Verloren Gehen © SachiMalff
Verloren Gehen (Germany : Drop Away)
Disc : Mereka mutlak milik diri mereka sendiri. Plot ini seratus persen milik saya
Cast : Kim Jongin – Do Kyungsoo [KaiSoo] and others
Rated : T
Language : Bahasa Indonesia
Warning : berusaha sebisa mungkin mengurangi typo dan kesalahan penulisan lainnya. Ide yang digunakan mungkin terlalu pasaran. Jika ada kesamaan ide lebih dari delapan puluh persen dari fiksi lain, tolong beritahu saya, dan fiksi ini akan saya hapus secepatnya. OOC!Jongin, beberapa cameo hadir. Focus on KaiSoo.
—oo—
"Kyungsoo ..."
"Ya, Jongin?"
"Ini—apa?"
Kyungsoo tersenyum kecil. "Itu serenade, Jongin."
Dan Jongin kembali mendekatkan ponsel Kyungsoo tepat berada di depan telinganya. Mendengarkan alunan lembut serenade yang menentramkan.
.
.
.
Kim Jongin menatap kosong pada sosok sang ibu yang sedang berbicara pada seseorang yang nampak asing baginya. Sesekali, ia memiringkan kepalanya, mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka berdua.
Netra hitam seorang Kim Jongin tak berkedip, fokus memperhatikan gerak-gerik ibunya. Posisinya kini bisa terbilang cukup aneh. Ia sedang duduk bersilang kaki di pojok ruangan sang perempuan yang sedang berbicara dengan ibunya. Kedua tangannya di borgol erat.
"Maaf, Nyonya. Tapi keadaan Kim Jongin tidak bisa diterima oleh pihak Panti Sosial. Kami tidak akan bisa menjadi pengikat bagi putera Anda."
Ibu Kim Jongin mendesah pasrah. Tangannya menggenggam tangan sang pemilik Panti Sosial, tempatnya berada saat ini, erat-erat. Ia mencondongkan tubuhnya agar bisa berbicara dengan jelas. "Tolong anakku, suster. Tolong anakku," pintanya lirih.
Sang perempuan berbaju putih nampak sedikit gemetar. Sesekali, ia akan melirik seorang anak lelaki yang duduk membatu di sudut ruangannya, kemudian ia akan kembali menatap Nyonya Seo-yeon, ibu Kim Jongin.
Netra gelap sang suster menatap Seo-yeon iba, kemudian mendesah lelah. "Nyonya, perlu Anda ketahui bahwa ... bahwa keadaan putera Anda akan semakin memburuk jika dia berada di sini. Akan lebih bijak jika dia berada di—Rumah Sakit Jiwa."
Seo-yeon tersentak kaget, "anakku tidak gila!"
Jongin dan sang suster tersentak kaget.
"Bukan maksud saya mengatakan jika—"
"Ibu ..." panggil Jongin lirih.
Seo-yeon menoleh kebelakang. Linangan air mata di pipinya tak bisa ia tutupi lagi. "Y-ya?"
Jongin tersenyum kecil. "Jongin tidak akan gila, Bu."
Seo-yeon menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan gejolak emosi yang kini merenggut napas dan tangisnya. Sesaat kemudian, ia mengangguk pada sang anak.
Kepalanya kembali menoleh pada sang suster yang duduk di depannya. "Anakku tidak gila."
"Ya, Nyonya, saya tahu hal itu. Tapi—perilaku Kim Jongin tidak bisa dikategorikan dalam taraf 'baik-baik saja' untuk masuk ke lingkup Panti Sosial. Perlu Anda ketahui, Nyonya. Panti Sosial tidak bisa menekan bahkan menyembuhkan putera Anda. Kami hanya bisa mengembalikan semangat Kim Jongin dan beberapa pesakit lainnya."
Seo-yeon mengangguk cepat, "aku mengerti hal itu! Jongin-ku hanya butuh dukungan agar dia bisa kembali normal!"
Sang suster dengan nametag Seohyun mendesah lelah. "Tapi masalah lain yang ada adalah—Kim Jongin tak hanya mengalami trauma atau apa. Menurut catatan dokter yang Anda bawa, Jongin mengalami—"
"Jesus! Aku tahu, suster! Aku tahu hal itu! Jongin sakit, hanya sakit! Dia bukan pembunuh!"
