Bayangkan dirimu adalah seorang gadis dengan tinggi 155 cm, berambut hitam—lurus, seperti bintang iklan shampoo lifeb**y—sebahu, memakai kemeja putih berlengan panjang dengan pita merah sebagai pengganti dasi dan rok pendek lima senti di atas lutut berwarna biru. Kamu adalah seorang siswi Recon High School kelas 11 A angkatan ke 104.

Nah, setelah kamu sudah berhasil membayangkannya, mari kita melangkah lebih jauh ke level selanjutnya.

.

.

.

.

Shingeki no Kyojin Dating Simulation!

.

.

.

.


Warning : Shingeki no Kyojin milik Isayama Hajime!

HighSchool AU! Sebisa mungkin Author mengurangi OOC. SnK characters X Readers! Mungkin akan ada beberapa OC figuran. Readers POV!


.

.

.

.

Happy imagine~!

.

.

.


Chapitre 1 : Rivaille X Readers!


Aku tidak pernah bermimpi mengalami kejadian ini. Membayangkan sedikitpun tidak pernah!

Jadi, hari ini tiba-tiba seorang kakak kelas yang kuketahui sebagai ketua komite kedisiplinan, Rivaille, datang menghampiriku di lokerku sambil membawa secarik amplop warna putih dengan cap lambang OSIS.

"Baru saja aku mau meletakkan ini di lokermu, tapi rupanya kau sudah datang." Ucap pemuda berponi belah tengah itu—ya, aku suka bagian itu—dengan suara rendahnya yang sedikit membiusku. Baiklah, kuakui aku mengaguminya.

Dengan gugup, aku menjawabnya. "A.. Ada apa ya, senpai?" Awalnya aku gugup karena merasa bingung kesalahan apa yang sudah kuperbuat sampai-sampai ketuanya sendiri yang harus menegurku—kalau bukan untuk menegur peraturan sekolah yang dilanggar, untuk apa lagi?—tapi lama kelamaan aku malah gugup karena kedua matanya yang indah menatapku tajam. Apalagi tinggi kami tidak berbeda.

Tangan atletis itu menyodorkan surat yang dipegangnya padaku. "Ini untukmu. Maaf aku tidak menemukan amplop yang lebih pantas. Dipikirkan baik-baik." Pesannya padaku. Apa ini? Surat penangkapan? Tapi kata-katanya yang meminta maaf soal amplop yang kurang pantas... Tidak seperti sedang menangkap seseorang?

"Te.. Terima kasih, senpai." Aku hanya bisa menunduk dan menggenggam surat itu erat-erat. Setengah takut dan setengah malu.

Rivaille mengangguk lalu pergi dari hadapanku. Dengan sedikit was-was kumasukkan surat itu ke dalam tasku dan langsung berlari ke kelas. Aku tidak ingin ada temanku yang melihatku mendapatkan surat penangkapan atau sejenisnya ini! Bagaimanapun juga aku sudah berusaha keras untuk selalu disiplin dan memiliki poin disiplin paling tinggi yang pernah dikurangi sedikit pun sejak awal.

Tapi sekarang! Apa pelanggaran kedisiplinanku begitu berat sehingga harus ketua komite disiplin yang langsung turun tangan?! Aku tidak bisa membayangkan usahaku selama ini sia-sia...

Dengan gontai, kulangkahkan kakiku menuju kelas.

.

.

.

Aku tidak mengerti kenapa dulu aku mengambil mata pelajaran pilihan sejarah Mesir Kuno.

Apalagi materi yang sekarang sedang dipelajari adalah.. tentang dewa cebol, Bes. Sepanjang pelajaran aku dihantui oleh bayang-bayang Rivaille yang memesona... Ah... walaupun ia memang pendek, tapi setidaknya ia lebih tinggi dariku dan posisi wajah kami pas sekali untuk ciuman! Kyaaaa~

Maaf. Kelepasan.

Aku sangat mengagumi Rivaille, dari semua sisi. Makanya aku berusaha keras untuk mematuhi semua aturan sekolah, meski kadang sedikit menyebalkan. Rivaille itu keren, suaranya seksi, auranya membuatku ingin tersenyum sepanjang hari, tapi aroma tubuhnya aku tak tahu. Sayang sekali.

Oh iya, mengenai surat penangkapan itu. Karena terlalu malu, aku tidak berani membukanya di kelas. Walau sekarang aku sangat bosan dan merasa aman untuk membuka surat itu karena teman-teman fokus pada... tidurnya. Iya, sebagian besar tertidur. Tapi kuputuskan untuk membukanya di atap sekolah nanti saat istirahat makan siang!

"Jadi setelah itu Bes dipanggil dewa cebol." Guruku mengakhiri penjelasannya. Kalau dipikir-pikir, kejam juga ya walaupun dia dewa tapi dipanggil dewa cebol, hahaha.

Seorang temanku—Jean Kirschtein—bangun dari tidurnya dan mengangkat tangan. "Pak, berarti kalau mitologi Mesir itu benar, apa si Bes itu masih punya keturunan orang-orang cebol? Jangan-jangan kurcaci itu keturunan dia lagi, Pak?" Aku mengangkat sebelah alis. Tumben Jean memikirkan soal pelajaran ini. Bahkan sampai bertanya segala.

