disclaimer: Digimon milik Toei/Bandai dan Akiyoshi Hongo.


.

.

.

三冬
santou

[prologue]

.

.

.

"Mungkin kita sudahi saja."

Mereka berbaring di balkon apartemen Ishida, beralaskan kain tipis warna cokelat tua yang beberapa bulan belakangan senantiasa disimpan di laci bawah televisi. Hal itu merupakan rutinitas favorit apabila mereka tidak tahu harus ke mana atau harus melakukan apa, dengan catatan cuaca sedang mendukung. Mereka akan menyaksikan langit bersama-sama, menikmati kilau bintang dan mungkin menyapa bulan apabila yang bersangkutan terlihat di pelupuk mata. Tatkala malam berubah dingin, Sora akan bergeser lebih dekat kepada Yamato, dan pemuda itu akan merangkulnya erat sambil menarik selimut lebih rapat.

Namun malam ini, tidak ada satu jengkal pun bagian tubuh mereka yang saling bersinggungan walau keduanya berbaring bersisian.

Meski demikian, Yamato bisa merasakan tubuh gadis itu menegang sejenak sebagai reaksi atas pernyataannya barusan. Sesaat kemudian, ada desah napas yang terdengar berat, tetapi entah bagaimana, Yamato berhasil mendapati setitik kelegaan yang ikut diembuskan.

"Maafkan aku."

"Aku pun."

Sora menoleh, memandang Yamato yang masih memaku diri pada langit malam. Tak tahu harus berkata apa lagi, ia pun berbisik lirih. "Kita masih berteman baik. Kau tahu itu, kan?"

Tidak ada jawaban.

Bahkan ketika gadis itu bangkit, masuk ke dalam apartemen sebelum mengantar dirinya sendiri pulang, Yamato tetap tak bergeming. Ada banyak hal yang seharusnya berkelabat di pikirannya—tentang benar atau tidaknya keputusan yang ia ambil, apakah semestinya ia menemani Sora mengingat hari sudah larut, juga mengapa barusan ia bersikap seperti tak punya perasaan—tetapi sepasang bola mata tersebut terlalu sibuk menyelami lautan konstelasi di atas sana.

Malam ini, Aldebaran dan Betelgeuse bersinar terang, dan Yamato Ishida menyadari dunia tidak akan berhenti untuk ikut berduka kepada siapa-siapa.

Mereka akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, bahkan mungkin berbahagia di atas penderitaannya.

.


.

"Tadaima." Oh, Kami. Dia merindukan suara itu.

"Okaeri." Meski Taichi berhasil mengontrol diri untuk berjalan santai alih-alih menghambur ke teras depan, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan cengiran lebarnya. Adik perempuannya sungguh sudah pulang. Ia tengah melepaskan alas kaki, dan begitu mendapati Taichi berdiri di hadapannya sambil mengeringkan kepala dengan handuk, Hikari segera melompat memeluk sang kakak dengan senang hingga rambutnya yang basah menciprati lantai. Beruntung Hikari sudah terlalu besar untuk diayun—Taichi bisa menciptakan Sumida sendiri apabila demikian. Yagami Yuuko jelas akan memarahinya setelah ini, tetapi wanita itu pun tahu putra sulungnya takkan peduli.

Bicara soal ibunya, "Aku mau menyapa Okaasan dulu." Dengan cepat, Hikari melepaskan pelukannya, berjalan menuju dapur untuk kemudian mendapat sambutan yang hangat dari Yuuko. Taichi tersenyum akan pemandangan kecil itu, tetapi fokusnya segera berganti tatkala mendengar suara sesuatu ditaruh di lantai.

Benar juga. Ia hampir lupa.

Kepalanya berpaling kembali ke teras. Izumi Koushiro berdiri di sana usai membawakan koper Hikari, terlihat tidak nyaman. Tipikal Koushiro; pasti dia merasa senggan karena bertamu malam-malam begini. Padahal, kediaman Yagami senantiasa terbuka bagi pemuda itu—dan bukankah Taichi berutang budi yang teramat besar padanya?

"Arigatou, Koushiro," kata Taichi, memegang erat-erat kedua ujung handuknya yang kini terlingkar di leher. "Aku tahu kau selalu bisa diandalkan."

"Ti, tidak juga…."

"Kalian pulang pakai kereta?"

