[Tiga tahun kemudian]
-Paris-
Sebuah gedung pencakar langit di mana tempat anggota keluarga tertinggi Uchiha. Tempat yang cocok karena di tempat itulah mereka disandang dan dihormati oleh masyarakat Paris. Kekuasaan mereka sebanding dengan keluarga kerajaan Inggris. Entah kenapa, gara-gara kekuasaan dan keangkuhan mereka, banyak orang menderita termasuk anak-anak Madara Uchiha.
Di dalam gedung, duduk pria berpakaian kemeja hitam. Di sampingnya, seorang wanita duduk di sampingnya seraya merangkul bahu tegap pria tersebut. Wajah pria itu pasti dikenal, karena kegantengannya yang selalu bikin kaum Hawa terus memandangnya dan ingin sekali mendapatkannya. Tapi sayang, yang dapat justru wanita merangkul pundaknya, wanita bernama Terumi Karin.
Marga keluarga Karin diubah menjadi Terumi, bukan lagi Haruno. Sejak menculik dan membawa pria dirangkulnya itu ke Paris, Karin terus mendampingi pria yang tidak lain adalah Uchiha Sasuke. Pria berambut biru wajahnya masih tampan biarpun dimakan usia. Wajahnya kosong dan hampa bagaikan mayat hidup, seperti dihipnotis.
Di meja panjang, Uchiha Sasuke menatap para anak buahnya. Sudah empat tahun berlalu, Uchiha Sasuke menjalani profesi yang tidak biasa. Demi keutuhan keluarga, Uchiha Sasuke menyanggupi permintaan Kakeknya untuk mencari saudara-saudara demi pembalasan dendam. Hebatnya lagi, semua diserahkan kepada Uchiha Sasuke dan Terumi Karin.
"Aku memanggil kalian untuk mencari pria bernama Uchiha Itachi sekaligus kakak sulung di keluarga Uchiha," ucap Sasuke dingin. Nada suaranya bukan seperti orang minta tolong, tetapi dibutakan demi ambisi seseorang. "Cepat cari, lalu kita bisa dapatkan Uchiha Iori."
Anak buah yang berjejer di dekat jendela dan dekat pintu, mengangguk dan membungkuk dengan hormat. Mereka keluar dan di ruangan tersebut tinggal Karin dan Sasuke. Karin tambah semangat. Mungkin karena Sasuke dihinoptis, makanya Karin bertindak seenaknya. Karin memeluk Sasuke mesra.
"Sasuke Sayang, kamu keren sekali. Kapan kita menikah?" tanya Karin terlalu menjadi-jadi merayu Sasuke. Pria yang berkepala tiga bangkit berdiri dan mencium pipi Karin.
"Nanti, ya, kalau urusan kita selesai. Bukankah kata kakek, kita juga harus menculik anak kecil itu. Kalau tidak salah namanya Uchiha Iori?"
Karin bersedekap kemudian cemberut. "Iya. Sudah empat tahun kita berpacaran, kenapa kita belum juga menikah. Kakek kamu itu pelit banget."
"Sabar, ya, Sayang." Sasuke menarik pinggang Karin, mendekatkannya ke tubuhnya. Mereka berpelukan mesra sampai mempersempit jarak di antara mereka. "Jika ini sudah selesai, kita bisa bilang ke Kakek aku."
"Oke, aku percaya." Karin menjinjitkan kedua kakinya, dan mencium bibir Sasuke lalu melumatnya. Ciuman mesra ini benar-benar bikin sakit mata siapa pun yang memandangnya. Karin merasa puas, ini adalah pembalasan dendam pada Uchiha Sakura yang seenaknya membantah dia.
Lah, apa hubungannya?
..oOo..
SUNSHINE
.
.
DISCLAIMER: NARUTO © KISHIMOTO MASASHI
WARNING: OOC, AU, miss typo. Fanfict bergenre drama, dan romance. Rating-nya bisa berubah-ubah tergantung jalannya cerita. Sekuel dari STARLIGHT.
