Stay
.
BTS fanfiction by soonshimie
BTS ARE GOD'S, THEIR PARENTS'S, BIGHIT'S, ARMIES, BUT THE STORY IS MINE
Taehyungxfem!Jungkook
(WARN! Bahasa nonbaku untuk percakapan)
HOPE YOU LIKE IT
.
.
"Friendship isn't about being inseparable, but about being separable and knowing nothing will change" (Ted, 2012)
Everyone has their own favorite places.
Entah itu toko buku dengan aroma buku dimana-mana dan tatanan raknya yang rapi. Art craft shop bagi pecinta hiasan-hiasan buatan tangan yang unik dan lucu. Kedai kopi dengan aroma kopi dan suara-suara yang ditimbulkan oleh si barista ketika membuatkan pesanan pelanggannya, tempat dimana mereka bisa menghabiskan waktu luang dengan bercangkir-cangkir menu kesukaan. Taman kota di tengah hiruk-pikuk kepadatan lalu lintas. Bahkan salah satu sudut di rumah tempat dimana mereka bisa melakukan hobi tanpa harus terbebani dengan kesibukan.
Begitu pula Jeon Jungkook.
Gadis itu juga memiliki tempat kesukaannya sendiri. Dia mencintai kamar tidurnya yang baru minggu kemarin didekor ulang dengan gaya shabby chic yang cantik. Dia menyukai meja belajarnya yang rapi dan penuh dengan pernak-pernik vintage. Dia senang menghabiskan 12 jamnya di sekolah, dengan ruang kelas yang nyaman serta teman-teman yang seru dan tidak pernah kehabisan bahan cerita. Jungkook senang menulis bucketlist atau favorite things list di notes-nya yang bergambar ala ala Tumblr, dan jika kau membacanya, yang nangkring di urutan pertama bukan kamar tidur atau meja belajar atau ruang kelasnya. Tetapi perpustakaan sekolah.
Jungkook loves her school's library so much.
Mungkin Jungkook terdengar seperti anak culun kutu buku yang cuma bisa menghabiskan waktunya sambil membaca buku tanpa peduli sekelilingnya. Tidak, Jungkook bukan tipe gadis yang seperti itu. Memang benar dia suka membaca buku, tapi bagi Jungkook, dia menyukai perpustakaan bukan karena dia suka membaca. Perpustakaan adalah gudang inspirasinya dimana dia bisa membuat artworks sepuas hatinya tanpa takut ada yang mengganggu.
Meskipun jaman sudah modern, paradigma tentang perpustakaan kuno yang menyeramkan dan dijaga oleh seorang pustakawan kolot dan gampang marah masih belum hilang. Sekeras apapun usaha UPIM—Unsur Pimpinan—sekolah membuat perpustakaan modern dan canggih tidak akan bisa mengalahkan kecintaan murid-murid terhadap lapangan dan kafetaria. Jungkook juga menyukai kafetaria, tapi dia tetap menyukai perpustakaan.
Keluarga Jungkook mewarisi darah seni yang kental dalam diri mereka meskipun keahlian itu hanya dianggap sebagai hobi. Jungkook pintar menggambar dan memberi warna, sejak kecil dia sudah difasilitasi oleh orangtuanya dengan les melukis. Di usia 16 tahun dia sudah menjadi ilustrator tetap salah satu majalah remaja di Korea dan honor yang dia terima juga tidak sedikit. Jungkook senang karyanya dimuat, sama dengan kau senang mendapatkan novel baru untuk dibaca.
Ketika mengerjakan artwork-nya, Jungkook membutuhkan suasana yang tenang dan hening. Perpustakaan menjadi markasnya ketika dia sedang mengerjakan artwork karena Jungkook tahu murid-murid tidak akan boleh berisik. Dengan fasilitas cokelat panas yang disediakan di setiap tiga jendela besar, kursi-kursi empuk, meja yang nyaman dan karpet yang lembut, Jungkook bisa membuat tiga sampai empat artwork.
Yah, sebenarnya bukan hanya itu saja alasan mengapa Jungkook menjadikan perpustakaan sebagai 'ruang kerja'-nya empat bulan belakangan ini.
###
"Datang lagi, Jungkook-ah? Berniat menggambar atau meminjam buku?"
Jungkook menyeringai, tangannya mengacungkan buku sketsa kecil berukuran B5 yang tebal dan sekotak watercolor-nya pada seorang wanita diawal duapuluhan dan berwajah ramah.
"Seniman memang selalu membutuhkan suasana sepi ya, untuk bekerja," Han Hyojoo—anak-anak lebih sering memanggilnya Miss Han—tersenyum sambil mengangguk maklum, "apalagi yang akan kaugambar hari ini?"
"Proyek besar," jawab Jungkook riang, "harus selesai sebelum bulan Februari. Soalnya kalau terlambat, bisa gagal."
Hyojoo memicingkan mata kemudian mencondongkan tubuhnya untuk mengintip buku sketsa Jungkook. "Proyek apa, sih? Boleh kulihat?"
Buru-buru Jungkook memeluk buku sketsanya. "Ah, jangan dulu, Miss. Saya malu," katanya, "kalau sudah selesai saja saya tunjukkan pada Miss Han. Karena belum selesai, saya jadi malu untuk menunjukkannya pada Anda."
Hyojoo terkekeh. "Ah, pasti ini ada hubungannya dengan kisah percintaanmu, kan? Hm?" Hyojoo menaik-turunkan alisnya menggoda Jungkook, "siapa pemuda beruntung yang kaugambar itu, Jungkook-ah? Kau sampai menyebutnya 'proyek besar' segala dan harus selesai bulan Februari. Pasti dia kelas tiga."
"Tidak, kok," Jungkook cepat menyela, senyum kekanakannya muncul lagi, "saya sewa sudut perpustakaan yang biasanya ya, Miss. Dan cokelat panasnya juga."
Miss Han tertawa, mengangguk kemudian kembali pada pekerjaannya.
Jungkook beralih menuju tempat favoritnya; sudut belakang perpustakaan yang menghadap langsung ke lapangan basket outdoor di belakang sekolah. Setelah meletakkan dua gelas cokelat panas di meja, Jungkook menghempaskan diri ke sofa. Dia siap untuk meneruskan proyek besarnya.
Jungkook tersenyum ketika dia melihat gambar awal di halaman pertama buku sketsanya. Gambar seorang pemuda yang sedang tersenyum sangat lebar. Pemuda itu mengenakan seragam basket SMA Hakwon. Bola oranye terapit di antara siku dan pinggangnya. Sebuah nama tertulis di bawahnya. Kim Taehyung.
Ya. Pemuda itu adalah sahabat kecil Jungkook yang mengikrarkan diri sebagai sahabat sehidup sematinya.