"A, ah. Kami naik taksi. Sudah terlalu malam dan Hikari-san sepertinya lelah." Itu menjelaskan kenapa Koushiro tidak membawa serta barang-barangnya.

"Taksi?" Taichi membelalak kaget. "Wah, pasti mahal. Sebentar, biar aku…."

"Ti, tidak usah!" Koushiro tahu apa yang akan Taichi lakukan ketika pemuda itu sibuk merogoh kantung celananya. "Biar aku yang bayar. Bagaimana pun juga, taksi itu akan mengantarku ke rumah setelah ini."

"Koushiro, aku paham kau sudah kerja dan berpenghasilan, tapi—"

"Tidak. Tolong."

Taichi mengamati kawan lamanya tersebut, lantas mendesah. "Kau ini," mendecak, Taichi menggeleng pelan. "Tetap saja terlalu baik."

Koushiro memaksakan senyum kecil. "Ka, kalau begitu, aku permisi dulu," ia berputar menuju pintu yang terbuka separuh. "Sampaikan maafku kepada Obasan karena tidak pamit. Selamat beristirahat, Taichi-san."

"Jaa. Hati-hati."

.


.

Kepalanya seolah mau pecah.

Terduduk di meja belajar adalah Tachikawa Mimi, dengan kening yang mengerut terlalu dalam hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Bibirnya menggumam tidak jelas, sementara jemarinya memutar-mutar pensil mekanik berwarna merah jambu yang ujungnya berhias bulu berwarna senada. Tren alat tulis terkini, katanya.

Masalahnya, mau sebagus apa pun alat tulisnya, tidak ada satu pun yang bisa membantunya menyelesaikan PR secara otomatis.

"Uuugh," gadis itu menyerah, membenamkan wajah di atas tumpukan kertas dan buku. Tidak ada yang lebih dia benci daripada matematika. Rasanya melalui serangan kotoran Gomimon tidak sesulit ini….

Tepat sebelum ia memutuskan untuk sepenuhnya mundur, sebuah lampu imajiner di atas kepala menyala. Ide bagus. Dia bisa minta tolong Koushiro. Anak jenius seperti dia pasti sudah menyelesaikannya dan bisa membantunya. Kalau perlu, ia akan memaksa Koushiro untuk langsung memberikan semua jawaban, sehingga ia tidak perlu berpikir panjang dan bisa tidur. Terkekeh usil, Mimi merogoh telepon genggamnya, mencoba memikirkan strategi apa yang bisa ia terapkan agar Koushiro mau memberikan sontekan. Ajak dia untuk berbelanja pakaian baru yang lebih modis? Atau—

"…chotto matte."

Telunjuknya bersandar di dagu, mendadak teringat sesuatu. Koushiro sudah absen dua hari karena urusan di luar kota, dan Mimi tidak yakin apakah pemuda itu sudah kembali. Mau tidak mau, ia harus mencoret nama si Izumi dari ide bulusnya. Mendengus sebal, ia memencet tombol telepon genggam, dan akhirnya menemukan satu nama lain setelah menelusuri daftar kontak.

Bingo!

Semangatnya kembali sebagaimana ketikannya yang luar biasa cepat.

to: Doc-kee-do
DARURAT. AKU TENGGELAM. TIDAK BISA NAPAS, MAU MATI.
TOLONGTOLONGTOLONG.

Pesan terkirim. "Hehe."

.


.

"Otsukaresama!"

Menggeser pintu belakang izakaya, Jyou melangkah keluar menyusuri jalanan yang sudah sepi. Ada bau sisa makanan yang lembap menguar dari tempat sampah di pojok, tetapi lama-lama hidungnya semakin terbiasa. Seekor kucing mendesis tidak suka kala ia lewat seolah manusia ini adalah sebuah ancaman, padahal mana mungkin Jyou berminat menyantap bangkai ikan sebagai makan malam. Angin malam berembus lebih kencang, memaksanya untuk merapatkan jaket. Perasaannya saja atau malam ini terasa lebih dingin?

(Namun, bukankah belakangan semuanya memang terasa lebih menusuk bagimu?)

Indekosnya hanya berjarak tiga blok dari tempatnya bekerja paruh waktu, hanya saja langkahnya yang tak pernah bergegas membuat jarak terasa lebih jauh. Bukannya ia menikmati berada di luar, tetapi ada di dalam ruangan juga tidak pernah benar-benar membantu. Toh, mau bagaimana juga, dia tetap sendirian.

Rrr.

Atau tidak.

