mereka nyawa Indra tak lebih berharga. Padahal ia juga manusia, ia ingin bahagia dan merasakan indahnya jatuh cinta.
Di tengah lamunannya, Indra tersentak saat mendengar bunyi kunci yang diputar dari luar, disusul bergeraknya bidang datar itu yang kemudian menyembulkan sosok siluman bernama Kinkaku disana. Tapi kali ini Kinkaku tidak datang sendirian, lelaki itu mengajak seseorang yang memiliki wajah serupa dengan dirinya.
"Aku tidak percaya, makhluk secantik dan seindah ini kau sembunyikan di tempat kotor seperti ini? Dimana akal sehatmu, Kak?" siluman itu berdecak sambil memindai seluruh jengkal tubuh Indra yang telah ternoda.
"Aku akan membiarkannya bebas berkeliaran setelah dia melahirkan keturunanku," Kinkaku terbahak seraya mengerling genit kepada Indra yang menatapnya penuh benci. Rasa-rasanya Indra semakin mual melihat wajah siluman brengsek itu lama-lama.
"Apa kau sudah memeriksa keadaannya? Ini sudah hampir 3 bulan kan?"
Kinkaku tergelak lagi, kali ini terkesan lebih puas dari yang sebelumnya. "Tidak perlu. Memangnya kau pikir bangsa siluman itu seperti manusia? Kita tidak membutuhkan tabib," ia berjalan memutari Indra lalu berjongkok di belakang punggungnya. Kinkaku melingkarkan kedua tangannya hanya untuk memeluk leher Indra dan menciumi puncak kepalanya. Tentu saja Indra memberontak, tapi dibanding kekuatan alpha silumannya, kekuatan Indra hanya serupa geliatan cacing. "Aku bisa menciumnya. Keturunan pertamaku," perkataan itu menghentikan tarikan napas Indra selama beberapa saat. "Apa kau tidak merasakannya, Sayang?" Kinkaku mengusap perutnya dengan gerakan pelan. "Ada anak kita di dalam sini."
Indra menolak mentah-mentah sentuhan siluman itu di perutnya. Ia juga menyentak tubuh Kinkaku lalu menyeret dirinya sendiri ke pojok ruangan. "Tidak! Itu tidak mungkin! Tidak mungkin!"
Kekehan 2 siluman itu serasa bagaikan mimpi buruk di hidup Indra. Ia memukul kasar perutnya yang terdapat sebuah janin, tapi Kinkaku tiba-tiba melesat dan mencekal kedua tangannya ke arah tembok. "Kau masih ingin menyangkal statusmu sebagai omega? Janin ini telah membuktikan bahwa kau memang aib untuk klan dan desamu sendiri. Tapi tak usah khawatir, sebagai alphamu aku akan selalu menerima apapun kondisimu. Jadi cukup berikan aku banyak keturunan sebagai balas jasaku terhadapmu," ucapnya lewat bisikan seduktif. Kemudian Kinkaku terbuai oleh aroma tubuh Indra yang semakin kuat tercium saat dirinya sedang hamil.
"Jangan sentuh aku!" sentaknya. Tapi Indra tak mampu melakukan apa-apa saat Kinkaku mencumbui leher dan dan dadanya.
Kenyataan yang terlalu berat menyebabkan jiwa seorang Indra terguncang. Tapi lihatlah apa yang dilakukan siluman itu padanya. Kinkaku hanya mementingkan naluri hewanya saja dengan menyalurkan segala libido liarnya terhadap Indra yang sedang terpukul bahkan menangis.
...
Ashura melayangkan pukulan telapak tangannya yang dialiri kekuatan Ninshu pada pepohonan besar di tengah-tengah hutan. Berlatih selama 1 tahun menjadikan tubuh serta ototnya terbentuk dengan sangat baik. Peluh dan keringat dengan cepat membanjiri tubuhnya yang hanya bertelanjang dada. Kernyitan dahinya yang tertutupi sebuah kain pengikat kepala berwarna putih nampak terlihat jelas menunjukan guratan emosinya. Ashura memfokuskan arah serangannya sekali lagi, namun ia tidak memakai pukulan telapak tangan seperti tadi melainkan memusatkan ilmu Ninshunya membentuk sebuah bulatan energi di atas kulit telapak tangannya. Kumpulan tenaga dalam yang memadat, mericuhkan tekanan angin beserta pergerakan ranting hingga menggugurkan dedaunan kering di udara. Dengan mengokohkan rasa dendam dan tujuannya berlatih keras selama ini, Ashura kemudian melemparkan bola energi yang terbuat dari gumpalan angin padat pada dinding batu yang menghalangi arah pandangannya sampai hancur berkeping-keping.
"Hebat! Yang tadi itu hebat sekali!" seseorang bertepuk tangan menyaksikan jurus terbaru Ashura yang baru disempurnakannya dalam waktu 3 hari. "Kau sudah melampaui Ayahmu, apa sekarang kau sudah berubah pikiran dan ingin menjadi penerus beliau?"
Ashura melirik orang itu tanpa minat, lalu menyambar sehelai handuk yang ia gantung di salah satu ranting pohon.
"Hei! Setidaknya kau bisa menjawab guyonanku, Bodoh!"
"Pergilah, Izuna. Aku sedang tidak ingin diganggu."
"Hah? Kenapa? Padahal aku selalu menemanimu berlatih di tempat ini."
Ashura mendengus seraya melemparkan handuknya yang telah basah ke tanah. Ia tampak tak berminat meladeni ucapan Izuna dan lebih memilih untuk pergi.
"Kau masih mencari keberadaan Kakakmu?"
Pertanyaan itu sontak menghentikan langkah Ashura. Izuna tersenyum penuh kemenangan dalam hati. Selama ini hanya dialah yang bisa membaca isi hati Ashura yang selalu memikirkan bahkan merindukan kakak tersayangnya, Indra.