Senyum Jungkook terus terpatri di wajahnya sementara tangannya membalik halaman buku sketsa yang penuh dengan artwork-nya tentang Taehyung. Gambar yang dibuat langsung dengan watercolor itu sangat rapi dan bagus. Orang-orang bilang, aesthetically pleasing. Tidak banyak yang tahu tentang proyek yang dibuat Jungkook karena ia memang sengaja merahasiakannya, termasuk dari Taehyung.
Perpustakaan inilah yang menjadi tempat persembunyiannya disamping perpustakaan sebagai tempat favoritnya.
Jungkook memilih perpustakaan karena ia tahu Taehyung alergi dengan tempat yang penuh dengan buku dimana-mana—kecuali perpustakaan komik, katanya. Taehyung bilang dia punya sindrom entah apa namanya. Sindrom itu membuat penderitnya selalu ngantuk setiap melihat tulisan di buku dan membantu mereka untuk tidur nyenyak.
Ngaco.
Tapi memangnya kapan Taehyung berhenti bertingkah konyol?
Karena itulah Jungkook berani menghabiskan waktunya berlama-lama untuk menyelesaikan proyek buku artworks-nya yang akan dia berikan untuk Taehyung ketika wisuda nanti. Jungkook tidak ingin Taehyung pergi ke Amerika untuk sekolah penerbangannya tanpa membawa sesuatu dari Jungkook.
Perpustakaan sepi, seperti biasa. Dan Jungkook sudah melanjutkan lagi gambarannya dengan tenang. Dia menggambar ketika Taehyung sedang mencoba skateboard. Ada tulisan rapi di bawahnya. Ini waktu kamu sedang belajar skateboard dan jatuh terjerembab ke tanah basah. HAHAHAHA BODOH.
Jungkook menyeringai. Mengatai Taehyung termasuk favorite list-nya.
Kemudian tangan Jungkook bergerak lagi. Mencelupkan kuasnya ke dalam segelas air lalu membubuhkan warna hitam dan gradasinya yang membentuk langit malam. Ada dua orang yang sedang tiduran di trampolin di tengah-tengah rerumputan hijau tua. Bias cahaya lampu menjelaskan kalau rerumputan hijau itu adalah halaman rumah.
Ini waktu kita menunggu bintang jatuh, seperti kata teman-teman, dan ternyata nggak ada bintang jatuh. LOL.
Jungkook tersenyum lagi. Ia ingat memori ini; ketika teman-teman sekelas bilang kalau malam itu ada hujan bintang jatuh, Taehyung sangat bersemangat dan sampai mengajak Jungkook begadang demi menunggu bintang jatuh itu yang ternyata terjadi di belahan bumi yang lain. Dan keesokan harinya, Jungkook demam karena masuk angin.
Lucu sekali, pikir Jungkook, memandangi karyanya hari ini. Ada banyak kenangan-kenangan yang harus Jungkook abadikan dalam gambar dan harus selesai sebelum Februari tiba, sebelum Taehyung berangkat ke Amerika.
Jungkook sangat kesal ketika Taehyung mengatakan dia akan melanjutkan studi di sekolah penerbangan di Amerika. Sementara Jungkook lebih memilih sekolah di negara sendiri. Jungkook protes tentang waktu mereka yang terbatas, perbedaan jam dan jarak yang sangat jauh. Dia protes sambil menangis dan tidak mau bertatap muka dengan Taehyung selama beberapa hari, sampai akhirnya Jungkook sendiri mengalah dan berbalik mendukung keinginan dan mimpi Taehyung.
Dan Taehyung punya janji dengannya.
"I'm with you."
Janji itu Taehyung ikrarkan di hari ketika Jungkook memilih untuk mengalah dan mengatakan bahwa dia sepenuhnya mendukung mimpi Taehyung. Dengan senyum lembut di wajah tegasnya lalu pelukan hangat yang membuat Jungkook menangis lagi. Tidak, Jungkook tidak siap berpisah dengan Taehyung terlalu lama.
Mereka sudah berteman sejak kecil. Diawali dengan bermain bersama di sebuah kotak pasir di taman bermain kompleks mereka kemudian berlanjut hingga bermain kejar-kejaran, petak umpet, setiap sore. Mereka hanya dua anak kecil yang nyaman bermain bersama, sampai rasa nyaman itu membawa mereka menjadi teman satu kelas di SD, SMP dan sekarang SMA.
Ada banyak hal yang mereka lalui selama hampir 14 tahun ini, termasuk ketika Jungkook menstruasi, Taehyung yang pubertas, sampai hal-hal kecil yang tidak penting seperti pulang sekolah jalan kaki berdua. Dulu Jungkook menganggap hal kecil itu sebagai sesuatu yang biasa. Dia bisa mengulanginya besok, besok dan besoknya lagi. Namun sekarang, waktu-waktu yang tersisa bersama Taehyung bahkan menjadi sesuatu yang harus dimanfaatkan dengan baik.
Jungkook tersenyum kecil. Pipinya terasa basah.
Karena bagaimanapun, Jungkook tidak akan siap untuk berpisah dengan Taehyung.
Jungkook menghabiskan waktu istirahat makan siangnya di perpustakaan dan sepuluh menit sebelum bel masuk, gadis itu pamit dan pergi ke kelasnya.
Jungkook menyeringai setelah menyadari dia habis empat gelas cokelat panas. Sweet tooth addict to sweet food, tapi yang ini parah namanya. Kalau Taehyung tahu pasti anak laki-laki itu langsung menegurnya dan sok pintar menjelaskan tentang diabetes padahal sendirinya juga suka cokelat.
"Jeongie!"
Tidak perlu menoleh untuk Jungkook dia tahu siapa yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Karena hanya ada satu orang di dunia yang memanggilnya begitu—
—sekaligus mengempit kepalanya di ketiak.
"Taengie! Kecut banget!" Jungkook menjerit minta dilepaskan, "jorok, ih! Keringetan begitu diusapin ke orang lain!"
Taehyung tertawa penuh kemenangan. "Biar kamu kebagian anugerah juga," kata Taehyung ngaco, mengusap peluh yang membanjiri pelipis dan lehernya setelah bermain basket—Jungkook tidak paham kenapa anak laki-laki suka sekali berkeringat, padahal ini musim dingin, "keringatku kan wangi."
"Wangi apanya! Kayak racun tikus, tahu nggak," gerutu Jungkook kesal.
"Jahat banget disamain sama racun tikus," Taehyung memasang wajah memelas, namun tidak lama ekspresinya itu menghilang digantikan penasaran setelah matanya menangkap buku sketsa di tangan Jungkook, "wah, bikin artworks lagi, ya—"
"Eit, nggak boleh lihat," potong Jungkook, buru-buru menyembunyikan buku sketsa itu di balik punggungnya.
