Harry Potter itu milik JK Rowling, saya hanya meminjam nama cast nya untuk keperluan cerita fanfic ini.
No Copy Paste!
Warning : AU, Gaje, Typhosssss, no EYD, rada OOC, membingungkan, cerita ngebosenin, aneh, konflik tidak seru, etc
Genre : FRIENDSHIP (just little bromance) tapi tetep pake pair favorit saya, Draco n Harry .. ughhh maksa … hehehe
Pemuda berkacamata itu tengah begitu sibuk dengan tumpukan kertas yang memenuhi hampir semua tempat di meja kerjanya. Sebuah komputer dengan monitor tabung usang yang nampak sudah ketinggalan jaman bertengger untuk melengkapi suasana tidak nyaman kamar tidur pemuda itu. Kamar yang beralih fungsi menjadi tempat kerja.
Sesekali sebuah desisan atau makian kesal meluncur begitu saja dari bibir tipisnya saat menyadari sekecil apapun kesalahan yang ia buat. Dan demi bantal tidurnya yang sudah mulai mengeras, ia bersumpah untuk segera menyelesaikan laporan bulanan untuk riset yang dilakukan timnya. Tidak boleh ditunda lagi, atau ia dan rekan tim risetnya akan berhadapan dengan kepala divisi yang selalu berwajah tidak ramah, dengan kata-kata pedas yang siap menghunjami siapapun bawahannya yang dianggap tidak becus dalam bekerja.
Tengah asyik dengan pekerjaan yang ia lakukan, telinga pemuda itu tak sengaja menangkap bunyi getar dari ponselnya yang ia taruh di nakas dekat tempat tidurnya. Tempat tidur yang tak kalah acak-acakan dengan meja kerjanya tentunya. Tak mau ambil pusing, pemuda bermata sewarna zamrud itu berusaha mengabaikan ponselnya dan tetap konsentrasi dengan pekerjaannya.
Satu menit … dua menit … dan akhirnya sepuluh menit. Ponsel itu masih saja bergetar, rupanya siapapun yang menghubunginya di sana tidak ingin untuk segera menghentikan aktivitasnya, aktivitas yang menurut pemuda itu cukup menggangu dirinya.
"Sial!" umpat pemuda itu sambil men-save pekerjaan yang masih belum selesai itu, kemudian bangkit dari duduknya. Sesaat ia melakukan peregangan untuk merilekskan tubuhnya mulai terasa kaku. Mungkin efek semalaman bekerja di depan komputer tanpa beristirahat.
Detik berikutnya, dengan malas dilangkahkan kakinya menuju nakas yang terletak di dekat tempat tidur. Mengambil ponselnya yang masih setia bergetar di sana. Dilihatnya sebentar siapa gerangan orang yang telah kurang kerjaan menghubunginya selama hampir lima belas menit tanpa jeda.
"Si Malfoy?" gumamnya, mengerutkan dahi saat membaca nama sang pemanggil. Perlu beberapa detik baginya untuk menimbang, akan dijawab atau tidak penggilan itu. Namun kemudian jemarinya memutuskan untuk memencet tombol ok dan menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Huh … kau ini lamban Potter!" suara pertama yang menyapa pedengaran sang pemuda.
"Ck … katakan saja apa maumu Malfoy?" jawab pemuda bernama Potter itu sambil merengut kesal dan sedikit menyesali keputusannya untuk menjawab panggilan ponselnya.
"Hari ini, apa kau lupa?" tanya lawan bicaranya dengan intonasi suara yang mulai meninggi.
"Untuk apa? Majalah sains? Mencarikan hadiah ulang tahun untuk pacarmu? Menonton pacuan kuda? Aku rasa semuanya sudah kulakukan." jawab pemuda itu dengan intonasi yang tak kalah tinggi. Sedikit emosi rupanya telah merayapi hatinya.
"Potter, kau ini benar-benar payah! Pokoknya nanti jam 8 malam, aku akan sudah berada di depan pintu apartemenmu. Artinya kau harus sudah siap. Tidak ada protes."
