Disclaimer:
Vocaloid yang bukan punya saya
Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya bukan punya saya
Ceritanya punya saya, selalu
Summary:
Guru matematika ganteng, cowok nyebelin dengan muka ancur, dan cowok paparazzi yang selalu berhasil nangkep momen 'aib'mu. Mana yang bakal kamu pilih di antara ketiga orang jenius itu?
Warning:
OOC, OOT, bahasa gak baku, alur kecepetan, gajelas, typo, ancur, de el el
Fic iseng yang Rey greget pingin bikin di penghujung UTS berhubung idenya tiba-tiba muncul XD
Masih ada dua mata pelajaran lagi, nih... u_u
Selamat membaca! XD
Kenapa Aku?
a story about Rin's love
by reynyah
Ada guru ganteng di sekolah, namanya Kagamine Len.
Kagamine-sensei, begitu kami semua memanggil guru ganteng berkacamata itu. Mata pelajaran yang diajarnya bisa dibilang bikin semua murid merinding; matematika. Beliau mengajar di semua kelas, tapi ajaibnya, gak ada satu ekor muridpun yang benci sama Kagamine-sensei. Iya, biasanya guru matematika atau ilmu-ilmu pasti lainnya itu galak, rajin bentak murid, doyan ngasih PR, hobi liat murid menderita, dan berbagai sikap lainnya yang bikin murid-murid alergi sama pelajarannya.
Dan Kagamine-sensei bukan orang yang kayak gitu.
Kagamine-sensei adalah contoh guru teladan dan bener aja, tahun lalu dan tahun lalunya lagi, Kagamine-sensei dinobatkan sebagai guru teladan se-Akademi Voca. Beliau baik, ramah, rajin ngasih PR yang berbobot tapi bikin seneng murid, entah kenapa bisa bikin kita semangat belajar, tegas, tapi cowok banget. Macho, gitu.
Dan ngajarnya matematika, man!
Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri.
Namaku Shion Rin, adik dari Shion Kaito yang terkenal lantaran paling baka seangkatannya.
.
.
.
Hehehe. Bercanda, kok. Niisan-ku yang satu itu adalah cowok yang nggak paling jenius, tapi juga nggak paling bodoh. Nyebelinnya, dia adalah cowok paling ganteng di angkatannya, sampai-sampai hampir semua cewek kesengsem sama dia.
Cih, padahal apa bagusnya maniak aisu satu itu?
Oya, aku kini berada di kelas XII IPA 1 alias kelas paling rusuh seantero jagat. Padahal, kelas ini adalah kelas yang isinya murid-murid paling pintar IPA se-Akademi Voca, tapi kenapa jadi kelas paling rusuh?
Jawabannya jelas, soalnya kelas ini adalah sarang penyamun.
Dan aku perawannya, hohoho.
Eh, sumpah, aku adalah satu-satunya perempuan di kelas ini. Dan akibat pengaruh dari tiga puluh sembilan cowok jenius tapi 'ngehe kuadrat itu, aku terpaksa jadi cewek tomboy yang hobi ikutan main futsal, kasti, dan basket bareng mereka.
Ingat ya, terpaksa.
Tapi, bisa dibilang cowok-cowok jenius nan 'ngehe yang beberapa di antaranya lumayan ganteng—walau gak seganteng Kagamine-sensei—dan sisanya ancur berat, adalah teman-teman baikku yang benar-benar mewarnai hari-hariku di SMA.
Sedangkan kurang dari satu tahun lagi kami bakal lulus. Hiks.
Kayaknya aku bakal kangen berat deh, sama mereka...
Pagi itu, pagi yang cerah itu, pagi cerah yang disinari matahari musim semi itu, pagi cerah dengan matahari musim semi yang hangat itu, pagi cer—cukup, Rin.
Pokoknya, pagi itu aku udah duduk manis di kursi kedua dari sebelah kanan papan tulis sekaligus kedua dari depan kelas, kursi kesayanganku sejak masuk kelas ini. Di depanku, duduk seorang cowok yang tinggi badannya sama denganku—sumpah, dia cowok paling pendek seangkatan—dengan rambut yang warnanya pun sama denganku plus wajah dan kepribadian yang mirip denganku, padahal kami bukan saudara kandung, apalagi anak kembar.