..oOo..
PART I (Re-Edit)
[Prefektur K, Jepang]
Di sebuah tempat sangat jauh. Tempat terjauh dari kesibukan di kota. Perkampungan sederhana di mana penduduknya hanya sekitaran puluhan ini, benar-benar menjauhi diri dari tempat ramai seperti kota Jepang.
Salah satu rumah-rumah dihuni oleh penduduk-penduduk dikenal sangat ramah, baik hati dan senang menolong, rumah mungil ditempati empat orang penghuni. Semua orang menganggap mereka bagian keluarga meski di antara anggota keluarga, ada yang tidak terlalu akrab pada sekitar.
Di sini, tempat mereka, setelah bertahun-tahun lamanya menghilang dari peradaban.
.
.
Halaman di cuaca terik makin memanas, seorang wanita berambut merah muda disanggul ke samping benar-benar sangat berantakan, menjemur pakaian anak-anak. Rasa letih terpancar di wajah cantiknya yang berusia 32 tahun. Memang sangat muda bagi wajah oriental perempuan tak muda lagi seperti dirinya. Wanita mempunyai anak tiga, tentu saja membuat dirinya bekerja keras banting tulang.
Pintu rumah terbuka dan menampilkan dua anak berlarian ke halaman, menghampiri ibunya yang sedang menjemur. Wanita yang bernama Sakura, tersenyum sambil menjemur pakaian-pakaian yang ada di dalam keranjang.
"Hiaaah! You-nii nda bica angkap Ioli. Ioli uat, lho!" Bocah balita berusia dua tahun yang berambut merah muda sama seperti Sakura dikejar oleh balita berambut biru, usia sangat dekat untuk ukuran tubuh mereka. Mata mereka sama-sama hitam, tetapi anak kecil dipanggil Iori mempunyai mata istimewa, biru kelam seperti langit malam. "Ejal Ioli!" serunya.
"Belani-belaninya Ioli memelakukan Nii cepelti ini, ya," sahut bocah kecil berusia empat tahun. Biarpun mereka beda usia sekitar lima bulanan, Iori dan Youta sering dianggap anak kembar. Itu dikarenakan matanya.
"Sayang, jangan lari-lari seperti itu. Bunda tidak bisa menjemur pakaian kalian," bentak Sakura halus. Tetapi, suara Sakura tidak didengar oleh kedua anak laki-lakinya.
"Bisakah kalian diam?!" Suara bentakkan keluar dari mulut gadis mungil berusia sepuluh tahun. Gadis mungil cantik berambut panjang halus, menggandeng tas ransel di pundaknya, cemberut pada adik-adiknya. Sontak saja, Youta dan Iori terdiam. "Aku pusing dengar kalian berisik! Siang-siang begini, ribut melulu."
Iori menarik rok panjang ibunya, gemeteran takut. "Ibu... Hikali-nee napa? Napa cetiap hali, Hikali-nee bentak Ioli dan You-nii?"
Sakura mendesah pada perlakuan Hikari berubah jadi dingin setelah menginjak umur sepuluh tahun. Sakura berjongkok mengusap punggung Iori dan menepuk kepala Youta, "kakak kalian mungkin capek, kan baru pulang dari sekolah."
"Tapi... Nee belubah ejak nda ada ..." Youta menghentikan kalimatnya, karena melihat wajah Sakura sedih. "Maapkan Youta, Bun."
"Tidak apa-apa, Sayang." Sakura terpaksa tersenyum agar anak-anaknya tidak mengkhawatirkannya. "Nah, lebih baik kalian bantu Bunda, lalu kita masuk. Nanti bantu Bunda masak, ya?"
"Asyiiik!"