"Aku tahu dimana Kakakmu ber—"
"Hutan Kumo bagian selatan. Ya, aku tahu. Karena itulah aku berlatih keras setiap hari demi bisa merebutnya kembali," sela Ashura tegas seraya membalikan tubuhnya untuk bertatapan dengan Izuna yang nampak tersenyum. Ia mengernyit heran. Apa-apaan ekspresi yang dipasang sahabatnya itu.
"Akhirnya kau mengatakannya juga," Izuna berjalan menghampiri Ashura lalu menepuk keras bahunya yang kokoh. "Sejak dulu kau selalu menceritakan tentang kakakmu. kau begitu antusias saat dia mengajakmu bermain atau berbicara. Awalnya aku berpikir, kau sangat mengagumi sosok kakakmu itu. Tapi sekarang aku sadar kalau hal itu ternyata lebih dari apa yang kuperkirakan selama ini."
Tak ada respon apapun dari Ashura. Lelaki itu justru menatap Izuna melalui sorot matanya yang tajam dan dewasa.
"Aku tidak bermaksud buruk, hei! Aku tahu status kakakmu yang seorang omega. Aku mendengar hal itu dari Ayahku saat sedang berbincang dengan Ayahmu setahun yang lalu. Yah, itu terdengar seperti obrolan rahasia. Mereka sepertinya telah merencanakan hal itu sejak lama. Kau tahu kan? Soal kakakmu yang dijadikan tumbal demi keselamatan para gadis di desa."
Ashura tak menyukai topik pembahasan ini. Ia lebih memilih pergi dan meninggalkan Izuna sendiri di belakang sana. Tapi kelanjutan ucapan Izuna sukses membekukan seluruh pergerakan tubuhnya.
"Kalau kau ingin dia kembali, tidak ada cara lain untuk menolongnya selain membunuh alpha siluman itu."
Tentu saja Ashura tahu, karena itulah ia berlatih keras siang dan malam demi bisa membunuh siluman brengsek yang telah membawa pergi kakaknya. Gara-gara siluman itu pula Indra jadi menderita. Seandainya Ashura cukup kuat pada saat itu, ia pasti bisa berkelit dari serangan ayahnya kemudian menghajar para siluman itu sampai mati.
"Saranku... semoga kau tidak gagal."
Untuk pertama kalinya Ashura tertawa sejak kepergian Indra 1 tahun yang lalu. "Itu terdengar seperti harapan."
Izuna ikut tertawa, lalu melempar sebuah ranting kering ke arah Ashura yang kemudian ditangkap dengan mudah oleh lelaki itu. "Tentu saja aku berharap kaulah yang menang, Bodoh."
Ashura terdiam sebentar sebelum memberikan senyumannya yang teduh kepada Izuna. "Terima kasih..." ungkapnya tulus. Dalam hati Ashura bertekat misinya untuk menyelamatkan Indra dari cengkraman Kinkaku dalam waktu dekat ini harus berakhir dengan sukses.
...
Berkali-kali ia menjerit dan mencakar-cakar tanah yang ia tiduri hanya demi menyalurkan rasa sakit yang menusuk-nusuk organ bawahnya. Indra menjerit semakin nyaring. Sebuah dorongan besar dan rasa sakit yang tak terhingga seperti memaksa sesuatu yang ada di dalam perutnya untuk keluar. Cucuran peluh bersatu dengan derasnya airmata. Ia tak sanggup, tapi seseorang yang menekan kuat perutnya terus memaksa Indra untuk mengeluarkan isi di dalam rahimnya.
"Aku mendapatkannya!" teriak Ginkaku selaku adik dari Kinkaku. Siluman yang memiliki rupa mirip dengan sang kakak, tengah membantu proses persalinan Indra di ruang kurungannya.
Indra menghentakkan kepalanya ke depan dan ke belakang, sampai tak sadar jika antukan tempurung kepalanya berkali-kali menghantam tanah padat. Kedua tangannya yang dicengkram Kinkaku mengepal erat. Ia sungguh tak sanggup lagi. Ia sudah kehilangan banyak darah sejak Ginkaku menekan perut besarnya untuk mengeluarkan janin yang hendak terlahir ke dunia ini.
"Apakah itu omega?" tanya Kinkaku antusias.
"Aku tidak tahu. Bayinya sulit sekali dikeluarkan dan—oh! Aku dapat! Aku bisa menariknya keluar!" soraknya girang. Tangan Ginkaku yang sedang mencengkram kepala mungil bayi itu berusaha menariknya keluar semakin kuat.
Indra mengejang dengan liarnya. Rasa sakit dan panas yang menghantam lubang analnya membuat ia berteriak sangat kencang.
Bayi itu berhasil dilahirkan ke dunia. Dengan suara tangisan yang nyaring dan bau menyengat yang cukup familiar di penciuman dua bersaudara siluman itu. Seketika raut wajah Kinkaku berubah keras. Bukan ini yang dia harapkan. Bukan bayi alpha yang ia inginkan tetapi seorang bayi cantik berjenis omega.
"Sial!" Kinkaku bangkit menendang apapun yang ada di hadapannya. Ia lantas keluar dari ruangan itu disusul oleh Ginkaku yang masih memegang seorang bayi mungil berambut pirang di sebelah tangannya.
"Kakak."
"Diam, Ginkaku! Biarkan aku berpikir sebentar. Tidak, tidak, aku harus kembali menghamilinya untuk mendapatkan keturunan omega. Bangsa kita bisa punah jika seluruh anggotanya adalah alpha."
"Aku tahu, Kak. Jadi tenanglah... Setidaknya anak ini masih bisa berguna untuk kita."