TUUTTTT
Dan sambungan telepon pun terputus. Menyisakan pertanyaan dan kekesalan di benak seorang Harry Potter terhadap lawan bicaranya. Mantan musuhnya yang mau tidak mau kini menjadi partnernya lantaran mereka berdua secara tidak sengaja menjadi peneliti di sebuah perusahaan yang sama, dengan bidang keahlian yang sama, bahkan akan selalu menjadi satu tim yang sama. Membuat Harry mau tak mau membuat sebuah kesepakatan 'kecil' dengan sang rival. Mengubah hubungan tak akur mereka menjadi sebuah kata keramat yang biasa disebut dengan 'pertemanan'.
Ini semua demi satu hal yang disebut dengan cita-cita. Ya, Harry memang sangat bersusah payah berjuang untuk mendapatkan posisi itu. Sedari kecil rajin belajar dan mengorbankan waktu bermainnya. Dan faktor ketidakberuntungan yang menghambatnya hanya satu, Draco Malfoy. Seterunya, pesaingnya, musuh bebuyutannya dari jaman sekolah dasar, yang dengan santainya memasuki dunia kerja yang sama dengan dia, hanya untuk satu alasan, karena ternyata pemuda itu hanya bisa berkembang saat ada Harry di dekatnya. Sebuah alasan super konyol yang membuat Harry ingin melemparkan semua alat percobaan yang ada di dekatnya saat itu ke muka tengil seteru abadinya. Orang yang tidak sadar akan dosanya karena selalu membuat hidup seorang yatim piatu seperti Harry menjadi tidak nyaman.
Padahal Malfoy itu cukup kaya. Keluarganya yang jetset itu mempunyai beberapa pusat perbelanjaan yang akan menghasilkan satu container uang (dalam persepsi Harry saat tidak mau susah payah menghitung nominalnya) dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Tapi kenapa Malfoy harus ikut-ikutan kuliah di jurusan fisika material, jurusan yang sama persis dengan yang ia tekuni. Bahkan pria berambut pirang platina itu mengambil kuliah di universitas yang sama dengannya. Membuat masa muda Harry tidak bisa lepas dari seorang Draco Malfoy.
Dan sekarang, nampaknya Malfoy sedikit salah mengartikan 'pertemanan' mereka. Pria muda itu mulai senang mengajak Harry melakukan kegiatan bersama, di luar jam kerja di kantor mereka. Dari membelikan hadiah untuk kekasih Malfoy (yang menurut Harry terlalu manja dan kekanakan), menonton pacuan kuda, bermain golf, berdiskusi tentang fenomena-fenomena sains (kalau yang ini Harry juga menyukainya), bahkan pergi ke sauna untuk rileksasi. Dan entah mengapa, Harry selalu tidak sanggup menolak ajakan dari rivalnya itu. Ia tidak tahu mengapa, tapi hatinya selalu tidak tega saat ekspresi di wajah pucat yang terlihat angkuh dan arogan itu berubah menjadi sendu. Seperti membuatnya menjadi merasa bersalah. Padahal Malfoy selalu meminta bantuannya dengan cara yang jauh dari kata sopan, memaksa lebih tepatnya. Tipikal orang dengan tingkat keegoisan yang sangat tinggi.
"Huh, apa maunya si Malfoy sinting itu." gumam Harry yang masih cukup kesal. Ia melepas kacamata dengan frame bundar yang selalu setia membingkai mata indahnya. Badannya kini ia rebahkan di kasur sementara matanya memandang jauh ke langit-langit apartemennya. Harry memijit pelipis kepalanya yang berdenyut, entah karena kelelahan, atau karena memikirkan ulah si Malfoy.
'Mungkin istirahat sesaat akan membuat keadaanku lebih baik. Lagi pula laporan itu hanya menyisakan penutup yang belum sempat kuselesaikan,' pikir pemuda berambut legam itu. Dan hanya butuh beberapa detik setelahnya bagi Harry untuk menyelam ke dunia mimpinya.
Waktu cepat berlalu. Tak terasa malam sudah mendominasi suasana hiruk pikuk kota London yang tetap saja ramai. Terkecuali dengan kamar Harry. Kamar yang begitu tenang karena penghuni satu-satunya di tempat itu tengah berkutat dengan mimpinya. Setidaknya sebelum terdengar gedoran memekakkan yang benar-benar mensubstitusi suasana itu dengan kegaduhan. Ditambah lagi suara getaran ponsel yang beradu dengan kayu nakas. Maka kiranya sudah cukup untuk mengusik pemuda itu dari mimpinya yang indah.
