Warn; School!AU, lil bit OOC.

Disclaimer; Serial Naruto, Boruto, Mitsuki dan tokoh-tokoh lain yang muncul di sini seutuhnya milik Kishimoto-sensei. Saya hanya meminjam nama mereka untuk kepentingan penulisan fanfiksi :)


Ada saat di mana aku melihat Mitsuki akan duduk, menyendiri—terasing diantara tumpukan buku-buku tua perpustakaan sekolah. Dan aku benar-benar baru mengetahui rutinitas minor kawanku dua hari belakangan ini. Dia memang pendiam, tetapi soal hobi menyepi itu aku benaran gak tahu.

"Lho, Mitsuki? Ngapain?" Kupandangi sosoknya yang sibuk berkenalan dengan tokoh-tokoh hasil rekaan novelis kebanggaan Jepang; Murakami Haruki. Netra serupa kucing milik Mitsuki bergulir, menatapku dengan ekspresi patennya yang menyebalkan. Wajah yang seakan ditempeli senyum sok ramah.

Senyuman itu, sial benar, aku sudah kenyang melihatnya.

"Baca buku, biar waktu istirahat kedua ini tidak sia-sia. Kamu sendiri, tumben kemari. Ada apa?" Diam-diam aku bisa melihat dia menghela napas pendek di balik senyum sok ramah tadi. Ada gelagat tak nyaman. Terlihat dari caranya memegang bahan bacaan. Aku tahu. Jemarinya gemetar saat meremat sampul novel yang sebagian sisinya memang sudah koyak termakan zaman.

Mitsuki memang pendiam, tak banyak omong, tetapi ia gemar sekali mengumbar senyum. Dia termasuk ramah karena tak sungkan menyapa duluan walau orangnya agak kaku. Melihat dia duduk di kursi panjang perpustakaan sambil memangku Norwegian Wood-nya Murakami Haruki tentu jadi pemandangan baru buatku.

"Inojin bilang kau ada di sini jadi aku kemari deh. Habis bubaran sekolah kita kumpul. Sarada ingin mengadakan rapat kecil-kecilan untuk lomba besok. Terlambat? Kau bakalan mati katanya." Aku memulai, dan entah perasaan saja atau tidak ekspresi tegang di wajah pucat itu jadi sedikit melunak.

"Waduh, Ketua OSIS galak sekali. Tenang, aku tak akan terlambat." Gurau pemuda berkulit pucat tersebut sambil tersenyum—lagi (senyum yang kata orang banyak adalah palsu, sebuah formalitas belaka. Memang benar. Anak itu tidak bisa tersenyum tulus. Setidaknya belum untuk sekarang).

"Aku duluan. Harus ke kelas satu, mau lihat Himawari menyelesaikan temari untuk festival besok. Mungkin dia butuh sedikit bantuan." Daripada ikutan kesal melihat dia umbar senyum dan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja lebih baik memberinya sedikit ruang. Kadang melihat dia begini selalu sukses membuatku naik darah. Kok ada ya manusia begini? Dia terlihat sangat tidak natural, tidak hidup.

"Ya. Sampai nanti. Sampaikan salamku untuk adikmu."

Aku urung beranjak. Kupandangi sengit dirinya.

"Hoi, Mitsuki! Jika ada orang menghina Ayahmu seperti tadi oke-oke saja jika kau marah. Itu oke kalau kau melayangkan tinju ke wajah orang itu. Bagus kalau hidungnya bengkok dan berdarah." Mendadak atmosfer di sekeliling kami menjadi agak berat. Ucapanku sukses menarik lepas topeng yang mati-matian ia pertahankan. Mitsuki membalas tatapanku dengan sorot mata yang sulit terbaca. "Beberapa orang memang pantas mendapatkan pukulan. Dan, jika kau ragu untuk melakukannya. Aku tak keberatan melakukan hal itu untukmu."

"Tidak Boruto, terima kasih." Mitsuki menggeleng kecil. Terang-teranga menolak bantuan cuma-cuma dariku.

"Hei, aku hanya berusaha menolong! Apa kau tak bisa mengapresiasi usaha temanmu sedikit saja Mitsu—" Bunyi 'buk' kecil dari novel yang ditutup karena si empunya telah merampungkan bacaannya menengahi. Balasan sarkasku yang nyaris merebak tertinggal di pangkal lidah.

"Biar aku saja. Jika orang sepertimu bilang kalau itu oke, maka akan kulakukan. Akan kulakukan dengan tanganku sendiri." Mitsuki bangkit dari duduknya, berjalan menuju rak paling pojok; meletakan novelnya ke tempat semula. Tangannya tak sengaja mengetuk sekat rak buku ketika hendak memilih bacaan lain. Jari kurus-nya berhenti di deretan novel terjemahan karya Fyodor Dostoevsky.

"Melakukan apa? Memang bisa apa kau?" kutarik senyum setengah mengejek untuknya.

Sinar matahari sore yang hangat membias, mengenai setengah wajah kelewat pucat milik Mitsuki. Aku sadar ketika sapphireku bersirobok dengan kedua netra berwarna kuning cerah miliknya. Ada hal baru yang kutemukan dari kilatan matanya. Bukan halimun pekat yang sulit terbaca. Ada tekat dan emosi. Ada warna yang membuat dia terlihat lebih hidup.

"Marah, dan berkelahi untuk sesuatu yang kuanggap penting." Si pucat kembali duduk di tempat semula, sebuah bangku panjang di samping jendela raksasa perpustakaan, mengelus sampul novel pilihannya yang mulai menguning lamat-lamat. Kali ini ia balas menatapku.

"Akhirnya kau mengerti. Memang seharusnya begitu, dattebasa!"

Dan sore itu, untuk pertama kalinya. Aku melihat Mitsuki yang berbaur diantara rak-rak tinggi berisi ribuan eksemplar buku-buku tebal membosankan tersenyum dengan cara yang berbeda.

.

.

.

.

.

Fin.


a/n: Maaf kalau OOC, jangan amukin saya, ya? Hehe.

Terima kasih sudah mampir:))