Hei, hei, hei, senpai sekalian, reviewer, atau silent reader, pokoknya semuanya…
Ray datang membawa fic kedua. Yey!
Ichigo : Oi, Ray!*teriak pake TOA,sambil bawa golok*
Author : Oh, Ichi! Mau ngapain loe bawa golok?*keringat udah bercucuran*
Ichigo : Buat nebas kepala loe. Loe buat fic ke-2,padahal fic pertama belum selesai. Loe benar2 author tidak bertanggung jawab Ray.
Author : Tenang Ichi! Tenang! Gue pasti lanjutin fic pertama gue ampe tamat. Alasan gue buat fic ke-2 ini untuk refreshing nih otak, ngambil genre berbeda dengan fic pertama. Ngulur waktu agar mampu membuat alur yang pas untuk fic pertama tuh. Understand?*sok English*
Ichigo : Oh, gitu! Jadi fic ke-2 ini gimana ceritanya Ray?
Author : nggak tau.
Ichigo : kok nggak tau? Loe 'kan authornya Ray?*ngangkat golok lg*
Author : *udah lari marathon, kec. 100 km/jam**emangnya mobil*
Ichigo : Oi, Ray! Berhenti!*tiba2 tuh golok berubah jd zangetsu*
Author : Itu rahasia Ichi.
Ichigo : *siap nyerang dgn getsuga tenshou*
Author : Woi,kalau gue mati, siapa yang lanjutin nih fic. Gue g akan munculin loe lg Ichi… Sudahlah! HAPPY READING!
.
Disclaimer : katanya Kubo-sensei nih, kalau udah kiamat dia mau nyerahin Bleach ama gue*sumringah**Ichi: Oi,Ray! Itu sama aja boonk**benar juga ya!**Ichi: dasar author goblok*. Ya sudahlah! Bleach punya Kubo-sensei (Tite Kubo) TITIK –bukan KOMA
Rated : T
Pairing : Rukia Kuchiki and Ichigo Kurosaki ATAU Rukia Kuchiki and Toushiro Hitsugaya
Genre : Friendship and Family
Warning : mungkin sedikit OOC, cerita dan deskripsi tidak jelas, membosankan, typo, aneh, nista, dsb.
Summary : Tokyo, Yokohama, Osaka, dan Kyoto, empat kota besar di Pulau Honshu dengan sejuta daya tarik. Kota Karakura di Pulau Hokkaido juga tidak kalah menariknya, itu kata orang. Tapi di mataku, Kota Karakura tidak lebih dari sebuah 'Kota Kegelapan'. Berawal dari kota ini, dan apakah berakhir di kota ini juga? Apakah mungkin awal dan akhir terjadi di tempat yang sama? Inilah kisahku, Rukia Kuchiki.
.
(CAT : ada 2 sudut pandang, pertama sudut pandang Rukia dan yang kedua sudut pandang normal. Tanpa keterangan adalah POV Rukia dan diiringi keterangan 'NORMAL' adalah POV Normal)
.
DON'T LIKE, DON'T READ
.
.
GRATITUDE
By : Ray Kousen7
Chapter 1. Kota Kegelapan
.
.
Jepang, dijuluki Negeri Matahari Terbit atau Negeri Sakura. Juga menjadi salah satu negara di dunia penikmat empat musim: musim semi 'haru', musim panas 'natsu', musim gugur 'aki', dan musim dingin 'fuyu'. Dikenal pula sebagai salah satu negara kepulauan dengan empat pulau utama. Tapi, demi tulisan ini, hanya dua pulau yang menjadi bahasan utama –Honshu dan Hokkaido.
Honshu –pulau terbesar dengan lima pembagian daerah. Dengan alasan yang sama, demi kelancaran tulisan ini, hanya dua daerah yang menjadi paparan utama –wilayah Kanto dan daerah Kansai. Wilayah Timur di Honshu, rakyat Jepang lebih suka menyebutnya wilayah Kanto adalah wilayah di mana ibukota Negeri Sakura ini berada, Tokyo. Berani taruhan, tidak akan ada yang berani menyangkal jika kota ini disebut kota metropolitan terbesar di negara ini. Tapi, jangan salah, Yokohama tidak kalah metropolisnya. Sama-sama berada di wilayah ini, Kota Yokohama dikenal sebagai kota terbesar kedua di Jepang. Tidak perlu bertanya lagi siapa yang menduduki posisi pertama.
Lawan dari wilayah Timur, pastinya daerah Barat, dan masyarakatnya pun lebih senang menyebutnya daerah Kansai. Seperti halnya Kanto, di Kansai pun terdapat daerah metropolitan –gabungan tiga kota: Osaka-Kobe-Kyoto. Penyampaian maaf untuk Kobe, pembahasan untuk kota ini berhenti di sini. Pemaparan lanjut lebih ditujukan pada Osaka dan Kyoto.