"Eunghh, berisik sekali!" pemuda itu sedikit terjaga, namun masih belum mau beranjak dari tidurnya yang begitu nyaman.
TOKTOKTOKTOKTOKTOK
Drttttttt drtttttt drttttt
TOKTOKTOKTOKTOKTOK
"Argggttttt …." teriak Harry yang kemudian memaksa dirinya sendiri untuk menegakkan tubuh sambil mengacak rambutnya yang memang sudah tidak rapi, khas orang bangun tidur tentunya.
Dengan mata setengah terpejam, Harry mengambil ponsel dan menerima panggilan dari siapapun yang tidak punya sopan-santun menurut kamus Harry saat itu
"Hallo!" ucap Harry membuka percakapan.
"Buka pintunya Potter! Aku sudah berdiri di sini hanpir sepuluh menit!" teriak suara lawan bicaranya yang tanpa melihat nama pemanggilnyapun Harry sudah tahu siapa orang itu.
"Siapa suruh seenaknya memutuskan. Huh!"
Tuuuuttttt
Harry memutuskan sambungan telepon, menyalakan lampu tidur untuk sekedar memberi penerangan pada ruangannya yang gelap dan suram. Ia kemudian berjalan dengan malas ke arah pintu apartemen dan membukanya.
Cklek
Dan seorang pria muda seumuran Harry dengan rambut pirang platina menghambur masuk tanpa mempedulikan tuan rumah yang bahkan belum mempersilakannya. Wajahnya ditekuk kesal, sementara tangannya menggenggam sesuatu yang Harry tidak terlalu tahu apa itu, lantaran ia belum mengenakan kacamatanya.
"Kau belum bersiap, Potter?" tanya pemuda itu yang langsung mengambil tempat di sofa sudut di pojok ruangan.
"Aku lelah Malfoy, jadi aku memutuskan untuk tidur sebentar. Tapi ternyata aku tidak sadar kalau sudah tertidur hampir lima jam." Harry mencoba menjelaskan meskipun ia yakin orang di depannya belum tentu mau menerima alasannya.
Pemuda bernama Malfoy itu hanya mendengus sambil meletakkan bawaannya di meja tamu.
"Dari dulu kau memang ceroboh!" ucap pemuda itu kemudian.
"Ck, sudahlah, sekarang katakan saja, kau mau aku melakukan apa?" tanya Harry to the point.
"Dari nada ucapanmu, mengapa aku menangkap bahwa sepertinya kau menganggap aku ini orang yang sudah memanfaatkanmu untuk melakukan sesuatu sesuai keinginanku, Potter?" Malfoy melemparkan tatapan tidak suka kepada partnernya.
"Kau akui atau tidak, memang begitu bukan adanya? Selama ini kau selalu memintaku melakukan ini, itu dengan alasan kita sudah berteman. Bahkan kau tidak pernah meminta pendapatku terlebih dahulu." ucap Harry dengan nada kesal yang terselip di dalamnya.
"Jadi begitu menurutmu?" Malfoy mengalihkan pandangannya menuju meja kerja yang nampak tidak beraturan. Tak jauh beda dengan keseluruhan kamar tidur Harry, satu-satunya ruangan yang ada dalam apartemen sewaannya yang terlihat begitu lusuh, kacau, berantakan dan suram. Bahkan menurut Malfoy, gudang rumahnya lebih layak huni daripada tempat itu.
"Aku ingin menebus semuanya, Harry! Aku ingin hubungan kita berubah, bukan hanya karena kita adalah partner kerja. Tapi aku ingin benar-benar menjadi sahabatmu, bahkan mungkin saudaramu." Malfoy berucap pelan, nyaris tak terdengar. Pandangannya yang biasanya tajam dan merendahkan tiba-tiba menjadi sedikit menyendu.
Harry mengerutkan jidatnya, sedikit tidak paham dengan ucapan pria di depannya yang menurutnya sangat di luar kepribadian seorang Darco Malfoy yang dikenalnya, sehingga ucapan yang keluar dari mulut Harry hanyalah, "Ha? Apa maksudmu?" .
Sebuah pertanyaan yang membuat emosi Malfoy yang tadinya sudah cukup stabil itu kembali dalam tensi tinggi.