"Dih, kok nggak boleh?" protes Taehyung, "biasanya kamu bolehin aku lihat kok."
"Ih, apaan sih maksa," Jungkook keukeuh mempertahankan buku sketsanya, "nggak boleh ya nggak boleh. Keras kepala."
"Oh, sekarang mainnya rahasia-rahasiaan ya?" wajah Taehyung menunjukkan rasa kesal dan gondok karena merasa dikhianati, "Jungkook sekarang gitu. Mainnya rahasia-rahasiaan, akunya nggak boleh lihat."
"Cewek juga punya rahasia tahu," sergah Jungkook, berjalan lebih dulu sambil mendekap buku sketsa dan cat airnya, "girls have a secret they didn't tell boys."
"Apa, sih? Jangan-jangan kamu lagi ngegambar orang yang kamu suka, ya?" tanya Taehyung, berusaha menerka-nerka dengan hipotesisnya sendiri. Lalu tersenyum sumringah karena merasa hipotesisnya benar. "Ah, iya! Iya, kan, Jeongie?"
"Apa?" Jungkook bertanya tanpa menoleh.
"Kamu lagi suka sama cowok."
"Sok tahu."
"Terus apa, dong?" Taehyung berjalan di belakang Jungkook sambil memikirkan rahasia apa yang disembunyikan Jungkook darinya. Tiba-tiba ekspresi Taehyung berubah; dia menatap punggung Jungkook dengan ekspresi hayo-aku-tahu-lho. "Atau jangan-jangan, kamu lagi ngegambar banyak posisi kamasutra—"
"Heh!" Jungkook berbalik otomatis, menatap nyalang pada Taehyung di belakangnya, "otak itu ya, dipake mikir yang bener! Jangan bokep melulu!"
Taehyung tertawa keras sampai terbungkuk-bungkuk. Wajah Jungkook lucu sekali—pada dasarnya, Jungkook tidak bisa memasang wajah garang karena wajahnya terlalu imut. Karena itulah kalau Jungkook berekspresi marah begini, Taehyung malah tertawa. "Lho, itu kan cuma bagian dari tebak-tebakan," kilahnya sambil tertawa, "kontrol dong mukanya, babe. Kayak mau makan orang aja."
Jungkook mendengus. Taehyung dan pemikiran sintingnya itu terkadang terlalu sinting untuk diterima. Dipikirnya Jungkook ilustrator majalah Playboy.
"Udahlah, dibilang rahasia ya rahasia aja. Ngapain ditebak-tebak," kata Jungkook.
"Namanya orang penasaran. Wajar, kan," kata Taehyung, tersenyum lalu berjalan beriringan dengan Jungkook. "Tapi kayaknya bener, deh."
"Apa?"
"Itu, posisi kamasutra itu—"
"HEH!" Jungkook berseru memotong, menoyor pelipis Taehyung yang sekarang tertawa lagi, "mesum ini otak, mesuuum," gerutunya, menekan-nekan pelipis Taehyung dengan gigi bergemeretuk gemas.
Dan pada akhirnya, Jungkook tersenyum.
Ini adalah satu dari beberapa hal kecil tidak penting diantaranya dan Taehyung, yang besok-besok akan dirindukannya, yang besok-besok tidak akan bisa diulanginya lagi, satu menit setelah Taehyung pergi ke balik gerbang keberangkatan.
Jangan, jangan percepat waktu.
Melihat Taehyung tertawa termasuk favorite list-nya. Taehyung punya suara tawa yang menyenangkan meskipun ketika sedang berbicara biasa suaranya tergolong berat dan dalam. Jungkook bilang mirip om-om pedofil, yang setelah itu membuat Taehyung menyerangnya dengan gelitikan super.
Meskipun otak mesumnya sering membuat Jungkook geleng-geleng kepala, tapi dengan sifat blak-blakan yang dimiliki Taehyung itulah Jungkook bisa tertawa. Taehyung bukan orang yang moralis dan tidak merasa benar sendiri. Namun justru itulah yang membuat Jungkook nyaman bercerita padanya.
"Oh iya, Jeongie," Taehyung menyeletuk, "nanti malam, Ibu mau mengajak keluargamu untuk makan malam. Soalnya Ayah barusan naik pangkat minggu kemarin, jadi kayak pesta kecil-kecilan begitu, lah."
"Wah, Paman naik pangkat?" mata Jungkook berbinar-binar senang, "jadi Mayor dong, sekarang! Waaah, selamat!"
Taehyung tersenyum. "Masih hafal ya, pangkat-pangkat ayahku."
"Ya gimana nggak hafal, sudah terbiasa, sih," balas Jungkook sambil tersenyum, "oke, nanti aku bilang ke Mama. Ada dresscode?"
"Ibu nggak bilang apa-apa, tuh. Kayaknya nggak perlu begituan deh," jawab Taehyung sambil menggeleng, "asal pakai baju yang bener sih, bukan lingerie—"
"Ya Tuhan, mesum banget, sih!"
Jungkook tahu kalau Taehyung ini mesumnya tingkat dewa setelah dia memergoki beberapa majalah berkover perempuan muda tidak berbaju di bawah kasur Taehyung, ketika awal mereka masuk SMA.
"Tae."
"Ya?" Taehyung sedang menata koleksi kaset-kaset videogame-nya saat itu, tidak sempat curiga. Lagipula Jungkook sudah sering main ke kamarnya.
"Kamu ngumpetin majalah beginian, kok selamat, sih?"
Taehyung menoleh. "Majalah apaan—SHIT!" Taehyung langsung melompat dari rak kasetnya demi menyambar empat majalah tidak senonoh itu dari tangan Jungkook dan melemparnya ke atas lemari baju.
Jungkook hanya melongo melihatnya. Taehyung menyeringai garing.
"I-itu... ceritanya panjang."
"Hah?"
"Majalah itu sebenarnya punya Namjoon hyung, bukan punyaku."
"Ngapain juga Namjoon oppa bawa majalah begituan kesini?" tanya Jungkook dengan alis dinaikkan sebelah heran sebelum menyeringai ambigu, "kalian baca-baca begitu berdua, ya?"
Taehyung tergeragap. "H-hah?"
"Iya, kan?" Jungkook menuding Taehyung, masih dengan seringainya, "nggak mungkin lah Namjoon oppa bawa majalah kayak gitu tanpa alasan. Antara kamunya yang minjem atau kalian baca-baca berdua atau majalah itu malah punyamu."
"Eh, enggak," Taehyung berusaha mengelak, "sumpah, itu punya Namjoon hyung."
"Alah, banyak alesan," kata Jungkook mencibir, "Bibiiii! Taehyung baca majalah porn—hmmmpft!"
Dan berakhir dengan Jungkook yang hampir mati karena dibekap tangan oleh Taehyung.