Pak Guru menahan tawa, "tentu saja tidak. Tapi kalau ternyata benar ya mungkin saja yang merasa cebol di sini adalah keturunan dari sang dewa cebol!" Pak Guru berusaha membuatnya terdengar hebat, bahwa kau adalah seorang keturunan dewa. Iya, dewa cebol. Tapi 155 cm bukankah wajar untuk seorang gadis berumur 15 tahun? Bersyukurlah bukan aku yang dimaksud Jean.

"Hebat sekali, Eren, hahaha!" Ejek Jean sambil menepuk-nepuk bahu Eren Jaeger yang duduk di sampingku. Dengan geram, Eren membalas ejekan Jean. "Hahaha, Jean. Lucu sekali. Kalau aku cebol, lalu Rivaille apa? Kerdil?"

Sreg.

Pintu geser kelasku terbuka, menampakkan sesosok pemuda yang sedari tadi kukhayalkan, Rivaille. Ekspresinya masih sedatar biasanya, tapi dari genggaman tangannya di pintu kurasa ia, marah. Jangan-jangan ia mendengar ocehan Eren tadi?!

"Maaf, Sensei. Tapi bel istirahat sebenarnya sudah dari tadi berbunyi dan aku ingin memanggil..." Rivaille pun mendaratkan tatapannya pada kedua iris obdisianku. "... (your name)-san..."

Aku tersentak. Apa? Kok jadi aku? Bukankah yang mengejeknya tadi Eren? Jangan-jangan ini masalah si surat penangkapan tadi pagi? Sebegitu beratnyakah sampai dia mengabaikan penghinaan Eren? Uh, aku kesaal! Tapi sekaligus senang juga sih karena dipanggil oleh dirinya sendiri. Tapi aku kan bukan masokis yang segitu senangnya dihukum, makasih.

"Oh, maaf anak-anak. Kalau begitu kelas kita akhiri di sini. Sampai jumpa minggu depan dan kita akan bertemu dewi yang luar biasa anggunnya, Isis. Kau dengar itu, (your name)-san. Berusahalah untuk menjaga kedisiplinanmu lagi, ya." Tuh, kan. Guru pun tahu kalau berurusan dengan Rivaille pasti ada hubungannya dengan pelanggaran kedisiplinan. Tapi nggak usah mengumumkan di depan kelas juga! Aduh! Sekelas jadi tahu kan kalau aku ada pelanggaran kedisiplinan! Lihat! Beberapa teman-temanku sudah menunjukkan wajah tidak percaya! Sial!

"Ba.. Baik.." Aku mengangguk pasrah dan mengikuti Rivaille keluar kelas. Kukira aku akan dibawa ke ruangan komite kedisiplinan, tapi ternyata kami melewati ruangan itu dan naik ke atap. Lho, mau apa di atap? Jangan-jangan aku akan diadili secara khusus oleh sang ketua? Sebenarnya aku salah apaa?! Hari ini aku tidak terlambat. Aku tidak melanggar aturan berpakaian. Aku menyapa para guru dan anggota OSIS maupun komite disiplin dengan baik hari ini. Aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik—tunggu, ini sih bukan urusannya komite disiplin. Jadi apa?

Dan dengan dramatis Angin berhembus. Berasa mau mulai perang.

Rivaille batuk-batuk lalu memulai pembicaraan, "jadi, (your name)-san, apa kau sudah membaca surat yang kuberikan tadi pagi?"

Wajahku pucat. Oke, belum. Terpaksa jujur, aku menggelengkan kepala, saking takutnya.

"Err..." Rivaille tampak tak suka, tapi ia memalingkan wajahnya dariku. "Baiklah. Kau baca saja di sini."

Wajahku tambah pucat. Gawat! Aku tidak membawanya! Pasti masih di tas! Padahal aku sudah berencana membacanya di sini saat ini tapi karena terbius pemuda tampan di hadapanku ini aku jadi lupa!

—Oke, maaf. Ini memang kesalahanku sendiri. Aku hanya menjadikan pesona Rivaille sebagai kambing hitam.

"Ak.. Aku tidak membawanya ke sini, Senpai." Jawabku takut-takut, sambil menundukkan kepala. Tidak berani menatap wajahnya yang (pasti) saat ini sedang marah padaku. Apalagi aku dapat mendengarnya mendecak kesal barusan. Duh...

Rivaille berdehem—mungkin untuk melancarkan suaranya? Padahal sudah sempurna banget—dan membuka suara lagi. "Baiklah. Kalau begitu kau harus mendengarkanku baik-baik dan jangan berharap aku akan mengulangi kata-kataku."

Aku memberanikan diri menatapnya dan mengangguk pelan. Lalu menghitung dalam hati sebelum Rivaille mengumumkan kesalahanku atau berapa poin yang dikurangi dari kesalahanku yang entah apa tertulis di surat yang tidak kubawa ke sini.

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Li—

"Aku menyukaimu."

—ma?