Iori dengan polosnya beriang-riang gembira, membantu Ibunda-nya adalah pekerjaan disukainya. Youta tersenyum melihat ekspresi Sakura terlihat kembali tertawa riang bersama Iori. Youta menghela napas, perubahan sikap Hikari bukan karena usianya menginjak sepuluh tahun, tetapi sejak hilangnya Uchiha Sasuke, ayah mereka, empat tahun yang lalu.
.
.
.
.
[Flashback tiga tahun lalu]
"BOHOONG!" teriak Hikari sontak berdiri karena mendengar kalimat itu dari Yamanaka Sai, suami dari Yamanaka Ino. Air mata mengalir di pipi Hikari. "Paman Sai bohong, 'kan? Ayah tidak mungkin hilang!"
"Mungkin ini terdengar aneh di mata kalian. Paman belum tahu siapa orang yang membawa Sasuke pergi, tapi Paman sekilas melihat wanita berambut merah memakai pesawat terbang pribadi. Paman merasa Karin adalah orang di balik hilangnya Sasuke."
Sakura mengepalkan tinjunya di pangkuannya. Karin? Kenapa wanita itu selalu saja menghancurkan keluargaku?
"Lalu, paman mengejarnya?" Sai menggeleng. "Apa Paman tahu, kalau Iori tidak tahu siapa Ayahnya. Hanya kami yang tahu siapa Ayah kami."
"Setelah Paman teliti, hilangnya Sasuke, ada hubungannya juga dengan Kakek kami yang ada di Paris." Sai menghela napas. "Dan, ada sesuatu di balik ini semua. Pasti berhubungan dengan pembalasan dendam pada keluarga Haruno dan Uzumaki."
Hikari yang selalu ceria di hadapan orang, merubah wajahnya dari berwajah ceria ke berwajah dingin. Itulah makanya, Hikari tidak mengizinkan Sasuke pergi meninggalkan mereka apalagi Sakura tengah hamil Iori. Dan, Sasuke juga tidak tahu menahu soal kelahiran Iori. Kepalan tangan dan mata dingin itu pun diperlihatkan, Sakura menutup mulutnya, menahan air mata melihat kedinginan sifat dan ekspresi Hikari yang tiba-tiba berubah dalam sekejap mata.
"Aku tidak akan maafkan Ayah. Tidak akan pernah!"
Bocah perempuan berusia tujuh tahun berlari meninggalkan Sakura dan Sai, masuk ke kamarnya yang berada di lantai atas. Sakura tidak bisa menahan bendungan air matanya. Wanita tiga anak itu menangis tiada hentinya. Sai pun menenangkan Sakura.
"Maafkan aku, Sakura, aku tidak bisa menyelamatkan Sasuke. Apalagi Kakek kami memegang kendali keadaan ini."
"Tidak apa-apa, Sai, ... tidak apa-apa ..."
[End Flashback]
.
.
.
.
Semenjak hilangnya Sasuke, Sakura tidak bisa membiayai sekolah Hikari ke jenjang pendidikan yang agak mahal. Biarpun itu sering dibantu perekonomiannya oleh keluarga Haruno, tetapi Sakura menolak mentah-mentah bantuan dari keluarganya. Biarkan saja Sakura mencukupi kebutuhan seadanya.
Sakura memilih di prefektur K, karena tempat itu terhindar dari keramaian. Para tetangga dikira pasti bertanya-tanya, akhirnya menerima mereka apa adanya. Sakura bekerja di kantoran selayaknya pekerja kantoran biasa. Nama marga mereka berubah jadi Ichikawa, nama paling cocok tidak terdeteksi oleh orang yang mencari mereka, meski nama mereka sangat tidak asing di telinga.
Rambut Hikari yang dulunya panjang, dipotong pendek. Hikari menjadi anak sekolah biasa saja. Bukan lagi anak kecil di fasilitasi berbagai macam kemewahan. Tetapi, sebagai anak kecil yang mempunyai kebutuhan seadanya. Hikari berubah total, dari berpakaian anak—benar-benar—perempuan manis menjadi anak perempuan tomboy dan sederhana.