Malas-malasan, Jyou merogoh ponsel dari tasnya. Dia bukan tipe orang yang setiap saat mengecek telepon genggamnya, apalagi mengingat dia selalu memasang mode diam. Dua telepon terlewat dan lima pesan, tetapi kesemuanya datang dari satu orang yang sama, dan Jyou merasa dia hanya perlu membaca pesan paling baru yang masuk untuk memahami keadaan.

from: Tachikawa Mimi
SENPAI HIDOI. AKU BETULAN MATI NIH.

(Ah, mengapa mudah sekali bagi dia menyinggung soal—)

Sebagai pengganti gerutu, Jyou mengembuskan napas pasrah. Cepat-cepat sampai rumah, kalau begitu. Tuan Putri bakal marah kalau tidak segera direspon, dan ia tahu malam masih akan berjalan panjang.

.


.

"Kau tidak mengangkat ponselmu."

"Gomen. Ponselku kutinggal di kamar. Aku sedang makan malam."

Gantian Takaishi Natsuko yang meminta maaf. "Kau jadi makan sendirian. Tapi aku sudah membawakan kue, kok, sebagai gantinya."

"Kau tahu kau tidak perlu repot-repot." Membereskan piring dari atas meja makan, Takeru mengapit telepon di antara pipi dan ceruk lehernya. "Kau sendiri… bagaimana makan malammu?"

Mereka memang tidak saling bertatapan, tetapi entah bagaimana Takeru tahu ibunya sedang tersenyum di seberang sana. "Baik. Lancar, maksudku. Entahlah, Takeru. Sudah lama kami tidak melakukan ini, dan aku tidak yakin apakah aku melakukan hal yang benar."

"Okaasan, ucapanmu kontradiktif," Takeru terkekeh. Mulanya bilang lancar, kemudian jadi tidak yakin. "Jangan khawatir. Aku percaya kalian sudah melakukan yang terbaik."

"Jangan terlalu berharap, ya? Aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir, tetapi… aku akan berusaha."

Takeru mengangguk pelan. "Terima kasih. Hati-hati di jalan."

Mengembalikan telepon rumahnya ke tempat semula, senyum Takeru tidak lantas pudar. Ada perasaan lega yang kemudian menyelimuti—perasaan bahagia yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Walau sudah diingatkan agar tidak terlalu berharap, imajinya tidak bisa sedikit menahan diri. Ia mulai membayangkan apa yang bisa terjadi di kemudian hari, dan kesemuanya adalah hal-hal yang berakhir dengan indah. Untuknya. Untuk orang-orang yang ia sayangi.

.

.

Di dinding, kalender menunjukkan tanggal 7 November 2006.

Musim dingin baru bermula hari ini, tetapi Takeru sudah punya firasat ini akan menjadi saat-saat yang menyenangkan.

.


.

.

.

note: Hai, apa kabar? Ini Sekar.

Sekian tahun tidak menjejakkan kaki di sini, akhirnya saya memutuskan untuk kembali sejenak setelah dari kemarin memulai program rewatch Digimon demi menyambut sekuel Digimon terbaru. Karena, tentu saja, tri. membuat saya kesal sampai ke ubun-ubun (HAHA). Saya bahkan nggak tahu akan menganggap mereka canon atau tidak, tetapi karena cerita ini mengambil latar satu tahun setelah tri. berakhir, kita lihat saja nanti.

Cerita ini masih belum jelas akan mengarah ke mana, tetapi saya selalu punya angan untuk membuat fic dengan 28 kombinasi DigiDestined pertama. Karena saya tahu pemalas kayak saya nggak mungkin bikin 28 fic atau 28 chapter (tahu kan komitmen saya untuk multichap luar biasa rendah), saya akan padatkan beberapa duet di tiap satu chapter. Saya usahakan nggak ada yang terlewat. Tenang, sudah bikin checklist, kok. Dan kalau masih pada bingung, mohon maklum karena ini baru pemanasan… juga sengaja nggak diungkap semua. Mari kita jalani pelan-pelan.

Saya usahakan fic ini selesai sebelum musim semi 2020 karena takut tabrakan sama timeline seri baru. Kalau tidak selesai, yah, ikhlaskan saja. Ups.

Ada banyak yang ingin saya ceritakan, tetapi untuk sekarang: hisashiburi. (Dan untuk yang akan berkenalan, yoroshiku onegaishimasu.)

Juga, tadaima.