Tokyo, Yokohama, Osaka, dan Kyoto adalah kota yang memiliki daya tarik masing-masing. Untuk yang pertama, Tokyo –kota sejuta daya tarik. Sebut saja salah satunya, Shibuya yang dikenal sebagai pusat budaya remaja di negara ini. Atau Ginza –pusat perbelanjaan kelas atas, atau juga Museum Nasional Tokyo –surga pecinta seni tradisional Jepang. Jangan lupa dengan Tokyo Tower. Di hari libur kunjungilah menara ini, pemandangan seluruh penjuru Kota Tokyo dapat dinikmati dengan penuh takjub. Dan masih banyak daerah lain yang mampu membuat mata memendar penuh kagum.
Masih di wilayah Kanto, ibukota Provinsi Kanagawa, Kota Yokohama. Dikenal sebagai Kota Bisnis karena adanya kawasan Minato Mirai 21 –kawasan kota modern di mana terdapat gedung perkantoran, pusat perdagangan, hotel, taman bermain, dan museum seni. Upayakan untuk tidak beranjak dari sana hingga matahari terbenam. Pemandangan senjanya membuat mata tidak berani berkedip untuk melepaskan panorama jingga yang bersanding dengan gedung pencakar langit tertinggi di Jepang –Yokohama Landmark Tower.
Dari wilayah Kanto, berpindah ke daerah Kansai, Kota Osaka. Musim semi adalah musim yang paling tepat mengunjungi kota ini. Menikmati mekarnya bunga Sakura di sekeliling Istana Osaka akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Menikmati pemandangan sudut kota lama yang hampir tidak pernah berubah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dari Menara Tsutenkaku dapat menjadi alternatif yang lain.
Tetap di daerah Kansai, mantan ibukota Jepang , Kyoto. Dikenal sebagai kota yang budayanya masih terjaga dengan baik, menjadi produsen utama kimono di Jepang, dan akrab disebut Kota Pelajar. Tidak perlu memilih musim untuk berkunjung ke kota ini. Sepanjang tahun, melalui empat musim, Kyoto tidak pernah kehilangan panorama indahnya. Salju di musim dingin, mekarnya bunga Sakura di musim semi, bukit-bukit yang sejuk di musim panas, dan pemandangan warna-warni daun di musim gugur.
Pemaparan empat kota besar di Pulau Honshu yang memiliki 'estetika' bangunan dan panorama alam yang menakjubkan mampu membuat siapapun serasa berada di negeri dongeng atau di dunia masa depan. Tatapan kagum atas seni buatan manusia dan goresan tangan Tuhan membuat mereka berempat tetap bercahaya walaupun kegelapan malam akan menyelimutinya. 'Kota Cahaya', sebutan yang sangat cocok untuk mereka.
Perjalanan mengapresiasi empat kota di Pulau Honshu berhenti di sini.
Apa ada sesuatu yang terlupakan? Iya, pembahasan untuk pulau kedua, Hokkaido. Di pulau ini, terdapat provinsi dengan nama yang sama, Provinsi Hokkaido –provinsi terbesar di Jepang. Di sanalah, salah satu kota terbesar di Jepang selain 'Kota Empat Serangkai' di Honshu –berada. Kota Karakura, itulah nama kotanya. Walaupun Kota Sapporo-lah ibukota Hokkaido, Karakura tidak kalah bersanding dengannya.
Daya tarik apa yang dimiliki Kota Karakura? Sama seperti Si Empat Serangkai Honshu, berbagai tempat wisata yang indah dan gedung pencakar langit yang megah. Begitulah opini orang yang sering kudengar. Tapi maaf, untukku, di mataku, Kota Karakura tidaklah lebih dari sebuah 'Kota Kegelapan'.
Di Kota Karakura, enam belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku melihat cahaya dunia. Lima tahun yang lalu, di mataku, kota ini berubah menjadi Kota Kegelapan. Meninggalkan kota ini selama lima tahun, berharap menemukan cahaya di tempat lain. Tapi, tidak semudah itu. Si Kota Kegelapan telah merenggut cahayaku. Walaupun aku sangat benci mengakuinya –mungkin satu-satunya tempat cahayaku berada adalah di kota ini. Mungkin, awal dan akhir harus terjadi tempat yang sama, Kota Karakura, 'Kota Kegelapan'.
Inilah kisahku, Rukia Kuchiki.
.
(*)(*)(*)
.