"Jangan keras-keras!" bisik Taehyung panik, "bisa digeplak Kapten aku nanti kalo ketahuan punya majalah kayak gitu!"
Jungkook menendang-nendang sambil memukul tangan Taehyung, minta dilepaskan. Taehyung melepaskan bekapannya pada Jungkook dan gadis itu tertawa keras setelahnya.
"Ngaku kan akhirnya!" tawa Jungkook, "majalah porno itu punyamu!"
Taehyung hanya bisa mendesah sambil menggaruk kepalanya.
"Aku sih nggak apa-apa," kata Jungkook menenangkan, "aku paham, kok. Kamu kan cowok, udah pubertas lagi. Cuma jangan sering-sering, kamu harus punya kontrol biar nggak kecanduan porno, soalnya berdampak ke otak juga."
Taehyung mengangguk-angguk paham. Jungkook pikir Taehyung mengerti benar tentang 'kontrol supaya tidak kecanduan porno', tapi ternyata belum berakhir disitu.
Jungkook pernah melihat folder tersembunyi di laptop Taehyung—yang Jungkook tahu jelas apa isinya, bukan lagu-lagu apalagi tugas sekolah—dan reaksinya waktu itu hanyalah menghela napas lalu mencubit perut Taehyung keras-keras.
"Mesum banget," begitu komentarnya, dengan nada dan ekspresi datar.
Taehyung hanya bisa menyeringai sambil mengelus bekas cubitan Jungkook di perutnya. Sial, sakit banget.
Dan cubitan itu dia dapatkan lagi karena Jungkook tahu kamarnya belum dibersihkan.
Malam ini, Taehyung sudah bersiap-siap untuk makan malam bersama keluarga Jungkook dan ketika membuka pintu, wajah Jungkook ada di hadapannya. Taehyung tersenyum namun senyumnya tidak bertahan lama karena Jungkook sudah menerobos masuk ke kamarnya yang asli berantakan. "Aduh! Jeongie, sakit banget, tahu!" erang Taehyung setelah perutnya dicubit oleh Jungkook.
"Ini kamar atau kandang babi, sih? Berantakan banget!" omel Jungkook, masuk ke kamar Taehyung sambil berkacak pinggang, "bersihkan dulu!"
"Ngapain, sih? Lagian kamarku juga nggak dimasuki siapapun," ujar Taehyung malas.
"Aku toleransi kalau kamu pernah lihat porno, tapi kamar berantakan gini aku nggak toleransi!" omel Jungkook lagi, duduk di kasur Taehyung sambil melipat baju bekas Taehyung fitting untuk makan malam hari ini.
Taehyung menghela napas panjang. Capek juga punya sahabat cerewet macam Jungkook ini.
Awalnya Taehyung hanya berdiri sambil bersandar di pintu, bersedekap dan mengamati Jungkook yang sedang melipat bajunya dengan telaten. Berbeda dengan Taehyung yang suka asal melipat dan dijejalkan ke lemari.
"Heh, jangan cuma berdiri nganggur di pintu, dong," teguran Jungkook membuyarkan lamunan Taehyung, "coba kamu beresin meja belajarmu. Nanti aku bantu-bantu yang lain."
Taehyung menghela napas. Menuruti kata-kata Jungkook untuk merapikan meja belajarnya. "Lama-lama kamu jadi mirip Ibu," gerutu Taehyung, menyatukan pensil-pensilnya di dalam satu wadah khusus alat tulis, "cerewet, maniak kebersihan—"
"Kamar yang bersih itu mencerminkan pemiliknya," potong Jungkook sewot, "kamarmu berantakan begini nggak jauh-jauh sih dari yang nempatin. Otaknya berantakan juga soalnya, mikirin bokep terus."
Taehyung mencibir sambil menata buku-bukunya, memonyongkan bibir mengikuti omelan Jungkook.
"Kutaruh di lemari, ya."
Taehyung menoleh pada Jungkook yang menyimpan bajunya di lemari. Lipatan Jungkook rapi sekali. Taehyung sampai berpikir untuk tidak memakai baju-baju itu supaya membuatnya tetap terlipat rapi seperti itu.
"Turun dulu?" Jungkook mengulurkan tangan, tersenyum pada Taehyung, "makan, setelah itu kamu bereskan sisanya."
Taehyung mengangguk, menggenggam tangan Jungkook yang terasa pas dalam genggaman tangan besarnya.
"Kok aku nggak lihat Haejun, ya?" tanya Jungkook, "anak itu kemana?"
"Paling juga main game," dengus Taehyung, "dia suka mampir ke game center dan baru pulang ke rumah jam sembilan. Ayah sampai mengamuk tapi dia tetap saja."
"Oh, ya?" Jungkook tertawa, "mirip kamu, sih. Dulu kamu sama Jimin juga sering nongkrong di game center sampai pulang telat dan akhirnya Paman nyuruh kamu tidur di gudang, ya kan?"
Taehyung mendengus lagi dan Jungkook masih tertawa.
Meja makan sudah penuh oleh hidangan. Bibi Kim jago memasak, dulu pernah sekolah perhotelan dan mengambil jurusan tata boga. Sebelum menikah dengan Paman Kim, beliau bekerja di salah satu hotel bintang lima di Korea dan menjadi chef-nya. Kehandalan itu masih terasa sampai sekarang.
"Nah, ini dia anak-anakku!" Bibi Kim tersenyum, "duduk, duduk! Makan malamnya sudah mau dimulai!"
Jungkook mengangguk dan mengambil tempat di sisi Mamanya, berhadapan dengan Taehyung. Haejun baru tiba tepat ketika Jungkook duduk di kursi. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu datang dengan napas hampir habis.
"Tunggu Haejun-ie!" serunya dan melesat ke kamar.
Jungkook tersenyum geli, menatap Taehyung yang hanya diam sambil mengelap sendoknya. Haejun tidak jauh berbeda dengan Taehyung—bentuk wajahnya, caranya berjalan, sifatnya, apapun. Rumah ini seperti memiliki dua Taehyung.
"Persaingan masuk universitas sekarang jauh lebih ketat daripada dulu," Paman Kim, sebagai kepala householder yang mengadakan jamuan makan malam, membuka percakapan beberapa saat setelah jamuan dimulai, "Jungkookie ingin masuk universitas mana?"
Pertanyaan yang umum dilontarkan setelah kau duduk di bangku kelas tiga. Jungkook terdiam sejenak, menatap Taehyung yang memilih sibuk dengan beef steak-nya. Pemuda itu balik menatap Jungkook sekilas.
"Kalau Taehyung kan, maunya sekolah di Amerika," Paman Kim tersenyum pada putra sulungnya, "apa nama sekolahnya, Tae?"
"Eh, US Aviation Academy," jawab Taehyung, lancar menyebutkan sekolah impiannya.