Anehnya, Sakura kaget pada dua anak laki-laki kecil ini. Meskipun baru berusia empat tahun dan tiga tahun, mereka terlihat pintar walaupun mereka selalu biasa saja di depan orang. Saat Sakura membantu Hikari belajar, Iori ingin tahu, memperlajari setiap jengkal mata pelajaran Hikari. Dan memberitahu jawaban-jawaban yang cocok untuk pertanyaannya, misalnya Matematika.
Hasilnya benar-benar jelas terbukti, setelah Hikari memberikan pekerjaan kepada wali kelas di sekolahnya dan diberi nilai. Nilai yang fantastis, SEMPURNA!
Sakura takut, Iori akan jadi korban penculikan demi mengambil otaknya yang cemerlang. Tetapi, Sakura tidak tahu, meskipun Iori pintar, Youta lebih pintar lagi walau itu disembunyikan sampai hari ini semenjak dia lahir. Youta tidak memiliki penglihatan seperti dimiliki anak indera keenam, tetapi kemampuannya benar-benar menakjubkan. Dengan melihat aura seseorang, dia bisa tahu bahwa orang itu baik atau berbahaya.
Itulah keunikan dan keanehan keluarga Uchiha yang berubah jadi keluarga Ichikawa. Hikari yang dulu ceria, jadi dingin. Youta suka diam, tetapi hebat dalam segala hal. Iori yang cerdas, cerewetnya minta ampun. Ada segala hal yang membuat keluarga maupun Sakura betah berlama-lama dan tidak ingin berpisah.
Aneh, bukan?
.
.
.
.
"Tadaaa! Bunda buatkan makanan kesukaan kalian. Gaji Bunda baru keluar kemarin, jadi Bunda bisa membeli bahan buat masakan ini," seru Sakura menyediakan makanan super lezat di atas meja makan. Iori jadi semakin siap melahapnya. Youta tersenyum saja. Hikari hanya diam, seolah-olah barang apapun tidak ada di depan matanya. "Kalian cuci tangan dulu, ya."
"Baik, Bunda!"
Iori turun dari kursi, lalu menuju ke tempat cuci piring untuk membasuh tangan. Youta juga mengikutinya. Hikari hanya diam saja. Sakura tidak banyak bicara soal diamnya anak perempuan satu-satunya itu.
"Udah, Bun!" Iori menatap kakaknya, Hikari. "Nee, kenapa nda cuci tangan? Nanti tangannya macuk kuman, lho."
"Diam, anak bawel!" bentak Hikari memasang wajah dingin. Iori tidak tahan pada kelakuan kakaknya selama ini terhadapnya, berlari ke tempatnya semula.
"Hikali-nee!" Iori berdiri di atas kursi. "Napa Nee malah-malah pada Ioli? Ioli calah apa? Ioli nda pelnah buat calah cama Nee!"
Hikari mengangkat kepalanya menatap Iori, sangat tajam, setajam tumpulnya pisau. "Diam, anak nakal! Sejak kamu lahir, Nee tidak bisa bersikap baik dan ceria seperti dulu. Ini semua gara-gara kamu dan Ayah!"
Hikari bangkit berdiri, kemudian keluar dari ruang makan. Sakura menghela napas panjang, menunduk sambil memijat pelipisnya, tidak bisa mendidik sikap Hikari yang sering berubah setiap saat. Iori mendadak diam. Youta tahu, Iori yang tidak kenal tampang Ayahnya bagaimana, hanya bisa melihat di foto, terdiam dan duduk lagi.
"Ioli memang nda kenal Ayah. Tapi ... nda bica kan Hikali-nee baik di meja makan?"
"Hei ..." Sakura memecahkan kesunyian. "Makan saja dulu. Nanti selesai makan, biar Bunda yang bicara dengan Nee, ya?"
"Iya, Bunda."
