Cast : Oh Sehun, Lu Han, Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Kim Jongin, Do Kyungsoo | Genre : Drama, Crime, Hurt/Comfort | Rated : M | Summary : Ketika takdir keduanya bersanding. Ketika tiga garis hidup bersanding. Membentuk tiga cerita yang bersinggungan. Dan cerita yang mana 'kah yang paling menarik?
.
.
.
WARNING : Genderswitch for uke. Typo(s). Absurd. Klise─pake─banget.
.
.
.
Present "Innocent Spring Breeze" for HUNHAN INA BIG EVENT
.
.
.
BAB I
.
.
.
Kau bermimpi lagi hari ini. Sebuah mimpi dengan kakak tercinta selaku aktor utamanya. Bukan kakak kandung sebenarnya, dan kau pun sangat bersyukur akan fakta yang satu itu. Karena kau tak akan terlalu memusingkan hal-hal rumit seperti hubungan incest. Ya, kau mencintainya.
"Nah, sudah siap. Maaf membuatmu menunggu, Hun-ah."
Sangat mencintainya. Kau mencintai semua segala yang berhubungan dengannya. Memainkan permainan klasik bersamanya, bersepeda bersama hingga bereksperimen dengan lingkungan. Semuanya. Kau selalu menyukai─
Splash.
─bohong. Tidak sepenuhnya bohong, namun kau tidak menyukai eksperimen semacam ini.
"Ah! Maaf." Ia menatapmu khawatir karena tidak sengaja membuka keran terlalu bersemangat, membuat air menabrak wajahmu keras.
Terkejut. Tanpa kompromi tubuhmu gemetar bersamaan dengan genangan air mata siap meninggalkan pelupuk. Oh, tidak. Bagaimana ini? Kau tidak mau memperlihatkan sisi cengengmu di hadapan siapa pun. Apalagi dihadapannya. Itu tidak keren sama sekali.
"Ini hukuman untuk anak nakal." Ia memamerkan seulas senyum sebelum mengusak handuk ke kepalamu, mengusir bulir air yang membuat rambutmu lepek. "Sst... Maaf sudah menakutimu. Kemarilah."
Selepas itu, ia sudah merangkup tubuhmu dalam dekapan, membuatmu hanyut dalam aroma khasnya. Yang satu ini merupakan favoritmu. Kau sangat menyukai caranya menyalurkan afeksi, seolah dirinya sedang merangkumkan semesta hanya untukmu.
Kau menyerbunya hingga ia tergeletak di atas rerumputan, tak peduli jika punggungnya akan terasa lembap oleh genangan air. Kau hanya tak dapat menahan dorongan batin dalam dirimu.
Namun, kenapa? Semakin kau mencintainya, semakin dadamu terasa sesak?
.
Innocent Spring Breeze
.
Gambar-gambar itu berganti dengan cepat, melompat dari satu potongan kenangan ke potongan yang lain. Ketika mimpi buruk menghampirimu. Kau tidak menginginkan ini. Kau duduk bersimpuh, memeluk salah satu kakinya erat seolah tak ingin ia terlepas dari pelukmu.
"Biarkan aku pergi sekarang."
Tidak. Tak akan ku biarkan pergi.
"Kemana noona akan pergi dengan tas besar itu? Jangan tinggalkan Sehun." Gelengan kepala bersamaan dengan semakin eratnya pelukmu pada kakinya.
Suara lembut itu berbisik menyusul setelah hembusan nafas terdengar. "Hun-ah." Mengangkat tubuh mungil milikmu seraya belutut mengimbangi tinggimu. "Noona akan segera pulang." Tangannya meraih kepalamu dan sesekali mengusap surai kelabu milikmu. Mengikis jarak dan menumpu kepalanya pada dahi kecilmu. "Jadilah anak yang baik untuk ku, janji?"
Kepalan jari yang terjulur belum mampu mengalihkan pandanganmu dari pupil jernih itu, menyelaminya mencari secuil bualan disana. Entah sihir apa yang melekat pada mata itu, selalu saja, kau tunduk hanya dengan sekali tatap.
Puk.
