"Ibu! Sehun dapat nilai diatas sembilan puluh di semua mata pelajaran!"

Seorang anak kecil berlari penuh semangat kearah sebuah ruangan yang terdengar sedikit bising akibat bunyi benturan spatula dan penggorengan. Telapak kaki kecil yang tak beralas itu menciptakan jejak-jejak kecil dilantai kayu yang sedikit basah. Tangan kecilnya meraih ujung pakaian seorang wanita yang tengah sibuk didapur tersebut dengan sedikit berjinjit. Setelahberhasil menarik ujung baju tersebut beberapa kali akhirnya ia mendapatkan sebuah tolehan kepala dari sang Ibu.

Dengan semangat tinggi, tubuh mungilnya melonjak-lonjak disamping Ibunya yang tengah mengangkat penggorengan menggantikannya dengan sebuah panci berukuran sedang.

"Ibu, Ibu, lihat, Sehun dapat nilai hampir sempurna" ucapnya semangat meski dengan pelafalan yang sedikit aneh. Matanya berbinar terang menunggu respon sang Ibu sembari membuka halaman per halaman sebuah rapor bersampul merah yang ada ditangannya.

"Hm" sebuah gumaman tak terlalu jelas. Dan kenyataannya hanya itu yang ia dapatkan. Binar dalam mata itu meredup, terganti dengan selaput bening yang kini menyelimuti kedua mata bening yang telah memerah.

"Sehun dapat nilai hampir sempurna diseluruh mata pelajaran Ibu" jelasnya lagi sedikit menggigil

"Ibu tahu, sekarang jangan ganggu Ibu dulu, Ibu sedang sibuk" perintahnya tanpa mengalihkan perhatiannya sama sekali. Sedang anak yang kini ada disamping tubuhnya perlahan menunduk dan mengikuti perintah sang Ibu.

Kaki kecilnya melangkah sempit berharap Ibunya akan melakukan sesuatu padanya. Tapi hingga tubuhnya sampai pada dinding pembatas dapur itupun Ibunya sama sekali tak menggubrisnya. Sampai seseorang dari ruangan depan berlari dan berteriak heboh.

"Wuhuu!Ibu lihat! Aku dapat nilai 76 ulangan Matematika!" Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun itu memamerkan kertas hasil ulangannya pada sang Ibu sambil melompat-lompat kegirangan.

"Wah, pintarnya anak Ibu. Kau hebat! Baiklah, apa yang kau inginkan dari Ibu, hm?"

Sepersekian detik. Hanya sekali ucap, wanita yang masih terlihat muda tersebut langsung meninggalkan seluruh pekerjaannya tanpa pikir panjang. Mengangkat tubuh bocah 8 tahun itu kedalam gendongannya. Membelai rambutnya sayang, menciumi pucuk kepalanya dan menawarkan berbagai hadiah pada bocah tersebut. Haruskah perlakuanmu itu kau tunjukan untuk bocah 6 tahun yang kini hanya menangis dalam diam memandang kearahmu?

Dengan perasaan yang tak dapat diungkapkan, anak kecil tersebut pergi meninggalkan dapur. Air mata yang mengalir kepipinya ia hapus menggunakan lengan jaketnya. Berlari kearah samping rumah dimana terdapat sebuah taman kecil dan ayunan panjang disana.

Ia dudukkan tubuh mungilnya di ayunan tersebut meski sedikit susah menaikinya. Airmatanya terus saja mengalir tanpa henti. Tak ada satupun isakan yang berhasil keluar. Yang ada hanya, ia duduk dengan manisnya sambil mengamati kembali hasil kerja kerasnya.

Beberapa pelayan yang melihatnya hanya mampu menatap iba kearahnya. Diusia yang masih sangat kecil, seharusnya hanya ada senyuman dan tawa yang menghiasi wajahnya. Tapi tidak untuknya. Setiap hari hanya akan ia gunakan untuk menangisi sang Ibu.

"Sehunnie, ada apa?"

Seorang pelayan sekaligus orang yang selalu merawatnya itu bertanya lembut sembari membelai halus surai kecoklatannya. Dan dengan cepat anak kecil itu menghapus airmatanya kemudian menampilkan wajah cerianya pada si pelayan.

