.

assortment

~a box of chocolates to express your heart~

.

Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki

.

warning:

kumpulan ficlet

chocolatier!AU

alternate age (Kasamatsu is 23 y.o & Kise is 21 y.o)

(mungkin) OOC

BL/shonen-ai


i. tipperary bon bon

Daun-daun kering yang berguguran. Lalu lalang kendaraan di Minggu siang. Angin musim gugur yang berhembus cukup kencang. Hal-hal yang harusnya biasa itu kini terasa asing hanya karena ia berada di belahan bumi yang berbeda. Kasamatsu Yukio adalah seorang chocolatier muda yang telah lama bermimpi untuk berkarya disini, dimana toko-toko coklat terkemuka berjejalan di jalan-jalan utamanya, Paris. Setelah dua bulan menginjakkan kaki di Paris, akhirnya ia memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Salon du Chocola, sebuah acara pameran coklat tahunan yang digelar disana.

Meskipun dengan bahasa Perancis yang pas-pasan –ia menggantungkan kecakapan berbicaranya pada sebuah buku saku yang dibelinya beberapa minggu sebelum keberangkatanny– dan jumlah wanita yang menurutnya terlalu banyak dalam satu tempat, Kasamatsu berhasil menikmati acara itu. Terbukti dari satu tas besar berisi beragam jenis coklat yang kini berada di tangannya.

Namun disaat itulah seseorang memutuskan untuk menabraknya –Kasamatsu mau tidak mau teringat adegan klise seperti dalam komik-komik yang sering dibacanya dulu– dengan cukup keras hingga ia jatuh terduduk.

Ia mendongak ketika mendengar orang yang menabraknya meminta maaf dengan panik dan tatapannya bertemu dengan sepasang iris sewarna karamel –atau mungkin emas?– yang dibingkai oleh bulu mata lentik. Untuk beberapa saat ia seakan tenggelam di dalamnya, dan saat ia sadar, ada sebuah tangan yang terulur di depannya dan tatapan bingung dari pemuda itu.

"Parlez-vous français?" tanyanya dengan aksen Perancis yang kental. Kasamatsu telah mendapat pertanyaan itu berkali-kali, tapi itu adalah pertama kalinya ia mendengar seseorang mengucapkannya dengan sangat… renyah. Renyah?! Kasamatsu merasa ngeri dengan pikirannya sendiri.

"Oui," jawabnya singkat. Ia menerima uluran tangannya untuk membantunya berdiri –dan tidak bisa tidak menyadari bagaimana kulit pemuda itu terasa begitu lembut dan juga bau vanilla yang menguar dari sang pirang yang ternyata jauh lebih tinggi beberapa senti darinya– lalu dengan cepat memunguti beberapa kotak yang terlempar keluar dari tasnya. Ia menolak bantuan pemuda itu dengan sopan, dan melangkah pergi dari hadapan sang pirang sebelum otaknya memunculkan pikiran-pikiran aneh lainnya.

Kasamatsu menghabiskan malam dengan mendesain sebuah coklat baru, dengan karamel berbalut icing vanilla dan taburan kacang pikan di atasnya. Tetapi tentu saja, orang lain tidak perlu tahu darimana ia mendapatkan inspirasi untuk membuatnya.


ii. signature medallion

Rabu pagi, ketika Kasamatsu tengah menata coklat-coklat yang baru saja matang, pelanggan pertama La Maison du Chocolat melenggang masuk, membawa serta gemerincing bel yang bertengger di atas pintu.

"Selamat datang!" sapanya dalam bahasa Perancis –karena sudah menjadi peraturan bagi setiap karyawan untuk menyapa setiap pelanggan yang datang ketika mereka berada di area toko– tanpa mengalihkan perhatiannya dari barisan coklat di hadapannya.

"Permisi, aku ingin memesan sekotak assortment. Tapi apa boleh aku memilih isinya sendiri?"

Kasamatsu menjatuhkan nampan yang dibawanya, dan pemuda di balik konter itu ikut terlonjak karenanya.

"Anda tidak apa-apa?" tanyanya sopan.

"Ya— ya, maaf," ujar Kasamatsu, berusaha terdengar senormal mungkin.

Ketika akhirnya Kasamatsu menegakkan punggungnya dan mengangkat wajahnya, mata pemuda itu melebar. Apa yang berkelebat di iris emasnya itu rasa senang? Atau itu hanya imajinasinya? "Oh, kau yang waktu itu! Kebetulan sekali kita bertemu disini, aku mencari-carimu sejak beberapa hari lalu."

