The Hunger Games Wedding
Pair: Katniss Everdeen - Peeta Mellark
Rated: T+
Copyright: Suzanne Collins.
...
Cerita ini terjadi sesudah perang antar pemberontak dan Capitol. Kelanjutan dari Mockingjay. Kelanjutan hubungan dari Katniss Everdeen dan Peeta Mellark. Enjoy. Review-nya sangat diharapkan.
...
"Kau mencintaiku, nyata atau tidak nyata?"
Pertanyaan yang sama sejak kami berdua bisa hidup tenang setelah perang berakhir. Aku menjawab dengan suara yang mirip desahan, "Nyata. Tak perlu kau pertanyakan lagi."
Peeta mengangkat sudut-sudut bibirnya dan membentuk senyuman, "Hanya ingin memastikan, Sweetheart."
Ia membelai rambutku dan memainkannya dengan ujung jari. Aku memunggunginya seperti biasa dan ia memelukku dari belakang. Posisi yang aman untuk menutupi segala ekspresiku terhadapnya.
"Apa lagi yang harus kubuktikan padamu bahwa ini bukan lagi sekedar menarik perhatian sponsor di arena?" Aku mengeluh. "Kau jangan pernah berpikiran seperti itu lagi, Peeta. Sejujurnya aku kurang suka."
"Maaf," bisiknya lembut.
"Apa kau sudah siap dengan hari besar kita?" Aku mengingatkannya. Lebih kepada diriku sendiri sebenarnya.
"Sangat siap."
Aku tersenyum. Satu minggu lagi dan ikatan ini resmi sudah. Tidak ada lagi alasan bagi kami berdua untuk tidak bersatu.
Ibuku yang kini jadi penyembuh di distrik 3—ia selalu berpindah-pindah kerja—menyerahkan semua keputusan di tanganku. Karena walaupun aku dan Peeta masih berusia delapan belas tahun, namun kami sudah sama-sama bisa diandalkan dan bertanggungjawab terhadap diri kami. Dan ia percaya sepenuh hati bahwa Peeta akan benar-benar menjagaku.
Sedangkan Peeta, tidak ada alasan lain baginya untuk tetap bertahan hidup selain karena diriku. Karena setelah rentetan bahan peledak yang dijatuhkan Capitol di 12 satu setengah tahun lalu, nyaris tak ada jejak yang tersisa dari kehidupannya terdahulu.
Aku tidak masalah. Bagiku juga ia adalah alasanku untuk tetap hidup. Untuk tetap waras. Karena aku tahu Peeta akan selalu ada dan mendekapku kala mimpi buruk itu datang lagi. Menjagaku tetap pada jalan yang seharusnya.
"Gale sudah diundang," gumamku pelan dan kulihat Peeta mengangguk tenang.
Dan jika memang ada alasan yang bisa membuatku berpikir dua kali dan tidak menerima lamaran Peeta adalah sahabatku sendiri, Gale. Selain Peeta, ayahku, dan Prim, cahaya lain dalam hidupku yang selalu setia menerangi jalanku adalah Gale.
Namun, setelah pertarungan Quarter Quell usai, setelah aku menjadi Mockingjay bagi seantero distrik di Panem, pada saat itulah aku bisa mkemahami bahwa perasaanku pada Gale tidaklah seperti yang kurasakan terhadap Peeta.
Aku mencintai Gale. Kurasa itu juga tak perlu lagi ditanyakan.
Tapi getaran yang kudapat dari setiap sentuhan Peeta terasa lain dan tak bisa dibandingkan dengan apapun yang bisa diberikan Gale padaku.
Perasaanku padanya hanya sebatas aku ingin selalu menyenangkan hatinya, melindunginya, dan jadi pendengar yang baik baginya. Berbeda dengan apa kurasakan terhadap Peeta. Untuk Peeta, aku bahkan rela memberikan hidup dan seluruh jiwa-ragaku untuk sekedar membuatnya tersenyum.
Ngomong-ngomong soal itu.. Aku dan Peeta sudah membuat kesepakatan bahwa kami tidak boleh saling menyentuh lebih lanjut hingga malam pengantin tiba.
Terkadang terlintas di pikiranku untuk melucuti semua pakaiannya dan membiarkan diriku melihat pakaian Adam-nya. Namun aku tahu kalau aku belum siap—bukannya takut—untuk melihatnya tanpa busana. Mungkin aku bakal pingsan sebelum segala sesuatunya dimulai.
