Disclaimer: Harry Potter belongs to JK Rowling. Not me. I just own the plot and several OC.

Summary : Dudley selalu merasa hidupnya sama seperti orang-orang kebanyakan, normal. Dia memiliki istri yang cantik dan dua anak yang mengagumkan. Lalu di hari ulangtahun putrinya, hidup Dudley dan keluarganya berubah. Ke arah lebih baik atau lebih buruk?


Changes

By nessh


Fiona Dursley's Birthday

Fiona Dursley membuka matanya perlahan, ia menguap lalu menggeliat di atas ranjangnya yang nyaman. Seberkas cahaya matahari menyelinap dari balik jendela kamarnya. Fiona bangkit dari kasurnya, berjalan gontai ke arah jendela. Rambut pirang panjangnya terlihat berantakan, tapi Fiona terlalu mengantuk untuk memperdulikannya. Fiona membuka gorden dan jendelanya, membiarkan angin musim semi yang hangat menerpa kulit pucat wajahnya.

Baru pukul 7 pagi, batin Fiona. Kemudian ia menyadari sesuatu. Hari ini adalah hari sabtu tanggal 4 April, dengan kata lain, hari ini adalah hari ulangtahun Fiona. Fiona tersenyum lebar, ia segera mengambil jubah tidurnya dan berlari keluar kamarnya.

Dudley dan Caroline Dursley masih terlelap. Udara musim semi dan fakta hari ini adalah akhir pekan membuat mereka ingin tidur lebih lama dan bermalas-malasan. Dudley melingkarkan tangannya di pinggang Caroline, menariknya lebih dekat hingga punggung Caroline menempel di dada Dudley.

"Semoga dia tidak mengganggu kita pagi ini," gumam Dudley tidak jelas.

Caroline mendengus, "Yang benar saja. Itu hampir tidak mungkin,"

Dudley terkekeh pelan, lalu ia kembali terlelap.

Fiona berlari menyusuri lorong dengan semangat, ia masuk ke kamar Jason, adik laki-lakinya yang baru berusia satu tahun. Fiona melongok ke dalam tempat tidur adiknya, Jason sudah bangun, ia asyik menggigiti boneka beruangnya.

"Fi!" kata Jason riang begitu melihat Fiona, ia mengulurkan tangannya, menggapai-gapai pada Fiona yang menyambutnya.

"Pagi Jason! Hari ini hari ulangtahunku, mulai hari ini aku berumur tujuh tahun. Enam tahun lebih tua darimu Jas," kata Fiona sambil menggenggam tangan mungil Jason. Jason terlihat mirip sekali dengan Fiona, kecuali untuk rambutnya, Jason memiliki rambut Caroline, hitam. Tapi baik Jason maupun Fiona memiliki mata yang sama, mata biru kehijauan Caroline.

"Fi!"

Fiona tersenyum, "Sebaiknya aku membangunkan Mommy dan Daddy. Bagaimana menurutmu?"

Jason tersenyum lebar, memamerkan giginya yang baru saja tumbuh. "Momma! Dadda!"

Fiona nyengir, "Aku tau kau pasti setuju," Fiona mengecup pipi adiknya, membuatnya terkikik. "Aku akan segera kembali!"

Fiona kembali berlari keluar kamar, kali ini ia berlari menuju kamar kedua orangtuanya.

Brak!

Fiona membuka pintu keras-keras, lalu melompat ke ranjang kedua orangtuanya. "Mummy! Daddy! Bangun! Ini hari ulangtahunku!" seru Fiona semangat, ia melompat-lompat di atas ranjang, membuat Dudley dan Caroline mengerang protes.

"Fiona, ini akhir minggu dan—astaga! Baru jam tujuh pagi!" protes Dudley, "Aku benar-benar membutuhkan tidur. Caroline, bawa putrimu kebawah, aku masih mengantuk,"

Caroline menggeliat, "Putriku? Di bawah jam sembilan dia putrimu," koreksi Caroline sebelum ia kembali menutup matanya.

"Ayolah Mummy! Daddy! Grandad dan Granna kan mau datang!" Fiona tetap melompat-lompat di atas ranjang.

"Dan itu masih dua jam lagi. Biarkan Mummy dan aku tidur sebentar lagi,"

Fiona melipat kedua tangannya di dada, "Tidak. Aku mau Mummy dan Daddy, bangun, SEKARANG!" ujarnya keras kepala. Melihat kedua orangtuanya tidak merespon, Fiona kembali melompat-lompat, "MUMMY! DADDY!"

Dudley mengangkat kedua tangannya, "Oke, oke. Daddy bangun, Daddy bangun,"

Caroline mengalah, "Oke aku bangun,"

Kedua tangan Dudley segera meraih Fiona, lalu menggelitiknya. Fiona tertawa, berusaha lepas dari cengkraman Dudley sambil berteriak, "Daddy! Hentikan! Ampun!"