"Hah, aku pesimis dan tidak yakin bahwa kau adalah mahasiswa berprestasi kalau kalimat seperti itu saja tidak bisa kau pahami dengan baik." Malfoy berucap sedikit keras, kemudian beranjak dari duduknya, berjalan menuju ke arah jendela yang menunjukkan landscape indah kota London.
Harry kembali berdecak. Hanya berbicara dengan tuan muda satu ini, tapi rasanya ia seperti tengah berdebat dengan beberapa professor di sidang tesisnya beberapa bulan yang lalu.
"Sepuluh menit lagi, kau harus siap. Ada hal yang ingin kutunjukkan!" sambung Malfoy tanpa menoleh kepada lawan bicaranya.
"Selalu saja seenaknya memerintah!" gumam Harry sambil berjalan menuju kamar mandinya.
Sepuluh menit berlalu. Kini Harry sudah siap dengan baju yang lebih layak. Penampilannya juga jelas lebih segar dari sebelumnya. Pemuda itupun menyisir rambut hitamnya sambil mengoleskan styling gel agar bentuknya tidak berantakan lagi. Setelah semuanya siap, ia berjalan menghampiri Malfoy yang masih saja betah berdiri di depan jendela kamarnya.
"Aku sudah selesai," ucap Harry sembari memasukkan dompet yang menurut Harry isinya tak seberapa itu ke dalam sakunya. Mengambil ponsel serta kacamatanya.
Malfoy membalikkan badannya, sedikit seringai menghiasi wajahnya yang tampan alami.
"Kau nanti jangan kaget dengan kejutan dariku!" Malfoy berucap pelan sambil berjalan memimpin di depan Harry. Sementara Harry hanya memandang tidak mengerti.
"Hai, Malfoy, kenapa kau mengajakku ke butik ini lagi? Kau mau mencarikan hadiah untuk Astoria?" tanya Harry tak mengerti saat mobil sport mewah itu berhenti di depan sebuah butik tempat Malfoy membelikan beberapa hadiah untuk kekasihnya, Astoria beberapa minggu yang lalu. Harry yang saat itu dimintai pendapatnya oleh Malfoy hanya bisa mengangguk sambil tak henti-hentinya berdecak, terutama melihat harga fantastis dari koleksi-koleksi yang dijual di sana. Harga satu baju yang paling murah saja mungkin bisa menopang kehidupan Harry selama dua bulan. Sungguh miris bagi Harry.
Tidak ada jawaban dari Malfoy. Ia hanya memberi isyarat pada Harry untuk turun dari mobil. Tentu saja Harry sangat tidak paham dengan kelakukan tuan muda dari keluarga Malfoy itu. Tapi nyatanya Harry tidak punya banyak pilihan selain mengikuti instruksi dari Malfoy. Ia sengaja berjalan agak lambat agar tidak perlu beriringan dengan orang yang selalu saja bisa menyulut emosinya.
Melihat Harry yang berjalan melambat, Malfoy pun berhenti. Seperti menunggu Harry, ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri, bahkan kemudian berbalik untuk melihat pria berambut hitam itu.
"Kau ini baru 26 tahun, tapi kenapa berjalanmu begitu lambat. Kakekku yang sudah berumur 80 tahun saja berjalannya jauh lebih cepat dari dirimu." keluh Malfoy yang masih setia memandangi partnernya sambil mengecek ponselnya sesaat.
"Terserah apa katamu. Aku sedang tidak ingin berdebat, Malfoy!" jawab Harry sambil memalingkan mukanya, mengacuhkan Malfoy di sana.
Malfoy menghela nafas panjang. Seulas senyum tiba-tiba tersungging di bibirnya yang tipis, "ya sudahlah, ayo cepat masuk. Aku tidak ingin kita kemalaman." .
Malfoy kembali berjalan di depan Harry, sementara di belakangnya Harry hanya memandang punggung pemuda itu dengan wajah semakin tidak mengerti.
'Mungkin Malfoy salah makan, atau minus di mataku yang sudah mulai bertambah?' bathin Harry.