"Ah, ya itu. Rumit namanya, aku tidak hafal," kata Paman Kim sambil tertawa, "kalau Jungkookie? Mau ambil di luar negeri juga?"
Jungkook cepat menggeleng, melirik sekilas pada Mamanya. "Dekat-dekat sini saja, Paman. Baru berani keluar negeri kalau ambil magister, gitu sih sarannya Mama," terang Jungkook, "di Universitas Korea. Jurusan kedokteran."
"Wah, kedokteran?" Bibi Kim menyahut antusias, "nanti juga ambil spesialis?"
Jungkook menggeleng lagi. "Langsung ke kedokteran gigi, Bi."
Wajah Bibi Kim tampak berseri-seri. "Ah, sudah lama aku menginginkan menantu seorang dokter," ujar Bibi Kim, nyaris membuat Taehyung dan Jungkook tersedak makan malam mereka, "Taehyung-ah, nanti kalau sudah lulus, langsung ambil Jungkook-ah, ya. Kan senang, sudah cantik, pintar, dokter juga."
"Ah, Ibu," Taehyung menyergah, melirik Jungkook yang tampak salah tingkah di depannya, "masih jauh, Bu. Belum juga mulai kuliah."
"Kan cuma jaga-jaga, Sayang," Bibi Kim tersenyum, mengelus rambut putra sulungnya, "nggak enak kan, kalau Jungkook diambil orang duluan?"
"Ibu," Taehyung menyergah lagi, meminta ibunya berhenti meskipun dia sendiri juga tidak menolak pada desir-desir halus di dadanya karena obrolan singkat tentang pernikahan barusan. Apalagi melihat pipi Jungkook yang bersemu merah. Taehyung berani bertaruh dengan seluruh model Victoria's Secret di majalah pornonya, Jungkook jauh lebih cantik daripada mereka dengan pipi bersemunya itu. Puh, hiperbolis.
"US Aviation Academy, ya? Setahu Paman akademi itu sekolah penerbangan terbaik di Amerika," ujar Papa, menatap Taehyung yang langsung mengangguk mantap.
"US Aviation Academy menyediakan kelas untuk murid internasional dari Korea Selatan. Setelah saya mengambil degree untuk pilot program, saya akan meneruskan di International Flight Training. Lalu setelah lulus, saya berencana untuk mengambil ujian lisensi CPL dan bekerja di Korean Air."
Suara Taehyung tegas dan mantap. Wajahnya tampak serius; Jungkook bisa membaca semangat yang menggebu-gebu disana. Jungkook tersenyum kecil, merekam wajah Taehyung yang sedang bersemangat membicarakan prospek masa depannya baik-baik. Setiap Taehyung bercerita tentang passion-nya, entah kenapa Jungkook suka melihat ekspresi wajahnya.
"Anakmu bersemangat sekali untuk jadi pilot, Daehyun-ah," Papa berujar setengah tertawa, "bahkan sudah punya rancangan untuk kerja dimana."
Paman Kim tersenyum menatap Taehyung yang sedang menikmati makan malamnya. "Asalkan dia belajar tekun dan berhasil meraih cita-citanya, aku juga mendukung. Masih ada harapan untuk Haejun. Haejun mau jadi tentara kan ya, nak?"
"Tidak!" jawab Haejun langsung, "aku mau jadi pilot juga kayak Tae hyung!"
Lalu meja itu dipenuhi gelak tawa.
Taehyung itu seorang movie goers. Semua genre dilihatnya, tidak peduli thriller yang membuat Jungkook menjerit-jerit ketakutan sampai romance yang jarang lelaki mau melihatnya. Taehyung suka sekali menonton film, bahkan film tahun 1990-an atau lebih tua dari itu sudah dia tonton.
Itulah yang dipikirkan Jungkook ketika gadis itu mengerjakan artworks malam ini. Makan malam di rumah Taehyung sudah selesai sejak satu jam yang lalu dan disinilah dia, duduk di depan meja belajarnya dengan buku sketsa dan cat air. Masih ada banyak halaman kosong yang belum terisi, dan kenangan menonton film Forrest Gump dengan Taehyung muncul di otaknya.
"Film jaman kapan ini? Tom Hanks-nya masih ganteng," tanya Jungkook sambil menyamankan diri duduk bersandar di headboard kasur Taehyung.
"Tahun 1994," Taehyung menjawab pendek, ikut duduk di sebelah Jungkook. Mereka hanya dipisah laptop, semangkuk besar popcorn asin dan dua botol cola ukuran tanggung.
"Lama banget," komentar Jungkook, "kita aja belum lahir."
"Iya, tapi film ini bagus banget, menang Academy Awards juga. Makanya aku download," kata Taehyung, memeluk bantalnya dan mulai konsentrasi menonton film.
"Genre-nya?" tanya Jungkook, satu pertanyaan wajib setiap dia diajak menonton film oleh Taehyung, "judulnya kayak thriller gitu."
"Romcom, tenang aja," Taehyung tersenyum, "atau mau aku ganti ke SAW?"
Jungkook langsung melotot dan menyerang Taehyung dengan cubitannya.
Jungkook bukan movie goers seperti Taehyung. Dia menyukai beberapa genre saja, dan romance ada di urutan pertama. Setelah diberitahu apa genre Forrest Gump, Jungkook mulai merasa tenang dan menikmati film sejak awal sampai akhir. Bahkan menangis terisak-isak karena terharu dengan perjuangan Forrest mencari Jenny keliling Amerika dan berakhir dengan Jenny yang meninggal padahal mereka sudah menikah.
Di film itu, ada satu quotes yang segera membuat Jungkook sadar bahwa quotes itu mencerminkan dirinya dan Taehyung. Quotes itu muncul dalam narasi Tom Hanks, ketika menggambarkan betapa inosennya persahabatan dua anak kecil dan bunyinya, "From that day on, we was always together. Jenny and me was like peas and carrots."
Dan quotes itu yang menjadi tema artworks Jungkook malam ini.
Lalu Jungkook membubuhkan beberapa kata dibawahnya. Bibirnya mengulas senyum manis ketika menuliskan kata-kata itu.
Selalu bersama, ya, Taengie.
Taehyung and basketball was a combo Jungkook loved very much.
Baginya, melihat Taehyung men-dribble bola, melesat melewati lawan-lawannya dan berakhir memasukkan bola oranye ke dalam ring adalah satu keping kebahagiaan tersendiri untuknya. Memang ada yang bilang kalau cowok-cowok basket itu keren, tapi bagi Jungkook bukan itu.
Dulu, sebelum Jungkook mengalami cedera parah pada ligamen lututnya, dia termasuk tim basket perempuan di sekolah. Bertanding kesana-kemari, memboyong piala sebagai balasan atas latihan, kerja keras dan keringat. Namun di suatu pertandingan basket putri SMP se-Seoul, Jungkook mengalami cedera parah yang membuatnya tidak bisa bermain basket, bahkan berolahraga berat.