Ketika dua kepalan tangan milik kalian bertemu, kalian memiliki cara tersendiri untuk saling mengerti. Karena itulah, kalian adalah 'saudara'. Tatapanmu beralih, kepalan itu menumbuhkan sebuah ambisi. Kau berikrar jika suatu hari nanti akan kau ubah kepalan yang saling beradu itu menjadi bertaut satu sama lain.
"Hm..." Kau hanya dapat bergumam. Meredam kekalutan seiring jarak yang tercipta semakin lebar. Ia sudah beranjak bersama dua orang dewasa, mereka terlihat bahagia, layaknya keluarga kecil harmonis. Meminggalkanmu yang kembali duduk bersimpuh. Menabahkan diri dengan tumpuan serangkaian kata dari mulutnya.
'Noona akan segera pulang.'
Benarkah?
Ia berkata akan kembali menemanimu besok.
Pembohong.
Nyatanya ia tak pulang pada hari berikutnya dan hari berikutnya lagi.
Musim semi, 26 Mei.
Suhu yang ringan dan menyegarkan menjadikan musim semi sebagai musim yang ideal untuk menyaksikan bunga-bunga bermekaran. Cherry blossom, forsythia, azaleas hingga bunga magnolias akan memanjakan mata pada puncak musim itu.
Diantara bunga-bunga itu, yang paling memikatmu adalah lilac putih. Dalam bahasa bunga, lilac putih berarti "my first dream of love". Begitu tersurat untuk seseorang.
Mimpimu begitu sederhana. Hanya ingin ia segera pulang. Tepat seperti perkataannya.
Disaat orang berbondong-bondong menghadiri festival agar dapat menikmati keindahan bunga, kau adalah pengecualian. Kau hanya duduk sembari menatap jalanan sambil merapal mantra.
Mungkin saja noona sedang dalam perjalan pulang. Sebentar lagi mungkin ia akan tiba.
Namun sepertinya mantra itu tidak mujarab sama sekali. Karena ia belum juga pulang.
Musim panas, 02 Agustus.
Suhu yang tinggi memang sudah menjadi identitas musim yang satu ini. Namun keringnya musim panas seakan menghilang karena frekuensi hujan yang turun ditengah musim panas membawa sejuk bagi penduduk negeri gingseng. Lagi-lagi kau menjadi sebuah pengecualian.
Bahkan miliaran rintik hujan tak mampu mengusir kekeringan dalam lubuk hatimu. Kau tetap merasa tandus dan haus. Yang kau butuhkan hanya ia, si embun. Entah berapa lama lagi kau dapat bertahan dalam keadaan sekarat, hingga mencapai limit dan mati dehidrasi.
Musim gugur, 11 November.
Pada musim ini sisa-sisa udara panas musim sebelumnya masih terasa ketika siang hari namun akan terasa dingin pada malamnya. Musim gugur merupakan musim yang indah dengan dominasi merah jingga daun yang berjatuhan menggambarkan khas musim gugur.
Ditemani daun yang berguguran, kau masih bertahan duduk menunggunya tanpa kepastian. Padahal kau adalah tipe seseorang yang membenci ketidakpastian.
Kenangan demi kenangan berputar serupa kaset rusak. Terus menerus berulang. Pikirmu, setidaknya akan mengobati rasa rindu. Salah besar. Kenangan-kenangan itu hanya akan menyakitimu secara psikis. Membuatmu nampak seperti seorang masokis.
Sial! Seberapa lamanya 'segera' yang kau maksud, noona?
Musim dingin, 25 Desember.
Musim dengan suhu terdingin, mencapai minus tiga derajat bahkan bisa saja lebih. Biasanya hari-hari menjadi lebih pendek, seolah matahari turut tertular penyakit malas manusia, ia terbit begitu lambat dan tenggelam lebih awal.
Bahkan setelah empat musim terlewati, kau tetap keras kepala. Masih tetap menyimpang dari aturan alam. Kau begitu setia terhadap pendirianmu, duduk serta menunggu. Mengabaikan ganasnya angin yang bertiup dari Siberia, mengoyak mantelmu dan berakhir menusuk lapisan epidermis milikmu.