Perhatian Kinkaku jatuh pada buah hatinya yang baru dilahirkan. Anak itu mewarisi banyak hal dari dirinya—tidak, lebih tepatnya bayi itu mengcopy semua hal dari fisik Kinkaku. Rambutnya yang pirang, tanda lahir di kedua pipinya, lalu bola matanya yang juga berwarna biru. Tapi sekali lagi ia kecewa karena anak yang dilahirkan Indra bukanlah seorang omega.
"Kau hanya perlu mencoba dan mencobanya lagi. Omega itu masih menjadi milikmu, dan hanya dia yang bertahan mengandung sampai melahirkan benih dari seorang siluman."
Itu ada benarnya juga. Indra masih miliknya dan sampai kapanpun akan terus menjadi miliknya. Kinkaku hanya perlu mencoba dan mencobanya lagi sampai apa yang diinginkannya terwujud. Sepoles seringai licik memenuhi belah bibirnya yang menyembulkan sepasang taring tajam.
"Kinkaku-sama! Ada penyusup!" lapor seorang siluman berambut oranye. Dari arah luar terdengar suara teriakan beserta ledakan sampai membuat dinding-dinding batu di dalam markas bergetar dengan hebatnya.
"Penyusup?" Kinkaku menggeram. Sepasang retina birunya berubah warna menjadi merah.
"Dia manusia. Aku tak pernah melihat ilmu Ninshu sehebat dia sebelumnya."
"Ninshu?" kening Kinkaku berkerut, namun tak lama satu alisnya terangkat disertai seringaian paling keji yang pernah ia perlihatkan. "Apa kakek tua itu sekarang berubah pikiran?"
"Tidak, Kinkaku-sama. Dia bukan Hagoromo dari desa Ninshu. Manusia ini terlihat sangat muda sekali."
Bukan? Kalau begitu siapa manusia nekat yang berani mengacak-acak markas dan melawan para anak buahnya di luar? Kinkaku beranjak dari tempatnya untuk bertemu dengan manusia itu. Diikuti siluman berambut oranye itu dari belakang, sementara Ginkaku lebih memilih membersihkan bayi yang baru saja dilahirkan Indra. Bayi itu tertidur sangat lelap di tengah kekacauan besar seperti ini. Benar-benar bayi yang mengerikan.
...
Dua siluman sekaligus terpental saat mendapatkan serangan Ninshu berupa bulatan cakra angin padat di dadanya. Seolah tak kehabisan tenaga, orang itu beranjak menghabisi siluman-siluman lain yang terus berdatangan dari segala arah.
"Siapa kau?" tegur Kinkaku yang baru saja datang bersama seorang siluman berambut oranye. Mata crimsonnya memindai penampilan si penyusup yang mengingatkannya dengan seorang bocah di tepi jembatan pada malam itu.
"Dimana kakakku?"
Pertanyaan itu setidaknya telah membuktikan bahwa tebakan Kinkaku tidaklah salah. "Kau bocah yang waktu itu berniat mengejar kami. Ada perlu apa kau datang kesini?"
"Apa kau tuli? Kutanyakan sekali lagi, dimana kakakku?"
"Kakakmu?" Kinkaku tersenyum miring. Aura yang menguar dari tubuhnya lamat-lamat terasa memberat dan mengintimidasi. Tapi Ashura tidak goyah, dia justru membalas Kinkaku dengan menunjukkan aura dominannya yang tak kalah mengerikan. "Menarik."
Dua lelaki alpha saling berhadapan sengit. Hanya status mereka sebagai siluman dan manusialah yang membedakannya. Selebihnya, tatapan, aura, dan mode mengintimidasi mereka sama-sama kuat tak terbantahkan.
"Lucu sekali... Bocah kecil sepertimu ingin menantangku, huh?"
Bibir Ashura tetap bungkam, merapatkan satu garis lurus yang terlihat tipis di wajahnya. Hanya mata hitamnya yang terlihat nyalang menatap seringai menjijikan si bibir Kinkaku.
Sedetik kemudian, dua alpha itu saling menubrukkan tubuh dan saling melemparkan serangan. Awalnya mereka beradu kepalan tinju, berusaha saling menjatuhkan lewat tendangan, lalu Kinkaku membalasnya dengan muntahan jurus api yang keluar dari mulutnya. Untunglah Ashura sempat berkelit, gerak refleksnya yang bagus menghindarkan dirinya dari kemungkinan terbakar oleh jurus api itu.
"Untuk ukuran bocah kecil sepertimu, kau cukup hebat juga," Kinkaku memujinya sambil menjilat bibir tanda ia tertarik dengan kemampuan Ashura.
Tanpa aba-aba dan gerakan, Kinkaku tiba-tiba saja menghilang dari pandangan Ashura. Hal itu tentu saja mengejutkan dan membuat Ashura bertindak waspada. Seluruh sensor kepekaan di tubuhnya diperkuat, dan sesuatu yang terasa berbahaya melesat cepat mengincar belakang punggungnya. Refleks Ashura berbalik badan dan menangkis tendangan Kinkaku yang serupa kilatan cahaya.
Serangannya memang gagal tapi Kinkaku merasa cukup terhibur dengan bakat Ashura. Ia tertawa terbahak-bahak, lalu mulai menatap serius pada sosok bocah di hadapannya. Lamat-lamat aura Kinkaku berubah lagi menjadi lebih berat dan berbahaya dari sebelumnya. Cakra merah yang terasa panas di udara menyelimuti seluruh tubuh Kinkaku. Dari ujung jari-jari tangan dan kakinya terdapat sebuah cakar tajam yang siap mengoyak tubuh Ashura kapanpun. Lalu wujud Kinkaku yang semula seperti manusia perlahan berubah bentuk ke mode silumannya. Kinkaku mengaum menggetarkan tanah dan seisi hutan, udara bergerak ribut menerbangkan helai daun dan mencemari sekitarnya dengan udara panas.