Musim Semi, 01 April 2012
Tanggal ini akan terus terpatri di otakku –tanggal di mana kembalinya hari-hari mimpi burukku, tanggal di mana awal hari-hariku yang mencekam, dan tanggal di mana aku kembali ke kota kelahiranku setelah lima tahun kutinggalkan, Kota Karakura. Tapi aku lebih senang menyebutnya 'Kota Kegelapan'.
Saat ini, si kendaraan beroda empat yang sedang kukendarai masih melaju dengan kecepatan normal, kecepatan 100 km/jam. Apa itu normal? Bagiku itu normal yang telah terbiasa menjadi penumpang si pengemudi, Bibi Unohana. Tanpa mengintip speedometernya, aku mampu menebaknya dengan tepat. Itulah kegunaan faktor kebiasaan. Perkiraanku, sisa 25 km kami tiba di perbatasan Sapporo dan Karakura. Jadi, sisa 15 menit lagi aku mampu menikmati hidupku tanpa beban dan rasa sesak.
Kumanfaatkan lima belas menit yang tersisa untuk melakukan kegiatan yang bisa membuat hatiku tenang. Menatap deretan pohon yang berbaris rapi, gedung pencakar langit yang berhimpitan, dan tidak lupa memandang langit jingga yang kuyakin beberapa menit ke depan akan berubah menjadi langit keabuan. Kugunakan kedua tangan untuk menopang dagu kecilku, kedua siku bertumpuh di pinggiran kecil jendela, untuk lebih memuaskan kegiatanku. Duduk di jok belakang sendirian menjadi keuntungan sendiri saat hati sedang galau.
(*)
Aku sadar, lima belas menit adalah waktu yang sangat pendek, berlalu dengan cepat. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat, tidak mampu kuperkirakan berapa kali detakannya dalam satu detik. Tanganku gemetar, tubuhku menggigil, dan keringat dingin sedikit mengucur. Mungkin, saat ini pun wajahku sedikit pucat. Reklame raksasa terpampang jelas di pinggir jalanan bertuliskan 'Selamat Datang di Kota Karakura! Nikmati Perjalanan Anda Menuju Tempat Tujuan' menandakan perbatasan Sapporo dan Karakura telah dilewati.
Langit jingga telah berubah menjadi langit keabuan. Aku tidak percaya, sekarang aku sudah tiba di Kota Karakura. Pertahanan diriku luntur, tubuhku lemas, kedua tanganku tergulai lemah di sisi tubuhku. Minat menikmati pemandangan luar sekejap menghilang. Mataku hanya menatap kosong jalanan yang terhampar di depan. Tulisan reklame tadi masih terbayang di kepalaku 'Selamat Datang di Kota Karakura', kurasa lebih cocok jika ditulis 'Selamat Datang di Kota Kegelapan'. Kalimat terakhir membuatku tersenyum getir 'Nikmati Perjalanan Anda Menuju Tempat Tujuan', mungkin lebih tepatnya 'Nikmati Perjalanan Anda Menuju Kematian'.
Dadaku benar-benar sesak, kedua pundakku tak mampu kugerakkan bebas. Menghela napas panjang satu-satunya cara untuk membuatku sedikit lebih tenang. Sayangnya, tidak berpengaruh sedikitpun. Kualihkan pandanganku dari jalanan di depan menuju tiga buku tebal bersampul biru, merah, dan coklat yang tergeletak bebas di sampingku. Ide bodoh muncul di benakku untuk sedikit mengurangi rasa tegang. Membaca buku dengan rangkaian kata yang tak kumengerti mungkin akan lebih bagus dibanding menatap pemandangan Kota Kegelapan yang bisa membuat mataku sakit.
Tanganku bergerak menuju buku bersampul merah. Mataku melotot membaca judulnya, aku tidak tahu artinya, tapi kupastikan judulnya berbahasa Jerman. Kuurungkan niatku. Tanganku bergerak menuju buku bersampul coklat. Ya Tuhan! Yang ini lebih parah lagi. Bukan hanya makna judulnya yang tak kumengerti, bahkan aku tidak tahu judulnya dari bahasa apa. Tapi dari gaya hurufnya, aku menebak dari bahasa Yunani atau Rumania. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tanganku menuju buku yang terakhir. Aku berharap tidak lebih buruk dibanding si merah dan si coklat. Tuhan mengabulkan harapanku. Buku tebal bersampul biru menggunakan bahasa Inggris yang setidaknya kumengerti. Arti judulnya, 'Kiat-kiat Menjadi Dokter Bedah Bagi Pemula'. Aku menebak buku ini pasti milik kakak sepupu yang kusayangi, putri Bibi Unohana.
