The Days of Lovers 1: Confession

Ren POV

Aku tidak tahu harus berkata apa.

Gadis itu duduk dihadapanku, asyik dengan makanan kesukaannya: hamburger dengan telur diatasnya. Aku tidak dapat menahan senyum saat melihat ekspresi antusiasnya melihat makanan itu diantar. Sebenarnya lebih tepat dibilang setengah takzim daripada antusias, sih…

Diam-diam aku meliriknya sambil menunduk, pura-pura mengaduk kopiku. Tarik nafas…hembuskan. Tarik nafas…hembuskan. Tarik nafas…hembuskan. Sialan. Belum pernah seumur hidup aku segugup ini menghadapi sesuatu bahkan dalam pekerjaan sekalipun. Padahal sudah puluhan kali aku menghadapi masalah ini sebelumnya, tapi situasi kali ini lain. Ini Kyoko. Bukan gadis-gadis yang pernah kukencani sebelumnya, bukan gadis-gadis yang-baru setahun belakangan ini aku sadar-tidak kucintai sepenuh hati. Terima kasih pada pak presdir yang telah mengingatkan aku betapa amatirnya aku dalam percintaan selama 10 tahun dan terima kasih pada ayam yang telah mengajari aku bagaimana rasanya cinta itu, yang akhirnya menuntunku untuk menyadari apa yang kurasakan pada gadis ini.

Sebenarnya aku ragu melakukan hal yang hendak kulakukan sekarang. Aku memang sudah cukup memaafkan diriku sendiri dan berpikir bahwa aku berhak untuk hidup bahagia…bersamanya. Hubungan kami juga sudah jauh lebih baik daripada saat pertama kali dulu. Dia tidak lagi membenciku dan kini menganggapku sebagai sempai yang bisa diandalkan. Tapi aku harus mengerti dia juga. Dia pernah terluka sangat dalam karena cinta sampai membuatnya bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi. Siapkah dia sekarang untuk menerima apa yang hendak kukatakan padanya? Atau mungkin dia akan menjauh dan menghilangkan keberadaanku dari hatinya? Tapi aku tak bisa terus-menerus menahan diri seperti ini. Kami tak akan pernah kemana-mana kalau begini terus

Kusesap lagi kopi panasku untuk menenangkan diri. Aku yakin dari luar orang tak akan tahu pergulatan batin yang sedang kualami sekarang karena dengan seluruh kemampuan yang kumiliki aku memasang wajah martirku yang terbaik tapi tetap saja...aku sendiri tidak yakin ketenangan ini akan bertahan berapa lama. Katakan sesuatu! aku memaksa diriku. Katakan sesuatu! Tidak biasanya aku merasa seperti ini tapi aku benar-benar habis akal.

Kata-kata apa yang terbaik untuk menyatakan perasaanku padanya?

Kyoko's POV

Apa yang sedang dia pikirkan?

Sejak tadi diam-diam aku memperhatikkan ekspresinya dari pantulan yang terlihat di sendokku. Tsuruga-san tampak…aneh. Bukan ekspresinya. Sejak tadi dia memasang wajah seperti biasa. Yang aneh itu…atmosfernya. Mirip dengan saat konfrensi pembukaan Dark Moon dulu. Apa mungkin dia sedang gugup?

Sambil terus menyuap makananku, aku terus memperhatikannya, mencoba mendeteksi perubahan sekecil apapun. Aku sudah merasa aneh saat dia menelepon kemarin dan mengajakku makan diluar. Kami sering makan bersama di apartemennya, sering kali karena Yashiro-san mengadukan padaku kalau belakangan dia tidak makan makanan yang benar dan aku memaksa untuk memasak dirumahnya. Benar-benar deh…kebiasaan makannya itu sangat mengkhawatirkan. Aku heran kenapa dia masih hidup sampai sekarang dengan cara makan seperti itu.

Walau sering makan bersama, kami tidak pernah makan diluar. Sekali-sekalinya kami makan diluar ya saat aku masih menjadi manajer penggantinya 2 tahun lalu. Dia pernah bilang kalau masakanku lebih enak daripada masakan restoran (dan itu membuatku malu saking senangnya), jadi tidak mungkin alasannya mengajakku makan diluar karena dia bosan dengan masakananku, kan'?

Aku mulai tenggelam dalam pikiranku. Betapa cepatnya waktu berlalu sejak pertemuan pertama kami…aku tersenyum saat mengingat seburuk apa hubungan kami dulu. Saat itu aku sama sekali tidak membayangkan bahwa suatu hari nanti akan makan bersama laki-laki ini, tapi nyatanya sekarang…takdir memang aneh. Cowok kedua yang paling kubenci setelah Shotaro dulu sekarang malah menjadi sempai andalanku. Dan…

Aku berusaha untuk tidak memikirkannya sebisaku. Aku menolak menyadarinya. Aku memakai berbagai perisai untuk mengalihkan kesadaranku. Aku berkata pada diriku sendiri kalau senyuman lembutnya tidak berpengaruh apa-apa, pelukannya saat menenangkanku dulu…saat aku mengkhawatirkan Corn…tidak berpengaruh apa-apa. Ciuman terima kasihnya dipipiku tidak berpengaruh apa-apa. Aku bukan siapa-siapa dibandingkan dia. Aku tidak akan berharap. Aku tidak mau memikirkannya…sehingga aku tidak akan terluka. Aku tidak mau terluka lagi….

Tapi percuma. Semakin hari kesadaran itu semakin kuat kurasakan. Aku tidak bisa selamanya membohongi diriku sendiri. Aku tidak mau tahu…tapi aku tidak bisa membuat diriku tidak tahu.