Musim dingin kali ini harus kau lewati sendiri, memeluk syal miliknya. Menjaga agar syal itu tetap hangat, agar ketika ia datang dan lupa memakai syal kau dapat membagi hangatmu lewat syal itu. Sebab kau begitu paham, kebiasaan pelupanya. Seperti tahun lalu, ia hanya selalu menjadikan orang lain prioritas melebihi dirinya sendiri. Ia mengomelimu yang ceroboh tidak memakai syal dan blablabla. Namun pada akhirnya ia sendiri yang terserang flu. Lagipula, musim dingin adalah musim yang paling tidak disukai olehnya.
Santa─haraboji, disana 'kah engkau? Ini aku, Oh Sehun. Jika engkau benar-benar ada, Sehun tidak menginginkan bubble tea atau mainan lagi. Sehun hanya ingin noona segera pulang. Katamu tepat sebelum jam berdentang mengakhiri hari natal. Selamat hari natal, noona.
Musim semi yang kedua, 12 April.
Kalian memang mempunyai tanggal lahir yang berdekatkan, hanya beberapa hari lebihnya setelah ulang tahunmu, namun di tahun yang berbeda. Entah hanya kebetulan─ah, kau bahkan tak mempercayai kebetulan. Menurutmu tak ada yang kebetulan di dunia ini. Hanya ada dua kemungkinan. Kebetulan yang memang tercipta dalam garis hidupmu atau kebetulan karena faktor kesengajaan.
Kau percaya jika mungkin kalian memang dua orang yang terlahir dalam suatu persinggungan garis hidup. Berharap jika ia tak keberatan jika pasangan hidupnya lahir beberapa tahun setelah dirinya.
"Selamat ulang tahun, Hun-ah." Persis ketika umurmu baru mencapai dua digit pertama, lembutnya suara yang tertanam permanen dalam otaknya terdengar begitu nyata. Si embun pelepas dahaga.
Walau kau tersenyum kala itu, kau tahu bahwa kau menangis bukan karena merasa tersentuh. Rasanya tak tergambarkan. Begitu rancu. Akhirnya kau memutuskan untuk meringkuk terisak keras di atas kasur.
Satu sentuhan mendarat. Semuanya masih terasa sama, tenteram. Tangis kalutmu berganti menjadi tangis haru.
"Seo-omonim bilang, kau tidak makan dengan teratur 'kan?"
Belum mampu berkata, sesegukan menjadi jawaban.
"Maaf tidak menepati janji dan membuatmu menunggu begitu lama." Vokal lembut itu terdengar semakin mendekat. "Noona akan menemani─"
'Noona akan kembali menemanimu besok.' Spontan kau merangkak menjauh masih dengan posisi meringkuk, trauma mendengar janji tak tertepati itu. Bahkan ketika ia nayris melabuhkan kecupan di puncak kepalamu.
"Masih tidak mau memaafkan noona, eum?" Sentuhan lagi. "Padahal noona akan mengajak Sehun pergi dan tinggal bersama."
Karena kau sudah pulang. Sehun akan memaafkan noona...
Pada akhirnya kau berhenti menangis dan tertidur meringkuk dalam pelukannya.
...jika noona akan selalu bersama dengan Sehun.
Lagi-lagi kau mulai bermimpi lagi hari ini. Kali ini kau pasti akan bermimpi indah. Lantaran kau telah menggenggam 'mimpi' dalam dakapmu.
.
Innocent Spring Breeze
.
Pemandangan itu dengan cepat bergulir dan kini berpindah ke kepingan ingatan lainnya. Dimana dahan pohon bergoyang mengikuti arah angin bertiup. Mengetuk jendela kaca sebuah kamar, seolah ingin membangunkanmu yang masih asyik menjelajah neverland. Kenop diputar seratus delapan puluh derajat, mempersilakan eksistensi lain masuk mencoba mengusikmu, si pangeran tidur.
Pertama-tama ia menggeser gorden yang sempat menghalang sinar matahari, dan sekarang mereka bebas memenuhi kamarmu. Kau mulai menggeliat terganggu.
"Noona? Itu kau? Aku masih ingin tidur, noona."
"Siapa lagi, huh? Bangun kau pangeran tidur." Ah, suara lembut itu dapat menjadi polusi suara jika ia sedang marah.
"Mana cium ku kalau begitu?" Bahkan ketika nyawamu belum terkumpul sepenuhnya, kau dapat menggodanya. Bagaimana jika sudah terkumpul? "Noona bilang aku pangeran tidur 'kan?"