"Dia belum bisa mengontrol emosinya, dan tidak ada yang bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi, Nyonya Seo-yeon. Panti ini adalah tempat yang bisa Anda tuju jika keluarga pasien tak bisa lagi membimbing mereka. Bukankah begitu?"
Seo-yeon tahu apa maksud perkataan dan pertanyaan retoris perempuan muda di hadapannya. "Tolong, suster. Ini harapan terakhirku," Seo-yeon terisak pelan, "ayah dan suamiku tak akan pernah sudi menampungnya lagi di rumah kami. Mereka takkan sudi, tolonglah kami."
Seohyun tersentak kaget. Maniknya kembali melirik Jongin yang sedang memainkan jemarinya. Lamat-lamat, ia mengamati wajah sang pemuda yang ia taksir berumur delapan belas tahun tersebut.
Kemudian matanya kembali menaruh atensi pada Seo-yeon.
Hening, hanya ada isak tangis Seo-yeon, dan gumaman tak jelas pelan Jongin.
"Saya mohon—kalian harapan terakhir kami. Kalian bisa borgol dia—atau tempatkan dia di ruangan khusus, atau isolasi dia. Yang penting dia tetap hidup—dan aman. Dan—dan ... Jongin harus kembali semangat." Seo-yeon mengakhiri kalimatnya seraya menoleh kepada sang anak.
Kedua netra sama warna milik ibu dan anak itu bersirobok dalam diam. Jongin tersenyum manis, dan Seo-yeon masih menangis dalam diam. Air matanya susah dicegah setiap kali ia melihat anaknya tersebut.
Seohyun mendesah pelan. "Baiklah. Saya akan menerimanya."
Seo-yeon menoleh. Matanya membelalak lebar ketika menatap Seohyun. "A-apa?"
Seohyun tersenyum kecil, kemudian mengangguk tegas. "Tapi dengan catatan, Jongin harus menunjukkan perilaku baik selama seminggu, dan dia akan kami tempatkan di ruangan khusus di belakang Panti. Akan kami siapkan petugas khusus dan pembimbing baginya."
Seo-yeon mengangguk paham, wajahnya sarat akan rasa bahagia dan lega. "Terimakasih, Nona, terimakasih!" ujarnya.
Seohyun menerima jabatan tangan Seo-yeon erat. Hatinya terketuk pelan. Hari ini adalah hari yang paling berat. Ia baru saja memutuskan suatu hal yang tak pernah ia sangka. Seorang pasien baru, dengan gangguan mental berat, datang dituntun oleh ibunya. Tangannya yang terborgol erat, selalu menatap sang ibu penuh cinta.
Sama halnya dengan Seo-yeon yang selalu menampakkan kasihnya pada Jongin. Sebuah kasih ibu yang tak pernah Seohyun lihat sebelumnya, kini terbukti ada di depan matanya.
Seo-yeon langsung melepaskan jabat tangan mereka, dan itu membuat Seohyun tersadar. Sang ibu langsung berlari kearah dimana Jongin duduk terpekur.
Tubuh tan Jongin tersentak kaget ketika ibunya tiba-tiba mendekap erat dirinya. Air mata Seo-yeon mengalir deras membasahi kaus putih yang ia kenakan.
"Ibu?"
Seo-yeon melepaskan pelukannya, ia menelakupkan kedua telapak tangannya pada wajah damai seorang Kim Jongin, anaknya. "Kau akan sembuh, oke? Kau akan kembali tertawa dan bermain bola dengan Sehun..."
Jongin tertawa keras, dan itu membuat Seohyun dan Seo-yeon tersentak kaget. "Sehun mana mungkin mau main denganku, Bu! Dia itu malu punya kakak sepertiku! Hahaha!"
Seo-yeon menggeleng keras, mencoba untuk tak menangis lagi. "Sehun mencintaimu, nak. Sehun menyayangimu, sama seperti Ibu dan Ayah."
Jongin memiringkan kepalanya kesamping. "Benarkah?"
Seo-yeon tersenyum kecil dan mengangguk pelan.
"Tapi kenapa Ayah mau membuangku?"