"Kau ini sebenarnya mau apa sih? Kenapa menyuruhku mencoba baju-baju mahal ini? Kau tahu kan kalau aku tidak akan mungkin sanggup membelinya!" Harry tak henti-hentinya menggerutu saat Malfoy tidak kunjung menjelaskan maksud perbuatannya mengajak Harry ke butik mahal itu, apalagi menyuruhnya untuk mencoba beberapa baju, jas, sepatu, dasi dan semua perlengkapan yang harganya hanya bisa membuat jantung Harry nyaris melompat.
Namun sekali lagi, Malfoy hanya menjawab pertanyaan Harry dengan sebuah seringai tipis di bibirnya. Tidak ada jawaban, hanya tangannya yang cekatan memilihkan beberapa koleksi yang menurutnya pantas untuk dikenakan Harry, kemudian menyodorkan hasil pilihannya untuk dicoba dikenakan oleh sang partner.
Dan lagi-lagi, Harry hanya bisa menghela nafas panjang dan menuruti ulah Malfoy tanpa tahu apa maksud sebenarnya dari pemuda yang mempunyai tinggi badan lebih banyak darinya itu.
Beberapa menit di dalam kamar ganti, Harry akhirnya keluar dari sana, masih dengan wajah ditekuk, ia menghampiri Malfoy yang tengah duduk sambil memainkan ponsel cerdasnya. Melihat Harry yang sudah mengenakan baju pilihannya, membuat Malfoy mengalihkan fokus padangannya kepada pria itu. Sesaat Harry agak risih dipandangi intens, apalagi oleh sesama pria.
"Kanapa? Aneh? Atau tidak pantas?" tanya Harry sambil meneliti kembali pakaian yang tengah ia kenakan.
"Sama sekali tidak. Bahkan itu terlalu cocok untuk kau kenakan. Dan asal kau tahu, aku sudah membayarnya untukmu, jadi kau tidak perlu khawatir," kembali senyum tipis (bukan seringai) menghiasi bibir Malfoy.
"Aku tambah tidak mengerti dengannmu, apa kau ingin aku jadi berhutang kepadamu sehingga kau bisa semakin nyaman menyuruh-nyuruhku seenak hati?" tuduh Harry sambil memicingkan mata, menimbang segala konsekuensi buruk yang mungkin sudah direncanakan oleh pria muda di hadapannya.
Malfoy mendengus, menunjukkan ketidaksukaannya pada kesimpulan sepihak yang dibuat oleh Harry, "Apa aku seburuk itu ha? Ck, sudahlah, ini sudah terlampau malam. Aku tidak mau kita terlambat," potong Malfoy kemudian memimpin berjalan di depan Harry yang lagi-lagi memandangnya tak mengerti.
Tepat pukul 23.50 saat keduanya, Harry dan Malfoy tiba di depan sebuah rumah mewah yang menurut Harry lebih mirip kastil-kastil kerajaan dari dongeng yang pernah dibacakan oleh Mrs Minerva, ibu panti asuhan tempat ia dirawat sewaktu kecil. Wanita setengah baya yang hingga saat ini begitu Harry sayangi dan ia anggap seperti ibunya sendiri. Mengingat wanita itu membuat Harry begitu rindu dengan panti asuhannya. Memang kehidupannya sewaktu kecil tidak bisa dibilang baik. Tapi kenangan-kenangan manis tentu saja pasti ada walaupun hanya beberapa.
"Ayo masuk!" ajak Malfoy, membuyarkan lamunan Harry tentang memori masa kecilnya.
Baru saja Malfoy hendak turun dari mobil saat pemuda itu merasakan lengannya ditahan seseorang, siapa lagi kalau bukan Harry yang sedari tadi duduk dengan tenang di sampingnya.
"Tunggu Malfoy. Ini rumah siapa? Katakan, sebenarnya apa yang ingin kau lakukan kepadaku? Jangan-jangan kau akan menculikku, atau kau akan …."
Malfoy memutar bola matanya, bosan dengan pikiran aneh dari orang yang dulunya ia anggap Mr. Perfect dalam urusan belajar sehingga ia dengan suka rela mendaulatnya menjadi rival abadinya. Tapi ternyata ada beberapa dugaannya tentang orang itu yang melenceng jauh.
"Hentikan pikiran bodohmu itu." Draco berucap datar, tapi mimik wajahnya menunjukkan kalau ia sebenarnya sedang cukup kesal.
