Disclaimer : Harry Potter by J.K. Rowling

Warnings: AU, OOC, male slash, typo, etc. If you don't like, don't read

Pairing : DMHP

Rated: T

Genre: Romance

We Got Married

by

Keira Luna

Chapter 1: The Beginning

Godric's Hollow

Butiran salju perlahan-lahan jatuh dari atas langit malam yang kelam. Perlahan-lahan salju putih menyelimuti Godric's Hollow di malam itu. Dari kejauhan muncul seseorang yang berjalan menyusuri jalanan kecil di sepanjang Godric's Hollows secara perlahan. Wajahnya tersembunyi di balik jubah hitam yang dikenakannya. Tiada apapun yang menemaninya malam itu selain redupnya pancaran sinar sang bulan. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, mencoba mencari bintang-bintang, tetapi tak dapat dilihatnya satupun bintang pada malam itu. Kemudian ia meneruskan langkahnya yang sempat terhenti sembari sesekali memeriksa keadaan di sekitarnya. Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah pemakaman. Tanpa ragu, ia memasukinya dan berjalan ke arah dua batu nisan yang terletak berdampingan.

"Lily…" ujarnya lirih. Ia berjongkok di depan makam itu. Dengan lembut, tangan kanannya menggapai salah satu batu nisan yang ada di sana. Tangannya mengusap lembut batu nisan tersebut seolah-olah batu nisan tersebut akan rapuh karena sentuhannya.

"Aku merindukanmu… " ujarnya lagi. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik saku jubahnya dan mengeluarkan setangkai bunga lily.

"Maaf… Maafkan aku…" ujarnya lagi sambil meletakkan setangkai bunga di depan batu nisan tersebut. Lama ia terdiam di makam itu tanpa mengubah posisi tubuhnya, seakan-akan terhanyut dengan kesunyian yang menyelimutinya.

KREK!

Dalam posisi siaga, ia menggenggam tongkat sihirnya dari balik jubahnya. Dengan sigap ia berbalik dan siap melepaskan kutukan ke arah penyerangnya.

"Sectumsem— "

"Snape!" ujar pria di depannya.

"Lupin," ujarnya datar.

"Apa yang kau lakukan di depan makam James dan Lily?" tanya penyihir berambut madu tersebut.

"Aku hanya ingin melihat makam Lily," jawabnya.

"Malam-malam begini?" tanya Lupin ragu.

Snape tidak menjawab pertanyaan tersebut. Pelan ia berbalik dan mengamati makam Lily, seperti ingin menyampaikan salam perpisahan kepada makam itu. Tak lama, ia kembali menatap Lupin yang masih terdiam di depannya dan dengan tenang melangkahkan kakiknya keluar area makam.

"Tunggu, Snape!" ujar si pria berambut madu sambil mencekal siku kiri Snape. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu. Ini… menyangkut Harry," ucapnya. Snape memandang Lupin, dari sinar matanya terpancar rasa ingin tahu.

"Aku rasa, aku tidak ada urusan dengan Potter," ucapnya kaku. Ia baru akan melangkahkan kakinya ketika Lupin melanjutkan perkataannya.

"Harry juga putra Lily, Snape. Dan lagi aku tidak tahu apakah setelah perang ini berakhir aku masih tetap bernafas atau tidak. Hanya aku yang mengetahui rahasia ini selain Sirius. Dan kau pasti tahu bahwa Sirius telah—"

"Apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Snape tidak sabar.

Lupin terdiam mendengar perkataan Snape. Ia tak lantas menjawab pertanyaan Snape begitu saja. Cukup lama ia terdiam, memikirkan apa kata-kata yang akan ia sampaikan pada pria yang dulu menjadi musuh bebuyutan sahabatnya itu.

"Aku mempercayaimu meski kau adalah seorang Death Eater, Snape," ujar Lupin perlahan namun dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. "Dan aku yakin, kau akan menjaga rapat-rapat rahasia ini dan akan merawat Harry kelak," sambungnya.

Perang besar telah berakhir. Saat ini seluruh Inggris masih diselimuti semangat dan euphoria kemenangan Harry Potter atas pangeran kegelapan. Kemenangan ini sontak membuat Harry dijuluki the-boy-who-lived-twice, the choosen one, dan banyak julukan lainnya. Tentu saja, nama Harry menjadi semakin terdengar ke seluruh pelosok Inggris. Saat ini Harry sedang berjalan di sepanjang koridor kementrian sihir yang terletak di pusat kota London. Sebagai seorang auror, mendapat panggilan darurat seperti ini merupakan hal yang biasa bagi Harry.

"Hey, mate!" sapa Ron Weasley, sahabat sekaligus rekan satu tim Harry di departmen auror.

"Hey, Ron! Kudengar Mr. Savange memanggil kita. Kira-kira ada masalah apalagi kali ini ya?" tanya Harry.