Hati Seo-yeon hancur. Dia tak menyangka bahwa Jongin akan menanyakan dan menyadari hal ini. Seo-yeon mencoba menggeleng keras, menahan deru air mata yang keluar membasahi wajah cantiknya. ia membekap mulutnya sendiri.
"Bu ..." panggil Jongin lirih.
Seo-yeon masih menggeleng begitu keras dengan wajah yang tertunduk penuh air mata.
"Bu, aku memang pesakit. Tapi aku tidak bodoh, Bu. Jongin masih punya otak."
Seo-yeon menjerit keras.
.
.
.
Seohyun melotot tajam kearah semua orang yang berada di ruangannya. Dua orang sedang duduk di depannya, sementara dua orang lainnya berdiri dibelakang mereka.
"Jadi—tak ada yang mau menanganinya?"
Jongdae dan Minseok—dua pemuda yang duduk di kursi di depan Seohyun—menunduk malu. Seohyun kembali mendesah, lalu memijat pelipisnya frustasi.
"Aku tak pernah menangani pasien sepertinya," jelas Minseok. Jongdae disebelahnya mengangguk mengiyakan.
Seohyun mengernyit tajam pada mereka berdua. "Dia tidak akan memakan kalian, dia juga bukan psikopat, ya Tuhan!"
"Dia tidak akan memakan kami, Seohyun. Tapi tak ada yang berani menjamin jika dia takkan melukai kami."
Minseok mengangguk, setuju pada jawaban Yixing yang berdiri di belakangnya. "Apa yang dikatakan Yixing benar, Seohyun. Penyakit seperti itu tidak bisa di prediksi dengan mudah. Bahkan psikiaternya masih tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi pada jiwa pemuda itu."
Seohyun membatu. Dalam hati kecilnya, dia juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan para pemuda di hadapannya. Tapi—dia tak punya cara lain.
Kim Jongin sudah ditetapkan menjadi satu dari beberapa penghuni Panti Sosial disana sejak dua hari yang lalu. Seohyun bertanggung jawab penuh pada keselamatan dan keamanannya.
Dan hari ini, ia rencananya akan meminta bantuan pada para pemuda di depannya ini untuk menangani seorang Kim Jongin, tapi—sepertinya akan banyak sekali kendalanya.
Seohyun memejamkan matanya. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang. "Aku tahu kekhawatiran kalian, tapi apa yang—"
"Seohyun ..."
Seohyun mendongak. "Ya, Kyungsoo?"
"Aku mau merawatnya."
Jongdae, Minseok, Yixing, dan Seohyun sendiri terperanjat kaget. Keempatnya langsung menoleh pada pemuda yang sedari tadi hanya diam saja; Do Kyungsoo.
"Kyungsoo! Joonmyeun takkan mengizinkanmu melakukan hal ini!"
"Ya, Kyungie. Apa yang dikatakan Yixing benar. Lagian—ini terlalu berbahaya."
Kyungsoo tersenyum pada Yixing dan Minseok. "Suho akan mengizinkanku, aku yakin. Dan aku tak pernah berpikiran jika manusia sepertinya, yang aslinya tak berbeda sedikitpun dari kita, akan berbahaya. Dia butuh dorongan dan semangat, Yixing, Minseok, dan tak ada yang bisa memberikannya kecuali dari pihak kita."
Yixing, Minseok, dan Jongdae terdiam seketika. Seohyun tersenyum tulus, kemudian mengangguk pada Kyungsoo yang sedang menatapnya.
"Kutanya sekali lagi, dengan beberapa pertimbangan dan risiko yang mungkin akan kau hadapi nanti, apa kau yakin dengan hal ini, Kyungsoo?" tanya Seohyun pelan.
Kyungsoo mengangguk mantap sambil tersenyum. "Aku yakin, Seohyun. Dan jangan berbicara seolah-olah aku akan menjadi pawang dinosaurus yang liar."
Seohyun tersenyum lega. Yixing, Jongdae, dan Minseok menggeleng pelan.
Kyungsoo tahu, dari awal dia menginjakkan kaki ke tempat ini, dia sudah tahu risikonya.
Do Kyungsoo hanyalah pemuda sederhana yang ingin berbagi semangat pada para penghuni Panti Sosial dimana ia sekarang berada. Dia sudah tahu apa-apa saja yang akan menjadi santapannya tiap hari.