"Paman lihat, sehun dapat nilai hampir sempurna disetiap mata pelajaran"

"Benarkah? Wah,, Sehunnie hebat!"

"baiklah, apa yang anak tampan ini inginkan?" goda pelayan tersebut. Melihat semburat merah tipis dipipi si kecil tangannya terulur mengusak rambut coklat disampingnya gemas

"Aku ingin bertemu Ayah" ucapnya seraya tersenyum manis. Dan lengkungan sabit itu berhasil membuatnya terlihat begitu indah.

Pelayan tersebut atau yang biasa dipanggil paman Jang itu bangkit dari kursi ayunan dan mengulurkan tanggannya untuk si kecil. Sehun, bocah kecil itu dengan semangat menyambut uluran tangan paman Jang. Tubuh mungilnya melonjak-lonjak riang mengitu langkah si pelayan.

Disatu sisi seorang anak kecil lainnya memandang aneh pada Sehun dari balik gorden jendela besar dalam rumahnya. Pupil kelamnya mengikuti setiap gerakan yang dibuat oleh si kecil Sehun. Hingga tubuh itu menghilang dari pandangannya ia baru beranjak menuju lantai dua rumah tersebut dengan sedikit lunglai.

Hari telah menjelang malam. Warna orange yang menghiasi langit sore itu terlihat sangat indah dengan perpaduan merah serta biru. Semilir angin menerbangkan setiap helaian rambutnya. Mata yang tertutup kini sedikit demi sedikit menunjukkan warnanya. Coklat serta merah. Perpaduan warna yang unik untuk seorang korean sepertinya. Bibirnya yang tipis melengkungkan sebuah senyuman damai.

Tak ingin berlama-lama ia segera bangkit dari duduknya. Mencium sekali lagi nisan sebuah makam yang berada tepat didepannya seraya tersenyum teduh.

"Aku akan datang lagi, jangan kesepian ya, Ayah" ucapnya sedikit bercanda

Tangannya bergerak menepuk area belakang tubuhnya untuk membersihkan debu serta rumput yang menempel di celananya. Membungkuk hormat kemudian beranjak dari tempat itu.

Ia tersenyum jenaka begitu mendapati paman Jang nya yang tertidur pulas didalam mobil. Dengan jahilnya ia meniup-niup telinga paman Jang sehingga tidurnya terganggu. Merasa ada yang jahil, Paman Jang membuka tipis matanya. Mendapati tubuh Sehun berada tepat didepan jendela mobil dengan kegiatannya. Dengan cepat Paman Jang membuka matanya dan mengejutkan laki-laki muda tersebut.

"HA!"

"Huwa!"

"Hahaha"

"Paman Jang~"

"Haha, maaf maaf, ayo tuan muda, kita pulang"

Sehun segera mengikuti ajakan Paman Jang dan menempati kursi samping pengemudi. Wajahnya terlihat sumringah. Senyuman tak kunjung luntur dari kedua belah bibirnya. "Ayo Paman Jang, kita pulang"

.

.

.

.

.

.

Suara dentingan alat makan menghiasi ruang makan di sebuah rumah megah di kawasan elit kota Gangnam. Tiga orang yang terdiri dari seorang wanita paruh baya dan juga dua pemuda disana terlihat begitu menghormati acara makan malam kali ini. Terang saja, baru kali ini mereka menikmati makan malam keluarga bersama.

Sejak Paman mereka, adik dari Ayah kedua pemuda disana meninggal menyusul kepergian Ayah mereka, perusahaan kini dipegang langsung oleh Ibu mereka. Dan karena itu menjadikan intensitas pertemuan mereka dengan sang Ibu sangat limit.

Mungkin akan sedikit berbeda untuk Sehun yaang sedari kecil memang tidak pernah menempel pada Ibunya. Lebih tepatnya Sehun jarang berkomunikasi dengan Ibunya. Saling menghindar lebih tepatnya. Sikap ibunya yang selalu tak acuh padanya membut ia melakukan tindakan itu.

Entah apa yang dalam pikiran ibunya yang pasti Sehun tidak pernah membenci sosok Ibunya. Ia selalu menghormatinya, entah bagaimana beliau meperlakukannya. Ia selalu menanamkan pikiran bahwa Ibunya dalah orang yang telah bersusah payah membuatnya hadir di dunia ini sekaligus memberinya semua kebutuhan yang ia perlukan. Sampai kapan pun Ibunya adalah orang yang paling berharga baginya.

