Death Note © Tsugumi Ohba & Takeshi Obata
Eyesight
[pandang matamu adalah enigma terbesar]
© chryssa
Saat mereka pertama kali bertemu, Mello sempat berpikir sepasang kristal jade itu merupakan mata terindah yang pernah dia lihat. Hijau, teduh, sekaligus menawan dan berbahaya. Seperti warna hutan yang pernah dilihatnya di buku-buku. Yang mampu manarik atensi manusia manapun, sebelum kemudian membuatnya tersesat dalam labirin matanya.
Sepasang mata itu adalah milik Matt. Mail Jeevas—teman sekamarnya.
Suatu pandang mata bisa berarti banyak. Bisa juga berarti apa saja. Bagi Mello, pandang mata hijau Matt adalah teka-teki. Enigma terbesar yang tak bisa Mello pecahkan. Hijau muda itu selalu tampak tenang, seperti kolam tak beriak. Tapi Mello mengerti, di dalamnya tersimpan banyak hal meski pemuda pirang itu tidak—tepatnya belum—mampu membacanya.
Hal yang Mihael Keehl tidak mengerti, bagaimana bisa sepasang mata milik Matt membacanya semudah itu. Ketika dia bertanya, Matt hanya bilang, "mudah saja, kau seperti buku yang terbuka, Mells."
Padahal, Mello selalu berusaha menutup 'bukunya' rapat-rapat.
"Matamu selalu bicara jujur, Mello," Matt pernah berkata. Tapi, Mello tak mau percaya.
Kata orang, mata adalah refleksi hati. Manifestasi luapan rasa dari dalam diri. Meski bagi Mello, mata hanyalah mata. Indra yang digunakan untuk melihat.
Ada saat dimana mereka berpisah dalam kurun waktu yang terlalu lama. Dan Mello berpikir ketika Matt melambaikan tangannya dari pintu Wammy House adalah kali terakhir dia bisa melihat kristal sewarna hutan teduh itu. Dunianya dan Matt sudah berbeda. Dia tak akan menyeret laki-laki dengan surai sewarna darah itu ke dalam masalahnya.
Kadang-kadang, dalam keheningan malam Mello menyangkal bahwa dia rindu tatap mata tak terdefinisi milik Matt. Yang selalu terarah kepadanya. Dia menyangkal dan menghindar. Tapi, perasaan itu semakin meluap melalui sudut-sudut hatinya. Tak terbendung. Dalam diam, Mello menghitung malam.
Lalu beberapa musim kemudian, ketika mereka kembali dipertemukan takdir di sebuah awal musim dingin, ketika angin menyapa mereka dan menggoda helaian rambut milik keduanya. Mello dengan bekas luka di wajahnya, kini, kembali menatap kristal hijau milik Matt yang terhalang lensa jingga. Ketika Mello menarik paksa google itu dari wajah tampan Matt, dia menemukan sesuatu yang berdeda dalam tatapnya. Dan, dia mengerti jika mereka sama.
Baginya, kepingan jade milik Mail Jeevas masih seperti anomali. Hanya saja dia melihat guratan luka di sana, jiwa yang haus akan kasih sayang, dan perihnya kehilangan. Sama seperti dirinya.
Mello mengerti, mengapa Matt bisa membacanya dengan begitu mudah; pada dasarnya dia memang seperti buku terbuka yang berlindung di balik topeng keangkuhan. Yang mengizinkan siapapun membacanya melalui sorot matanya. Hanya saja, tak seorang pun mampu membacanya—kecuali Matt.
Karena mereka sama.
Dalam kolam hijau muda itu, Mello menemukan pantulan dirinya. Kemudian, ada kehangatan ganjil yang melebur bersama tatap mata itu. Mello tidak mengerti entitas macam apa yang mulai menyebar dalam dirinya. Hal yang dia tahu, dia hanya berharap dia mampu menjelajahi labirin jiwa Mail Jeevas melalui sepasang mata itu.
compléter
Untuk prompt eyesight yang dilontarkan salah seorang teman. Saya mengacau dengan menulis fanfiksi, bukannya orific X'D
Dan, halo FDNI. Bagaimana kabarnya? Lama tidak berjumpa—saya sendiri lupa kapan saya mampir kemari sebelum ini. Kali ini, saya mampir untuk numpang buang ide *plak*
Terima kasih sudah membaca, silahkan apresiasinya :)