"Entahlah, aku harap hal ini tidak memakan waktu yang lama. Malam ini aku ada janji makan malam dengan Mione,"keluh Ron. "Kau tahu sendiri 'kan seperti apa dia jika mood-nya sedang tidak baik?"

Harry hanya tersenyum simpul melihat sahabat baiknya itu. "Oh, Ron! Aku yakin Mione pasti mengerti," ujar Harry yang berusaha menenangkan sahabatnya itu.

Mereka berdua pun telah tiba di depan ruangan Mr. Savange, sang ketua departemen auror. Ketika mereka memasukinya, Mr. Savange bersama beberapa auror lainnya telah menunggu kedatangan mereka.

"Oke, karena seluruh anggota telah berkumpul, aku akan memberitahukan misi kita kali ini. Misi kita adalah—"

Malfoy Manor, sehari sebelumnya.

Pemandangan Malfoy Manor di malam hari sangat memukau. Ditambah dengan sinar rembulan dan suara gemericik air mancur membuat siapa saja yang berada di dalamnya terhanyut oleh nuansa keindahan manor tersebut. Duduk di sebuah ayunan yang berada di dekat air mancur, seorang Draco Malfoy menikmati keindahan bulan sendirian. Mata kelabunya memandang lekat bulan purnama saat itu. Ketenangannya sedikit terusik ketika ia mendengar derap langkah seseorang yang menuju ke arahnya. Ia hapal irama derap langkah tersebut.

"Ibu…" ucapnya tanpa menoleh ke belakang.

"Bagaimana kau tahu ini ibu, Dray?" tanya Narcissa. Ia mendekatkan dirinya kepada anaknya. "Draco, bagaimana kalau di hari ulang tahunmu nanti kita mengadakan pesta?", tanyanya lagi.

"Pesta?" tanya Draco tak yakin. Ia baru saja tiba dari Perancis tadi siang dan kini ibunya mengatakan sesuatu yang sangat menjengkelkan.

"Hanya sebuah pesta sederhana. Anggap saja pesta ini juga untuk merayakan kepulanganmu dari Perancis, sayang," ujar Narcissa yang kali ini dengan nada yang sangat lembut.

'Sederhana?' batin Draco. Ia memutar bola matanya. Ia benar-benar tak yakin dengan kata sederhana yang dimaksudkan ibunya. Merlin, ia benar-benar benci pesta!

"Ayolah sayang… Ibu mohon," rayu Narcissa lagi yang kali ini menggunakan tatapan ala anak anjing yang kehilangan tuannya. Oke ini benar-benar sangat tidak Malfoy-ish! Tetapi sepertinya trik ini berhasil meluluhkan putra tunggalnya yang terkenal dingin itu.

"Oke," gumam Draco.

Hanya dengan mendengar satu kata itu saja, Narcissa merasa dirinya terbang melayang di udara. Oke, coret kata-kata yang sangat tidak Malfoy-ish itu. Segera saja Narcissa meninggalkan putra tersayangnya untuk mempersiapkan keperluan pesta. Draco yang melihat tingkah ibunya itu hanya bisa tersenyum. Sudah sangat lama ia tidak melihat keceriaan di raut wajah Narcissa. Ia hanya berharap semoga saja pesta tersebut tidak menyusahkannya.

"Hah… hah… hah… Mr. Savange benar-benar sangat keterlaluan kali ini!" keluh Ron setelah ia dan beberapa auror junior lain termasuk Harry selesai melaksanakan misi hari itu. mendengar keluhan sahabatnya, Harry yang berada di sisi kanan Ron hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang tidak berubah sejak mereka bersekolah di Hogwarts dulu.

"Ron, kau tidak lupa dengan janjimu pada Mione, bukan?" tanya Harry yang berusaha mengingatkan sahabatnya itu. Tiba-tiba raut wajah Ron berubah pucat seketika. Ia menoleh pada Harry dengan wajah yang sangat mengerikan, seperti seseorang yang baru saja dikecup dementor.

"Merlin! Mate, aku terlambat…" ujarnya dengan tubuh gemetaran. Dalam benaknya, Ron dapat membayangkan raut wajah Hermione yang siap mengeluarkan amarahnya kapan saja. Dugaan Ron tepat adanya. Baru saja ia dan Harry keluar dari ruangan Mr. Savange, mereka menemukan Hermione yang berdiri bersandar pada sebuah dinding dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya. Glek, Ron hanya dapat menelan ludah. Rasanya ia lebih rela jika diharuskan untuk menghadapi puluhan penjahat yang berkeliaran di luar sana daripada harus menghadapi kemarahan Hermione.

"Dari mana saja kalian?" ujar gadis berambut ikal itu. Jujur, dia paling benci dibuat menunggu dalam waktu lama seperti sekarang ini.