Di tempatnya berdiri, tak sekalipun Ashura merasa gentar. Ia dengan tenangnya melepaskan pakaian beserta jubahnya, membiarkan tubuhnya yang gagah tak tertutupi sehelai benangpun di bagian dada. Ashura hanya mengenakan celana kain berwarna hitam yang tampak nyaman melekat di kedua kakinya.
Kinkaku tiba-tiba menyerang lagi, tanpa persiapan dan sewaspadaan yang sedikit lengah, Ashura berhasil dilukai di bagian perut. Bekas cakar memanjang yang tengah mengeluarkan darah segar terukir di sisi kiri perutnya. Ashura mendesis pelan merasakan hawa panas di mulut lukanya yang cukup panjang.
"Sudah mau menyerah, Bocah?" kikikan mengejek Kinkaku tak juga membuat Ashura gentar. Dia justru menarik napas dalam-dalam dan mulai berkonsentrasi penuh terhadap jalannya pertarungan.
Serangan lagi-lagi dilakukan oleh Kinkaku. Siluman berwujud manusia setengah rubah itu bergerak cepat bagaikan kilat. Ia menyerang Ashura yang hanya bisa berdiri dan menangkis tanpa sekalipun berhasil membalasnya. Kinkaku tertawa terbahak-bahak, ia mencakar dada dan wajah Ashura, lalu bergerak mengincar jantungnya. Ia ingin menanamkan seluruh kuku- kuku tajamnya di rongga dada bocah itu. Tapi keinginannya tak berhasil terwujud karena Ashura lagi dan lagi berhasil menangkis serangan Kinkaku.
Dia berdecih. Jika terus begini Kinkaku hanya akan membuang-buang waktunya demi meladeni permainan Ashura. Karena itulah ia menambah level kekuatannya menjadi maksimal, membuat bentuk silumannya semakin sempurna layaknya seekor rubah api. Sosok mengerikan itu diliputi cakra api yang begitu panas, bahkan di jarak sejauh ini Ashura merasa luka-lukanya bagai terbakar.
"Berdoalah, Bocah. Sebentar lagi aku akan mengirimmu ke neraka," gelak tawa mengejek lagi-lagi memanasi telinga Ashura. Kinkaku melesat dengan wujud rubah apinya, ia menyerang Ashura dengan semburan lava yang sangat panas hingga membuat Ashura terpental jauh ke udara. Setelah itu barulah ia menerjang Ashura yang masih terambang di udara menggunakan cakarnya. "Mati kau!" bersamaan dengan itu mata Ashura yang tajam berkilat terang. Cakar Kinkaku seharusnya telah berhasil mengoyak tubuh dan daging Ashura, tapi rupanya yang diserang oleh Kinkaku hanyalah udara kosong. Ashura menghilang entah kemana dan tiba-tiba sudah berada di belakang punggung Kinkaku, kemudian menyerang siluman itu menggunakan bulatan cakra Ninshunya hingga tembus ke depan. Serangan Ashura jatuh di titik fatal Kinkaku. Tangan bocah itu menembus dada sang siluman hingga menyebabkannya jatuh tersungkur di atas tanah.
Mereka mendarat dengan kondisi yang berbeda. Ashura berhasil menumpukan kedua lutut kakinya, sementara Kinkaku mendarat dengan kepalanya terlebih dulu menghantam tanah. Siluman itu jatuh tak berkutik, hanya terdengar erangan lirih dan napas putus-putus dari mulutnya.
"Kau terlalu banyak bicara," ejek Ashura. Napas pemuda itu juga terengah-engah seperti Kinkaku, tapi kondisi fisiknya masih jauh lebih baik dari keadaan siluman rubah itu.
"Kakak!" Ginkaku berteriak marah saat melihat keadaan kakaknya yang ambruk di tanah. Buru-buru ia melesat ke arah Kinkaku sebelum Ashura sempat membunuhnya. Dia lalu membawa sang kakak menghilang bersamaan dengan hembusan angin kencang di tempat itu.
Ashura berpikir, Kinkaku akan tetap mati dengan luka separah itu. Tapi ternyata ia salah. Ketika Ashura berhasil menemukan keberadaan Indra yang tergolek lemah di atas tanah dengan darah yang merembes dari lubang analnya, ia mendapati tanda kepemilikan Kinkaku di bahu polos Indra masih saja terukir dengan sangat jelas.
"Kak Indra," ia berlutut di samping kakaknya, lalu membawa tubuh ringkih itu ke dalam pelukan. "Apa aku terlambat? Siluman itu... Apa saja yang sudah dilakukan siluman itu kepadamu, Kak?"
Indra menggeliat lemah di dalam pelukannya. Ia terbatuk-batuk sebelum membuka kedua matanya yang nampak sayu. "Ashura... Kaukah itu?"
Ashura membawa sebelah tangan Indra ke pipinya. Menyalurkan sedikit kehangatan yang ia miliki untuk sang kakak. "Ini aku, Kak."
Mendengar suara familiar di telinganya, airmata Indra jatuh berlinang menuruni pipinya yang tirus. "Keluarkan aku dari sini. Kumohon tolonglah aku."
Ashura mengangguk mantap. Airmata juga turut membasahi kedua pipinya yang terdapat lebam dan luka. "Kedatanganku kesini memang untuk menyelamatkanmu. Kita akan hidup bersama mulai dari sekarang. Kau tenang saja, aku akan memastikan siapapun tidak akan menyakitimu lagi. Meskipun itu adalah Ayah sekalipun, aku akan menentang beliau dan desa demi dirimu, Kak. Aku berjanji."