Sebelah alis Kasamatsu terangkat mendengarnya, "Mencariku?"

Pemuda itu menganggukkan kepalanya, lalu mengaduk-aduk isi tasnya.

"Ini milikmu kan?" tanyanya seraya meletakkan sebuah buku kecil di hadapan Kasamatsu. Buku Panduan Percakapan Bahasa Perancis yang selalu dibawa Kasamatsu kemana-mana. Kini giliran mata Kasamatsu yang melebar. Ia telah menyadari bahwa buku itu telah hilang pada hari Senin, telah mengacak-acak apartemennya untuk mencarinya tanpa hasil, dan telah menyerah dan menganggapnya hilang dalam penjelajahannya ke Salon du Chocola. Ia tidak menyangka bahwa buku itu terjatuh saat 'itu'.

"Aku tahu ada namamu di dalamnya, tapi sayangnya aku tidak bisa membaca 'kanji' –benar itu nama hurufnya kan?– jadi aku sempat bingung bagaimana harus mencarimu dan mengembalikannya," ujarnya masih dengan senyum yang melekat di wajahnya.

"Kasamatsu Yukio."

"Eh?"

"Kanji itu dibaca Kasamatsu Yukio. Terima kasih banyak karena sudah mengembalikannya," ia mengambil buku itu, menyelipkannya ke dalam saku celemeknya, dan memberikan sebuah senyum kecil pada pemuda pirang itu di akhir kalimatnya.

Itu kali pertama Kasamatsu melihat senyum yang begitu menyilaukan.

"Namaku Ryouta Kise! Panggil saja Ryouta. Salam kenal," balasnya ditambah sebuah kerlingan. Melihat ekspresi bingung Kasamatsu, ia pun menambahkan, "Ayahku orang Jepang, sedangkan Ibu orang Perancis, jadi yah… begitulah."

"Pantas saja," Kasamatsu mengangguk mengerti. "Jadi, sekotak assortment?"

Ketika ia mendapat tugas untuk memilih salah satu desain produk baru beberapa hari setelahnya, ia memilih signature medallion, coklat pipih berbentuk segilima dengan ukiran sebuah huruf berwarna emas di tengahnya. Jika orang-orang berpikir 'K' disana adalah inisial namanya, biarlah.


iii. maple pecan bon bon

"Yukio?" Kasamatsu hampir saja menjatuhkan sirup maple yang baru diambilnya dari rak ketika seseorang memanggil namanya, tepat di samping telinganya.

"Ternyata benar Yukio! Tidak kusangka kita akan bertemu lagi di tempat seperti ini," seru pemuda itu riang.

"Kise," Kasamatsu setengah mendenguskan nama itu.

"Panggil Ryouta sa—"

"Kau memanggilku apa tadi?"

"Huh? …Yukio? Aku tidak salah mengingat namamu kan?"

Sebuah tendangan, diiringi sebuah dengkingan antara kaget dan kesakitan.

"A-apa yang salah?! Kenapa aku ditendang?!"

"Jangan memanggilku dengan sok akrab begitu!"

"Eeeh? Apa salahnya dengan memanggil nama satu sama lain?"

Setelah beberapa lama beradu argumen, dengan Kise yang bersikeras bahwa adalah sangat normal untuk memanggil nama kecil dan bukan nama marga, dan Kasamatsu yang tetap ngotot bahwa tidak sopan memanggil orang yang baru saling kenal dengan nama kecil dan tanpa suffix apapun, keduanya akhirnya mencapai sebuah kesepakatan. Kise akan memanggil Kasamatsu dengan 'Yukio-san', dan Kasamatsu akan tetap memanggilnya Kise, seberapa banyakpun Kise merengek untuk dipanggil Ryouta. Kise yakin penolakan Kasamatsu adalah upaya balas dendamnya karena ia tak mau memanggilnya 'Kasamatsu-san'.

Kasamatsu berusaha mengabaikan perasaan aneh yang dirasakannya setiap kali ia mendengar nama kecilnya telontar dari bibir si pirang, dengan aksen campuran antara Perancis dan Jepang yang terdengar eksotis. Seperti sepotong buttercream yang dicelupkan ke dalam icing sirup maple dan berhiaskan kacang pikan yang memberikannya rasa manis dan gurih, lembut dan renyah dalam sekali gigit. Kasamatsu berusaha menahan semburat merah yang mulai menjalar ke wajahnya hanya dengan memikirkan itu.