Dia hanya Do Kyungsoo, pemuda manis dengan semangat juang yang tinggi, yang ingin mengembalikan semangat para pejuang kehidupan. Dia kerap mendapat cakaran dari para penghuni yang kembali merasa frustasi, dia juga tak jarang merasa sakit telinga ketika mereka berteriak atau memberontak. Pun dia juga sering lelah memaksa para penghuni disana untuk makan siang.
Dan kali ini, menghadapi seorang pemuda yang beberapa tahun lebih muda darinya dengan diagnosa penyakit mental terparah bernama 'Skizofrenia Tak Terdefinisi', bukanlah suatu ketakutan baginya. Karena Do Kyungsoo, dari awal, sudah tahu risiko yang akan dia hadapi.
.
.
.
Satu hari setelah Kyungsoo menyanggupi permintaan Seohyun, ia untuk yang pertama kalinya, akan merawat seorang pasien yang bernama Kim Jongin.
Seohyun mengantarnya kesebuah ruangan yang terletak paling belakang di gedung itu. Selama perjalanan menuju kesana, keduanya berbincang kecil.
"Bagaimana dengan Joonmyeun?" tanya Seohyun yang berjalan ringan disisi kiri Kyungsoo.
Kyungsoo tersenyum kecil. Tangannya ia masukkan kedalam saku celananya. "Awalnya dia tak percaya aku akan melakukannya. Dia tak mengizinkan. Tapi, ketika aku memohon dan menjanjikan keselamatanku sendiri, dia akhirnya mau mengerti juga."
"Baguslah kalau begitu," jawab Seohyun sambil tersenyum pada sang pemuda bermata besar.
Kyungsoo tersenyum kecil. Mereka berjalan beriringan dalam diam, sesekali berpapasan dengan beberapa staf disana dan penghuni Panti yang lain.
Sampai kemudian Seohyun kembali buka suara. "Kyungie ..."
Kyungsoo menoleh. "Ya?"
"Aku tahu kau punya keinginan kuat. Tapi aku harus mengingatkanmu lagi kalau pemuda yang satu ini punya gejala penyakit yang—"
"Seohyun," Kyungsoo menyela, "aku tahu yang ada di pikiranmu. Dari awal aku menginjakkan kaki disini, aku sudah tahu semua yang akan kuhadapi. Jadi—aku tahu apa yang ada di ruangan sana. Kau tak perlu khawatir, oke?"
Seohyun tersenyum. "Terimakasih banyak, Kyungsoo."
"Tak masalah."
Beberapa koridor mereka lalui, dan ketika mereka sampai di sebuah pintu yang terkunci. Hanya ada sebuah ventilasi udara yang ada di atas pintu tersebut.
Seohyun dan Kyungsoo saling berpandangan, sebelum Kyungsoo akhirnya mengangguk yakin.
Seohyun langsung mengeluarkan sebuah kunci kecil untuk pintu tersebut, kemudian memasukkannya pada lubang kunci disana.
Bunyi pintu yang terbuka membuat Kyungsoo langsung mencoba melongok kedalam ruangan yang berpenerangan samar-samar tersebut.
Seohyun, yang berdiri di samping Kyungsoo, tersenyum manis.
"Halo, Jongin. Bagaimana kabarmu hari ini?"
Kyungsoo mendorong pintu yang baru dibuka setengah oleh Seohyun tersebut karena ia tak bisa melihat pasien yang ada didalam.
Dan ketika pintu itu terbuka perlahan, manik Kyungsoo menangkap sosok pemuda yang sedang memainkan jemarinya sendiri diatas sebuah kasur tipis di pojok ruangan. Baju biru muda yang ia kenakan masih nampak rapi.
Kemudian tatkala Seohyun kembali menyebut namanya, pemuda itu mendongak kearah mereka berdua berdiri.
Sebuah senyum kecil terpatri di bibir seorang Kim Jongin.
"Hai, Seohyun. Kau datang dengan ibuku?"
Seohyun—diikuti Kyungsoo dibelakangnya—berjalan mendekat kearah Jongin yang masih mengamati mereka berdua sambil memainkan tangannya.