Setelah menjelajahi tiga buku super tebal itu, kujatuhkan pilihanku pada si biru. Apa boleh buat, satu-satunya buku dengan penggunaan bahasa yang kumengerti. Kubuka halaman demi halaman. Aku hanya mengerutkan kening membacanya. Dari awal sebelum membacanya sudah kuduga akan sulit kumengerti, tapi ini di luar bayanganku. Sangat sulit! Sangat rumit! Sangat sukar! Jika meneruskannya, besok wajahku sudah penuh kerutan. Tapi, sikap keras kepalaku mengalahkan kewarasanku. Kuputuskan untuk melanjutkan kegiatan bodoh ini, dan akhirnya mengundang perhatian dua orang yang duduk di jok depan.
"Rukia!" panggil si pemilik buku yang duduk di jok depan. Aku mengangkat kepala untuk menanggapi panggilannya. "Sangat buruk untuk kesehatan mata jika membaca di dalam mobil. Kau pun bisa pusing nanti," nasehat calon dokter, Kak Isane.
"Hanya untuk melepas lelah," ungkapku dengan alasan konyol. Melepas lelah dengan membaca buku super tebal, buku wajib mahasiswi Kedokteran dengan banyak untaian kata yang tak kumengerti. 'Kau benar-benar sudah gila, Rukia!' ejekku pada diri sendiri. Padahal, aku bukanlah mahasiswi Kedokteran dan aku sama sekali tidak punya hobi membaca buku dengan tema berat seperti ini. Novel dengan tema sederhana adalah bacaan favoritku.
Kak Isane bukannya heran, malah menatapku sendu. Kelihatannya dia tahu aku berbohong. Mau bagaimana lagi, kakak sepupuku yang manis itu adalah orang yang paling mengerti tentang diriku. Bibi Unohana yang fokus mengemudi, melirikku sekilas dari kaca spion. Mereka berdua tahu dengan pasti alasan yang membuatku seperti ini –keenggananku untuk kembali ke kota ini lagi.
"Begitu ya!" balas Kak Isane lembut, mengakhiri perbincangan singkat kami. Kakakku yang cantik itu kelihatannya mengerti penolakan tanpa kalimatku untuk tidak membahas lebih lanjut masalahku sekarang.
Aku kembali berkutat dengan si biru. Lima menit serasa setahun. Aku menyerah! Kuputuskan untuk mengakhiri kegiatan konyolku dengan si biru tebal, terutama saat pusing hebat menderaku. 'Penyesalan selalu datang belakangan', peribahasa itu cocok menggambarkan keadaanku sekarang. Penyesalanku karena telah melampiaskan kegalauanku dengan buku yang jumlah halamannya hampir mencapai seribu halaman. Benar-benar gila!
'Dengarkan nasihat orang yang berilmu dan lebih berpengalaman', petuah yang cocok untuk menyindirku karena kuabaikan nasihat seorang calon dokter. Rasa pusing tak mau bersabar lagi. Aku sendiri pun sudah tidak mampu menahannya. Apa boleh buat, mengistirahatkan sejenak kepalaku yang berdenyut tak karuan dan tubuh yang letih karena perjalanan panjang dari Tokyo ke Karakura. Kurebahkan tubuhku dengan nyaman, menikmati empuknya jok kursi mobil. Perlahan aku mulai meninggalkan dunia nyata ini menuju dunia bawah sadarku.
"Sudah kubilang 'kan?" sayup-sayup suara Kak Isane terdengar di telingaku.
"Iya. Maaf, Kak," tanggapku pelan. Sosok Kak Isane mulai memudar. Gelap –mataku telah tertutup sempurna. Petualangan di dunia mimpi dimulai!
(*)
Tidak perlu menunggu lama, aku telah tenggelam ke alam bawah sadarku. Mimpi dikatakan mampu membawa kita ke masa depan atau masa lalu. Kasusku sekarang, mimpi membawaku ke masa lalu. Masalahnya, ke bagian masa lalu yang mana si mimpi akan membawaku? Aku punya firasat buruk kalau ini tidak akan menjadi mimpi yang indah.
Oh, tidak! Firasat burukku terkabul. Si mimpi membawaku ke masa lalu terkelam dalam hidupku. Masa di mana aku belajar banyak hal. Sebenarnya tidak banyak, satu hal saja. Tapi, satu hal itu berhasil menjungkirbalikkan duniaku –kepedihan ditinggalkan dan kehilangan pusat duniaku.