Tak ada yang lebih melegakan dan membahagiakan selain mendengar suara menenangkan Ashura beserta janjinya. Biarlah Indra mendapatkan kebahagiaannya kali ini. Ia sudah lelah menderita dan menangis.
Setelah kejadian di markas siluman waktu itu, Indra dan Ashura menjalani kehidupan barunya di Hutan Konoha, jauh dari desa Ninshu beserta klannya. Ashura menentang tegas perintah sang ayah dan menolak keinginan beliau yang memintanya menjadi penerus klan Otsutsuki beserta pemimpin untuk desa Ninshu di masa mendatang. Ashura lebih memilih hidup berdua bersama Indra. Meskipun tanda kepemilikan Kinkaku masih terukir di bahu Indra, Ashura mengakali tanda itu dengan jurus cakranya. Ashura menanamkan sebagian kekuatannya di sekitar tanda kepemilikan itu, agar saat ia menyentuh Indra, lelaki itu tidak akan merasakan sakit atau bahkan perasaan seperti terbakar yang menyengat dari segel di lehernya. Selain itu Ashura juga melindungi seluruh hutan Konoha dengan kekkai. Ia tak mau mengambil resiko jika seandainya komplotan Kinkaku kembali berencana merebut Indra dari sisinya. Ashura tahu kalau siluman rubah itu masih hidup sampai sekarang, dan dengan kekuatannya yang terbagi untuk membuat kekkai dan juga melindungi Indra, Ashura takkan bisa lagi menang jika berhadapan dengan siluman itu untuk kedua kalinya.
Selang 2 tahun mereka hidup bersama, Ashura telah memasuki usia 17 tahun, dimana seorang alpha menjadi sosok dewasa yang bisa membina sebuah rumah tangga dan menjadi kepala keluarga. Di kepalanya telah terancang rencana pernikahan dan hidup bahagia bersama Indra, tetapi setiap kali melihat tanda segel di leher Indra masih terukir, sedikitnya menyadarkan Ashura jika Indra masih belum sepenuhnya ia miliki. Terlebih lagi, seorang utusan ayahnya datang mengunjungi kediaman Indra dan Ashura di tengah hutan. Utusan itu menyampaikan keadaan fisik Kaguya yang mulai melemah karena menderita penyakit parah, dan Hagoromo ingin Ashura kembali ke desa untuk bersedia dilantik menjadi penerus sang ayah yang tidak lagi berusia muda atas keinginan sang nenek. Tentu saja Ashura menolak. Dia lebih memilih hidup bersama Indra ketimbang memimpin desa yang telah kejam membuang kakaknya.
"Sampaikan pada Ayah, aku menolak untuk kembali. Dan sampai kapanpun aku tidak sudi kembali ke desa itu—"
"Ashura," tegur Indra yang sudah berdiri di belakangnya. Kehadiran Indra tentu saja menarik perhatian sang utusan. "Kembalilah dan temui Ayah."
"Tapi, Kak—"
"Masalahnya aku juga rindu pada beliau. Kalau kau kembali, aku jadi punya alasan untuk ikut pulang bersamamu," Indra menundukan kepalanya. Ia masih menyimpan rasa hormat terhadap Hagoromo beserta sang nenek yang dikabarkan sedang sakit keras, tapi tak dapat dipungkiri hatinya masih terluka juga akibat perlakuan mereka terhadapnya bertahun-tahun yang lalu.
Ashura menghela napas pasrah kemudian mengangguk. Apapun akan dia lakukan demi kakaknya tercinta. "Baiklah, kita akan kembali," tatapannya tertuju lurus-lurus memandang sang utusan. "Katakan pada Ayah, bukan hanya aku yang datang menemuinya tapi juga Kak Indra."
Utusan itu lalu mengangguk. Tak lama ia undur diri dari kediaman Otsutsuki bersaudara itu.
"Apa Kakak yakin ingin menemui Ayah dan Nenek?" Ashura mengekorinya masuk setelah memastikan utusan itu pergi dari rumahnya.
"Kenapa tidak?"
"Tapi mereka bisa saja menyakitimu lagi, Kak."
"Kan ada kau. Bukankah dulu kau pernah berjanji tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku lagi?"
Raut khawatir Ashura berubah menjadi lembut ketika menatap wajah cantik Indra yang sedang tersenyum. "Tentu saja. Aku akan menepati janjiku," ia meraih pinggul Indra kemudian memeluknya dengan erat. Lewat ekor matanya Ashura melirik tanda segel di leher Indra yang bersinar terang akibat perlindungan cakra miliknya. Segel itu akan selalu bersinar setiap kali Ashura menyentuh Indra, dan lelaki cantik itu takkan merasakan efek sakit dari sentuhan alpha lain selain pemilik segel itu, namun sebagai gantinya Ashura harus mengeluarkan tenaga dalamnya untuk membuat tanda itu tetap terjaga tanpa menyakiti sang kakak.
"Aku bertanya-tanya, sampai kapan kau akan memanggilku dengan sebutan 'Kakak'?"
Ashura melepas pelukannya lalu menatap wajah Indra dari jarak yang cukup dekat. "Apa aku boleh hanya memanggil 'Indra' saja?"
"Kenapa tidak?" ujar Indra santai.
Karena gemas akan sikapnya, Ashura lantas menyerang bibir ranum Indra yang sedikit terbuka.
Segel itu bersinar lagi. Tapi Indra tidak merasakan sedikitpun rasa sakit.
"Ne, bukankah aku sudah berusia 17 tahun sekarang?" ia berucap di depan bibir itu, seraya menjilatnya pelan-pelan. Ashura begitu suka menggoda sang kakak yang bisa sangat erotis ketika mendesah.
"Lalu?"