Namanya Kagami Rinto dan dia adalah satu dari dua orang cowok kalem di kelas kami. Biasanya, dia bakal nyampe di kelas ketika bel masuk berbunyi—dan gak tau kenapa, dari dulu dia selalu kayak gitu. Jujur aja, aku heran sama kemampuan on time-nya yang itu.
Cowok yang duduk di samping kananku adalah satu-satunya cowok yang bisa bikin adik-adik kelas pingsan di tempat gara-gara... eits, bukan wajah atau senyum tampannya kok, melainkan gara-gara betapa ancur wajahnya.
Ha.
Ha.
Ha.
Sumpah.
Sukone Teiru, dialah yang duduk di samping kananku. Anehnya, dengan wajah ancurpun kebanggaannya terhadap tampilan fisiknya—yang nggak banget—justru meningkat drastis. Ah, tapi jangan ragukan kemampuan olahraga dan akademisnya yang sugoi parah. Bisa dibilang juga dia adalah salah satu cowok nyebelin yang hobi gangguin aku.
Cowok yang duduk di belakangku adalah cowok tukang potret sejati. Padahal, dia cuma pake HP yang aku juga tau, memorinya terbatas. Tapi entah kenapa itu anak rajin banget potret-potret ke sana kemari, bahkan lebih rajin daripada anak-anak klub jurnalis. Tiap istirahat, dia pasti nyolok kabel dari HP ke laptop-nya yang ukurannya gak kira-kira cuma buat copas data. Dan nama bocah maniak kamera setengah miring itu adalah... Hatsune Mikuo.
Tiga cowok itu adalah cowok-cowok yang paling deket sama aku dibandingin sama cowok-cowok lain di sekolah. Cowok-cowok lain juga dekat sama aku, tapi aku lebih ngerasa nyaman sama cowok-cowok gila ini, minus Rinto karena Rinto nggak gila sama sekali. Dia cowok kalem yang paling ngerti perasaanku, dan bisa jadi tempat curhatku.
Anehnya, aku gak bisa suka sama dia.
"Buset! Tumben kagak nelat si Rin," komentar Teiru yang baru datang sambil setengah melemparkan tasnya di atas mejanya. "Salah minum obat, ya?"
"Sialan lo," decakku sambil menjitak kepalanya. "Sembarangan ngomong!"
Teiru meringis sambil mengelus kepalanya yang menjadi pusat jitakanku. "Gila... salah minum obat beneran, nih."
Klik.
Aku menoleh menatap rambut toska yang nggak berkibar kayak punya Hatsune Miku. "Mikuo! Sekali lagi lo potret gue—"
Klik. "Mau lo apain?" balas Mikuo sambil terkekeh geli. "Percuma Rin, lo gak akan bisa menghasut gue—walau lo nyogok gue pake satu kontiner negi sekalipun—buat ngapus kumpulan foto kita sejak masuk kelas sebelas."
Lagi-lagi aku menjitak kepala cowok. "Itu yang bakal gue lakuin!" seruku sebal sambil mengibaskan tangan. "Kegeeran banget sih lo, siapa juga yang mau nyogok pake negi? Ogah bener."
"Jahat bener lo," gerutu Mikuo sambil mengusap rambutnya. "Lo kira gampang nyisir nih rambut? Tanggung jawab! Sisirin rambut gue!"
Teiru ngakak berat. "Modus parah lo!" serunya pada Mikuo yang langsung ikutan ngakak.
"Kalian berisik," ujar Rinto yang baru datang dengan kalemnya sambil menurunkan tas ransel kuningnya—warna paling alay yang dipunya cowok seangkatanku. "Bentar lagi bel, loh."
KRIIING!
"Ah, sialan," umpat Mikuo kesal sambil duduk di kursinya. "Elo sih, To! Harusnya lo dateng nanti aja, biar belnya bunyi nanti!"