Bayangkan saja, jika Matahari yang menjadi inti dari delapan planet yang berputar seimbang mengelilinginya –itu menghilang atau tiba-tiba cahayanya redup. Kedelapan planet pasti terhempas tidak tahu arah dan kelinglungan di ruang angkasa hitam. Dan mungkin saja, mereka akan menjadi korban hisapan Lubang Hitam 'Black Hole' menuju kegelapan yang sesungguhnya, menuju ke dimensi tanpa dasar, dan lebih buruknya lagi –mereka akan hancur berkeping-keping tanpa sisa. Jangan bertanya, apa yang terjadi dengan makhluk yang hidup di dalam salah satu planet? Jika ada yang bertanya, maka aku akan menganggap itu adalah pertanyaan paling bodoh dan konyol yang pernah kudengar seumur hidupku. Sudah pasti mereka musnah 'kan? Bahkan, sebelum terhisap Black Hole. Kecuali, jika terdapat makhluk yang dapat hidup tanpa bantuan si bintang –Matahari. Tapi, kurasa aku belum pernah mendengar teori seperti itu. Tapi, jika memang ada, aku tidak akan berkomentar lagi.
Begitulah perumpamaan dalam hidupku sekarang. 'Si Matahari' yang menjadi pusat duniaku, dia telah pergi. Dan aku 'si kedelapan planet' telah bingung tanpa arah tujuan. Takdir kekal yang disebut kematian telah merebut Matahariku, dan takdir itu pula yang menghempaskanku semakin dekat ke kubangan lubang hitam. Untungnya, masih ada secercak cahaya di sekelilingku yang menopangku agar tetap mampu melangkah walaupun cahaya itu tidak seterang si Matahari. Tapi, setidaknya cukup untuk membuatku menjauh dari si Black Hole. Aku jadi ngeri sendiri membayangkan jika nasibku berakhir seperti si kedelapan planet yang terhisap Black Hole. Walaupun si Black Hole yang kumaksud hanyalah sebuah perumpamaan, bukan dalam arti yang sebenarnya. Tapi, aku yakin hasil yang diperoleh jika aku terhisap di salah satunya, baik perumpamaan maupun kenyataan, semuanya sama saja.
Mungkin, ada yang berpikir perumpamaanku berlebihan dan mendramatisir, tapi itulah yang kualami dan rasakan sekarang. Suka atau tidak suka.
Aku tidak menyangka membahas perumpamaan hidupku sampai sepanjang ini. Tapi itu pun masih sebagian. Jika menjabarkan keseluruhannya, tidak akan ada habisnya. Aku tidak lupa bahwa sekarang aku berada di alam mimpi. Karena di alam inilah satu-satunya tempat di mana aku mampu menguak sedikit dari masa laluku untuk membuat siapapun sedikit mengerti tentang diriku. Tapi, aku tidak terlalu mengharapkan siapapun mengerti sepenuhnya.
"Mengapa ayah belum datang juga?" tanyaku heran pada diri sendiri, sembari menopang dagu, melihat keluar jendela.
Aku, si Rukia kecil, umur 11 tahun, duduk di sebuah restoran sederhana menunggu seseorang yang kupanggil ayah dengan tidak sabar. Tidak sabar? Karena sejam telah terlewati dari jadwal seharusnya pertemuan kami. Aku benci kelambanan berpikirku saat itu. Seharusnya, aku mulai curiga telah terjadi sesuatu jika ayahku datang terlambat. Sebagai putrinya, aku sangat tahu, ayahku tipe orang yang tepat waktu. Jika dia telah berjanji, jangan berharap dia mengingkarinya. Ayah pasti menepatinya, tidak ada apapun yang mampu menghadangnya, kecuali kematian.
Sayangnya, kepolosan anak kecil kelas enam 'elementary school' tidak memberikan pengecualian padaku. Aku tetap menunggu dengan sabar dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahku. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari yang spesial untuk aku dan ayahku. Sebenarnya, untuk ayahku saja. Tapi kebahagiaan seorang ayah pasti menjadi kebahagiaan putrinya juga 'kan? Hari ini, 10 April –hari ulangtahun ayahku, tanggal dia dilahirkan ke dunia. Tidak pernah terbayang di benakku kalau ini pun menjadi tanggal dia pergi dari dunia untuk selama-lamanya.
Orang mengatakan 'kesabaran itu ada batasnya' dan aku mengalaminya sekarang. Sudah satu jam tiga puluh menit aku menunggu, akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari sana pulang ke rumah. Kecewa? Sedikit. Tapi aku merutuki diri sendiri lupa membawa alat komunikasi, setidaknya aku dapat menghubungi ayah.