Setelah Seohyun berdiri satu langkah dari tempat Jongin duduk, ia menggeleng lemah. "Kita sudah punya kesepakatan kalau ibumu akan datang tiga bulan sekali, kau ingat?"
Jongin mengangguk lemah. "Ya. Aku ingat. Tapi—aku rindu ibu. Hanya ibu yang mau menerimaku apa adanya, Seohyun."
Seohyun memandang Jongin dengan tatapan iba. Kyungsoo di sampingnya membatu setelah Kim Jongin mengatakan hal itu. Ia menatap Jongin lekat-lekat.
Wajah tan dengan garis rahang tegas dan bibir penuhnya itu membuat Kyungsoo tak yakin jika dia—sakit.
Arah mata Jongin yang tertuju padanya membuatnya terkesiap, bangun dari lamunannya. Ia mencoba tersenyum pada pemuda tersebut. Dan—yang membuat dia kembali tercengang adalah, Jongin mengulurkan tangannya pada Kyungsoo.
"Hai. Namaku Kim Jongin. Jongin."
Kyungsoo membatu. Tapi, setelah Seohyun menatapnya dengan heran, ia menjabat tangan tan yang terulur itu. "Erm—Do Kyungsoo. Kau bisa panggil aku Kyungsoo, Jongin."
Jongin mengangguk tanpa tersenyum, kemudian melepaskan tangannya. Kyungsoo masih mencoba mengamati wajah Jongin tanpa berkedip.
Seohyun baru akan mulai bicara ketika sebuah suara datang dari Jongin.
"Aku juga belum tahu apa maksud Seohyun. Mungkinkah ibu sudah pergi ke Amerika bersama ayah? Ah, kau benar. Mereka sudah bahagia dengan Sehun. Iya, iya. Aku mengerti kok. Hahaha."
Kyungsoo mengernyit heran, kemudian ia mengalihkan atensinya pada sosok Seohyun di samping kanannya. Seakan mengerti apa maksud tatapan Kyungsoo, Seohyun membuka suara.
"Jonginie, kau berkata apa?"
"Aku tidak bicara pada kalian berdua."
Seohyun mengernyit. "Lalu?"
"Aku berkata pada pikiranku sendiri, Seohyun. Tolong jangan ganggu kami saat ini. Aku rindu ibu dan hanya pada pikiranku lah aku bisa bercerita."
Seohyun terhenyak. Begitupula dengan Kyungsoo.
"Ehm—baiklah, Jongin. Aku takkan mengganggumu. Tapi ada yang harus aku sampaikan. Mulai hari ini dan beberapa bulan kedepan, Kyungsoo ini akan menjadi orang yang akan merawatmu. Dia yang akan mengunjungi dan membawakan makanan serta menemanimu. Kau mengerti?"
"Aku mengerti. Semoga dia mau berada di sampingku dengan ikhlas."
Kyungsoo terhenyak. Sesaat setelah ia sadar maksud perkataan Jongin, dia menjawabnya, "aku akan berusaha menjadi temanmu."
Jongin mengangkat bahunya tak peduli. Sejurus kemudian, dia kembali memainkan tangannya. Seohyun tersenyum maklum, kemudian mengangguk singkat pada Kyungsoo sebelum beranjak pergi meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan tersebut.
Cahaya jingga matahari menerobos masuk melalui sela-sela kecil jeruji besi di samping tempat tidur Jongin. Keheningan meraja di dalam kamar itu.
Kyungsoo mencoba mendekat dan duduk di tempat tidur Jongin. "Kau sedang apa?" tanya Kyungsoo memulai pembicaraan. Jongin sedari tadi hanya sibuk sendiri memainkan tangannya, lalu kemudian dia akan memiringkan kepalanya kekiri dan kekanan.
Jongin menegadah menatap Kyungsoo, kemudian tersenyum kecil. Kyungsoo terkesiap ketika melihat bahwa Jongin tersenyum padanya. Senyum Jongin mengingatkan Kyungsoo pada senyum anak kecil yang bahagia, tanpa beban. Walau kenyataannya saat ini, berbanding terbalik.
"Kenapa kau mau menemaniku?" tanya Jongin.
Kyungsoo tersenyum. "Apa harus ada alasan yang kuat?"