Iori dan Youta menuruti permintaan Sakura. Sakura mendesah, memang Sakura membiarkan sifat dingin Hikari berada di lingkungannya, tetapi ini sudah kelewatan. Sakura akan berbicara dengan Hikari, menjelaskan kenapa anak itu tidak bisa berubah baik di depan adik-adiknya.
.
.
.
.
Sakura masuk ke kamar Hikari tanpa mengetuk pintu. Youta dan Iori sedang berada di ruang tengah, bermain-main seperti biasa. Lampu kamar Hikari dimatikan, hanya jendela berhias cahaya terang lampu jalan meremangi kamar gadis manis tersebut. Hikari duduk di dekat jendela, sambil memandangi langit-langit malam. Sakura mendekati Hikari dan duduk di sampingnya.
"Sedang lihat apa?"
"Lihat bintang di langit. Lihat, apakah Ayah juga merindukan kita?" Hikari tidak menoleh ke arah Sakura, Sakura hanya tersenyum. "Aku kangen dengan Ayah, Bunda."
"Walaupun kamu membenci Ayahmu dari luar hatimu, tapi dalam hatimu, kamu sayang sama Ayah." Tangan Sakura menggamit tangan Hikari. "Bunda juga kangen dengan Ayahmu, Sayang."
Air mata Hikari menetes jatuh. "Aku kangen Ayah, Bun, kangen sekali."
Sakura memeluk puterinya penuh kasih sayang. "Bunda juga. Seandainya Ayahmu ada di sini bersama kita. Pasti kita bisa hidup berbahagia."
"Lalu ..." Hikari mendongak menatap Sakura, sedih dan kesal. "Kenapa Ayah lebih memilih Nenek lampir itu dibandingkan kita? Kenapa Nenek lampir itu terus saja mengganggu keluarga kita? Apa salah kita, Bunda?"
"Cup, cup, cup." Sakura mengelus rambut pendek Hikari. "Bunda juga heran pada sifat Ayahmu. Mau-mau saja ikut dengan wanita yang dulu pernah aku anggap sebagai Kakak Bunda. Bunda ingin sekali ke Paris menjemput Ayahmu. Tapi, Bunda tidak berani, Bunda tidak bisa meninggalkan kalian."
Hikari tersenyum. Sesaat kebersamaan mereka, Hikari mendengar suara aneh di perutnya. Sakura terkekeh geli mendengarnya. Hikari malu, menunduk karena ketahuan. "Hahaha ... kamu lapar, ya?" Hikari mengangguk. "Ya sudah, makan sana. Bunda simpan makananmu di kulkas. Kamu tinggal hangatkan saja."
"Iya, Bunda."
Lekas Hikari keluar kamar. Sakura sendirian di kamar Hikari yang berada di lantai dua. Sakura memandangi bintang, diangkat tangannya ke atas, meraih bintang bersinar itu. Tanpa diduganya, Sakura menitikkan air mata.
"Sasuke ... kamu ada di mana?"
.
.
.
.
[Paris]
Di beranda di rumah seperti istana, seorang pria berambut biru mirip seperti malam hari. Bukan berarti di Paris sudah malam, di sana masih pagi. Dan sosok itu berdiri sambil menunggu seseorang. Saat pintu dibuka, muncullah Karin sambil memeluk pinggang Sasuke dari samping.
"Sayang, kamu kok, melamun di sini?" Karin bergelayut dengan manja di sekitar tubuh Sasuke. Sasuke mengizinkannya tanpa memarahinya. "Sayang ... aku ingin sekali tidur bareng denganmu."
Sasuke mempunyai wajah kosong, tidak menjawab permintaan Karin. Karin semakin memeluk erat pinggangnya dan mendekatkan dadanya di punggung Sasuke. Napas Karin tidak tertahankan. Ingin sekali bercinta dengan Sasuke.