Dudley tertawa, "Tidak. Ini hukuman karena sudah mengganggu tidurku dan ibumu,"

Fiona meronta, "Oke! aku minta maaf!"

Caroline yang kini sudah benar-benar bangun, karena guncangan yang ditimbulkan Dudley dan Fiona tidak memungkinkannya untuk tidur lagi, menatap suami dan putrinya dengan setengah kesal, setengah geli. "Hentikan kalian berdua. Aku tidak mau kasur kesayanganku rusak karena kalian,"

Dudley berhenti menggelitik Fiona, mereka berdua menatap Caroline, tersenyum lebar sambil terengah-engah. "Pagi, love," bisik Dudley sebelum mencium Caroline.

"Yuck! Sudah berapa kubilang agar tidak melakukan—ini! Di depanku!" gerutu Fiona dengan wajah memerah ketika melihat kedua orangtuanya berciuman.

Caroline dan Dudley tertawa pelan, lalu mereka berdua mencium Fiona bergantian.

"Selamat ulangtahun Fiona,"

"Selamat ulangtahun princess,"

Fiona terkikik, "Terima kasih Mummy! Daddy!" Fiona melempar dirinya ke pelukan Caroline dan Dudley, "Aku menyayangi kalian," bisiknya.

Caroline tersenyum, "Kami juga menyayangimu, Fio,"

Caroline bangkit dari kasur, mengambil jubah tidurnya lalu melilitkannya di tubuhnya. "Sebaiknya aku melihat Jason," ia memberi Dudley dan Fiona ciuman sebelum berjalan keluar ruangan. "Sebaiknya kalian bersiap-siap dari sekarang,"

Dudley dan Fiona mengangguk.

Setelah Caroline keluar dari ruangan, Dudley melirik Fiona, "Siap untuk ronde kedua?"

Mata Fiona membulat, sebelum ia sempat menghindar, Dudley menangkapnya lalu kembali menggelitiknya. "Daddy! Hentikan!"


Dudley sedang menyiapkan kopi untuk dirinya dan Caroline, juga segelas susu untuk Fiona. Caroline masih di atas, menyiapkan Jason sementara Fiona sudah asyik dengan serealnya di meja makan. Dudley menuangkan air panas ke gelas bergambar jerapah milik Fiona, mencampurnya dengan sedikit air dingin hingga hangatnya pas untuk Fiona.

"Ini susu cokelatmu Fio," kata Dudley, meletakkan gelas jerapah itu di dekat Fiona.

"Terima kasih Daddy!" sahut Fiona riang, Dudley tersenyum. Ia mengecup kening Fiona sebelum kembali ke dapur. "Daddy! Aku mau sereal lagi!"

"Sebentar Fio!" di saat yang bersamaan, terdengar suara ketel air panas. Dudley mematikan api, ia menuangkan beberapa sendok kopi dan gula ke dalam gelas, lalu menuangkan air panas ke dalamnya.

"Daddy!"

"Apa yang aku bilang padamu tentang bersabar Fiona?" kata Dudley tenang. Dia menyampurkan sedikit susu kental ke dalam cangkir Caroline lalu mulai mengocek semuanya.

"Aku mau sereal!"

Dudley sedikit kesal, "Nanti Fiona! Daddy sedang sibuk!"

Brak!

Dudley terlonjak kaget. Dia melihat lemari yang berada di atasnya terbuka lebar dan sekotak sereal kesukaan Fiona melayang melewatinya. Mata Dudley melotot, dia tidak pernah melihat kejadian seperti ini sejak—

Oh tidak, batin Dudley. Ia melongok ke ruang makan, Fiona asyik menuangkan serealnya ke dalam mangkuk, terlihat sama sekali tidak terganggu dengan apa yang baru saja terjadi. Fiona menoleh, ia nyengir pada Dudley, lalu kembali berkonsentrasi pada makanannya.

Dudley yakin dia tidak salah lihat, tidak mungkin salah lihat. Ia yakin kotak sereal itu melayang melewatinya, ia yakin bahwa putrinya, Fiona baru saja melakukan—Dudley menggeleng. Dia terbiasa untuk tidak mengatakan kata itu sejak ia kecil. Kedua orangtuanya tidak mau kata-kata semacam itu di sebutkan di bawah atap rumah mereka. Itu adalah kata terlarang yang akan membuat Vernon marah besar dan berteriak histeris.

Tapi—hey, Dudley tidak sedang berada di Privet Drive. Ini rumahnya, dia bebas berkata apapun yang dia inginkan, di rumah ini tidak ada kata terlarang. Jadi, mari kita luruskan. Fiona baru saja melakukan—sihir. Akhirnya. Dudley merasa lega karena dia bisa mengatakan kata itu dengan bebas.