Di perjalanan menuju rumah, terjadi 'sebuah peristiwa'. Aku tidak akan menceritakannya sekarang. Aku butuh waktu hingga aku mampu menerima semuanya dengan tangan terbuka dan hati lapang. Jika aku menceritakannya sekarang, aku mungkin akan melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Hatiku akan mengatakan itu salahnya, tapi hatiku yang lain mengatakan itu bukan salahnya. Jika sudah seperti itu, hatiku akan bergolak, rasanya sangat sesak, nafasku serasa berhenti. Karena itu, jangan memaksaku untuk mengungkapkannya. Semua hal selalu ada waktunya, waktu yang tepat. Menekan rasa penasaran kalian untuk kebaikan orang lain adalah perbuatan yang baik, bukan?
Setiba di depan rumah, kudapati pintu gerbang tak terkunci. Ayah pasti di rumah. Seketika rasa kecewaku memudar dihapus rasa rindu padanya yang tiba-tiba muncul. Aku juga tidak paham. Padahal, tadi pagi kami bertemu, sarapan bersama. Rasa rindu ini tidak tertahankan. Jadi, kuputuskan saat aku melihat ayah, aku akan memeluknya erat. Tapi, baru saja kakiku melangkah masuk halaman, aku tiba-tiba berkeringat dingin dan gemetar. Kulangkahkan kakiku cepat, berlari menuju pintu rumah. Tidak terkunci? Perampok? Aku tidak peduli, kulangkahkan kakiku ke ruang tengah dan…
"Akh!" erangku kesakitan. Kupandangi ke sekeliling, aku menghela napas lega.
"Rukia, kau tidak apa-apa?" Kudapati Bibi Unohana dengan raut wajah cemas. Kelihatannya bibi merasa bersalah karena membuatku terjatuh dan meringis kesakitan. Atau dia merasa bersalah karena membangunkanku? Terserah mana yang benar, aku tidak peduli. Setidaknya, aku sudah keluar dari dunia mimpi burukku.
Bibi Unohana meminta maaf padaku. Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya aku berterima kasih padanya. Karena aksinya yang menghentikan mobil tiba-tiba entah karena alasan apa membuatku terjatuh dari kursi, kepalaku terantuk dengan jok kursi depan, dan berhasil membangunkanku dari dunia yang hampir membunuhku dan tidak perlu menyaksikan kembali kejadian paling mengerikan dalam hidupku.
"Tidak apa-apa, Bibi. Aku malah harus berterimakasih," ucapku untuk meredakan rasa bersalahnya. Bibi mengernyit heran. Kuabaikan ekspresinya itu dengan menyandarkan kepalaku di kursi, menatap langit-langit mobil. Aku benar-benar lega.
"Rukia? Kau mimpi buruk? Keringatmu banyak sekali," ujar Kak Isane khawatir. Kuangkat kembali kepalaku, menatapnya. Dia benar-benar tahu apa yang kualami sekarang.
"Sedikit," jawabku singkat. Tidak lupa kuberi senyuman untuk meredakan sedikit raut wajah cemasnya.
"Maaf, Rukia," sela Bibi Unohana.
Aku tidak tahu bagaimana menanggapi perkataan bibi. Tidak perlu bertanya mengapa dia meminta maaf. Alasan permintaan maaf yang tadi dan kali ini berbeda. Dia meminta maaf karena merasa bersalah membawaku kembali ke Karakura. Mustahil untukku menyalahkannya. Kalau boleh egois sekali lagi, aku ingin melarikan diri sekarang. Tapi tidak bisa, aku sudah terlalu lama egois. Membiarkan mereka selama lima tahun ini menjaga perasaanku dan melindungiku.
"Jangan khawatir, Bibi!" tanggapku. Hanya itu yang mampu kukatakan padanya.
Aku kembali menyandarkan kepalaku. Berusaha untuk menjaga mataku tetap terbuka, jika tidak aku akan kembali ke dunia itu lagi. Baru beberapa kilometer memasuki kota ini, rasanya sudah memasuki 'Kota Neraka'. Aku tidak bisa membayangkan aku mampu bertahan beberapa hari ke depan. Kelihatannya aku harus membeli banyak obat anti tidur.
Dadaku semakin sesak membuatku tak mampu lagi menahan air mata. 'Ayah, pusat duniaku, Matahariku, apa yang harus kulakukan?' ucapku dalam hati. Kuangkat kembali kepalaku, melihat dua orang di depanku. 'Iya. Aku harus kuat, ada mereka berdua,' ucapku menyemangati diri sendiri. Secercah cahaya yang kusebutkan tadi yang mampu menopangku tetap melangkah, itulah mereka berdua –Bibi Unohana dan Kak Isane.
.
(*)(*)(*)
.
Rumah bercat putih berlantai dua yang sederhana. Itulah opiniku di saat tiba di kediaman yang akan kami huni beberapa tahun ke depan. Berapa tahun pun itu, satu harapanku, aku mampu bertahan hingga semua ini usai.