"Enak saja mengataiku bodoh, kau ini yang bodoh. Seenaknya melakukan hal konyol ini dan …"
"Hentikan Potter, jangan buat kesabaranku habis. Just follow me. Jangan berbicara apapun dulu. Ok!" titah Malfoy dengan sedikit bentakan pada akhirnya. Melihat ekspresi Malfoy saat ini, mau tak mau nyali Harry sedikit menciut. Pada akhirnya ia hanya menuruti perintah Malfoy dalam diam.
Harry mengikuti Malfoy turun dari mobil. Mengekor pemuda itu yang berjalan menuju pintu utama kastil yang terbuat dari kayu eboni bercat putih. Pintu megah yang dijaga oleh dua orang security berpakaian resmi jas dan berdasi. Keduanya membungkuk saat Malfoy melewati pintu, begitu juga saat Harry melewati keduanya. Melihat pemandangan itu, Harry yang risih dan tidak terbiasa dihormati malah ikut membungkuk sambil tersenyum kikuk. Sementara Malfoy yang berjalan di depannya namun sempat melihat pemandangan itu dari ekor matanya yang tajam hanya bisa mendengus tanda ia sebenarnya sangat sebal pada tingkah Harry barusan.
Malfoy terus memimpin berjalan di depan Harry tanpa menoleh sedikitpun. Langkahnya lebar, tegap, dan memperlihatkan kepercayaan diri yang tinggi. Berbeda jauh dengan Harry yang nampak begitu kikuk, bingung, dan terus saja celingukan serta berdecak-decak mengagumi segala sesuatu yang ditangkap indera penglihatannya saat itu. Semua barang indah yang jarang-jarang bisa memanjakan matanya itu kini begitu dekat terpampang di hadapan Harry.
Beberapa saat berjalan, akhirnya keduanya sampai di depan sebuah ruangan dengan penerangan temaram. Kedua daun pintu yang terbuka lebar dan dijaga oleh dua orang maid cantik berseragam rok hitam dan blus renda sebuah suasana pesta berkelas yang sangat anggun dan tenang.
"Kita masuk Potter!" titah Malfoy sambil berbalik dan memberi isyarat dengan kepalanyanya, meminta pemuda di belakangnya untuk tidak ragu-ragu memasuki zona pesta mewah itu.
Harry terlihat begitu meragu, meski sebuah anggukan kecil ia berikan sebagai jawaban, tapi jelas terlihat ketidakpercayaan dirinya yang semakin kentara.
"Malfoy, untuk apa kau mengajakku ke pesta mewah seperti ini?" desis Harry saat ia berhasil mengejar pria di depannya yang berjalan begitu cepat dan tertata.
Malfoy berhenti, ia berbalik dan kini posisinya berhadap-hadapan dengan Harry. Sesaat ia hanya berdiri sambil memandangi wajah Harry, membuat pemuda di depannya semakin tidak mengerti.
Sejurus kemudian Malfoy tersenyum sambil menepuk ringan pundak Harry.
"Karena ini adalah pestamu. Kau tokoh utamanya, bukan aku." Setelah menjawab dengan kalimat singkat yang sama sekali tidak bisa membantu Harry untuk memahami keadaannya saat ini, Malfoy kembali berbalik dan berjalan dengan langkah yang sama dengan sebelumnya. Pemuda itu baru berhenti setelah ia bertemu dengan dua sosok yang menurut Harry mempunyai kemiripan dengan Malfoy. Yang pertama adalah pria setengah baya yang masih terlihat cukup tampan di usianya yang menurut Harry mungkin sudah mencapai kepala lima. Wajahnya tenang, dingin, angkuh, dan berwibawa dengan ekspresi yang sangat mirip dengan Malfoy. Bahkan rambutnya yang berwarna pirang platina itu mampu membuat Harry membayangkan bahwa mungkin seperti itulah kelak sosok seorang Draco Malfoy saat beranjak tua. Di samping pria itu berdiri wanita cantik berusia tidak jauh berbeda dengan sang pria. Wanita itu memiliki ekspresi yang tenang, anggun dan bijaksana. Samar-samar Harry bisa melihat seulas senyum ramah yang ditunjukkan untuknya.