"Dudley?"

Dudley melonjak lagi, ia menoleh. Caroline sudah berganti pakaian, Jason berada di pelukannya. Caroline menatapnya khawatir, "Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat, apa kau sakit?"

Dudley berusaha tersenyum, ia menggeleng pelan. "Tidak apa-apa,"

Caroline menatapnya tidak percaya, ia menaruh Jason di kursi tinggi. "Aku membuatkanmu kopi," Dudley menunjuk ke arah dapur, ia baru berbalik, hendak mengambil gelas yang tadi ia tinggalkan. Caroline menahannya, "Duduklah Dudley, biar aku," Caroline menciumnya sekilas, sebelum meninggalkannya di ruang makan bersama Jason dan Fiona.

Dudley tersenyum, selain Jason dan Fiona, Caroline adalah hal terbaik yang pernah terjadi padanya. Dia mencintainya, dan akan selalu mencintainya.

Ting tong!

"Grandad! Granna!" Fiona langsung melompat dari kursi dan berlari kedepan. Dudley menggeleng-geleng melihatnya, ia mengambil tempat duduk dan mulai membaca koran. Caroline masuk membawa dua buah gelas dan menyerahkan salah satunya pada Dudley.

"Dia terlihat sangat semangat," komentar Caroline.

Dudley terkekeh, "Aku juga seperti itu saat aku kecil,"

Tidak lama kemudian, Fiona kembali masuk ke ruang makan, diikuti Vernon dan Petunia Dursley. Fiona terlihat sudah memeluk beberapa buah kado, dan beberapa lagi terlihat di tangan Vernon. Alis Caroline dan Dudley terangkat, mereka berdua sudah beberapa kali mengingatkan Vernon dan Petunia agar tidak memanjakan Fiona atau Jason. Tapi sepertinya itu sama sekali tidak berguna, Petunia dan Vernon, terutama Vernon, tetap bersikeras memanjakan mereka berdua.

"Cucuku hanya mereka berdua!" itu kata Vernon ketika Dudley berusaha memintanya untuk berhenti memanjakkan Fiona dan Jason untuk kesekian kalinya.

"Mummy! Daddy! Lihat, Grandad dan Granna memberiku banyak hadiah!" kata Fiona riang, memamerkan bungkusan berbagai ukuran di tangannya.

"Aku melihatnya pumpkin," kata Dudley.

"Pagi Vernon, Petunia. Kopi?" tanya Caroline. Vernon dan Petunia bergabung dengan Dudley di meja makan.

Petunia menggeleng, "Kami baru saja sarapan,"

"Jadi Fiona, apa yang kau inginkan untuk ulangtahunmu?" tanya Vernon.

Dudley segera menatap ayahnya, "Dad, kau tidak berencana membelikan Fiona sesuatu lagi kan? Tolong, Dad, jangan terlalu memanjakannya,"

"Aku setuju dengan Dudley, Vernon. Kita sudah membelikannya banyak mainan," dukung Petunia, Dudley mengangguk-angguk, senang Petunia berada di pihaknya.

Vernon mendengus, "Kau mendapatkan tigapuluh delapan kado untuk ulangtahunmu yang kesebelas Dudley. Kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama dengan kedua anakmu?"

Dudley memutar matanya, memang dia mendapatkan banyak sekali hadiah setiap ulangtahunnya. Dan Dudley tau apa akibatnya, dia menjadi anak yang sangat manja dan sulit untuk mandiri. Kuliah adalah salah satu hal terberat yang dia alami, dia mengalami banyak kesulitan. Tapi di sanalah ia bertemu Caroline, yang membantunya untuk lebih mandiri, membantunya lebih dewasa. Caroline adalah gadis pertama yang membuatnya jatuh cinta, dan tidak akan ada seorang pun yang bisa menggantikannya.

"Aku tidak mau mereka menjadi manja. Itu akan menyulitkan mereka di masa depan," Dudley menghela nafas, sebelum berkata pelan, "Aku tau bagaimana rasanya,"

Vernon menoleh, "Apa?"

Dudley menggeleng cepat, "Tidak,"

Vernon menatapnya curiga, Dudley menelan ludah, ia takut Vernon menyadari kalimat terakhir yang ia ucapkan. Suara Fiona-lah yang menyelamatkannya. "Aku ingin membuka hadiahku," kata Fiona. Vernon langsung mengalihkan perhatiannya pada Fiona, "Ayo kita buka kalau begitu,"

Caroline menyela mereka, "Wow, kalau kalian mau membuka kado, lakukanlah di ruang tengah,"

Fiona nyengir, ia dan Vernon langsung membawa semua kado ke ruang tengah. Jason, yang melihat kakaknya pergi, langsung merengek. "Fi!" Jason terus menunjuk ke arah Fiona.