"Buset, lo kira ntu bel ngikutin jadwal si Rinto?" tanya Teiru sambil menoyor dahi Mikuo. "Otak lu kudu dipermak dikit, entar sore gue anterin ke tukang permak, deh!"
"Permak lepis?" timpalku dengan wajah polos sumpah-aku-gak-ngerti-lawakan-kalian.
Di luar dugaan, Mikuo dan Teiru ngakak parah. Bahkan Rinto yang biasanya kalem ikutan ketawa, walau kecil dan pelan sampai gak disadari dua bocah gila itu. Aku terkekeh, ngerasa mendadak jadi lucu gara-gara kelamaan bergaul sama cowok-cowok miring macam anak-anak XII IPA 1.
"Tumben si Rin lucu!" komentar Mikuo masih ngakak sambil menunjukku tepat di wajah. "Itu lucu, Rin! Sumpah!"
"Hatsune-san, dilarang berisik ketika pelajaran!" tegur Kagamine-sensei yang gak tau kenapa udah ada di depan kelas lagi. Aku melongo lalu buru-buru tersadar dan mengeluarkan alat tulis juga buku catatan matematika, siap belajar, maksudnya.
Buru-buru Megpoid Gumiya—cowok yang duduk di sebelah kanan Rinto sekaligus depan Teiru—berdiri dan berseru, "KIRITSU—BERDIRI!"
Semua murid serentak berdiri.
"REI-SALAM!"
Semua murid menunduk. "Ohayou gozaimasu, Sensei—selamat pagi, Pak!"
"Ohayou," balas Kagamine-sensei. "Douzo, suwatte kudasai—silakan, duduklah."
Semua murid serentak duduk kembali di kursinya. Kelas kemudian hening. Entah kenapa, setiap pelajaran Kagamine-sensei, kelas kami pasti akan hening dan mendengarkan penjelasan dari Kagamine-sensei selangkah demi selangkah. Beda dengan pelajaran matematika Furukawa-sensei yang sebenarnya juga baik hati dulu.
Jadi begini, Furukawa-sensei waktu itu adalah guru matematika baru di Akademi Voca. Seperti biasa, seolah ritual di sekolah kami, guru baru pasti akan diperintahkan untuk mengajar di kelas kami terlebih dahulu. Nah, pada kesempatan inilah para anak cowok akan mem-bully guru itu habis-habisan, bahkan ada yang sampai nangis!—oh, itu kejadian paling malu-maluin.
Furukawa-sensei sempat tahan kami bully waktu beliau pertama kali ngajar, tapi akhirnya beliau gak tahan juga. Singkat cerita, dengan alasan "mau nikah muda", Furukawa-sensei keluar dari Akademi Voca lalu digantikan oleh Kagamine-sensei yang konon katanya "sanggup bikin murid mati muda kalo gak nurut sama dia".
Kayaknya kalimat itu bener deh, walau belum kebukti sebab semua murid taat sama guru yang satu ini.
"Shion-san? Kamu memerhatikan saya, tidak?"
Aku tersentak lalu buru-buru berdiri. "Ha-hai—i-iya!"
Kagamine-sensei mengerutkan dahinya. "Kamu sakit, Shion-san?"
Aku menggeleng cepat-cepat. "Daijoubu desu, Sensei—gak apa-apa, Pak! Saya cuma melamun!"
"Ngelamunin cowok kecengan dia, Sensei!"
Sontak satu kelas tertawa. Aku menoleh ke kanan dan melemparkan tatapan tajam kepada cowok berambut abu super nyebelin yang hidup dengan nama Sukone Teiru itu. Setelah memberikan tatapan awas-lo-entar-gue-babat-nyampe-pengap-sepulang-sekolah kepada cowok ngeselin yang langsung keder itu, aku kembali menatap ke depan kelas. "Saya paham kok, penjelasan Sensei tadi."
Kagamine-sensei mengangguk. "Kalo gitu, gak keberatan kan, kalo kamu saya suruh kerjain soal di depan kelas?"