Pegas springbed berderit. Menandakan seseorang duduk membebaninya. "Begitu, ya? Kau tidak takut diomeli seseorang?"
Dahimu berkerut diikuti dengan bibir yang mengerucut. "Siapa? Memangnya noona sudah mempunyai pacar?"
"Hm... Seseorang bernama Kris mungkin?"
Seketika orbs hitam milikmu melebar. "Oh, astaga! Jam berapa ini?"
Ia melirik jam dinding sejenak. "Sembilan tepat." Pada detik berikutnya pegas melenting kasar karena kau baru saja meloncatinya. "Yak! Kau tak lagi ingin dicium?"
Kau mendengar teriakannya diselingi kekehan di balik kamar mandi. Mengabaikan pertanyaannya, kau balik bertanya. "Kenapa noona tidak membangunkan ku lebih awal? Bukankah aku sudah berkata jika aku memiliki janji dengan Kris pagi ini?"
"Entahlah. Aku hanya ingat seseorang berkata, 'aku masih ingin tidur, noona.' Kau tidak ingat?" Gezz. Sarkartis dan juga ia peniru yang baik. Sangat lucu sebenarnya saat ia meniru timbre pemalas khasmu. "Oh ya. Aku baru tahu kebiasaan mandimu tanpa membawa handuk."
Kau mengumpat dalam hati melupakan benda satu itu. "Uh-oh. Noona keluarlah. Mungkin aku akan keluar dari sini bertelanjang."
"Eh? Kenapa aku harus keluar dan melewatkan hal indah begitu saja?"
"Aish. Yak, noona!"
Lagi-lagi berakhir dengan gelak tawa, kemudian suara bedebam pintu terdengar samar.
.
Kau memaksa kaki-kaki mungil itu meloncati dua anak tangga. Melangkah terburu─nyaris berlari.
"Perlahan, Hun-ah. Aku sudah menyiapkan sarapan, jadi makanlah terlebih dahulu."
"Tapi aku─"
"Oh Sehun."
"Ukh... Baiklah."
"Kunyah dengan benar sebelum menelannya. Lagipula itu hanya Kris, biarkan dia menunggu sedikit lebih lama."
"Mwanwa mwung─"
"Jangan berbicara ketika makan. Dan juga jangan meninggalkan sisa di atas piring."
Terkadang malaikat pun dapat bertranformasi menjadi iblis. Kau bersungut-sungut dalam hati.
"Terima kasih sarapannya, noona." Katamu setengah berteriak, setelah tak ada sebutir nasi yang tersisa. "Aku akan ber─"
"Mau pergi kemana kau dengan rambut yang berantakan itu, Hun-ah?"
Ia menjamah helaian anak rambutmu dengan perlahan. Ingin berlama-lama meresapi tiap jamahan itu namun ia sedang terburu, malah berujung dengan kecupan kilat mendarat di bibir plum. Orbsnya melotot tajam.
"Aish! Oh Sehun!"
Selagi terkekeh kau kabur. "Hanya mengambil cium ku yang sempat tertunda, noona."
Pintu sudah tertutup sempurna ketika wedges tujuh sentimeter terbang bebas.
.
Langit malam yang berwarna
Penuh olehmu, seseorang yang tidak mau pergi
Ini membangunkanku dari tidurku
Cium aku lagi
.
Jam tanganmu menunjukkan satu jam telah berlalu semenjak senja tiba. Tanganmu terus saja menggenggam kotak kecil dalam saku mantel yang kau dapatkan ketika bersama Kris tadi. Kau terus berjalan menaiki anak tangan satu persatu hingga akhirnya tiba di depan apartemen sederhana.
Kau melangkah masuk seraya berkata, "aku pulang." Meski tahu tindakmu sia-sia, ia pasti sedang menyibukan diri di kamarnya.
Dugaanmu benar. Saat pintu itu terbuka, ruang keluarga nampak gelap. Namun, sebuah sinar berasal dari lantai atas, menunjukkan bahwa ia ada di sana.