Sasuke berbalik dan memegang kedua tangan yang melingkari pinggangnya. "Jangan manja dulu padaku, Sayang." Tangan Sasuke menyibak rambut Karin ke belakang dan menyampirkannya ke telinga, lalu mencium keningnya. "Kita masih punya misi yang harus dikerjakan. Apa kamu sudah tahu di mana Itachi berada sekarang?"
"Hm ..." Karin menggigit jari telunjuknya, sok seksi. "Dia ada di Thailand, menjalankan proyeknya di sana. Setelah itu baru kembali ke Jepang untuk bertemu seseorang. Itu yang aku dapat dari informan terpercaya."
"Hn. Bagus."
Jari telunjuk Karin menyentuh dada bidang Sasuke, tetapi Sasuke berjalan pergi. Karin mengerucutkan bibirnya, kesal setengah mati pada sifat acuh Sasuke. "Tidak apa-apalah. Yang penting aku bisa membuat dia suka padaku semauku sendiri. Fufufu ..."
Karin mengikuti ke mana Sasuke pergi. Target mereka yang pertama adalah membawa Uchiha Itachi ke hadapan Uchiha Madara. Tentu saja memakai tangan Uchiha Sasuke, adik kandungnya. Bersama saudara sepupu Terumi Karin, Terumi Mei. Mereka benar-benar akan berangkat sekarang juga menuju Thailand, tempat Uchiha Itachi berada.
.
.
.
.
[Prefektur K, Jepang]
NGIIING!
Bunyi aneh muncul di kepala Youta, sekilas ada kilas masa depan membuat dirinya bangkit berdiri hingga Iori menatap ke arahnya sambil nonton acara kesukaannya. Youta pergi ke arah jendela, mendekatkan wajahnya ke kaca, mencari-cari sesuatu yang bisa membuat dirinya paham apa maksud arti kejadian tadi.
Sepertinya kelebihan Youta diberikan Kami-sama, datang.
"Ada apa, You-nii?"
"Paman ..." Youta menoleh ke Iori. "Paman Itachi ... dalam bahaya."
"Itachi? Paman?" Iori yang tidak pernah kenal siapapun dari keluarga Uchiha, karena Sakura menutup-nutupi hal itu dari anak bungsunya sejak Ayah kandungnya meninggalkan keluarganya. "Capa? Apa You-nii kenal?"
Youta terperanjat kaget. Yah, Iori tidak kenal Uchiha Itachi selaku paman dan kakak kandung Ayah mereka, Uchiha Sasuke. Bagaimanapun Iori harus mengetahuinya daripada terlambat.
"Ioli ..." Youta menurunkan kedua pundak Iori agar bisa duduk. "Nii mau kacih tahu coal Paman Itachi. Paman Itachi adalah kakak kandung Ayah. Kamu mengelti?"
"Ioli cudah tahu dali dulu, Nii. Ejak liat poto album di kamal Bunda. Jadi, nda ucah kacih tahu Ioli lagi. Hehe ..." Youta mengangkat alis sebelahnya, tidak percaya.
"Hebat kamu, Nii ndili nda bica cepelti kamu. Jaga baik-baik otakmu itu dan jaga mulutmu jika bicala dengan olang nda dikenal." Youta menyuruh Iori mengingat pesannya. Iori hanya mengangguk. "Cekali-cekali bilang Nii dulu bial olang nda calah paham. Oke?" Youta mengedipkan sebelah mata, Iori tersenyum lebar.
"Yup! Ciap, Boss!"
Youta tertawa melihat tingkah adiknya. Di saat mereka tertawa, Sakura mendengar hal itu jadi ikut tertawa kecil. Enak sekali bisa mempunyai keluarga seperti ini. Abadi selamanya. Tetapi itu tidak ada, karena Sasuke menghilang. Sakura hanya bisa berdoa pada Kami-sama, mengembalikan suaminya kepada dirinya.
Wanita beranak tiga mengusap air matanya, dan masuk ke ruang tengah. "Hei, sudah saatnya tidur. Apa kalian mau nonton terus di saat Bunda dan Hikari-nee tidur?"