Jadi, disinilah ia. Sudah jadi tugasnya untuk mendekapku setiap malam hingga kami berdua terlelap. Kerjasama yang saling menguntungkan, bukan? Ia bisa menenangkanku dan menghiburku kalau mimpi-mimpi itu datang lagi. Dan dia bakal tidur lebih nyenyak jika memelukku.
Dan karena saat ini tengah memasuki musim dingin, kami saling berbagi panas tubuh. Seperti yang pernah kami lakukan di arena Hunger Games dulu.
"Kau boleh menjadikannya Best Man-mu kalau mau," Nada suara Peeta terdengar tulus dan tanpa kepedihan seperti yang biasa muncul ketika kami membicarakan Gale.
"Tentu saja, Sayang. Tidak ada pria lain selain dia yang pantas mendapat gelar itu."
Peeta mengusap-usap rambutku, sesekali menciuminya, "Tidurlah, Katniss. Kita punya banyak sekali kegiatan untuk dilakukan esok hari."
"Aku menunggumu tidur duluan," ungkapku jujur. Aku belum merasakan rasa kantuk sedikitpun malam ini.
Peeta terkekeh.
"Besok mau kubuatkan roti apa?"
Aku membalikkan badan. Wajahku dan wajahnya kini nyaris sejajar karena ia sudah bertumbuh sedikit lebih tinggi dariku. Ukurannya pas dengan otot-otot lengannya yang kian kekar.
"Aku ingin Brownies coklat. Aku mau yang special dengan taburah almond di atasnya."
Ia mengangguk dan mengecup dahiku, "Tentu saja. Apapun yang kau mau."
Aku menutup mataku.
"Cobalah untuk tertidur, Katniss Sayang."
Dan aku benar-benar melakukannya.
Keesokan paginya, aku terbangun lebih dulu dari Peeta. Dengan hati-hati, kuangkat lengannya yang mendekapku dan kubiarkan ia memeluk bantal.
Setelah itu, aku beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri. Hari ini tim persiapanku yang dulu akan datang lengkap dengan seorang penata gaya dari Capitol. Kedatangan mereka kali ini tentu saja bukan untuk memoles diriku sedemikian rupa agar tampil menarik bak boneka diatas panggung Hunger Games melainkan untuk mengukur setiap inci tubuhku agar muat di gaun pengantinku nanti.
Kuharap, seseorang yang merancang gaun di hari bahagiaku nanti adalah Cinna. Memikirkannya saja sudah sakit. Sebenarnya ia sudah melakukannya untukku, merancang beberapa gaun untuk pernikahan palsuku yang terdahulu. Tapi jelas, semuanya tak lagi sama. Dan gaun-gaun itu sudah entah bagaimana nasibnya.
Yang tersisa dari Cinna kini hanyalah seragam Mockingjay yang sudah sempit di tubuhku.
Sebelum mereka datang, tentunya aku harus membangunkan Peeta. Dan karena lelaki di ranjangku ini samasekali bukan Haymitch, jadi aku membangunkannya dengan cara disayang-sayang.
Aku meraba tengkuknya, menggelitiknya secara perlahan.
Punggungnya menegang, mengimbangi rasa geli yang kutimbulkan. Akhirnya kucium kepalanya dan membisikkan kata-kata bangun tidur padanya. Perlahan ia membuka mata. Mata biru itu masih setengah terbuka, kemudian menutup, lalu memaksa untuk terbuka lagi. Lucu sekali.
"Peeta, bangun. Sebentar lagi mungkin Effie datang."
"Hmm.." Peeta menggumam pelan. Tampaknya masih enggan beranjak.
"Ayolah.." Ujarku sedikit merajuk.
"Sebentar lagi."
"Oh, terserahlah," ujarku sambil mengangkat bahu dan beranjak keluar.
Aku menuju ke dapur. Menggodok air dan membuat sup daging domba panas. Setengahnya kumasukkan dalam sebuah mangkuk dan kubawakan pada Haymitch.
Ia belum bangun. Dan sepertinya ia memang selalu hidup dalam ketidaksadarannya. Pintu rumahnya juga tak pernah terkunci. Lagipula, untuk apa? Desa pemenang ini benar-benar aman. Deretan rumah mewah disini kosong, kecuali tiga yang menjadi rumahku, rumah Peeta, dan rumah Haymitch.
Hazelle tampaknya belum datang. Di awal musim dingin seperti ini, hari memang terasa lebih pendek. Cuacanya juga tak begitu bagus karena segala sesuatu tampak berwarna kelabu dan suram-muram.