Beberapa saat Harry mematung di kejauhan. Tidak tahu tindakan apa yang harus ia lakukan saat itu, berjalan mendekati Malfoy, atau berbalik keluar dan meninggalkan acara yang sama sekali tidak ia mengerti. Seperti bisa membaca pikiran Harry, Malfoy berbalik, berjalan mendekati Harry, berhenti tepat di depan pemuda yang memandanginya dengan tatapan kosong.
"Hai Potter, kenapa tidak bergabung dengan kami. Kau lihat, kedua orang tuaku dari tadi sudah menunggu kedatanganmu," ucap Malfoy setengah berbisik.
Ucapan Malfoy membuat Harry tersadar dari lamunan bodohnya. Pemuda berambut kelam itu menggelengkan kepalanya selama beberapa saat untuk mengusir perasaan blank yang tengah menghinggapinya.
"Ada apa orang tuamu ingin bertemu denganku?" tanya Harry lirih dan nyaris tidak bisa ditangkap telinga Malfoy andai pemuda berwajah pucat itu tidak mengkonsentrasikan seluruh kesadarannya hanya kepada Harry.
"Hal penting, menyangkut kehidupanmu ke depan. Ayo cepat, mereka tidak sabar bertemu denganmu," dan dengan satu gerakan, Malfoy merangkul pundak Harry dan membimbingnya mendekat ke arah kedua orang tuanya yang tengah menunggu lama.
"Maaf lama menunggu!" tukas Malfoy, ia melepaskan rangkulannya di pundak Harry dan membiarkan Harry bertatap muka langsung dengan pria yang Harry duga sebagai ayah Malfoy, Mr Lucius Malfoy kalau Harry tidak salah ingat.
"Hallo Harry, maaf karena kami baru bisa menemuimu saat ini. Perkenalkan, aku Lucius Malfoy, ayah dari sahabatmu, Draco Malfoy," Lucius menyodorkan tangan kanannya mengajak Harry untuk berjabat tangan, dan Harry hanya bisa menerimanya dengan perasaan aneh dan bingung.
"Saya Harry Potter, Sir!" ucap Harry sedikit gugup.
"Dan aku Narcissa Malfoy, ibu dari Draco Malfoy," ucap wanita di samping Lucius. Sedikit berbeda dengan sang suami, wanita itu tidak bermaksud mengajak Harry berjabat tangan, tapi justru memberikan sebua pelukan hangat. Mau tak mau, Harry menyambut pelukan itu sebagai bentuk penghargaannya kepada kedua orang tua Malfoy, meskipun tetap saja ia tak tahu apa maksud semua ini.
"Kau pasti bingung dengan semua keadaan ini, Son," sambung Narcissa sesaat setelah ia melepaskan pelukannya. Dan dijawab Harry dengan anggukan pelan.
"Dasar kau ini, Daddy sudah memintamu bercerita bukan?" Lucius memandang tajam putera semata wayangnya, Draco, yang hanya menjawab dengan seringai khasnya. Pria setengah baya itu menggelengkan kepalanya, kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi yang ada di dekat mereka dan mempersilakan Harry melakukan hal yang sama.
Keempat orang itu duduk melingkar mengelilingi sebuah meja kecil. Draco menepukkan tangan memanggil beberapa maid yang kemudian membawakan empat gelas kosong serta beberapa botol wine. Salah seorang dari mereka menuangkan wine itu ke gelas kosong yang tersedia.
"Son, mulai hari ini, kau boleh memanggil aku dan Narcissa dengan panggilan Dad dan Mom, karena mulai hari ini, kau akan resmi menjadi putera angkat kami, saudara dari Draco Malfoy, putera kandung kami." Lucius memandang Harry dengan raut muka serius.
Dan Harry, pemuda malang itu hanya terpaku memandang kosong ke arah pria berambut panjang di depannya dengan ekspresi yang tak terdefinisikan. Antara bingung, kaget, kalut, tidak mengerti, dan beberapa pemikiran lain di otaknya saat ini.
"Apa ini mimpi?"
TBC/END
Fic pertama saya di fandom Harry Potter, biasanya saya hanya menulis di fandom screenplay dan kamen rider. Membuat saya tidak terlalu percaya diri dengan fic ini … hahaha …
Huah, karena aneh, enaknya dilanjut enggak ya. Kayaknya kalo end juga gapapa ... hehehe
Adakah yang mau membaca dan mereview fic gaje saya ini?
Terima kasih sebelumnya.