Sialan, aku cuma paham setengah jalan!
"Hmm... boleh deh, Sensei," jawabku nekat. Aku berjalan menuju bagian depan kelas dengan perasaan takut, sebab aku belum sempat baca bab ini di rumah. Kuambil kapur yang dipegang Kagamine-sensei lalu mulai membuat tabel. X... Y...
"Sepulang sekolah nanti, kamu ketemu saya di ruang guru, ya," bisik Kagamine-sensei yang kerennya, gak ketauan sama semua cowok kelas XII IPA 1 yang notabene adalah cowok-cowok kepo dengan telinga kelinci.
"Ha-hai," jawabku agak gugup, juga dengan suara pelan. Terus saja aku menulis tanpa peduli apa yang aku tulis sesuai harapan Kagamine-sensei atau nggak, yang penting kan, aku udah mau maju ke depan. Peduli amat salah atau nggak, toh, Kagamine-sensei gak akan marah kalo aku salah jawaban.
Kagamine-sensei mengangguk begitu aku menyelesaikan hitunganku. "Oke, Shion-san boleh kembali ke tempat duduknya," ujar Kagamine-sensei sambil membalikkan badan, kembali menatap tiga puluh sembilan cowok yang duduk di hadapannya. "Berikutnya, Sukone-san! Koreksi hitungan Shion-san dan kalau benar, kamu kerjakan nomor dua!"
Huft. Lega.
"Loh? Rinto nggak jajan?" tanyaku pada Rinto yang hanya diam saja di tempat duduknya sejak bel istirahat berbunyi lumayan nyaring lima menit yang lalu. Aku sendiri sih, baru saja selesai mencatat seluruh tulisan di papan tulis. Berhubung aku adalah sekretaris kelas—sejak kapan cowok-cowok bengal mengajukan diri jadi sekretaris?—jadilah aku harus menuliskan dulu catatan pelajaran dari guru yang absen—dasar Kamui-sensei tukang bolos—sebelum dapat mencatat catatan itu di bukuku sendiri.
Rinto membalikkan badannya lalu menggeleng. "Lagi males. Rin sendiri?"
"Hmm... aku kan, bawa bento," jawabku sambil meletakkan kotak bekal itu di atas meja. "Aku jarang jajan, tapi jarang dapet temen makan siang juga. Makan bareng, yuk!"
Rinto mengangguk sambil membalikkan kursinya. "Makan apa, Rin?"
"Ah, cuma sempet bikin sushi tadi pagi," jawab Rin sambil memberikan sepasang sumpit pada Rinto. "Bersyukurlah kamu, aku bawa dua pasang hari ini."
Rinto terkekeh. "Yap, yap," sahutnya sebelum mencomot satu potong sushi dengan sumpit yang diberikan oleh Rin. "Wih, Rin bikin sendiri?"
Rin mengangguk. "Gimana?"
Rinto mengacungkan jempolnya. "Enak, enak," ucapnya jujur. "Eh, tadi Sensei ngomong apa sama kamu?"
Rin menatap Rinto bingung. "Yang mana?"
"Waktu kamu ngerjain soal pertama program linear."
"Eh? Kamu denger?"
"Nggak jelas sih, tapi aku tau Sensei ngomong sesuatu sama kamu," aku Rinto sambil menunduk sedikit. "Untungnya, yang lain gak ada yang sadar."
"Cuma disuruh ketemu di ruangannya, kok," jawabku sambil kembali mengambil sepotong sushi. "Paling nawarin beasiswa ke universitas, ngasih tau jadwal tambahan, atau semacamnya. Udah keseringan dipanggil, aku sendiri sampai bosen."
Rinto tergelak. "Gak akan ada apa-apa, kok."
Rin mengerutkan dahinya. "Lah? Emangnya ada apa-apa itu yang kayak gimana?"
"Who knows? Mungkin Sensei suka sama kamu?"
Mataku mendadak membulat dan membesar. "NANI—APA?!"
Rinto mendecak. "Urusai, Rin—berisik, Rin."