'Merlin! Siapkan hatimu Ron', batin Ron dalam hati. "Er… Mione, sebenarnya tadi—".

"Baiklah Ron, aku sudah mengetahui jika kau dan Harry mendapat misi darurat hari ini," potong Hermione. Ron melongo mendengar perkataan kekasihnya itu. Ia menoleh pada Harry, hanya untuk meyakinkan pendengarannya.

"Er, Mione… Kau tak marah?" tanya Ron dengan hati-hati.

Hermione memutar matanya melihat tingkah kekasihnya itu. "Oh ayolah Ron! Aku baik-baik saja. Aku datang ke sini untuk mengajak kalian menghadiri pesta yang diadakan oleh Mr. Malfoy."

Ron dan Harry saling memandang. Pesta? Mereka sama sekali tidak mengetahui berita tersebut. Mengetahui kebingungan keduanya, Hermione kembali memutar bola matanya.

"Pesta ini diadakan secara tiba-tiba sehingga Mr. Malfoy tidak sempat mengirim undangan, tetapi beliau hanya mengirim undangan kepada kepala seluruh departemen di kementrian sihir. Apa tidak ada yang memberitahukan kalian hal itu?" kata Hermione.

Ron dan Harry menggelengkan kepala mereka. Hermione hanya bisa menghela nafas melihat reaksi dua auror muda itu yang dinilainya cukup… lambat.

"Baiklah, jangan banyak tanya lagi. Kita sudah terlambat," ujar Hermione dengan sedikit kesal. Dia langsung menarik Harry dan Ron menuju perapian terdekat dan menyodorkan sebuah mangkuk yang berisi bubuk floo kepada mereka. Harry dan Ron langsung mengambil segenggam bubuk floo dan ber-floo ria menuju Malfoy Manor meski di dalam hati mereka bertanya-tanya mengapa Mr. Malfoy mengadakan pesta.

Malfoy Manor

Pesta perayaan ulang tahun Malfoy telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Beberapa teman seasramanya tampak hadir di ruangan utama manor yang megah itu. Tidak hanya itu, mentri sihir, Mr. Kingsley dan beberapa pejabat kementrian juga hadir di perayaan ulang tahunnya, mengingat jabatan ayahnya sebagai kepala departemen luar negeri sihir. Draco Malfoy sendiri sedang sibuk menyalami para tamu.

"Hey Dray…" sapa Pansy ketika Draco menghampirinya. Draco hanya membalasnya dengan senyum sembari menjabat tangannya.

"Kau datang dengan siapa?" tanya Draco berbasa-basi.

"Aku datang dengan Blaise. Tapi hah… Entah dimana pria itu sekarang," keluhnya.

"Hai!", sapa Blaise yang mengejutkan Pansy.

"Merlin! Darimana saja kau?"

"Aku hanya melihat-lihat tamu yang datang kok". Ia lalu memandang Draco di sebelahnya dengan seringai yang menghiasi wajahnya. "Aku lihat kau mengundang beberapa tamu spesial Dray", katanya sambil melingkarkan lengannya di pundak Draco. Draco mengangkat sebelah alis matanya. Ia tidak yakin dengan apa yang dibicarakan oleh sahabatnya ini.

"Ayolah, tak usah menghindar lagi. Lihatlah, ia sudah tiba," ujar Blaise lagi namun kali ini sedikit mengintimidasi. "Ia berada tepat di belakangmu."

Draco memalingkan wajahnya ke belakang dan yup… Ia cukup terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini. Di hadapannya berdiri sosok Harry Potter, pahlawan dunia sihir sekaligus rival abadinya di Hogwarts dulu.

Harry baru saja melangkah masuk ke dalam manor yang megah itu. Ia memandang dinding ruangan pesta dengan takjub sampai ia tidak menyadari bahwa ia telah terpisah dari Ron dan Hermione yang entah pergi kemana. 'Kemana mereka' batin Harry. Ketika ia sedang menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan pesta, tiba-tiba saja matanya bertemu pandang dengan sang Pangeran Es Slytherin, Draco Malfoy. Bola mata silver kebiruan Draco memandangnya dengan lekat. Entah mengapa, Harry merasa ada suatu emosi aneh yang menjalari tiap inchi tubuhnya.

"Potter," ujar Draco ragu. Ia tidak yakin dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Harry Potter menghadiri pesta perayaan ulang tahunnya? Merlin! Sepertinya ia harus memanggil seorang mind-healer.

"Er… Hai Malfoy," sapa Harry kaku. Hell! Kenapa ia harus bertemu dengan Malfoy junior ini di sini. Cukup lama keduanya terdiam, tidak ada satupun dari mereka yang memulai percakapan. Tiba-tiba saja seorang pelayan menghampiri mereka dan menawarkan minuman kepada Draco. Draco mengambil gelas minuman tersebut dan memerintahkan pelayan itu untuk mengambil segelas lagi untuknya.