Mungkin…

Aku jatuh cinta pada Tsuruga Ren.

Third person POV

Kesunyian berlangsung lama jauh setelah mereka berdua selesai makan. Tak satupun dari mereka bersuara. Tak seorang pun berani memecah kesunyian menegangkan itu sampai saat ini.

"Ehm…"

Kyoko mengangkat wajahnya mendengar Ren berdeham. " Mogami-san, aku…."

Kyoko menunggu. Tanpa sadar ia mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat Ren tak sanggup menahan dirinya untuk mempertahankan topeng tanpa ekspresinya lagi. Wajahnya merah padam. Entah kenapa Kyoko ikut-ikutan merasa malu sehingga wajahnya memerah juga. Mereka terdiam lagi sambil saling berpandangan, lupa akan kenyataan bahwa saat ini mereka sedang berada di restoran keluarga dan mengabaikan sama sekali orang-orang yang menatap adegan itu sambil berbisik-bisik. " Itu seperti Tsuruga Ren…"

"Tapi tidak mungkin dia ada disini."

"Siapa gadis yang bersama dengan orang yang mirip sekali dengan Ren itu?"

"Apa mereka akan saling menyatakan cinta?"

Ren dan Kyoko sama sekali tidak mendengarkan bisik-bisik itu. Bagi Ren Cuma ada Kyoko; wajahnya yang menunggu, suara nafasnya….dia harus mengatakannya sekarang. Sekarang atau tidak sama sekali. Sebelum gadis itu lelah menunggu dan membuka hatinya pada orang lain di masa depan. Misalnya, dia berpikir dengan perasaan tak enak, Fuwa Sho.

Kyoko menanti dengan nafas tercekat. Dia terhisap dalam kedalaman mata lelaki dihadapannya. Apa yang mau dikatakannya? Kyoko bertanya-tanya dalam hati. Entah mengapa dia merasa sedang menanti sesuatu yang sangat dia inginkan sekaligus dia takutkan. Tidak boleh berharap. Tidak boleh boleh berkhayal.

"Maukah kau jalan denganku?"

Terucap! Ren menanti jawaban Kyoko dengan nafas tercekat. Diam-diam dia menyilangkan jarinya di bawah meja, meminta keberuntungan. Dia tak mau memikirkan apa yang akan dilakukannya kalau Kyoko menolaknya…atau lebih buruk lagi…menjauh darinya seketika.

"Kemana?"

Ren membeku menfdengar reaksi Kyoko barusan. Apa yang tadi dia katakan?

"Jalan kemana? Memangnya kau mau pergi kemana Tsuruga-san?

Ren menatap Kyoko dengan tatapan shock. Apa gadis ini cuma pura-pura bodoh? Tidak…ekspresinya benar-benar serius bertanya padaku. Apa kalimatku tadi kurang jelas?

"Sudah, lupakan saja." ujar Ren datar, tidak mampu menyembunyikan kekesalannya. Sudah susah payah dia mengucapkan kalimat itu dan gadis ini tidak mengerti juga apa maksudnya. Bagaimana bisa dia tidak kesal?

Dilain pihak Kyoko merasa bingung sekali. Kupikir dia mau mengatakan…ah, sudahlah. Ada baiknya kan' aku tidak berharap? pikir Kyoko sambil mengaduk gelas parfaitnya yang sudah kosong dengan tatapan terluka. Walau bilang tidak berharap juga sebenarnya dia tahu kalau dia berharap sempainya mengatakan….mengatakan….tapi ternyata tidak. Lelaki ini malah mengatakan hal yang tidak jelas. Aku toh tidak akan pernah mengatakan apapun padanya soal kemungkinan perasaanku padanya, pikir Kyoko, masih dengan wajah terluka.

Ren yang sebelumnya menekuni cangkir kopinya yang kosong merasa kaget melihat ekspresi aneh yang kini terpancar di wajah gadis yang dicintainya itu. Kenapa dia berwajah seperti itu? Apa kata-kataku tadi menyinggungnya? Tapi bukankah aku yang seharusnya merasa tersinggung disini? Lagipula ekspresinya bukan ekspresi tersinggung melainkan…terluka? Apa dia terluka dengan kata-kataku tadi? Apa mungkin dia….

"Mogami-san."

Kyoko kembali mengangkat wajahnya, menatap Ren namun kali ini dia tetap ditempatnya. Ekspresinya seolah-olah siap menerima hantaman mental yang keras, datar dan waspada, membuat hati Ren terenyuh melihat seberapa besar luka yang dia sebabkan pada gadis ini barusan. Kali ini dia menatap Kyoko dengan lebih serius, dan dia tiba-tiba saja tahu kalimat apa yang seharusnya dia ucapkan sejak tadi.

"Maukah kau menjadi pacarku?"

Kyoko membeku. "Apa? Bisa kau ulangi lagi kalimatmu tadi?" tanyanya seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Ren menarik nafas dalam-dalam dan kembali menatap Kyoko dengan keseriusan yang sama seperti sebelumnya. "Maukah kau menjadi pacarku, Kyoko?"

Dalam kepalanya Kyoko merasa melihat kembang api meledak berurutan. Bunga-bunga mekar dan peri-peri cintanya yang sudah hilang kembali turun dari langit, menyanyikan nada-nada surgawi yang asing. Tentu saja itu cuma ada di kepalanya. Di luar ekspresinya membatu dan dengan suara yang seperti bukan suaranya sendiri dia berkata,

"Tentu saja. Dengan senang hati."