Mobil hitam yang terparkir di halaman rumah berhasil menarik perhatianku. Itu adalah mobil hadiah pemberian Paman Aizen, untukku dan Kak Isane. Berterimakasih pada Bibi Unohana memilih hunian yang cukup jauh dari sekolahku dan kampus Kak Isane, tapi lokasinya cukup dekat dengan rumah sakit bibi bekerja. Rasa sayang atau mungkin kasihan Paman Aizen kepada kami berdua memutuskan mobil itu sebagai hadian perpisahan darinya. Mau bagaimana lagi, Tokyo dan Karakura bukanlah kota yang berjarak cukup dekat yang bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam. Ditambah, profesinya sebagai Kepala Kepolisian Tokyo tidak mendukung dia memiliki kesempatan menjenguk mantan istrinya, putrinya, dan keponakannya yaitu aku.
Memasuki rumah, kuedarkan pandanganku ke sekeliling sudut. Semuanya sederhana, cat dinding putih, parabotan rumah yang tertata rapi seperti rumah pada umumnya. Tidak terlalu mengejutkan, mengingat pribadi bibi yang sangat sederhana sama seperti putrinya dan juga mantan suaminya.
Setelah usai berkeliling di lantai dasar, lantai dua menjadi santapan mataku berikutnya. Kamarku dan kamar Kak Isane berada di lantai ini, bersebelahan. Sedangkan, kamar bibi berada di lantai dasar.
Aku tersenyum geli melihat dekorasi kamarku. Kupastikan, Kak Isane-lah yang melakukannya. Tetap dengan dinding cat putih; ranjang tidur dengan ukuran besar; di sudut kiri terdapat rak besar dan kecil, rak besar dipenuhi boneka kelinci –Chappy, dan di rak kecil terjejal buku-buku bacaan favoritku; di sudut kanan terdapat lemari kokoh ukuran sedang. Tidak terlalu berbeda dengan kamar di sebelahku, hanya saja tiga rak yang dimiliki kamar itu semuanya terjejal buku-buku super tebal. Apa ruangan pribadi si calon dokter itu pantas disebut kamar tidur atau malah perpustakaan? Kuperkirakan, kamar Bibi Unohana tidak terlalu berbeda dengan kamar putrinya. Dokter dan si calon dokter maniak membaca segala jenis buku. Selera anak tidak terlalu berbeda dengan ibunya. Ini membuktikan peribahasa –'buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya'.
Kurebahkan diriku di ranjang yang empuk. Memandang langit-langit kamar, masih belum percaya kalau aku sekarang berada di kota ini. Tidak pernah terbersit sedikit pun di benakku, aku benar-benar akan kembali ke sini. Aku takut memejamkan mata. Kukerahkan seluruh tenaga untuk membuatnya tetap terbuka. Tiba-tiba kudengar pintu kamarku terbuka, spontan aku bangkit terduduk.
"Kau belum tidur?" tanya si pengunjung.
"Kurasa aku tidak perlu menjawabnya, Kak. Kak Isane masih melihatku terbangun berarti aku belum tidur," jawabku santai. Dia tersenyum. Dia masuk ke kamar, menutup pintu, duduk di sampingku.
"Mau kutemani?"
Aku sumringah mendengar penawarannya. Aku mengangguk semangat. Memadamkan lampu, aku menggeser posisiku, kami berdua pun merebahkan diri.
"Apa kau baik-baik saja, Rukia?" tanyanya dengan pandangan menatap langit-langit kamarku.
"Mau jawaban jujur atau bohong?" tanyaku dengan arah pandangan yang sama dengannya.
"Semua orang pasti menginginkan jawaban jujur," jawabnya.
"Tidak baik," balasku singkat. "Tapi sekarang, aku sedikit merasa lebih baik karena ada Kak Isane di sampingku."
Kak Isane mengubah posisi tubuhnya, menatapku. "Itulah mengapa aku di sini. Tidak akan kuizinkan mimpi buruk mengganggumu."
Aku melakukan hal yang sama, menatapnya. "Terima kasih," ucapku sungguh-sungguh.
"Mau kunyanyikan lagu tidur?" tawaran keduanya.
"Hei, aku sudah enam belas tahun," keluhku.
"Padahal, ibu selalu menyanyikan lagu tidur untukku hingga aku berumur delapan belas tahun," jelasnya dengan nada kecewa.
"Benarkah?" tanyaku tidak percaya.
"Bohong," jawabnya dengan tertawa geli.
Kelihatannya menerima tawaran Kak Isane ada dampak buruknya juga. Aku tidak akan tidur hingga esok karena mengobrol panjang dengannya. Tapi, itu adalah pilihan terbaik dibanding harus dibayang-bayangi mimpi buruk. Sesi mengobrol tengah malam di mulai!