"Ngomong-ngomong, aku kecewa kau tidak menghubungi padahal aku sudah sengaja menyelipkan nomorku pada buku yang kukembalikan waktu itu, Yukio-san."


iv. hazelnut souffle

"Apa benar kalau saat Valentine di Jepang, hanya para gadislah yang memberikan coklat?" tanya Kise seraya menatap Kasamatsu heran. Pemuda yang lebih tua itu mengangguk singkat, tangannya masih sibuk menata coklat-coklat yang baru matang. Sejak beberapa lalu coklat-coklat mereka selalu laris manis, hingga mereka harus membuat lebih banyak coklat daripada hari-hari biasanya. Maklum, coklat memang salah satu hadiah favorit di hari Valentine, baik di Jepang maupun di Perancis.

"Hee… kedengarannya tidak adil."

"Ha?"

"Bagaimana kalau para lelaki juga ingin memberi hadiah pada pacar mereka?"

"Biasanya para lelaki akan memberikan hadiah balasan saat White Day."

"White Day?"

"Satu bulan setelah Valentine, tepatnya 14 Maret."

"Oh…"

"Tapi menurutku, tidak ada salahnya jika kau memang ingin memberikan hadiah pada orang yang kausuka di hari Valentine, tidak peduli laki-laki ataupun perempuan," Kasamatsu mengedikkan bahunya.

"Setuju," Kise menganggukkan kepalanya. "Apa kau sering mendapat coklat saat Valentine, Yukio-san?"

Kasamatsu melemparkan sebuah tatapan tajam pada pemuda itu, "Kau mengejekku? Mau membanggakan diri karena kau selalu dapat banyak coklat, huh?"

"Aku tidak pernah bilang kalau aku selalu dapat banyak coklat."

Kasamatsu memutar matanya, "Hal itu jelas terlihat dari wajahmu, bodoh."

"Apa itu artinya Yukio-san mengakui bahwa aku menarik?" tanya Kise dengan sebuah cengiran yang terlalu lebar, membuat Kasamatsu ingin menendangnya keluar.

Dengan cepat ia menyiapkan coklat-coklat yang dipesan Kise, menghitung totalnya, dan menyodorkannya pada Kise bahkan sebelum si pirang memberikan uangnya. Ia berharap pemuda itu tidak menyadari sekantong coklat tambahan yang diselipkannya.

"Akan kusiapkan hadiah White Day special untukmu, Yukio-san," bisik Kise sebelum berlalu dari sana, seringai kecil melekat di bibirnya, seringai yang membuatnya terpaku dengan ujung telinga memerah.

"Hadiah White Day harus 3 kali lebih mahal dari hadiah Valentine, mengerti?" ujarnya setelah berhasil menemukan kembali suaranya.

Baru kali ini ia merasa tidak sabar menunggu White Day tiba.


v. summertime

Decit sepatu basket dengan lapangan basket yang licin, baju yang telah basah oleh keringat, deru napas yang memburu, kedua pemuda yang tengah tenggelam dalam permainan one-on-one itu seakan tak menghiraukan matahari musim panas yang menyengat. Pemuda yang lebih tinggi sekali lagi berhasil merebut bola dari pemuda yang lebih kecil, dan tanpa membuang waktu langsung melakukan dunk.

"Dasar tukang pamer," gerutu Kasamatsu, meskipun matanya tak bisa lepas dari surai pirang yang tampak bersinar di bawah terik matahari siang, cengiran super lebar di wajah tampannya, dan lekuk-lekuk otot yang membentuk tubuhnya. Dan –meskipun tidak akan diakuinya– ia terlihat tak kalah 'bersinar' dari biasanya walaupun hanya dengan celana pendek dan kaos polos, entah bagaimana.

"Satu lagu poin untukku, Yukio-san!" serunya senang.

"Ya, ya. Jangan senang dulu, Kise, kau belum menang."

Satu dari beberapa sesi bertukar pesan singkat mereka telah mengungkapkan bahwa mereka berdua sama-sama pernah bermain basket di masa SMA mereka, dan karenanya keduanya memutuskan untuk mencoba memainkan kembali olahraga itu. Kasamatsu kini menyesali karena telah menganggap Kise sebagai 'sekedar pemuda dengan paras diatas rata-rata', karena kenyataannya pemuda yang ternyata lebih muda darinya itu benar-benar pemain basket yang handal. Ia tidak akan terkejut jika ternyata pemuda itu adalah ace timnya dulu.