Setelah makanan yang ada pada masing masing piring telah kosong, satu-satunya wanita disana membiarkan sejenak piring kotor diatas meja. Ia menatap putra sulungnya intens membuat yang ditatap sedikit bingung.

"Ada apa Bu?"

"Bagaimana sekolahmu?"

"Biasa saja. Hanya bosan melihat angka 85 dan 90"

"Bukankah kau juga ering mendapat 100?"

"Itu Sehun Bu, bukan aku" jawab jongin seadanya karena memang begitu adanya

Si Ibu hanya terdiam tanpa berniat menatap wajah anak bungsunya. Sehun pun juga tak berharap muluk-muluk. Ia sudah hafal dengan situasi seperti ini walau jarang terjadi.

"Bu, aku bilang Sehun bukan aku" tegas Jongin sekali lagi karena yang ditatap Ibunya adalah dirinya.

Tanpa banyak bicara, wanita tersebut segera meninggalkan meja makan setelah meminta kepada pelayan untuk membereskan semuanya. Jongin hanya geleng-geleng kepala melihat sikap Ibunya. Ia ingin beralih pada sehun, tapi sebelum itu bayangan tubuh berdiri dari kursi itu mendahului penglihatannya.

"Aku selesai"

"Hmm" Jongin menjawab seadanya. Ia merasa kasihan melihat Sehun seperti itu. Ia kesal, kenapa Sehun selalu diam saja diperlakukan seperti itu? Bahkan disekolahpun sama saja. Yang lebih parahnya lagi tidak seorang pun dari sekolah yang tahu bahwa mereka berdua adalah saudara kandung.

Warna kulit mereka yang terlihat kontras. Sikap mereka yang berbanding terbalik. Jika Jongin adalah sosok yang gampang bergaul maka Sehun adalah kebalikannya. Jika Jongin lebih menyukai keramaian maka kebalikan dari itu adalah Sehun.

Tapi dari sekian banyak perbedaan diantara mereka, dua yang menjadi persamaan mereka. Pertama adalah tari, dan kedua adalah Kim Jongup.

Kim Jongup merupakan saingan dari Jongin. Sebenarnya Jongin sendiri tidak menganggapnya seperti itu hanya Jongup yang memang tidak ingin ada seorangpun yang bisa mendapat tempat lebih tinggi darinya. Dia telah melihat sendiri bagaimana kemampuan Jongin dalam menari dan ia merasa akan tersaingi olehnya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menjadikan Jongin sebagai musuh bebuyutanya.

Selain karena itu, ini adalah masalah kepopuleran diantara gadis-gadis disekolah. Jongin lebih unggul dari Jongup untuk masalah ini. Setiap kali Jongin menampakkan batang hidungnya maka siswi-siswi yang melihatnya akan langsung berbisik-bisik dengan temannya dengan senyuman kagum atau kalau kau sedang jalan sendirian, aku yakin matamu tidak pernah lepas darinya.

Kesamaannya kali ini dengan Sehun adalah Sehun memang suka tari sama sepertinya. Hanya saja tidak sampai mendapat musuh seperti Jongup. Untuk masalah kepopuleran, Sehun juga aman-aman saja.

Tapi ia mulai dapat masalah yang serius dimana ketika ia sedang menari di ruang dance bersama Jongin dan Jongup, hanya tiga orang. Beberapa orang memasuki ruangan tersebut yang dketahui sebagai teman genk Jongup dan juga kekasih Jongup.

Saat itu tanpa sadar kekasih Jongup memuji habis-habisan gerakan dance Sehun didepan Jongup dengan lantang. Membuat Sehun berhenti menari seketika. Jongup yang kesal langsung mematikan musik diruangan itu. Jongin yang tadinya hanya duduk saja sambil membaca komik langsung menghentikan gerakan bibirnya. Komik yang ia pegang ia turunkan sedikit dari wajahnya hingga menampakkan matanya saja dan melihat apa yang terjadi.