Jungkook ingat sekali. Waktu itu dia didorong keras oleh lawannya yang memang bertubuh lebih besar darinya sehingga dia jatuh dan lutut kanannya menghantam lantai. Rasanya sangat sakit sampai Jungkook menangis keras ketika kakinya dipaksa untuk lurus. Ketika diperiksa di rumah sakit, ligamen Jungkook robek 25% dan itu termasuk parah.
Dokter yakin kalau robeknya ligamen Jungkook bukan hanya karena jatuh didorong lawan. Disana Jungkook mengakui kalau dia pernah jatuh berkali-kali sebelum ini dan tidak pernah jujur pada siapapun. Dari situlah dokter mengatakan Jungkook tidak bisa lagi bermain basket atau olahraga yang membutuhkan kerja keras pada kaki karena jika tetap memaksa, ligamennya akan semakin buruk bahkan putus.
Semuanya memang menghibur Jungkook, mengatakan bahwa dia pasti baik-baik saja atau saran dokter adalah yang terbaik. Namun Jungkook sudah terlanjur mencintai basket dan baginya, tidak bisa bermain basket lagi adalah mimpi buruk.
Lalu Taehyung datang padanya malam itu, baru pulang dari les dan tanpa berkata-kata segera membawa Jungkook dalam pelukannya. Jungkook pikir Taehyung akan sama saja menghiburnya seperti yang lain, namun satu kalimat tegas dari Taehyung malam itu adalah obat penenang paling mujarab untuk Jungkook. "Aku yang bakal gabung di tim basket dan menggantikan kamu disana."
Sampai SMA ini, Taehyung juga bergabung di tim basket sekolah sesuai janjinya, supaya Jungkook tetap bisa merasakan dirinya bermain basket.
Dan karena itulah Jungkook menggambar Taehyung dan bola basket di halaman pertama buku sketsa. Karena di halaman pertama itulah sesuatu dinilai. Hampir sama dengan kita pertama kali bertemu seseorang—first impression, kita biasa bilang. Jungkook tidak ingin first impression Taehyung pada buku artworks-nya ini buruk.
Membuat kumpulan artworks ini, bagi Jungkook, sama beratnya dengan seorang penulis membuat satu novel. Bakat memang bukan masalah, Jungkook pintar melukis. Atau fasilitas yang kurang. Berat itu dalam artian prosesnya yang membutuhkan waktu yang lama. Mangungkit kembali memori-memori juga bukan hal yang mudah. Terkadang malah Jungkook tidak tahu apalagi yang harus digambarnya sementara perfection syndrome dalam dirinya menggebu-gebu. Sama seperti ketika penulis mengalami writer's block—hal yang paling menyiksa dalam proses kreatif.
Jungkook menoleh ke arah kalender mejanya. Sekarang sudah masuk tanggal 20. Lima hari lagi Natal. Sepuluh hari lagi ulang tahun Taehyung. Enam puluh hari lagi kelulusan.
Jungkook menatap buku sketsanya. Ada dua puluh lima lembar halaman yang masih bersih namun pikirannya kosong.
"Kookie, nanti malam beli perlengkapan Natal, ya. Jangan pulang terlambat."
Jungkook mengangguk sekilas sambil memakai deker lutut yang harus dipakainya secara rutin setelah vonis ligamennya yang robek. Membeli perlengkapan Natal adalah hal favoritnya. Dia bisa berlama-lama di rak khusus Natal, memilih mana gantungan yang lucu. Sekarang ada banyak macam-macam gantungan malaikat atau snowman yang lucu. Jungkook senang memandanginya lama-lama karena gemas.
"Tidak berangkat dengan Taehyung?" tanya Mama, menepuk kedua bahu putri tunggalnya yang lebih tinggi darinya.
Jungkook menggeleng. "Taengie bilang dia ada urusan, makanya datang terlambat. Surat izinnya Paman Daehyun yang mengantarkan ke sekolah."
"Oh, ya? Urusan apa?"
Kedua bahu Jungkook dikedikkan tanda dia tidak mengerti. "Dia cuma SMS aku begitu. Nggak memberitahuku apa urusannya," jawab Jungkook, kemudian membungkuk sedikit untuk mencium pipi Mamanya, "Kookie berangkat ya, Ma," pamitnya, beranjak pada Papanya yang masih sarapan lalu mencium pipinya, "Kookie berangkat, Pa."
"Hati-hati, Sayang," Mama tersenyum, melambaikan tangan.
Jungkook mengangguk, balas melambaikan tangan lalu beranjak keluar rumah.
Jungkook bukannya tidak terbiasa berangkat sendiri tanpa Taehyung. Kalau Taehyung sakit, Jungkook juga berangkat ke sekolah sendirian. Tapi sekarang, berangkat sekolah tanpa Taehyung rasanya sangat sepi.
Ah, beginilah jadinya kalau Taehyung sudah berangkat ke Amerika.
Sendiri dan kesepian. Jungkook berjalan menuju halte bus sambil memainkan salju-salju di bawah kakinya. Waktunya bersama Taehyung berkurang satu hari. Jungkook menghitungnya, setiap hari, sambil memberikan tanda silang di kalender mejanya. Dan tanda lingkaran di tanggal 17 Februari. Hari dimana Taehyung harus berangkat ke Amerika. Satu hari sebelum kelulusan.
Itu artinya, tidak ada Taehyung di wisuda. Tidak ada Taehyung dalam pesta tepung setelah kelulusan. Dan, tidak ada Taehyung untuk Jungkook dalam jangka waktu yang lama.
Jungkook menghela napas. Pikiran itu berteriak dalam kepalanya. Seruan-seruan tentang Taehyung yang sebentar lagi akan meninggalkan Jungkook ke Amerika demi mimpinya menjadi pilot. Jungkook tidak membenci Taehyung karena itu mimpinya. Menjadi pilot adalah mimpi Taehyung sejak SMP dan Jungkook mana mungkin menghancurkannya begitu saja.
Jungkook menarik napas untuk yang kedua kali. Dia tahu artworks apa yang harus dia gambar nanti di sekolah.
Sederetan mimpi-mimpi Taehyung yang Jungkook harap tidak pernah mati.
Seperti biasa, Jungkook mendatangi perpustakaan sekolah ketika jam istirahat pertama tiba, mengambil tempat paling belakang dan dua gelas cokelat panas. Ada peraturan tidak boleh membawa makanan ringan ke perpustakaan, jadi Jungkook menyelundupkan sebungkus Pocky rasa stroberi dalam saku mantelnya.