"Tapi permainanmu tidak buruk, Yukio-san. Maaf aku sempat meremehkanmu," ujarnya diiringi sebuah senyuman sebagai permintaan maaf.

Kasamatsu menarik kerah kaos yang dipakainya untuk mengelap keringat di wajahnya sementara ia mengatur napas. "Hn. Aku juga sempat meremehkanmu. Maaf."

Hening. Kasamatsu menatap pemuda di hadapannya dengan dahi berkerut. Apa yang tengah dipelototinya? Apa ada sesuatu di bajunya?

"…Kise?"

"Huh? Ah—!" Kise tampak buru-buru mengalihkan wajahnya yang tampak memerah.

"Kau kenapa? Dehidrasi?"

"Tidak, tidak," Kise tertawa grogi, lalu melenggang ke pinggir lapangan dimana mereka meninggalkan tas mereka. "Ah aku ingin makan coklat kacang~"

Kasamatsu hanya mendengus mendengarnya, pemuda yang lebih muda itu selalu saja begitu.

"Yukio-san, aku ingin coklat yang banyak kacangnya!"

"Beli saja sana, Kise."

"Aku ingin coklat yang akan mengingatkanku pada musim panas! Tapi aku tidak tau coklat yang mana yang harus kubeli…"

"Kacang apa yang kauinginkan?"

"Hm? Mungkin… hazelnut? Dan kenari?"

"Bagaimana dengan coklatnya?"

"Aku membayangkannya digabung dengan coklat putih, lalu di dalamnya juga ada pasta dengan rasa susu. Kedengarannya enak bukan?"

Pemuda yang lebih tua itu mengangguk. "Kurasa aku bisa membuatkannya."

Dan mata Kise berbinar lebih cerah daripada matahari di atas mereka.

Itu adalah pertama kalinya Kasamatsu membuatkan coklat untuk Kise. Atau lebih tepatnya pertama kali ia membuat coklat untuk Kise dengan sepengetahuan yang bersangkutan.


vi. milk cherry

"Kau model?!" tanya Kasamatsu dengan suara yang jelas menunjukkan ketidakpercayaannya. Harusnya ia tidak kaget, karena toh tidak aneh mengingat pesona Kise, dan gaya berpakaiannya, dan rasa percaya dirinya. Dan semua kesibukannya juga jadi masuk akal jika ia memang seorang model. Hanya saja ia tidak menyangka jika pemuda blasteran itu benar-benar seorang model, dan satu dari mereka yang cukup terkenal, tampaknya.

Kise tertawa, "Justru aku yang kaget ternyata Yukio-san tidak tau kalau aku adalah seorang model selama ini."

"Kau tidak memberitahuku!"

"Yukio-san tidak bertanya."

Kasamatsu menggeram sebal, sementara Kise kembali terkekeh pelan, sama sekali tidak merasa bersalah. "Kalau aku mengatakannya tanpa ditanya pasti Yukio-san akan mengataiku tukang pamer lagi."

Kasamatsu mendecak sebal, karena tuduhan itu memang tepat sasaran.

Ok, Kasamatsu memang bukan seseorang yang sering mengecek mode, ataupun majalah selain yang berhubungan dengan coklat. Jika tidak ada segerombolan wanita yang mengerubuti Kise untuk meminta tanda tangannya dengan sebuah majalah dengan Kise digambar sampulnya, Kasamatsu tidak akan tahu pekerjaan pemuda pirang itu.

Kasamatsu yakin kalau Kise sengaja menambahkan hentakan dan lenggokan pada langkahnya saat ia meninggalkan La Maison du Chocolat hanya untuk menegaskan bahwa ia memang adalah seorang model. Atau hanya untuk menggodanya. ...atau mungkin itu memang gayanya yang biasa dan Kasamatsulah yang lebih sadar akan hal itu setelah tahu bahwa ia adalah seorang model?

Kasamatsu menghela napas berat, berusaha menyingkirkan pikiran mengenai si pirang dari otaknya, dan mengembalikan fokusnya ke tumpukan cherry segar yang siap dicelup ke dalam coklat susu lembut yang telah melalui proses tampering yang sempurna. Yep, seperti Kise yang pesona alaminya memang telah bersinar dan makin bertambah nilainya dengan statusnya sebagai model.