"Aku juga ingin melakukan 'itu' seperti teman-temanku yang sudah berhasil memiliki omeganya."
"Kau ingin aku menjadi omegamu?"
"Kenapa kau masih saja bertanya? Aku tidak mungkin bersedia hidup berdua denganmu, lalu memasang kekkai di seluruh hutan ini jika tidak menginginkanmu sebagai omegaku."
Indra tercenung. Ia masih sadar betul akan status dirinya yang masih dimiliki oleh Kinkaku. Tanda di lehernya tidak akan hilang sebelum siluman rubah itu mati, ataupun sebaliknya. Jika terus seperti ini bagaimana caranya Indra dan Ashura bisa hidup bahagia bersama.
"Selama kekuatanku ada di dalam tubuhmu, segel kepemilikan ini tidak akan menyakitimu ataupun menjadi penghalang untuk hubungan kita."
"Tapi kau tidak bisa melakukan ini selamanya. Kau bisa melemah suatu saat nanti—" ucapan Indra terpotong saat Ashura menempelkan jari telunjuknya di bibir Indra.
"Selagi aku tidak bertarung, maka hal itu tidak akan terjadi. Kekuatanku hanya akan terfokus pada dirimu dan juga anak kita kelak. Aku akan melakukan banyak cara demi melindungi kalian berdua."
Dengusan geli terhembus dari celah bibir Indra. Adiknya yang manis dan lugu kenapa bisa berubah menjadi sosok laki-laki yang penggombal seperti ini. Tapi Indra tersenyum juga, merasakan perasaan bahagia luar biasa dan hangat yang membungkus erat relung hatinya.
"Jadi... izinkan aku..." pelan-pelan kedua tangan Ashura meraba setiap jengkal kulit Indra. Diam-diam ia juga sudah membaringkan Indra di atas kasur sampai membuat si empunya tidak sadar kapan dirinya dipindahkan. "Aku sungguh menginginkanmu."
Seulas senyum lembut tersemat di bibir Indra, dan senyuman itu berubah menjadi seringaian seksi yang sanggup menarik libido Ashura ke titik final.
...
Gerbang besar terbuka disertai ucapan penyambutan yang dilakukan para warga desa kepada Ashura. Tatapan mereka kemudian jatuh pada Indra yang berjalan di sampingnya sambil bergandengan tangan dengan Ashura. Seketika ucapan syukur dan senyum lebar yang diberikan para warga luntur begitu saja.
Ashura mengajak Indra masuk ke halaman rumah lama mereka, lalu terpaku begitu saja ketika menyaksikan para pelayan dan beberapa orang tabib berlarian menuju kamar Kaguya. Perasaan Indra mendadak resah, ia melepaskan genggaman tangan Ashura kemudian ikut berlari seperti mereka. Di belakangnya Ashura berlari menyusul, bukan karena mengkhawatirkan keadaan Kaguya, tapi lebih condong mengkhawatirkan Indra. Bagaimanapun keluarga Otsutsuki masih menganggapnya sebagai aib karena terlahir sebagai omega laki-laki.
"Nenek..."
"Jangan mendekat!" seruan tegas Hagoromo menghentikan keinginan Indra untuk memeluk neneknya. Di sebelah kiri Kaguya telah bersimpuh sang paman bernama Hamura. Namun berbeda dengan Hagoromo, Hamura justru menyambut kedatangan Indra dengan penuh senyuman.
"Kenapa kau datang bersamanya?" tegur Hagoromo setelah melihat sosok Ashura masuk ke dalam.
"Bukankah utusanmu sudah menyampaikannya? Kenapa kau masih saja kaget seperti itu."
Hagoromo bungkam, tapi matanya mendelik tak senang melihat Ashura yang berjalan menghampiri Indra lalu memeluknya erat. Ketakutannya benar-benar terjadi, sekarang ia hanya berharap semoga bencana yang dikatakan ibunya tidak membawa serta keluarga dan desanya.
Kaguya tiba-tiba terbatuk keras sambil memuntahkan darah dari mulutnya. Hal itu menarik perhatian Hagoromo dari kedua puteranya dan kembali mendekati futon sang ibu.
"Ayah, biarkan aku menyembuhkan Nenek."
Spontan Hagoromo melirik wajah Indra yang dipenuhi ketakutan ketika bertatapan dengan dirinya.
"Aku... Aku bisa membantu menyembuhkan—"
"Jangan bercanda! Apa yang bisa kau lakukan jika menggunakan tenaga dalam saja kau tidak bisa!"
"Aku bisa!" bantah Indra tegas. Ia bisa melakukan Ninshu dan mengeluarkan tenaga dalam selama kekuatan Ashura masih menyertai dirinya. Tapi jika dilakukan terlalu berlebihan, Ashura akan cepat merasa kelelahan.
"Pergilah... Kau tidak diinginkan disini. Aku hanya memanggil Ashura bukan dirimu."
Perkataan itu sangat tajam layaknya pisau. Dan itu menyakiti perasaan Indra. Ia hanya ingin menolong, tapi kenapa niat baiknya selalu dipandang buruk oleh ayahnya.
"Aku... Aku hanya—" delikan sangar Hagoromo langsung membuatnya bungkam. Ashura menatap bengis pada ayahnya yang selalu berlaku tidak adil pada Indra. Ia sesungguhnya benci harus berada disini dan berhadapan dengan orang-orang yang telah membuat hidup Indra menderita.
"Indra," suara dalam Ashura menyentak beberapa orang yang ada di kamar Kaguya. "Tidak ada yang menghargai kedatangan kita disini. Ayo, kita pergi sekarang."
Terlihat keenganan dari bola mata Indra yang berkaca-kaca, tapi ia tidak menolak Ashura yang sudah menuntunnya pergi dari kamar itu. Sesekali Indra menoleh ke belakang hanya untuk menatap punggung sang ayah sedikit lebih lama.