"Tentu. Karena aku penderita sakit Skizofrenia."
Kyungsoo kembali terperanjat kaget. "Kau—tahu hal itu?"
Jongin tertawa kecil. "Aku hanya sakit Skizofrenia, bukan orang yang tak punya otak."
Kyungsoo tersenyum lemah. "Maaf."
"Mungkin dia orang yang baik."
Kyungsoo mengernyit mendengar jawaban melenceng dari Jongin. "Maaf? Kau bicara apa?"
Jongin menatap Kyungsoo. Lama, lekat-lekat. "Ah—tidak. Aku tak bicara padamu. Aku sedang berdiskusi dengan pikiranku. Tentang dirimu."
"Diriku?" tanya Kyungsoo heran.
Jongin mengangguk. "Kau orang baik, kan? Aku bisa melihatnya, Kyungsoo. Berapa umurmu?"
"Sembilan belas tahun. Kau?"
"Delapan belas. Kau masih muda, kenapa tak kuliah?"
Kyungsoo tersenyum mengetahui bahwa Jongin ternyata mau berbicara dan terbuka padanya. "Aku sudah selesai kuliah dan sedang menunggu lamaran pekerjaanku diterima atau tidak."
Jongin mengangguk dan menunduk dalam diam. Kemudian, ia mendongak kembali menatap Kyungsoo tajam.
"Kyungsoo ..."
"Ya, Jongin?"
"Apakah kau tak takut padaku?"
Manik mereka bersirobok dalam diam. Pancaran mata Jongin yang hangat menghipnotis Kyungsoo. Binar cerah dari kedua obsidian pekat itu memikatnya, seakan Jongin punya rahasia dan hanya ia sendiri yang tahu apa itu.
"Aku ..."
"..."
"Aku tak pernah takut. Bukankah kita sekarang teman?"
Jongin mengedipkan matanya tak yakin. Kyungsoo tersenyum melihatnya.
Lalu, sejurus kemudian, Jongin menunduk—lagi. Tangannya berhenti melakukan gerakan yang sia-sia, namun beralih meremas baju biru muda yang dia kenakan.
Beberapa detik mereka lalui dalam keheningan, kemudian suara Jongin membuat Kyungsoo membelalakkan matanya lebar.
"Kyungsoo, boleh aku—memelukmu?"
Kyungsoo tak pernah merasakan hal aneh semacam ini. Pertama kali ia menatap obsidian Jongin, Kyungsoo sudah tenggelam kedalamnya. Kyungsoo tahu sesuatu yang Jongin coba tutupi; kesepian dan kehilangan.
Kyungsoo tahu. Mungkin tak sepenuhnya mengerti perasaan Jongin yang terdalam. Tapi—ia melihat satu hal.
Jongin juga manusia yang perlu kasih sayang dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Perlakuan orang terdekatnya yang mengucilkan dan membuat tembok penghalang antara mereka dan Jongin membuat sang pemuda yang sedang gugup dihadapannya ini begitu terluka—dan kesepian.
Kyungsoo hanya ingin melindungi Jongin. Maka dari itu—
"Tentu," jawab Kyungsoo, "kau boleh memelukku kapanpun kau mau."
Jongin mendongak menatap wajah riang nan hangat milik Do Kyungsoo. Binar di kedua manik kembarnya membesar sempurna.
Kyungsoo tertawa melihat eskpresi Kim Jongin. Namun tawanya kembali terhenti dengan pergerakan cepat Jongin yang kini sudah memeluk erat tubuh Do Kyungsoo.
Kyungsoo tersenyum sambil melingkarkan tangannya pada tubuh kekar Jongin, menyamankan dirinya dalam pelukan itu. Ia menyenderkan dagu mungilnya pada bahu kekar Kim Jongin, dan itu terasa sangat nyaman.
Lama, mereka berpelukan. Sampai sang senja kembali ke peraduannya, terganti oleh desir angin yang membuat tubuh keduanya bergidik kedinginan.
"Selama ini Jongin tak pernah punya teman yang mau memelukku."
"..."
"Selama ini mereka hanya menganggapku aneh dan tak waras."