'Tunggu, apa?!'


vii. coffee souffle

Pertama kalinya Kise mengajak Kasamatsu ke apartemennya, adalah di kali pertama hujan musim semi mengguyur Paris. Saat itu ia baru saja pulang dari salah satu pemotretan, hujan lebat yang membuat jarak pandangnya berkurang drastis memaksanya menyetir mobilnya pelan-pelan. Dan kebetulan, ketika ia iseng melongok keluar ia melihat sosok Kasamatsu, basah kuyup dan gemetaran, di halte bus yang tak berpenghuni itu.

"Yukio-san?" panggilnya.

Pemuda yang dipanggil mendongakkan kepalanya. Butuh beberapa detik baginya sebelum mengenali pemuda yang tengah duduk di balik setir mobil sport merahnya itu. "Kise..."

"Kau basah kuyup," ujarnya, "Bagaimana kalau mampir ke rumahku? Maksudku— kau bisa masuk angin kalau kau tetap disini, dan rumahku tidak jauh dari sini…"

Kasamatsu terdiam, sementara kedua manik birunya menatap Kise lekat-lekat. Ia hampir yakin Kasamatsu akan menolaknya tawarannya ketika—

"Kurasa itu bukan ide yang buruk."

Kise buru-buru membuka pintu mobilnya ketika melihat Kasamatsu beranjak menghampirinya, senyuman lebar telah bertengger di wajahnya. Tapi alih-alih masuk, Kasamatsu hanya memandangi kursi penumpang di sampingnya.

"Aku basah kuyup."

"Aku tau, makanya—"

"Nanti mobilmu basah."

Oh. Kise menyamarkan tawanya sebagai dengusan.

"Setidaknya aku tidak perlu khawatir mobilku akan masuk angin."

Saat keduanya telah melaju menembus hujan, dengan Kasamatsu yang telah berhenti menggigil berkat jaket yang dipinjamkan Kise, sang Model itu sadar bahwa seharusnya ia menawarkan untuk mengantarkan Kasamatsu pulang dan bukannya mengajaknya ke rumah. Dan harusnya Kasamatsu mengoreksi kesalahannya. Tapi Kise Ryouta adalah seorang oportunis, ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan langka yang didapatnya, jadi ia memilih tak mengungkit hal itu.

Berkat hari itu Kise jadi tahu bahwa Kasamatsu tidak hanya jago membuat coklat, tetapi juga jago membuat kopi. Meskipun sejujurnya, yang paling membuatnya terkesan adalah sosok Kasamatsu yang tengah meracik kopi dengan kaos kebesaran –miliknya– dan wajahnya ketika tertidur di ranjangnya. Ia menganggap bahwa meskipun iharus tidur di sofa malam itu, itu adalah bayaran yang setimpal atas apa yang didapatnya.


viii. liquid fudge smoothie

Kise Ryouta tidak suka merasa terikat, apalagi dikekang. Karena itu ia lebih memilih untuk tinggal sendiri. Karena itu pula ia telah meninggalkan serentetan panjang mantan kekasih yang telah diputuskannya. Bukan mau sombong, tapi pada kenyataannya ia memang sudah populer sejak dulu. Setiap minggu pasti ada saja yang menembaknya. Kadang ia akan menerimanya, meskipun lebih sering ia menolak mereka dengan berbagai macam alasan.

Ia sadar jika beberapa dari mereka hanya tertarik dengan statusnya sebagai seorang model, dan akan pergi jika telah puas merasakan bagaimana menyandang status sebagai pacar model. Sementara sebagian lagi adalah tipe-tipe rakus yang berusaha memaksa Kise menjadikan mereka pusat kehidupannya, yang kecemburuannya meledak tiap kali ia dekat dengan orang selain dia. Tipe yang seperti itu akan diputuskannya secepat mungkin.

Kecemburuan adalah hal yang telah biasa dirasakan Kise, baik dalam dunia pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan ia telah kebal terhadapnya. Sedangkan kecemburuan dalam hubungan asmara, adalah sesuatu yang selalu dianggapnya menyebalkan. Namun ia tidak tahu apakah karena ia sudah lama tidak menjalin hubungan, ataukah karena orang ini memang benar-benar special-lah yang menyebabkan pandangannya sedikit berubah.

"Kau tidak bersama pacarmu hari ini?"