Caroline menghela nafas, "Sebaiknya aku membawa Jason ke ruang tengah juga," ia menggendong Jason dan pergi menyusul Vernon dan Fiona, meninggalkan Petunia dan Dudley.

"Kau terlihat bahagia Dudley," kata Petunia, tersenyum pada putra satu-satunya.

Dudley balas tersenyum, "Aku memang bahagia, sangat bahagia. Caroline—dia sempurna. Fiona dan Jason, mereka—mengagumkan,"

Petunia mengangguk, "Aku setuju denganmu. Kau punya keluarga yang sempurna," Petunia menghela nafas, ekspresinya berubah. "Aku berpikir, bagaimana kehidupan dia sekarang?"

"Siapa Mum?"

Petunia tersenyum lemah, "Harry,"

Dudley terdiam, begitu pula Petunia. Itulah pertama kalinya nama Harry di sebut setelah kurang lebih dua belas tahun berlalu dan mendengar nama Harry membuat Dudley teringat kejadian pagi ini.

"Kita tidak bertemu dengannya sejak—" Petunia menunduk.

"Sejak dia pergi dari rumah," lanjut Dudley, ia menatap Petunia. "Tapi aku yakin dia baik-baik saja, Mum,"

"Aku harap. Aku berhutang banyak padanya, pada Lily,"

Tiba-tiba terlintas di benak Dudley untuk menanyakan tentang Harry kepada Petunia. Mungkin Petunia tau dimana kedua orangtua Harry dulu tinggal, mungkin kini Harry mengambil alih rumah itu dan tinggal di sana. Mungkin Harry bisa menjelaskan padanya apa Fiona—seperti dirinya atau tidak.

Dudley memarahi dirinya sendiri. Apa sulitnya menyebutkan kata itu? oke, kita mulai lagi dari awal. Mungkin Harry bisa menjelaskan apa Fiona—penyihir atau bukan. Nah, itu baru kalimat yang tepat. Dudley menghela nafas lega. Tidak menyadari sedari tadi Petunia menatapnya bingung.

"Ada yang kau pikirkan Dudley?" tanya Petunia cemas.

Dudley mengangguk ragu. "Aku tidak tau apa yang harus kukatakan," bisiknya.

"Kau tau, kau bisa bertanya apapun padaku," Petunia menggenggam tangan Dudley, berusaha meyakinkannya.

Dudley berdeham pelan, "Apa—Apa Mum tau dimana Harry tinggal?—atau bagaimana aku bisa menghubunginya?"

Dahi Petunia berkerut, ia tidak pernah membayangkan Dudley menanyakan tentang sepupunya yang sudah lama tidak ia temui. "Aku tau kedua orangtuanya tinggal di Godric's Hollow, sekitar satu jam dari London. Apa yang membuatmu menanyakan Harry?"

Dudley tidak pernah tau bagaimana caranya menjelaskan tentang hal ini pada Petunia atau pun Vernon. Ia tau Petunia tidak akan bereaksi sekeras Vernon, tapi—tetap saja. "Ini tentang Fiona," kata Dudley akhirnya.

"Ada apa dengan Fiona? Dia gadis kecil yang menyenangkan, tidak ada yang salah dengannya,"

Dudley menggeleng, "Dia memang menyenangkan. Fiona itu luar biasa mengagumkan. Tapi kurasa dia—" Dudley berusaha mencari kata lain. Kata yang kira-kira lebih halus dan bisa mengurangi reaksi tidak menyenangkan yang kira-kira akan ia dapatkan. Tapi dia tidak menemukannya.

"Dia kenapa Dudley?" Petunia menuntut penjelasan.

"Aku rasa Fiona seorang—" Dudley menelan ludah, lalu menggumamkan sesuatu.

"Apa? aku tidak mendengar—"

"Aku rasa Fiona seorang penyihir," wajah Dudley agak pucat menunggu reaksi Petunia. Petunia terlihat terkejut, sangat terkejut. Wajahnya juga agak memucat, ia membuka mulutnya, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sampai mereka berdua mendengar—

"Dia seorang apa?"

Petunia dan Dudley terlonjak, mereka menoleh. Mendapati Vernon menatap mereka dengan wajah merah dan sorot mata yang—jelas tidak bersahabat lagi. Wajah Dudley semakin pucat, dia sangat tidak siap menghadapi Vernon sekarang, sepertinya Dudley tidak akan pernah siap menghadapinya.


a/n: allo! terima kasih untuk membaca fic-ku ini :D

sekedar pemberitauan, untuk dua fic-ku yang lain (that girl dan stay here) masih dalam status belum bisa dilanjutkan karena satu dan lain hal. x(

read and review guys xD