"Nda mau, dong, Bunda." Iori menjawab pertanyaan Sakura.
"Sini!" pinta Sakura memanggil Iori dan Youta. "Anak-anak Bunda yang cakep, ganteng dan cerdas. Kalian tidak boleh meninggalkan Bunda dan keluarga ini. Awas, ya!"
Karena disentil hidungnya satu per satu, Iori dan Youta memeluk Sakura. Hikari yang selesai makan, ikut-ikutan memeluk Sakura. Iori sadar, Hikari sudah berubah baik. Semoga saja ke depannya terus seperti ini. Selamanya.
Mungkin.
"Nah, saatnya tidur. Kalian besok antar Bunda dan Hikari-nee ke kantor juga sekolah, ya?" Iori berlompat-lompat riang, Youta hanya mengangguk. "Bagus. Ayo, tidur."
Sakura menggamit tangan Iori dan menepuk punggung Hikari buat menuju ke kamarnya yang berada di lantai satu. Bocah laki-laki berambut biru kelam, melirik ke jendela yang memerlihatkan halaman. Napasnya tersendat.
"Malam ini, akan jadi malam nda terhingga dari Paman Itachi. Cemoga Paman Itachi celamat," ucap Youta menghela napas dalam hati. Seandainya bisa menolong, Youta ingin sekali berada di sisi Pamannya. Walaupun pernah lihat sekali waktu Iori lahir, lalu sejak itu pun tidak pernah sama sekali.
"Youta?"
"Aku datang, Bun."
Youta kembali masuk ke dalam kamar Sakura. Hikari tidur di lantai atas. Sedangkan Iori dan Youta bareng bersama Sakura. Hal ini sering terjadi dan tidak bisa terpisahkan. Meskipun suatu saat mereka akan menanti bahaya.
.
.
.
.
[Thailand]
Di kantor yang dekat dengan bandara internasional Thailand, pria berambut hitam sedang merapikan berkas-berkas yang telah disusun rapi. Saat ini malam telah menjelang, sudah waktunya pria berperawakan tegas dan lemah lembut ini pulang. Setelah mencapai pintu, kenop pintu bergerak kemudian dibuka, para laki-laki berbaju hitam masuk dan menghalangi Uchiha Itachi pergi ke mana-mana.
"Siapa kalian?"
Laki-laki berbaju hitam hanya diam saja, tidak berkata. Itachi menyodok masuk, tetapi mereka tidak mengizinkannya. Itachi terus memberontak, tetapi itu pun tidak didengarkan oleh mereka.
"Lepaskan aku, sialan!"
"Tidak usah pergi ke mana-mana, Itachi-nii." Kata-kata seseorang menghentikan pergolakkan dirinya, Itachi melihat ke arah orang tersebut. Matanya membulat. Air mukanya pucat. Orang paling dirindukannya, sekarang muncul di hadapannya.
"Sasuke? Itu kamu, Sasuke?"
Pria berambut biru kelam mendengus. Sasuke menarik pinggang Karin ke sisinya. "Aku memang merindukan Itachi-nee, tapi itu dulu. Aku datang ke sini untuk membawa Nii menuju ke hadapan Kakek. Kakek merindukan kalian, lho."
"Kalian?" tanya Itachi mengerutkan keningnya.
"Iya, kalian. Itachi, Hinata dan Sai." Sasuke tersenyum miring.
"Apa katamu?!"
Itachi tidak menyangka kakek mereka akan membawa mereka pergi. Tetapi, apa salahnya? Mereka tidak tahu di mana letak kesalahannya.
"Kenapa harus kami? Kenapa harus kamu?" tanyanya berulang-ulang.
"Inilah pembalasan dendam buat Haruno dan Uzumaki. Mereka yang harus menerima akibat dari perbuatan menyakiti hati kakek Madara," sahut Karin memeluk pinggang Sasuke. "Termasuk Sakura dan Naruto."