Kalimat itulah yang memulainya.

"Pacar?" ia mengernyitkan dahinya bingung. Ia tidak merasa punya pacar, jadi apa maksud Yukio-san? Tunggu, jangan-jangan-

"Ah, kalau yang Yukio-san maksud adalah yang belakangan ini datang bersamaku, itu kakakku."

Kasamatsu mengerjapkan matanya beberapa kali, dan ketika ia menyadari kemiripan Kise dan gadis yang selalu bersamanya belakangan itu, wajahnya memerah.

"Oh."

"Apa kau cemburu, Yukio-san?"

Kasamatsu memelototinya seakan ia baru saja mendengar Kise mengumumkan akhir dunia, namun alih-alih menjawab, Kasamatsu malah memunggunginya.

"Jangan bodoh, untuk apa aku cemburu?! Lagipula, kau sedang tidak punya pacar... kan? Atau aku saja yang tidak tau?"

Kise, yang masih berusaha untuk menahan tawa gelinya, mengedikkan bahu. "Yep, aku sedang single. Meskipun aku berharap statusku segera berubah. Habisnya ada seseorang yang sedang kutaksir sih."

"...oh? Dia orang yang seperti apa?"

"Hm? Umm... dia semanis coklat buatannya."

Kise selalu menganggap kecemburuan itu layaknya cairan hitam kental yang tersembunyi dalam jiwa tiap orang, sesuatu yang gelap dan menjijikkan. Tapi kini kecemburuan itu tampak bagai dark chocolate cair dibalik cangkang coklat putih, cemilan lezat yang akan dengan senang hati dimakannya berkali-kali jika itu buatan Kasamatsu Yukio.


ix. lemon truffle

"Yukio-san, apa kau sudah punya rencana untuk malam tahun baru nanti?"

"Hm? Tidak. Kurasa aku akan menghabiskan waktu di rumah seperti tahun lalu."

"Eee?! Tidak tidak, itu tidak bisa dibiarkan!"

"Ha?"

"Akan kutunjukkan kemeriahan perayaan tahun baru di Paris!"

Jadi begitulah, Kise pun menyeret Kasamatsu keluar di malam tahun baru. Keduanya berjejalan di depan menara Eiffel bersama ratusan –atau mungkin ribuan– orang lainnya. Kasamatsu bukanlah tipe orang yang suka keramaian, sementara Kise adalah tipe yang tetap terlihat mencolok bahkan di dalam kerumunan. Tidak heran jika sesekali beberapa orang yang mengenalinya menghampiri mereka, meminta tanda tangan maupun foto bersama. Kise bisa merasakan keengganan Kasamatsu berada di tengah keramaian sejak tadi, yang membuatnya tidak ingin jauh-jauh darinya. Karena itu ia berusaha selalu menggenggam tangan pemuda yang lebih pendek itu.

Tentu saja, awalnya Kasamatsu menolak, meneriaki bahkan melayangkan tendangan ke arahnya. Tetapi setelah usaha Kise yang ketujuh –ya dia menghitungnya– akhirnya Kasamatsu menyerah dan membiarkan Kise menggandengnya. Kise yakin wajahnya yang memerah bukanlah karena cuaca yang semakin dingin, karena mereka berdua telah berbalut jaket dan syal yang cukup tebal.

"Kau baru makan lemon atau apa?" gumam Kasamatsu ketika mereka tengah berjalan-jalan sambil membunuh waktu.

"Huh? Aah—bukan, ini bau sabunku," ia tertawa malu-malu. "Yukio-san tidak suka lemon?"

"Bukan begitu… Tumben saja kau bau lemon."

'Aku senang Yukio-san selama ini perhatian padaku!' adalah apa yang ingin diteriakkan Kise, tapi daripada mendapat tendangan maut dari pemuda yang lebih tua itu, Kise lebih memilih kalimat lain.

"Ya, biasanya aku memakai yang beraroma vanilla, tapi karena ada varian baru yang baru saja dirilis, dan karena aku adalah bintang iklannya, jadi kupikir kenapa tidak mencobanya sekalian?"

"Kurasa lemon lebih cocok denganmu," ujar Kasamatsu seraya tersenyum kecil.

Kise merasa mendadak ada sebuah ledakan di hatinya, dan itu tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang mulai menghitung mundur detik-detik menuju tahun baru. Ia baru saja dipuji— tunggu, memangnya itu termasuk pujian? Yang pasti Kise akan memakai sabun beraroma lemon itu setiap hari mulai sekarang.

