"Jian Yi."

Dia membuka mata; tersentak.

Dan hal pertama yang menyapanya adalah wajah panik He Tian.

"Jian Yi," panggil pemuda bersurai eboni itu lembut, "Kau oke? Aku mendengarmu meraung-raung tadi. Aku takut kau kesakitan—ototmu kram atau semacamnya, mungkin?"

"Heh, tidak," Jian Yi bangkit dari posisi berbaringnya di pinggir lapangan dan duduk bersandar pada tiang beton di belakangnya. Tangannya memijit-mijit dahi yang pening, tapi matanya menatap He Tian main-main. "Aku oke. Kau sudah selesai?"

"Ya, tapi aku bisa menemanimu one-on-one kalau kau mau."

"Kau bau, aku tidak mau," pemuda agak gondrong itu berdiri dan menyambar tasnya, "Aku punya tugas untuk dikerjakan."

He Tian nyengir, "Kau ini punya tampang yang terlihat seperti tak suka sekolah, tahu?"

"Sedikit," Jian Yi ikut nyengir, "Tapi laki-laki itu tak akan pernah membuat tugas kalau aku tidak."

He Tian turut bangkit dari duduknya dan mengacak-acak rambut tipis Jian Yi, "Aku percaya kalau kau bisa jadi istri yang baik."

Istri. Yang. Baik.

Jian Yi tertegun untuk sepersekian detik. Pandangan matanya aneh—seperti ingin menangis. Tapi kemudian, dia tertawa dan meninju lengan He Tian pelan, "Aku laki-laki, bodoh. Mana ada yang mau menjadikan aku istrinya?!"

"Aku mau."

"..."

"..."

"..."

Jian Yi sukses speechless. Blushingnya setengah-setengah—antara malu, gede rasa, dan ingin menangis. Ditambah efek cahaya matahari yang sudah condong ke barat, ekspresi Jian Yi makin campur aduk. Facial expressionnya totally priceless, dan jelas mengundang tawa sang lawan bicara.

"Aku bercanda. Kita semua tahu kalau istri itu perempuan, kan?" kata pemuda penyuka basket itu.

Jian Yi nyengir, "Sialan. Akan kubuat kau mentraktir mie sebagai gantinya!"

"Aku bisa membelikanmu mie, tapi siapa peduli kalau bento beku di minimarket seberang sekolah lebih enak? Lebih murah, pula," katanya.

"Benarkah? Ah, sial, aku belum pernah coba. Sana ambil tasmu, traktir aku," suruh Jian Yi sambil mendorong He Tian ke arah pemuda itu meletakkan tas ranselnya. Pemuda yang didorong tertawa-tawa.

"Ya, ya, ya," dia berlari ke arah tasnya, menyampirkannya di pundak, kemudian berlari lagi ke arah Jian Yi sambil meneriakkan nama si surai pirang pucat. "Eh, Jian Yiii!"

"Ada apa?" tanya sang empunya nama setelah He Tian sampai di sebelahnya. Alisnya naik sebelah melihat pemuda berambut hitam yang sedang mengelap keringatnya dengan punggung tangan itu.

"Yang tadi...," pemuda itu nyengir, "sebenarnya dianggap serius juga tidak apa-apa."

Tamat

19 Days merupakan manhua milik Old Xian. Saya sebagai author dari fanfiksi ini tidak mengambil keuntungan material dalam bentuk apa pun (alias cuma menyalurkan fantasi tentang Jian Yi sama He Tian aja).

Ditulis di ponsel dalam keadaan nggak fit. Sebenarnya saya nggak percaya diri sama fanfiksi ini, cuma hasrat menulis menggebu-gebu pasca UN sedangkan keyboard laptop rusak /mojok/.

Oh, saya nulis He Tian x Jian Yi bukan berarti nggak ngeship Jian Yi sama Spiky Haired Guy, ya. Saya ngeship mereka, kok. Tapi He Tian terlalu mempesona / /heh/.

Begitulah, semoga kisah ini masih dapat dinikmati walau alurnya nggak woles dan deskripnya maksa.

Saya terima kritik dan saran macam apa pun karena saya udah pasrah /ngambangdilautmati/.

Tjium jauh,

-begodeluxe-