"Minumlah," ujar Draco kaku seraya menyodorkan gelas tersebut pada si raven. Dengan ragu, Harry mengambil gelas tersebut dan meneguk isinya. Pelayan yang sama kemudian kembali dan memberikan Draco segelas minuman yang sama dengan yang ia berikan tadi. Ketika Draco menerimanya, si pelayan meninggalkan mereka dengan sedikit kerutan di keningnya.

"Kau mau jalan-jalan keluar?" tawar Draco ketika ia melihat Harry yang kegerahan. Tanpa pikir panjang, Harry langsung mengikuti Draco keluar dari ruangan pesta menuju ke tempat-entah-apa.

Entah bagaimana caranya Harry kini berada di dalam kamar Draco. Yang Harry ketahui hanyalah tubuhnya yang terasa tidak nyaman dan entah kenapa berada dalam pelukan si pirang membuatnya nyaman dan ketagihan. Bahkan ia tidak menolak kenikmatan ciuman yang diberikan Draco padanya. Ia seolah kehilangan akalnya dan tidak dapat berpikir lagi.

"Ngh…" erangan keluar dari bibir Harry.

Draco melepaskan pagutan bibirnya pada bibir Harry. Sejenak ia berpikir bahwa 'kegiatan' itu akan berakhir sampai di situ. Tetapi selanjunya erangan yang keluar dari bibir Harry semakin kuat ketika perlahan-lahan Draco menciumi lehernya dan menggigit titik sensitif yang ada di lehernya, meninggalkan tanda kemerahan di tiap senti kulit lehernya. Perlahan-lahan, Draco mengenyahkan segala penutup tubuh yang menyembunyikan tubuh Harry dari dunia luar. Ia takjub melihat pemandangan yang menggiurkan di hadapannya. Ia pun melepas seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian ia merendahkan tubuhnya sampai bibirnya hampir menyentuh bibir Harry.

"I want you Harry…" desahnya tepat di telinga Harry dengan sangat sensual.

Setelahnya, di ruangan itu hanya terdengar erangan-erangan dari mereka berdua. Saat itu akal pikiran telah meninggalkan mereka. Sepenuhnya mereka membiarkan hormon mengendalikan perbuatan mereka, menuntun mereka kepada suatu tempat absurd yang penuh kenikmatan duniawi, puncak dari penyatuan tubuh dua insan.

Malfoy Manor, keesokan harinya

Narcissa Malfoy melangkahkan kakinya menapaki anak tangga. Dia berniat untuk 'menceramahi' putranya yang telah berani meninggalkan pesta tanpa sepatah katapun. Harus diakui Narcissa cukup heran melihat tingkah putranya semalam. Tiba-tiba saja Draco menghilang dari ruangan pesta saat dia dan ayahnya ingin mengenalkannya dengan Kingsley Shackebolt, sang mentri sihir. Narcissa mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu ketika dia berada tepat di depan pintu kamar putra semata wayangnya itu. 'Lebih baik tidak, aku ingin ia terkejut', batin Narcissa. Dia pun membuka pintu kamar anaknya.

JEDER! Bagai disambar petir di siang bolong, Narcissa terkejut melihat pemandangan yang tersaji dengan apik di hadapannya. Putranya, Draco tidur dengan memeluk seorang pria di sampingnya. Demi celana Merlin! Putranya yang sempurna memeluk seoarng pria! Tidak hanya itu saja, keduanya tidak mengenakan sehelai benang pun. Hanya selembar selimut yang menutupi tubuh polos mereka berdua. Dengan memantapkan hatinya, Narcissa berjalan perlahan mendekati tempat tidur. 'Merlin!' batinnya lagi. Kedua kakinya gemetar begitu ia mengetahui dengan siapa putranya melakukan 'kau-tahu-itu-apa'.

"Draco… dan Potter?" ujarnya tak percaya.

Narcissa merasa dirinya tak sanggup lagi melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Putranya, Draconis Malfoy telah tidur dengan… Merlin! Dengan Harry Potter, si pahlawan dunia sihir! Dia benar-benar tak sanggup lagi. Dia harus segera keluar dari ruangan ini dan menemui Lucius suaminya. Karena berbalik secara tiba-tiba, tak sengaja ia menyenggol sebuah guci yang berada tepat di sebelahnya.

PRANG!

bersambung

a.n : Oke, ini fic pertamaku, er.. cukup panjang memang (atau terlalu panjang?). Berhubung ini fic pertama mungkin masih ada kekurangan di sana sini (termasuk pada adegan 'ehem'-nya, aku tahu aku tahu). So, akankah fic ini diteruskan? Review please…