Kyungsoo mengangguk. Dia tahu, dia tak bisa berbicara banyak. Yang Jongin butuhkan bukanlah nasihat, tapi telinga yang mau mendengarkan apa keluhan dan kesedihannya. "Kau tak perlu takut. Aku sekarang temanmu, kan?"
Jongin mengangguk. "Pelukan Kyungsoo hangat, seperti pelukan ibu. Nyaman dan menenangkan."
Kyungsoo tersenyum damai. Tangannya makin mengeratkan pelukan itu ketika baju yang ia kenakan basah oleh air mata Jongin.
Desiran angin yang berhembus masuk melalui celah jeruji besi membuat mereka semakin nyaman dalam dekapan masing-masing. Tubuh kekar Jongin yang membuat Kyungsoo nyaman, serta tubuh mungil sang pemuda bermata besar yang menguarkan hawa hangat itu menenangkan seorang Kim Jongin.
Keheningan di dalam ruangan itu juga tak membuat mereka sadar, jika di balik pintu masuk ke ruangan tersebut, ada dua orang yang baru saja melihat interaksi perdana antara Jongin dan Kyungsoo.
Seohyun tersenyum pada lelaki yang datang bersamanya barusan. "Kau sungguh beruntung bisa memiliki seorang Kyungsoo yang berhati malaikat."
Lelaki di samping Seohyun tersenyum tulus. "Kyungsoo segalanya bagiku."
Kemudian, dua orang itu berlalu dari sana, meninggalkan Kyungsoo dan Jongin yang telah melepaskan pelukannya.
Catatan Harian Kyungsoo
Hari ini hari Senin. Kalian ingat? Kemarin aku sudah berjanji dengan Seohyun bahwa mulai hari ini aku akan merawat seorang penghuni Panti bernama Kim Jongin. Hari ini aku sudah bertemu dengannya.
Yixing dan Minseok salah. Jongin sama sekali tak berbahaya.
Dia hanyalah pemuda yang nampak rapuh hanya karena sebuah kehendak Tuhan yang harus ia jalani.
Jongin hanya sedang jatuh, dengan tak ada seorangpun yang mau mengulurkan tangannya untuk membantunya bangkit.
Mata Jongin mengingatkanku pada mata seorang anak kecil yang polos. Obsidian hitam pekatnya menyiratkan rahasia yang selama ini hanya ia pendam sendiri.
Maaf, tapi aku bisa melihat dan merasakannya.
Hari ini hari Senin. Aku bertemu dengan pemuda yang di diagnosa mengalami penyakit Skizofrenia—yang macamnya belum diketahui apa—dan depresi berat bernama Kim Jongin.
Pelukan Jongin begitu hangat dan bersahabat.
Jongin yang kutemui hari ini tak ada bedanya dengan manusia-manusia lain. Mungkin perbedaannya hanya terletak pada takdir yang harus ia jalani, itu saja.
PS : Tadi aku berjanji akan membawakan lagu bagus untuk ia dengarkan. Dan dia setuju. Semoga, semangat hidupnya akan sembuh. Amen.
.
.
.
TBC
...
A/N : Waah, KaiSoo lagi, hehe. Sebenarnya ini udah lama ngendon di laptop, dan aku remake lagi. Nggak tau kenapa tiba-tiba pengen publish. Oya, ini fanfiksi untuk Azura Eve, deh. Aaaz~ maaf aku nggak bisa merealisasikan ide yang aku ceritain di pm. Itu ide udah banyak yang pake ehehe. Sebagai gantinya ini aja gimana? Ini abal nggak sih, Az? Aku ragu lagi mau ngepost, hueee TAT Ayo kamu post ff kamu yang di pm itu ayook! XD
Halo, readerdeul sekalian. Kalau ada yang mau ditanyakan, lewat PM ya.
Ini layak nggak sih? Apa mau dihapus aja? Aku agak ragu juga sih awalnya -.- Kalau lanjut sih paling cuma threeshot deh atau paling banter 4 sampe 5 chap, hehe. Belum tau juga XD
NB : bagi para pembaca fanfiksi Our Secretary yang budiman dan baik hatinya, file chap 3 nya sempet nyelip. Tapi aku janji bakal ngepost akhir-akhir minggu ini atau awal minggu depan /digampar
Salam hangat, SachiMalff.
10 Mei 2014.