Ia terlihat sibuk pada objek yang ada di depannya, sampai-sampai tak menyadari kehadiranmu sama sekali. Ia memang gemar sekali membaca. Ia memang seseorang yang cerdas, mempunyai aspirasi sebagai seorang dokter. Tercatat sebagai murid kelas dua di salah satu Sekolah Menengah Umum di daerah Daegu. Namun, terkadang ia juga bekerja paruh waktu, mencoba tidak terlalu bergantung pada orang tua angkatnya.
Kakimu berjalan mondar-mandir dan melihat ke arah mejanya yang berantakan. Kulihat berbagai jenis buku ada disana: ilmu anatomi, biokimia, fisiologi dan berbagai macam yang lainnya. Beberapa gulungan yang menampilkan anatomi manusia pun tersebar di beberapa area meja.
"Noona."
"Sehun?" Suaranya sedikit meninggi terkejut. "Sejak kapan kau ada di sini?"
"Sejak beberapa menit yang lalu. Omong-omong, selamat ulang tahun, noona. Sehun menyayangi, noona." Ujarmu tulus.
Ia tersenyum bahagia ke arahmu. Matanya menatap lekat-lekat. Jemarinya mengusak rambutmu. "Terima kasih, Hun-ah."
"Noona, bersiaplah. Sehun ingin mengajak noona pergi ke suatu tempat." Kau mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi, tak acuh pada pertanyaan yang dilontarkannya.
.
Suaramu berbisik aku mencintaimu
Aroma mu, aku mendengarnya lewat telingaku setiap hari
Kau dimana?
.
"Eh? Aquarium?"
"Bukankah noona pernah berkata ingin pergi melihatnya?" Kau menjawab tanpa menatapnya, karena kau yakin sekarang perhatiannya terserap pada kotak kaca raksasa ekosistem buatan.
"Hm... Aquarium yang indah."
"Noona menyukainya?"
"Tentu."
Begitu banyak macam ikan di dalamnya. Dengan beragam jenis, ukuran, bentuk hingga warna. Mereka berenang bebas, menganggapnya seperti berenang di lautan bebas.
"Sepertinya akan jauh lebih indah jika pergi ke laut yang sebenarnya. Pemandangan sempurna, dengan seseorang yang begitu berarti. Ah, kebahagiaan yang sempurna."
"Tidak kah kebalikannya?"
Ia menyentuh kaca aquarium, seakan dapat menembusnya dan ingin bergabung berenang di sana. "Noona pikir, bahkan jika hanya sebuah aquarium dan menikmati keindahan sederhana bersama seseorang yang berarti, sudah cukup membahagiakan."
Kau bergeming. Pemikiran sederhananya mampu membuatmu terkesan. Untuk pertama kalinya kau belajar tentang kesederhanaan.
"Hun-ah?"
Lama terpaku, akhirnya kau tersadar. Kau raih dirinya dalam pelukmu dan ketika ia membalas pelukmu, kau merasa lengkap. Pelukannya menghantarkan sesuatu yang mengalir dalam dirimu. Nyaman dan menengkan. Sebuah perasaan yang begitu menyenangkan. Perasaan yang begitu kau harapkan dapat berlangsung selamanya.
"Noona. Aku ingin bersamamu selamanya."
"Ya, tentu saja. Memangnya siapa yang dapat memisahkan kita, eum?"
Sekarang kau tahu, mengapa kau merasa begitu sakit ketika kau mencintainya? Karena kau telah belajar rasanya mencintainya begitu besar hingga tak dapat menahannya.
.
Di langit malam yang tidak bisa kusentuh
Aku melihatmu berbalik
Membuatku melarikan diri dari hari yang melelahkan
Menjadikannya sebuah gambar
.
Tiba-tiba sebuah pusaran berputar dengan cepat dan menghisap seluruh mimpi itu. Secara perlahan, kini semua gambaran itu menjadi semakin samar. Segalanya tampak gelap. Bola mata Sehun bergerak gelisah di balik kepolak matanya.
"─jalnim? Oh Sehun-ssi."
Sayup namun nyata, suara itu mulai menarik kesadarannya. Perlahan kelopak yang membingkai orbs kelabu miliknya terbuka. Sehun mengerjapkan matanya beberapa kali hingga mendapatkan kesadaran penuh, namun tak berniat untuk menegakkan kepala yang terasa begitu berat juga berputar.
"Yak, kau baik-baik saja?"
Sehun memperhatikan wanita bermata seperti rusa di hadapannya tanpa berniat merespon.