Itachi menunduk, bingung dan pusing. Tidak mungkin Sasuke menyetujui permintaan Uchiha Madara untuk menculik mereka. Demi pembalasan dendam. Ini sama saja akan ada masa-masa menakutkan di kemudian hari. Itachi tidak boleh membiarkan hal ini terjadi.
Benar-benar kurang ajar!
"Jadi, kamu mau membawaku?" Sasuke mengangguk. Itachi menyeringai di balik bayangan malam. "Sebelum itu, kejar aku dulu."
Itachi berbalik dan berlari kencang menuju jendela besar kantornya. Para anak buah Sasuke mengejarnya. Itachi tidak peduli lagi soal berkas-berkasnya, yang penting hal ini harus diberitahukan kepada keluarganya maupun Sakura. Harus!
Jendela besar terbuka, terpaan angin dingin menusuk ke wajah, napas Itachi tersendat karena posisi Itachi berada di lantai tiga. Lumayan agak tinggi, tetapi bagi orang berpengalaman seperti Itachi, itu bukanlah masalah. Itachi melompat. Mendarat dengan sukses. Untungnya tidak ada penjaga yang menghalangi langkahnya. Itachi cepat-cepat berlari kencang menuju bandara internasional Thailand.
"Aku harus cepat-cepat memberitahu soal ini kepada Sai."
Di atas gedung berlantai tiga, pria duduk di kursi kerja Itachi, melipat kedua kakinya dan menumpukan tangan di sana. Senyuman licik terbentuk di bibirnya. Para anak buahnya kelabakan terutama Karin.
"Dasar pria tua! Apa-apaan dia itu! Cepat cari ke mana dia pergi!" perintah Karin kepada para anak buah berpakaian hitam. "Jangan sampai lolos!"
"Kalian tidak usah khawatir. Aku tahu ke mana Itachi-nii pergi." Sasuke menghalau langkah mereka dengan kalimatnya. "Kita pergi ke tempat Yamanaka Sai. Ke Hong Kong," katanya kemudian.
.
.
.
.
B[eijing, China]
"Saii!" panggil seseorang, pria berambut hitam klimis menoleh. Orang yang memanggil pria tersebut yang telah disebutkan, tidak lain adalah isterinya sendiri, Yamanaka Ino. Wanita berambut pirang sedang menggenggam handphone di kedua tangannya, menyerahkan kepada suaminya. "Ada telepon untukmu dari Itachi-nii."
"Terima kasih, Sayang."
Saat Sai mencium kening Ino, Ino berbalik pergi. Sai menekan tombol panggil dan mendekatkannya ke telinga. Suara terengah-engah dari Itachi membuat Sai penasaran dan ingin tahu, apa yang terjadi.
"Itachi-nii?"
"Pergilah dari Hong Kong, Sai! Tinggalkan Hong Kong! Kakek Madara mulai bergera—TIIIIT! TIIIIT!" Kalimat Itachi terputus, sedangkan Sai terbengong-bengong. Entah apa maksud dari kalimatnya,
Tinggalkan Hong Kong?
"Ada apa dengan Itachi-nii?"
Sai ingin meneleponnya kembali, namun tidak nyambung. Mungkin itu bukan nomor Itachi melainkan milik telepon umum yang ada di Thailand. Semoga saja tidak ada yang terjadi. Sai berbalik ke rumahnya yang terletak di pedesaan kecil di Beijing, dan menelepon seseorang yang sangat penting.
Setelah ini, Sai akan menuju ke Jepang di mana orang penting itu tinggal. Seseorang itu tetap harus berada di hadapannya Itachi, menekan Itachi untuk menjelaskan semuanya.
"Ino, kita pergi ke Jepang!"
-TBC-
A/N: Akhirnya di edit baru di publish. Di tunggu dulu ya. Tenang, bakalan di lanjut kok.
Sign,
Zecka Fujioka
Re-edit (02-12-2014)