Hari ini hawa terlalu dingin hingga Jungkook terpaksa membawa selembar selimut untuk dililitkan di sekitaran pinggangnya. Rok sekolahnya hanya sepuluh senti di atas lutut dan tidak membantunya untuk merasa hangat. Jadi untuk mencegah udara dingin, murid-murid perempuan biasa membawa selembar selimut tipis namun hangat untuk dililitkan dari pinggang hingga bawah lutut.
Jungkook menyetel pemanas ruangan di sebelahnya dan suasana terasa sangat nyaman. Tangan Jungkook bekerja mencampur cat warna dengan air, menggoreskan berbagai bentuk dan warna di kertas putih itu. Cat warnanya cepat kering, Jungkook hanya perlu meniup-niupnya beberapa kali supaya ketika dibalik tidak menempel karena basah.
Kertas putih itu kini dipenuhi warna langit luar angkasa dan gambar benda-benda tata surya berwarna putih. Jungkook menorehkan sebuah kalimat disana, ditulis dalam hangeul. Tulisan tangan Jungkook terkenal rapi.
There once a boy who wants to go to the outer space. His name is Kim Taehyung. Ajak-ajak ya, kalau kesana :)
Jungkook tersenyum. Setelah empat hari stuck dengan pikiran kosong tidak tahu hendak menggambar apa, akhirnya jadilah satu artworks hari ini.
Jungkook membalik kertas dan mulai menggambar lagi. Seorang Santa Klaus gendut dan Rudolph. Di belakangnya ada kereta penuh hadiah. Jungkook ingat sekali ketika kecil dulu, Taehyung sangat percaya kalau Santa itu ada. Dan seiring pemuda itu tumbuh besar, dia menyadari bahwa Santa hanyalah dongeng konyol pengantar tidur. Tapi ada Desa Santa di Norwegia dan Taehyung ingin sekali pergi kesana.
Siapa yaa yang percaya kalau Santa itu ada?
Lalu Jungkook tersenyum lagi. Taehyung suka dengan dunia anak kecil. Tontonannya selain film (dan video bokep, tentu saja) adalah channel Nickelodeon dan Cartoon Network. Taehyung betah menonton kartun Marvel lama-lama. Kesukaannya dengan dunia kartun terbukti saat Jungkook menemukan beberapa kaus dengan gambar kartun Marvel dan DC Comics di lemari Taehyung serta figurine mereka.
Dan bicara tentang hobi Taehyung pada heroes, Jungkook menghadiahkan bomber jacket Deadpool dan sweater bergambar lambang Steve Rogers-nya Captain America untuk ulang tahun Taehyung tanggal 30 Desember nanti. Jungkook bisa membayangkan wajah girang Taehyung ketika menerimanya, lalu memekik-mekik dengan gaya noraknya. Baju-baju itu menghabiskan nyaris setengah tabungan Jungkook karena harganya—jangan bicarakan lagi.
Jungkook menggambar karakter Deadpool, Iron Man dan pahlawan paling terkenal yang semua orang tahu sampai dibuat judul lagu—siapa lagi kalau bukan Superman—sebisa mungkin karena dia sedikit lupa. Lalu menambahkan logo Marvel dan DC Comics serta sebuah kalimat di bawahnya. Ayo kapan-kapan main ke kantornya Marvel sama DC!
"Wah lucunya..." gumam Jungkook, gemas sendiri melihat karakter yang digambarnya, "enak banget Taengie punya gambar lucu gini. Dijelekin aja."
Kemudian Jungkook menambahkan kumis di wajah Superman dan tanduk di kepala Deadpool. Iron Man-nya bebas coretan karena Jungkook sangat suka dengan tokoh itu. Apalagi Tony Stark-nya. Jungkook menyeringai.
P.S: Tony Stark-ku jangan dinistain, kecakepan sih :)
Terkadang, Taehyung suka bingung dengan anak-anak perempuan. Setiap mereka jatuh cinta pada seorang aktor atau artis, mereka langsung memuja-mujanya sampai mati. Jungkook, contohnya. Setelah menonton Forrest Gump, Jungkook langsung menyukai Tom Hanks dan menganggap aktor itu sebagai ayahnya. Setelah menonton konser 5 Second of Summer di televisi, Jungkook jatuh cinta setengah mati pada Calum Hood karena katanya imut. Bahkan Tony Stark yang cuma fictional character tidak luput dari fangirl feel-nya setelah Taehyung mengajaknya untuk menemani pemuda itu menonton kartun Iron Man.
"Mereka itu nggak tahu kamu ada," kata Taehyung suatu hari, sukses menohok perasaan terdalam Jungkook sebagai fangirl, "apalagi Tony Stark. Dia cuma buatan manusia tapi kamu sampe ngejadiin gambarnya wallpaper-mu."
"Idih, kalau cemburu ya udah bilang aja!" Jungkook langsung sewot, "memangnya Behati Prinsloo tahu kamu turn on gara-gara lihat dia cuma pake lingerie, hah?"
Such a dumb meet another dumber and here it is, the dumbass conversation. But Jungkook enjoys it, a lot.
Jungkook menghela napas. Sudah tiga artworks jadi dan tersisa 22 halaman.
"Yah, cukup untuk sekarang," gumam Jungkook, merapikan peralatan proyeknya sebelum berdiri. Dua gelas cokelat panas cukup untuknya hari ini. Jungkook melempar dua gelas kertas itu ke tong sampah kemudian kembali ke kelas. Baru sadar kalau jam istirahat pertama tinggal lima menit lagi dan pelajaran berikutnya adalah Matematika.
"Oh, shit!" Jungkook memekik, berlari sekencang-kencangnya menuju kelas. Sial baginya karena kelasnya ada di lantai tiga sayap kiri sekolah sementara perpustakaan ada di lantai dua sayap kanan. Hampir lupa pada ligamen lutut kaki kanannya yang robek tapi tidak masalah. Ada deker lutut sebagai pengaman.
Lorong kelas tiga sudah sepi ketika Jungkook sampai di sana. Gadis itu membungkukkan badannya, napasnya terengah-engah. Selimutnya nyaris copot selama dia berlari. Lari dari perpustakaan sampai kelas banyak membuang energinya. Dan lagi, dia cuma makan Pocky dan minum dua gelas cokelat panas. Belum cukup untuk membungkam perut karetnya.
Hukuman, pikir Jungkook, melangkah terseok-seok menuju kelasnya yang berada paling ujung, masa bodoh dengan hukuman.
Jungkook yakin Heo ssaem akan memberinya hukuman karena telat masuk. Heo ssaem bukan guru yang suka memberikan toleransi. Telat satu menit, hukuman berdiri satu jam.
Pintu kelasnya terkunci. Jungkook mengerang. Bagus, ada monster di dalam.
Tepat sebelum Jungkook hendak mengetuk pintu, pintu geser itu justru terbuka lebih dulu dan menampilkan wajah sangar Heo ssaem.