"Astaga, berapa botol yang kau habiskan, huh?"
Sehun kembali memejamkan matanya, mencoba meredam rasa sakit di kepalanya dan menjalar turun ke abdomen. Sekarang ia merasa mual.
"Sehun-ssi? Kau mendengar ku? Kau baik-baik saja."
"Tidak. Tidak sama sekali." Itu respon pertamanya. Datar dan dingin.
Pikirannya terjatuh pada kejadian tadi siang. Langit terlihat murung. Rintik hujan yang turun seakan menjadi air mata sang langit. Aquarium, sebuah cincin, dan mimpi─atau kepingan ingatan? Persetan.
Sehun tenggelam dalam kalut seiring sesak yang memenuhi dadanya. Sehun merasakannya. Begitu sakit. Sangat sakit. Sakit yang tak pernah dirasakan oleh Sehun sebelumnya. Rasanya perih tak tergambarkan. Sehun merasa begitu hilang. Merasa tak utuh. Seakan suatu bagian yang sangat penting telah direngut paksa dari hidupnya. Rasa ini sungguh menyiksa.
Secarik kertas tertangkap iris kelabu itu. Di sana, sumber rasa sakit yang dirasakannya sekarang berasal.
.
.
.
Wedding Day
Park Chanyeol & Byun Baekhyun
Monday, June 04 2016. 6:14pm.
.
.
.
Dengan susah payah Luhan membawa masuk ke hotel. Sehun bersikeras menolak pulang ke apartemennya─lebih tepatnya apartemennya dan noonanya, Baekhyun. Ia merupakan daftar orang nomor satu yang tidak ingin ditemuinya sekarang dan beberapa saat kedepannya.
Sehun menepis tangan Luhan dari bahunya. Seperti orang tak tahu terima kasih ia duduk di lantai memungguinya.
"Kenapa? Kenapa kau tidak tidur di atas, eum?" Luhan ikut terduduk, mencoba mendekatinya.
"Karena, jika aku tertidur─" Sehun memeluk lutut, kepalanya bertumpu di sana. "─aku takut akan bermimpi indah."
Dahi Luhan berkerut, tak paham dengan ucapan yang lebih muda. "Bukankah itu bagus? Kenapa kau malah ketakutan begitu?"
"Mimpi ku itu sangat indah. Bahkan terlalu indah. Mungkin aku akan lebih memilih tak akan pernah bangun lagi setelahnya."
Orbs khas rusa milik Luhan bergulir ke arah lawan bicara. Memandangnya lekat. Ingatannya memutar kejadian ketika ia menemukan Sehun tertidur, ia tersenyum dan terlihat begitu damai. Seperti sedang melihat anak kecil yang terlelap. Berbanding berbalik ketika ia terbangun, begitu hancur hingga kepingan terkecil.
Merasa diawasi, Sehun ikut menatap Luhan. "Kenapa? Kau baru pertama kali melihat pria tampan patah hati, huh?"
"Tch." Bisa-bisanya dalam keadaan hancur seperti itu ia melontarkan lelucon. Dasar, psiko. Gerutu Luhan. "Sudahlah hentikan percakapan ini dan tidurlah." Luhan menepuk pundaknya. "Kemarilah, aku akan meminjamkannya untukmu."
Sehun melirik sekilas. "Seorang pria, tidak akan meminjam bahu seorang wanita." Lalu berbalik lagi memunggungi Luhan.
.
.
.
Maaf, kukatakan saat aku memegangmu
Jangan pergi jauh, aku memanggilmu
Dalam kesedihan bahwa aku tidak bisa melihatmu lagi
Air mataku jatuh lagi
.
.
.
[To Be Continue]
.
.
.
A/N : Yosh! Akhirnya selesai juga hiks ㅠㅠ maafkan kalau belum memuaskan, soalnya ini bikinnya ngebut banget. Dari semalem lembur ngerjain ini fanfic, jadi maaf banget kalau masih rancu (banget), ga jelas (banget), dan sejenisnya /pundung – – "
Duh, karena ini H-10 menjelang UNAS; bimbel, les, tryout merajalela. Kalo UNASnya udah beres bakal aku benerin lagi c:
Terakhir, wish me luck guys THANKS!~