"Rinto ngomongnya gitu sih, gimana aku nggak kaget?"
Rinto tergelak lagi. "Lebay banget," komentarnya geli. "Oh ya, aku mau buka rahasia, dong."
Mataku kini berkilat-kilat gembira. "Nani? Nani?"
"Teiru sama Mikuo."
Aku mengerutkan dahi. "He? Mereka kenapa emangnya?"
"Kalo kabar, mereka sih, baik-baik aja, hampir selalu baik-baik aja," jawab Rinto geli. "Mereka itu waktu kelas sebelas pernah ngaku ke aku, tapi aku gak pernah bilang ke siapa-siapa walau mereka gak ngelarang aku, sebenernya."
Lagi-lagi aku mengerutkan dahi—duh, bisa-bisa kulitku cepat berkeriput. "Nande—kenapa?"
"Aku pernah suka sama kamu."
Kini, pipiku memerah. "Bohong," ujarku lirih, sekaligus malu.
Rinto terkekeh. "Itu beneran, tapi itu dulu," jelasnya dengan wajah geli. Menyebalkan. "Mereka juga pernah, dan mereka masih suka sama kamu sampai sekarang. Nggak, aku udah move on sejak lama, soalnya aku tau kamu gak mungkin suka sama aku, Rin. Bukannya ngerasa jelek atau gimana, tapi aku tau perasaan kamu itu... punya orang lain."
Aku tergelak pelan. "Segitunya?"
Rinto mengangguk. "Terus... mereka berdua itu masih berusaha memperjuangkan cinta kamu, Rin."
Mataku membelalak lagi. "Serius, Rinto?"
"Jelas serius, lah," decaknya sambil menoyor pelan dahiku. "Coba kamu pikirin lagi baik-baik, siapa yang bakal lebih baik jadi pacar kamu, Teiru atau Mikuo. Dua-duanya emang punya kekurangan yang... bisa dibilang parah banget, tapi kamu kenal mereka dan kamu pasti tau kalo mereka juga punya kelebihan... iya, kan?"
Aku menghela napas. "Rinto, kalo aku emang gak suka sama dua orang itu—"
"Aku tau kamu nganggep mereka sebagai apa dan aku juga hargai itu," potong Rinto. "Tapi kamu juga tau cara memperlakukan mereka sebagai teman yang punya perasaan sama kamu, kan?"
Aku menatap Rinto horor. "Yang cewek di sini sebenernya aku atau kamu, sih? Kenapa kamu lebih paham soal cinta-cintaan daripada aku sendiri?"
Rinto lagi-lagi mendecak dengan wajah kesal. "Udah sering aku bilang, aku suka baca novel roman picisan."
Nah, itu dia salah satu kekurangan Rinto yang bikin imej dia jatuh banget di mata aku. Masa cowok tulen yang kalem, macho, dan lumayan ganteng walau shota—iya, menurutku dia ganteng—hobi baca novel roman? Picisan pula!
Bukan tipe Rin banget.
Hehehe. Gomennasai, Rinto—maaf, Rinto, tapi kamu bukan tipe aku banget.
Hah, kenapa aku malah ngomongin jeleknya Rinto?
Bersambung...
AH! KENAPA MALAH BERSAMBUNG? /PLAK
Tadinya Rey mau bikin oneshot...
Gomennasai, Rey malah mengembangkan ide lain di saat fic bersambung yang lain belum beres... tapi tenang, Rey bakal nyelesaiin fic itu dan bakal nyelesaiin fic ini juga! Rey tidak akan berhenti di tengah jalan sebelum fic bersambungnya selesai! *applause* /plak
Maafkan kegejosan(?) Rey ini... Rey pingin bikin cerita yang rada-rada ngehe, bosen kalo serius mulu. Tapi tetep sih, Rey pasti punya adegan serius yang gak bisa ilang dari diri Rey. Wuehehe. #kokmalahcurcol #alamatkepanjangandibagianauthornih
Singkat kata, review?
#btwperasaanpanjangkagaksingkat