(*)
NORMAL
Rumah sederhana milik mantan istri Sousuke Aizen, Retsu Unohana menjadi cukup ramai karena suara obrolan dua anak perempuan. Sesekali terdengar suara cekikikan. Sang bibi yang berdiri di depan pintu kamar mereka hanya bisa tersenyum lembut, berharap menjadi awal yang bagus bagi keponakannya untuk belajar menghadapi masalah.
Dari kediamana keluarga Unohana beralih ke sebuah hunian salah satu penduduk Kota Karakura. Jaraknya cukup jauh dari kediaman dokter itu. Sebuah apartemen sederhana berlantai tiga. Tiap-tiap lantai terdiri atas lima kamar. Jendela dari kamar pojok di lantai dua menampakkan seorang pemuda. Kamarnya gelap, kontras dengan warna rambut senja miliknya. Hanya cahaya bulan yang menjadi penerang di kamarnya. Kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang melalui alat komunikasi –handphone yang digenggam di tangan kanannya.
"Jadi, begitu. Kau sudah memastikan kalau itu benar-benar dia 'kan?" tanya si pemuda tegas kepada si lawan bicara dari seberang telepon.
"Ya. Itu sudah pasti dia," jawab si lawan bicara mantap.
"Bagus. Terima kasih," ucap si pemuda, ingin mengakhiri pembicaraan tapi tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu! Tolong jangan beritahu apapun pada kakekku. Kau mengerti 'kan?" lanjutnya dengan nada memohon.
"Iya. Saya mengerti, Tuan Muda."
"Terima kasih banyak."
Obrolan berakhir. Kelihatannya pemuda yang dipanggil tuan muda ini bernafas lega mendengarkan informasi yang diterimanya.
"Akhirnya aku menemukanmu," ucapnya lega.
Sebuah foto terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya yang kekar. Itu foto seorang wanita –ralat– seorang gadis kecil, mengenakan rok panjang di bawah lutut, tas kecil di punggung, memegang erat sebuah buku di dadanya, dan tawa bahagia terlukis di wajahnya. Ciri-ciri paling 'signifikan', berambut hitam dan warna mata ungu. Di bagian bawah foto terdapat inisial nama dan tahun pengambilan foto, R. K. 2007.
Dari apartemen si pemuda, beralih ke tempat lain yang tidak cukup jauh. Terlihat seorang gadis berdiri di pinggir jalan. Di dekatnya, sebuah sepeda bersandar di tiang listrik yang kokoh. Sesekali si gadis melirik seorang pemuda bertudung coklat yang membelakanginya, lalu beralih menuju jam tangannya. Si gadis sedang menunggu si pemuda bertudung menyelesaikan kegiatan menelponnya. Kelihatannya si pemuda tidak ingin si gadis mendengar perbincangannya karena jarak berdirinya yang cukup jauh.
"Aku mengerti. Terima kasih. Dan terakhir, jangan mengatakan pada siapapun, khususnya ayahku." Itulah kalimat terakhir si pemuda bertudung menandakan berakhirnya pembicaraan. Terlihat senyum sedetik dari wajah dinginnya.
Si pemuda berbalik, berlari kecil menuju si gadis yang sudah lelah menunggunya. Dia melanjutkan perjalanannya yang tertunda tadi dengan sepedanya. Si gadis duduk dengan manis di belakangnya, sesekali mengeluh dan heran. Sayangnya, si pemuda sedang tenggelam di dunianya sendiri. Tidak berkomentar apapun dengan keluhan si gadis.
"Aku telah menemukan dia, Nenek," gumam si pemuda yang hanya dirinya sendiri yang mendengarnya. Angin malam berhasil menyibakkan sedikit tudungnya. Terlihat warna rambut yang tak biasa. Padahal, dia masih sangat muda, tapi memiliki warna rambut yang umumnya dimiliki untuk orang yang sudah lanjut usia. Singkatnya, warna rambutnya–putih.
TO BE CONTINUED
.
.
(CAT : istilah 'Empat Serangkai Honshu' untuk Tokyo, Yokohama, Osaka, dan Kyoto adalah karangan author)
Wah…akhirnya chapter 1 selesai juga.
Bagi readers yang menunggu update fic pertama saya 'STRONGER'*kalau memang ada yg nunggu* dalam waktu dekat ini saya akan update. Jadi, sabar ya.
Saya terima reviewnya dalam bentuk apapun: dukungan, pujian, saran, kritik, bahkan flame sekalipun. Terserah pembaca!
SEE YOU AGAIN di chapter selanjutnya.
"Selalu hadapi hari esok dengan senyuman" –––Ray Kousen7
25 Maret 2012