Seiring dengan meledaknya kembang api pertama di pergantian tahun malam itu, butiran-butiran salju mulai melayang turun dari langit yang dihiasi percikan warna-warni. Kasamatsu, tampak telah melupakan ketidaknyamanannya, tengah memandang langit dengan kagum. Ketika ia akhirnya kembali memandang Kise, sebuah senyuman lebar bertengger di wajahnya.

"Selamat Tahun Baru. Tahun ini pun mohon bantuannya… Ryouta."

Kise hampir saja tidak mempercayai telinganya sendiri, ia pikir dentum kembang api telah menyamarkan ucapan Kasamatsu dan membelokkannya sesuai imajinasinya. Tetapi melihat bagaimana wajah Kasamatsu memerah, sepertinya apa yang didengarnya tidak salah.

"Bonne Année, Yukio-san!"

Kise yakin tahun ini akan menjadi tahun terindah baginya.


x. cordial cherry

"Yukio-san, mau mencoba cherry kiss?" tanya Kise dengan sebutir cherry segar terselip di antara kedua bibirnya.

Kasamatsu refleks melemparkan pensil yang dipegangnya, mengakibatkan si pirang mengaduh ketika benda yang bersangkutan mengenai kepalanya.

"Jahat!"

"Berisik! Sebenarnya untuk apa kau kesini?!"

Keduanya tengah berada di ruang tamu apartemen Kasamatsu, sepiring cherry menjadi cemilan mereka sore itu. Hari itu adalah hari libur Kasamatsu, dan Kise yang kebetulan pulang lebih awal memutuskan untuk berkunjung ke apartemennya.

"Aku bosan dan kesepian~" rajuknya.

Kasamatsu hanya mendengus seraya melanjutkan kegiatannya mencoret-coret buku sketsanya, mendesain coklat baru. Kise yang tak mendapat respon memanyunkan bibirnya dan sebagai ungkapan kekesalannya, mengambil beberapa butir cherry dan memakannya sekaligus. Kasamatsu yang melihat tingkah sang model itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Yukio-san lihat, aku bisa mengikat batang cherry ini dengan lidahku, haha!"

Kali ini Kasamatsu memutar bola matanya. "Ryouta, kalau aku wanita mungkin aku telah menganggap bahwa kau berharap untuk menciumku dengan semua kode itu."

"Memang itu mauku."

Hening.

Kasamatsu perlahan mengalihkan tatapannya dari buku sketsanya ke Kise, setengah berharap pemuda pirang itu akan mengakui bahwa ia hanya bercanda. Namun yang didapatnya adalah tatapan serius Kise dan senyuman yang dapat membuat para fansnya pingsan. Mendadak ia merasa tenggorokannya tersumbat.

Belum sempat ia memikirkan respon untuk pernyataan itu, Kise telah membungkuk menyeberangi meja yang memisahkan mereka, menarik Kasamatsu ke arahnya, dan mempertemukan bibir mereka.

"Hmp—"

Ia merasa otaknya berhenti bekerja. Ciuman Kise jauh dari bayangan Kasamatsu. Ia bisa merasakan cherry yang dimakan si pirang sebelumnya, merasakan seberapa lembut bibir Ryouta dan seberpengalaman apa pemuda itu. Tanpa sadar ia telah menutup matanya, buku sketsanya terserak di lantai, sementara tangannya telah berada di pundak Ryouta, menikmati kontak fisik yang memabukkan itu.

Ia jauh lebih menyukainya dari apa yang dibayangkan –dan yang akan diakui–nya

.

fin

.


glossary:

Parlez-vous français? = Apakah anda bisa bahasa Perancis?

Oui = Ya

Bonne Année = Selamat Tahun Baru

cherry kiss = gampangnya sih, pocky game tapi pakai buah cherry


Maaf jika ada bahasa Perancis yang salah, saya pake gugel translet ahaha. Maaf juga jika terkesan OOC n(_ _)n Ini ide sebenernya sejak tahun kemaren (blame Shitsuren Chocolatier) tapi baru terwujud sekarang setelah berbagai perombakan, dan tequilame yang terus-terusan nagih hwhw. Anyway, seperti biasa, terima kasih sudah membaca dan ditunggu kritik/saran/komen/protes/curcolan(?) kalian lewat review~ See ya!