"Saya tahu Anda terlambat, Nona Jeon Jungkook," katanya dengan kumis berkedut, "berdiri di belakang kelas, dua jam."
Pray for Jungkook and her poor legs, everyone.
"Aku nggak habis pikir kenapa sekolah bisa-bisanya merekrut guru kayak Heo ssaem. Or, should I call him Dormammu from now on?" dumel Jungkook panjang lebar sambil berjalan bolak-balik. Taehyung yang sedang duduk bersila di atas kasur Jungkook hanya menyeringai.
"Kamu ini katanya kakinya sakit, tapi malau ngider begitu," celetuk Taehyung, menyangga dagunya dengan tangan. Keberadaan Taehyung disini karena Jungkook batal ikut belanja perlengkapan Natal dan pemuda itu diminta orangtua Jungkook untuk menemaninya. Tepat sekali dengan niat Taehyung yang memang ingin memberitahu Jungkook sesuatu.
Jungkook tidak menyahuti celetukan Taehyung, malah sibuk mendumel tentang Heo ssaem yang membuat kedua kakinya mati rasa karena berdiri selama dua jam. Full, tanpa duduk sedetikpun.
"Jeongie, duduk dulu, deh."
"Kalau aku kepala sekolahnya, bakal aku seleksi bener-bener itu guru-gurunya! Dumbass banget sih."
"Jeongie."
"Hukuman kayak gitu itu nggak penting banget, cuma bikin muridnya tersiksa!"
Taehyung membuang napas sambil memasang muka datar. Hukuman kan memang dibuat menyiksa. Gimana, sih. "Jeon Jungkook, duduk sini disebelahku."
Akhirnya Jungkook peka pada Taehyung yang sejak tadi menyuruhnya untuk duduk tapi dikalahkan dengan dumelannya sendiri. "Kenapa?" tanya Jungkook, ikut bersila di sebelah Taehyung.
Taehyung menyeringai, merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil bersampul warna hijau.
Jungkook menahan napas melihat satu kata disana.
Passport.
"Paspor?" tanya Jungkook pelan, "kamu tadi nggak masuk sekolah soalnya ngurus paspor?"
Taehyung mengangguk, senyumnya lebar dan cerah. "Biasanya nunggu satu mingguan kan, tapi karena Ayah Mayor dan dikenal petugas jadinya dipercepat dan cuma satu hari," jawab Taehyung riang, membuka buku paspornya, "lihat, aku ganteng banget, nih!"
Jungkook terdiam. Menatap foto Taehyung yang ditempel di halaman identitas pemilik paspor. Jika saja Taehyung menunjukkan paspornya bukan untuk membuat Jungkook teringat bahwa sebentar lagi pemuda itu akan pergi jauh, Jungkook sudah meledek habis-habisan foto tanpa tersenyum yang sok ganteng itu.
Namun sekarang, keadaannya berbeda.
"Diem doang?" Taehyung membungkuk, mengintip wajah Jungkook, "pasti pangling ya soalnya aku ganteng?" celetuknya lalu tertawa.
Jungkook hanya diam, tidak menjawab. Pandangannya beralih pada Taehyung. "Keren," bisiknya dengan nada mengambang, "sudah punya paspor. Selamat, ya."
Kening Taehyung dikerutkan mendengar nada bicara Jungkook. "Kenapa, sih? Kok kayak sedih gitu?" tanyanya heran. Jungkook hanya menggeleng sebagai balasannya, menarik napas lalu mencoba tersenyum.
"Galau soalnya aku mau ke Amerika?" tanya Taehyung lagi, to the point tanpa tedeng aling-aling. Tak disangka, pemuda itu tertawa. "Halah, aku pergi nggak lama. Kamu kayak udah aku tinggal selamanya aja. Biasa aja, Jeongie."
Senyum di wajah Jungkook seketika menghilang.
Biasa aja? Biasa aja katanya? Kamu pergi ke Amerika dan ninggalin aku disini katamu biasa aja?
Entah apakah perasaan Jungkook yang terlalu sensitif akhir-akhir ini atau memang Taehyung terlalu blak-blakan, tapi Jungkook merasa sangat tersinggung. Taehyung bilang kepergiannya ke Amerika adalah hal yang biasa, seolah jarak antara Amerika dan Korea sama dekatnya dengan rumah mereka. Hal itu, entah kenapa, membuat Jungkook merasa sedih, marah sekaligus kecewa.
"Kayaknya udah malem," nada Jungkook terdengar dingin, "kamu harus pulang, Tae. Nanti dicariin."
"Hah?" Taehyung menatap Jungkook yang beranjak dari kasur dengan pandangan bingung.
"Aku nggak apa-apa ditinggal sendirian di rumah," kata Jungkook lagi, tetap dengan nada dinginnya yang begitu kentara, "kamu pulang aja. Besok masih ada tugas."
"Kamu kenapa sih?" tanya Taehyung heran, ikut beranjak mendekati Jungkook, "tadi biasa aja kenapa sekarang jadi dingin?"
"Pulanglah, ada tugas Matematika halaman 150. Besok dikumpulkan di jam pelajaran terakhir," ujar Jungkook tanpa mau repot-repot menjawab pertanyaan Taehyung. Gadis itu justru membuka pintu kamarnya, mempersilakan Taehyung untuk keluar.
"Jeongie, kenapa sih—"
"Pulang, Tae," nada dingin Jungkook berubah menjadi nada memohon, "please."
Taehyung menatap Jungkook tidak mengerti sebelum melangkah keluar kamar dan Jungkook menutup pintunya.
Enam hari sebelum Taehyung berulang tahun, Jungkook justru merasa kecewa pada pemuda itu.
TO BE CONTINUED
author's note: COMING BACK WITH TAEKOOOK~~
saya sengaja nggak pakek bahasa 'kau-aku' karena taekook disini kan udah sahabatan lama, rasanya itu kek kurang afdol aja gitu hehehe. gimana? aneh ya? :( maaf kalau tidak membuat nyaman hikseu :'(
ini twoshoot doang, kok, bukan chapteran yang panjang. part 1 saya publish dulu sebagai karya penutup tahun ini :) part 2-nya menyusul yaaaa, pas udah ganti tahun hehe :)
dan karena saya nggak tau mau ngucapin ini kapan lagi, jadi saya ucapin sekarang aja ya. SELAMAT TAHUN BARU 2017 READERSDEULLL /niup terompet/ semoga tahun 2017 memberikan banyak keberuntungan untuk kita semua ^^ yang kelas 12, yuk berjuang ngadepin UN dan persiapan kuliah?!
terakhir, review dan masukannya diterima selapang-lapangnya^^
(BTW, PIBESDEY BUAT YANG BESOK ULANGTAHUN /cubit perut taehyung kayak jungkook/)