"Hah?" Aku bengong di tempat.

Rivaille melengos, "sudah kubilang untuk mendengarkanku baik-baik."

Aku menatap matanya dengan pandangan tidak percaya. "Aku mendengarnya baik—sangat baik—Senpai. Tapi... kok?"

"Apa?" Sahutnya masih dengan dingin, tapi aku terlalu terkejut untuk mengagumi suaranya sekarang.

"Ku.. kukira Senpai mengajakku ke sini untuk... memberiku peringatan lagi soal kesalahanku atau mengumumkan berapa poin yang harus dikurangi karena kesalahan itu." Jelasku.

Sedikit gusar, Rivaille menjawab. "Satu-satunya kesalahanmu adalah membuatku menyukaimu. Kau harus membayarnya di Shiganshina Park Land hari Minggu jam sepuluh pagi. Sepakat?"

Walau rasanya kakiku sudah melayang lima senti di udara, tapi aku masih penasaran soal Rivaille yang sama sekali tidak menyinggung kesalahanku di surat penangkapan yang dia berikan padaku tadi pagi. "Di surat yang kau berikan itu bukannya tertulis kesalahanku terhadap aturan atau apapun yang tidak dibolehkan oleh komite kedisiplinan, ya? Bukankah itu yang membuat Senpai memberikan suratnya padaku?"

Rivaille menepuk jidatnya. "Mungkin ini kesalahanku karena terpaksa memakai amplop cap OSIS karena tidak sabar ingin memberinya padamu. Kau buka sendiri saja isinya nanti."

Senyum pun mengembang di bibirku yang sedikit mengering karena angin panas yang sedari tadi bertiup di atap—yah, karena kurang minum juga, sih. "Aku juga sangat menyukai Senpai!" Kunyatakan dengan sangat percaya diri karena dia sudah menyatakannya duluan, hihihi.

Dapat kulihat sedikit tarikan senyum di bibir indah Rivaille—aku tahu dia terlalu gengsi untuk sekedar senyum. Tapi ia keren, sungguh—dan ia mengulurkan tangannya kepadaku. "Tawaranku untuk bayaran atas kesalahanmu. Sepakat?"

Shiganshina Park Land? Aku tidak menyangka dia rela mengajakku ke tempat banyak wahana yang kusangka dia tak suka—oke, image dalam diriku dia lebih sering membaca buku—tapi aku tertawa dan mengiyakan ajakannya dengan menyambut uluran tangannya. Dengan sedikit rasa tidak percaya bahwa akhirnya aku bisa juga menyentuh tangannya.

Rivaille langsung menggenggam tanganku dan tiba-tiba menariknya sambil mendekatkan tubuhnya padaku. Hanya dalam hitungan waktu satu detik, aku membelalakkan mataku, kaget. Bibir indahnya yang selalu kukagumi dari jauh sedang mengulum bibirku dan menciptakan sensasi yang tidak biasa—sekaligus luar biasa—ke sekujur tubuhku. Jadi ini.. ciuman? Bibirku basah seketika oleh saliva-nya. Setelah satu menit penuh—aku menghitungnya dengan detak jantungku—ia memberiku kesempatan untuk menghirup oksigen dan membisikkan sesuatu di telingaku yang membuatku merasa selalu ingin berbuat kesalahan di depannya.

"Aku akan menghukummu seperti ini bila kudapati kau melakukan kesalahan."

Aku memeluknya dengan rasa bahagia yang meluap-luap dan tangannya—yang cukup besar—mengelus puncak kepalaku. "Aku menyukaimu. Sangat." Ucapku berulang kali.

"Walaupun aku tidak setinggi yang lainnya?" Tanyanya, masih dengan suara beratnya yang seksi dengan nada dingin. Aku tertawa, aku tidak menyangka dia meresahkan soal ini juga. Apa ini gara-gara dia mendengar ocehan Eren di kelas sejarah Mesir Kuno?

"Tidak, aku tidak peduli. Toh dengan begini kita tidak kesulitan untuk saling menautkan bibir kita, bukan? Eh!" Aku refleks berteriak karena menyuarakan suara hati yang sudah lama kupikirkan soal dirinya. Uh! Malunya!

Rivaille melepas pelukanku. Menatapku dengan tatapan dingin yang tajam. A.. Apa? Jangan-jangan dia jijik mendengar ucapanku barusan! Lalu ia membenciku! Tidaaak!

"Kamu... punya pikiran nakal juga." Akhirnya ia bersua. Lalu, menyeringai? "Aku... juga."

Sekali lagi bibir kami berdua terlibat dalam satu ciuman yang membuatku terbang hampir ke langit ke tujuh.

.

.

.

.

Owari ^^

.

.

.


A/N : INI KENAPA JADI TERKESAN NGERES. /dor/ Maaaaaaafffff!

Dan btw ini khayalan tingkat tinggi banget minna, duh aku butuh tisu... /mimisan/ adegan selanjutnya tolong anda khayalkan sendiri soalnya kalo ditulis nanti darahku bisa habis-ssu!

Oh iya, untuk chapter selanjutnya silakan masukkan request di kotak review~ ^^