Dulu dan sekarang tetap tidak berubah. Indra hanya bisa melihat sosok sang ayah dari punggungnya saja.
...
Masa-masa pernikahan mereka berjalan dengan penuh kebahagiaan. Indra memang sempat murung setelah diusir Hagoromo ketika mereka menjenguk Kaguya yang sedang sakit parah waktu itu. Kabar mengenai kematian neneknya juga sempat berhembus dan terdengar ke telinga mereka, tapi tidak ada yang dilakukan Ashura. Hanya Indra yang merasa sedih bahkan menangis selama seharian karena kehilangan sosok sang nenek.
Setelahnya Ashura berhasil mengembalikan senyum dan keceriaan Indra kembali. Mereka bertekat untuk terus hidup berdua dan saling melindungi. Meskipun keluarganya menentang, tapi Ashura membuktikan bahwa hidup bersama Indra bukanlah suata kutukan atau aib. Ia luar biasa bahagia. Menjalani rumah tangga bersama omega yang dicintainya bukanlah sebuah bencana.
Dan kebahagiaannya semakin lengkap setelah Indra berhasil hamil. Di dalam rahim Indra ada janinnya, buah hati mereka. Anak yang selama ini diharapkan Ashura sebelum memasuki tahap kedewasaannya di usia 17 tahun.
Selama 9 bulan penuh, Ashura selalu menjaganya, membuat cakranya yang berada di dalam tubuh Indra stabil untuk terus melindungi mereka. Ashura tak begitu mempedulikan dirinya yang kadang kelelahan karena harus selalu siaga menyalurkan tenaga dalam saat masa-masa kehamilan Indra. Karena di tubuh Indra masih terdapat tanda milik Kinkaku. Ashura tak berani membayangkan rasa sakit yang seperti apa yang nantinya akan Indra alami selama mengandung buah hatinya jika tanpa perlindungan cakra miliknya.
Dan hari-hari paling bersejarah dalam hidupnya akhirnya tiba. Anak yang selama ini ia tunggu kehadirannya telah terlahir dengan selamat ke bumi. Anak itu memiliki bau manis layaknya omega, tapi berjenis kelamin laki-laki seperti Indra. Ashura tidak menganggap anak itu terkutuk seperti warga desa yang menjuluki Indra dulu. Ia justru mencintai buah hatinya dengan segenap perasaannya.
"Anak ini bernama, Sasuke."
"Sasuke?" Indra memastikan pendengarannya, lalu tersenyum lega mendapati Ashura yang memandangi putera kecilnya dengan sorot memuja yang berlebihan.
"Aku selalu ingin menamainya Sasuke sejak kau baru mengandung janinnya di perutmu. Itu nama tokoh pahlawan favoritku."
Tentu saja Indra tahu, bagaimanapun apa yang selalu disukai Ashura tidak pernah luput dari perhatiannya sejak mereka masih kecil.
"Anak ini sungguh manis. Lihatlah, jari-jari tangannya sangat mungil, aku sampai takut menggenggamnya begitu erat. Dia terlihat rapuh sekali," binar memuja yang tersorot dari sepasang mata hitam Ashura tak juga meredup. Ia menciumi pipi gembil anaknya yang hanya meleguh dalam rengkuhannya. "Hahaha... dia lucu sekali," setetes airmata meluncur membasahi pipinya. Ashura lalu mendekati ranjang Indra lalu mendekap kedua harta berharganya dengan penuh perasaan cinta. "Terima kasih, Indra. Aku sangat bahagia sekali. Aku berjanji akan melindungi kalian berdua dengan nyawaku."
Dada Indra bergemuruh. Ada jutaan perasaan bahagia yang meletup di dalam hatinya. Tapi ketika teringat pada bayinya yang pertama, bayi yang ia hasilkan bersama Kinkaku, perasaan bahagia yang tadi dirasakan oleh Indra perlahan menghilang tergantikan dengan perasaan bersalah dan sesak yang tidak tertahankan. Sampai sekarang Indra tak berani mengatakan mengenai dirinya yang sempat melahirkan keturunan Kinkaku. Indra terlalu takut mengakuinya. Ia takut Ashura akan kecewa dan kebahagiaannya akan musnah secepat kedipan mata.
...
Kelahiran Sasuke membawa kebanggaan tersendiri untuk Ashura selaku ayahnya. Ashura juga menanamkan sebagian kekuatannya untuk melindungi Sasuke. Tak hanya dari para siluman tapi juga berjaga-jaga dari warga desa atau mungkin keluarganya. Ashura takut ayahnya juga akan menyakiti Sasuke ketika beliau tahu Sasuke berbeda seperti Indra.
Usia Sasuke baru memasuki 7 tahun saat utusan kedua ayahnya datang menemui mereka. Utusan itu memberitahukan keadaan sang ayah yang sedang menderita sakit parah sama seperti kondisi neneknya dulu.
"Katakan padanya, aku tidak akan pulang meskipun—"
"Ashura," suara lirih Indra terdengar dari balik punggungnya. Ashura merasa seperti dejavu ketika mendengar Indra memanggilnya dengan nada yang sama dengan yang dulu. Tapi bedanya kali ini ada sosok mungil yang juga turut menatapnya dalam rengkuhan Indra. Rasa marah yang sebelumnya mendiami hati Ashura dengan mudahnya terkikis oleh tatapan lugu bocah berambut hitam yang hanya memandangi kedua orangtuanya secara bergantian.
"Kemari, Sasuke," panggilnya melalui suara halus khas seorang ayah.
"Touchan, dia siapa?"
Utusan yang diperintahkan ayahnya langsung diam membeku ketika menyadari bau manis yang tercium dari dalam tubuh bocah laki-laki itu.