Saat aku pulang, Peeta sudah bangun. Ia mengadon terigu dan bahan-bahan kue lainnya.
"Brownies coklat siap untuk dihidangkan," Ia berkata sambil lalu tanpa melihat kearahku.
Dua jam kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Dari suara-suara yang kudengar, aku yakin bahwa tim persiapanku telah datang. Keyakinan itu berlanjut ketika suara khas Effie menggema saat ia membuka pintu.
"Halo, Sweetie. Apa kabarmu? Wah, aku kangen sekali padamu."
Ia membawa berkotak-kotak kain dan bahan-bahan entah apa itu. Dilihat dari bawaannya, aku menduga kalau ia dan timnya akan meninap disini sampai hari pernikahanku.
Timnya tidak berubah. Octavia, Venia, Flavius, dan seorang lagi yang tampaknya baru, seorang gadis berambut merah yang tampak amat normal dibanding mereka berempat.
Secara refleks, kurentangkan tanganku terhadapnya dan memeluknya. Kami melompat-lompat sambil berpelukan seperti anak kecil. Banyak sekali rasanya yang ingin kubagi dengan Effie. Kupersilahkan ia dan yang lain duduk sementara aku menghidangkan sup daging domba panas yang tadi kubuat. Peeta membuat brownies coklat, tepat sekali sebagai pencuci mulut.
Kami bertujuh duduk di meja makan dan menikmati sarapan kami. Namun sepertinya ada yang kurang. Kami mengobrol sembari merencanakan desain pernikahan nanti. Effie yang lebih banyak bicara, karena jelas ia yang akan jadi koordinator acara nanti. Tiba saat itulah ia datang.
Tangannya memegang mangkuk sup yang tadinya kuberikan bersama sup daging domba. Sepertinya Haymitch baru saja bangun dalam kondisi kelaparan, terlihat dari isi mangkuk yang ludes.
Ekspresinya terlihat sangat waras ketika melihat Effie.
"Hai, sepertinya kita kedatangan tamu jauh," ucapnya asal, lalu menghambur masuk dan bergabung bersama kami di meja makan. "Ada apa? Kenapa kalian berdua tidak membangunkanku? Kalian tidak menganggapku lagi? Aku kan juga tidak mau ketinggalan informasi," repetnya, menatap tajam kepadaku dan Peeta.
Effie mengibaskan tangan, "Oh, Haymitch, kau tidak ketinggalan apa-apa. Belum."
Aku beralih menatap Effie, "Jadi, bagaimana perkembangan Capitol?"
"Lebihj baik. Aku berani bertaruh. Setelah sekian lama akhirnya Panem memiliki pemimpin yang sesuai."
Plutarch. Keadaan setelah Presiden Snow tewas—aku bahkan tidak mau repot-repot menyebutkan kata yang lebih halus—amat jauh membaik. Undang-undang direvisi, pembagian bahan sandang dan pangan yang merata, dan yang paling penting, tidak ada lagi Hunger Games. Bahkan presiden sendiri yang notabene adalah juri Hunger Games tahun lalu nampaknya menentang keras dengan segala tindakan kekerasan macam itu.
Tapi Capitol masihlah gemerlap seperti dulu. Kini Capitol menjadi pusat hiburan di seantero Panem. Jika kau ingin menjadi seorang Entertain, Capitol-lah tempatmu.
"Aku senang mendengarnya," Peeta angkat bicara. "Sepertinya segala sesuatu kini berada di jalur yang tepat."
Tiba-tiba, Peeta mengajukan pertanyaan yang mungkin hanya dapat keluar dari bibirnya tanpa menimbulkan gejolak amarah ataupun khawatir bahwa ia akan dijadikan sasaran bogem mentah.
"Aku dan Katniss akan menikah seminggu lagi. Segalanya akan berubah. Selain itu, aku yakin akan segera menggendong bayi dalam waktu dekat," ujar Peeta sambil menatap mataku. Membuatku tersipu malu. "Lalu, bagaimana denganmu, Haymitch? Tidakkah kau punya hasrat untuk menyusul jejak kami?"
Yang disindir hanya pura-pura tersedak dan meminum alkoholnya lagi.
(End Chapter I)
A/N: Gimana menurut readers? Ini based on novelnya. Ini juga FF pertama di fandom Hunger Games, yang idenya di dapatkan setelah tergila-gila setengah mati sama Peeta Mellark yang unyu dan baik luar biasa, XD Di-review, di-comment, flame juga silahkan, :D
Asal jangan dianggurin aja, :))