"Hanya teman lama Tousan. Kenapa kau kesini? Ini bukan pembicaraan anak kecil."
Sasuke cemberut. Lalu membiarkan saja ketika tubuhnya diangkat lalu didekap oleh gendongan hangat ayahnya.
"Ashura, temuilah Ayah," pinta Indra yang sudah berdiri di hadapannya. "Aku akan menunggumu pulang disini bersama Sasuke."
"Tidak. Aku tidak akan pergi tanpa kalian. Jika Ayah menginginkanku menemuinya, berarti dia harus menerima keluarga kecilku juga."
"Ayah tidak akan senang jika melihatku ikut bersamamu."
"Kalau begitu aku menolak menemuinya."
"Tapi, Ashura-sama—" delikan tajam Ashura sanggup membuat utusan ayahnya terdiam. Dia lalu menunduk hormat pada Ashura dan juga Indra. "Kalau begitu kalian ikutlah bersamaku menemui Hagoromo-sama. Beliau sudah tidak memiliki banyak waktu lagi."
Ashura menimbang pendapatnya sebentar, lalu melirik ke arah Indra yang kemudian mengangguk menyetujui permohonan pria utusan itu. "Baiklah," ia menjawab seraya mencium kening Sasuke yang masih berada di dekapannya. "Kita pergi menemui Kakek, oke, Sasuke?" matanya mengedip lucu melihat rona kebingungan putera kecilnya. Tapi saat melihat senyum Sasuke terkembang begitu lebarnya, Ashura tak bisa menahan buncahan kebahagiaan di dalam dadanya.
"Oke, Touchan."
...
Kediaman keluarga Otsutsuki tak banyak berubah. Sejak meninggalnya sang nenek, rupanya Hagoromo menderita penyakit keras yang sama dengan Kaguya. Berpuluh-puluh tabib hebat yang berada di dalam desa atau luar desa sudah pernah mencoba menyembuhkan Hagoromo tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil. Sebenarnya Indra ingin mencoba membantu meringankan sakit sang ayah, tapi ia begitu takut niat baiknya akan ditolak mentah-mentah dua kali.
"Ashura..." kelopak mata Hagoromo yang pucah berusaha membuka demi melihat putera kebanggaannya.
"Ya, aku disini," sahutnya ketika sang ayah sudah membuka kedua matanya. "Bersama keluarga kecilku," lanjutnya lirih.
"Kau tidak banyak berubah."
"Ayahlah yang terlalu banyak mengalami perubahan. Kau bukan lagi pria sok galak yang selalu mengajariku ini dan itu," tersirat kegetiran dalam suara tenang Ashura. Tidak ada satu anakpun yang akan tega melihat orangtua yang selalu ia hormati dan sayangi menderita seperti ini.
"Sekali lagi Ashura... jadilah penerusku. Hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menjaga desa Ninshu ini."
"Sekali lagi kukatakan juga Ayah... aku menolaknya. Aku ingin perhatianku hanya berpusat pada Indra dan puteraku. Aku hanya ingin melindungi mereka, tidak dengan yang lain."
Mendengar hal itu perhatian Hagoromo jatuh pada Indra dan seorang bocah kecil berambut raven. Anak itu begitu manis dan lucu, dia bahkan menatap Hagoromo tanpa berkedip. Tapi saat tahu ia menjadi pusat perhatian, Sasuke lekas bersembunyi di belakang tubuh Ashura.
"Anak ini..." suara Hagoromo yang serak dan kering sedikitnya membuat Sasuke tersentak kaget. Anak itu semakin merapatkan tubuhnya di punggung Ashura. Tangan lelaki tua itu terangkat, berniat menyentuh kulit wajah Sasuke yang putih, tapi Indra sudah lebih dulu meraih tubuh puteranya lalu mendekapnya dengan penuh keprotektifan.
Siapapun tahu bagaimana sikap Hagoromo terhadap Indra. Hanya Indra yang tahu bagaimana rasa sakitnya diabaikan dan dibuang. Tentunya Indra tak ingin Sasuke juga mendapatkan perlakuan yang sama serta rasa sakit yang sama pula sepertinya.
"Dia mirip denganmu..."
Suara lirih Hagoromo menggetarkan perasaan Indra. Sejak dulu Hagoromo tidak pernah berbicara sepelan itu kepadanya.
"Dan kau... sangat mirip dengan ibumu..."
Pertahanan Indra jebol. Airmata dengan derasnya berlomba-lomba menuruni kedua pipinya. Sasuke yang melihat hal itu lekas membantu mengusap linangan airmata di wajah Chichi-nya. Tapi berapa kalipun ia menghapusnya, airmata Indra seolah tak mau berhenti mengalir.
"Ayah..." Indra memanggilnya dengan pilu.
"Maaf..." satu kata yang tak pernah terucap dari belah bibir ayahnya menjadi kata terakhir di penghujung napasnya. Lelaki tua itu menutup mata diiringi isak tangis kedua putera beserta adik kandungnya yang berduka. Hanya Sasuke yang tidak mengerti dengan keadaan di sekitar, tapi tak lama bocah itu juga ikut menangis saat kedua orantuanya memeluk tubuhnya dengan penuh kepiluan dalam dada.
TBC
Notes : Bagian Narusasunya ada di chapter depan yaa... saya sengaja membaginya menjadi dua biar jalan ceritanya lebih kompleks, tapi maaf kalo alurnya terkesan terlalu cepat. Fic ini request'an si Taiyo Tsuki Yaoi, karena dialah saya jadi teracuni pair ghoib ini /digampar. Karena saya baik hati makanya saya membagikan racun yang sama pada kalian semua wkwkwkwk jadi selamat menikmati :D