Jongin dapat melihat bagaimana warna wajah Jongup saat itu. Merah menahan marah. Satu-satunya yang ia perhatkan setelah itu adalah reaksi dari Sehun. Sehun hanya diam saja tanpa berbuat apapun.

Itu wajar, karena Sehun tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi Jongup dan Sehun itu lain. Maka dari itu dengan cepat Jongin berdiri dari duduknya dan mengakhiri kegiatan sore itu dengan cepat.

Sehun yang mengerti pun segera merapikan bajunya dan mengampil tasnya yang tergeletak dipojok ruangan. Belum sempat kakinya keluar dari ruangan, kerah bagian belakangnya sudah ditarik lebih dulu oleh Jongup.

Dengan kekuatan sedang ia melempar tubuh Sehun ke belakang. Tak sengaja malah mengenai kekasihnya juga. Sehun yang mempunyai reflek cukup bagus dengan cepat menangkap tubuh gadis manis tesebut. Menjadikan Jongup semakin berasap dibuatnya.

Jongin yang menjadi saksi bisu kejadian tesebut segera menarik tangan Sehun dan malah membuat gadis itu terjatuh karena pegangannya terlepas. Jongup berteriak marah pada keduanya terlebih Sehun yang dengan berani menyentuh gadisnya. Umpatan demi umpatan Jongup keluarkan untuk keduanya. Sedangkan si gadis hanya senyum-senyum tak jelas.

Jongin masih saja menyeret tangan Sehun. Entah akan ia bawa kemana adiknya itu. Sehun yang pada dasarnya memang terlalu cuek hanya menurut saja dibawa oleh Jongin. Hingga akhirnya mereka berdua sampai di taman belakang sekolah.

Sebenarnya tidak bisa disebut taman juga karena kurang terurus. Jongin mendudukkan tubuh Sehun dibawah sebuah pohon besar disana berikut dirinya.

Keduanya hanya tediam dibawah pohon besar itu. Jongin memejamkan matanya menikmati angin sore yang terasa sejuk dibawah pohon. Sehun yang sedari tadi memerhatikan Jongin pun ikut memejamkan matanya menikmati semilir angin sore.

"Hun"

"Hm"

Diam. Keduanya lebih memilih sibuk menikmati angin sore itu. Perlahan Sehun membuka kedua matanya kemudian menoleh kearah Jongin.

"Kenapa?

"Apanya?"

Jongin lantas membuka matanya dan menoleh pada Sehun. Ia bernafas dengan cepat dan terlihat lucu karena disengaja. Sehun tertawa keras melihat bagaimana lubang hidung Jongin yang membuka dan menutup dengan cepat. Matanya menyipit indah saat tertawa. Membuat Jongin menghentikan kegiatannya dan tersenyum setelahnya.

"Jangan tertawa seperti itu"

"kenapah?"

"Rahangmu bisa terlepas nanti" ucap Jongin asal sembari mengalihkan pandangannya

Sehun yang mendengar jawaban Jongin pun kembali tertawa lepas sambil memegangi perutnya. Entah sampai kapan ia akan tertawa dengan senang hati Jongin akan menemaninya.

.

.

.

.

.

.

Motor sport itu terparkir sempurna di sebuah bagasi besar rumah tersebut. Kedua pemuda itu turun dari kendaraan bermotor itu. Bergegas menuju pintu rumah demi badan lengket mereka yang meraung raung untuk segera direndam.

Ketika baru saja membuka pintu utama rumah tersebut, mereka telah disambut oleh senyuman paman Jang.

"Tuan muda, Nyonya sedang ada urusan keluar negeri, Beliau berpesan agar tidak terlalu merindukannya nanti karena Beliau mungkin akan menetap disana lebih dari 3 bulan" jelas paman Jang

"M-Mwoo!? 3 bulan? Apa itu tidak terlalu sebentar?" tanggapan yang bisa dibilang protesan itu terlontar dari mulut Jongin. Sehun hanya tertawa pelan melihat ekspresi kakaknya yang unik itu. Kemudian segera mengikuti Jongin keatas untuk mandi di kamar mandi atas.

"Paman Jang, aku mandi dulu"

"Yang wangi Sehunnie"

"Beres"

Sehun menyamai langkah Jongin dan sedikit mendorong bahunya kemudian melewatinya. Jongin dengan segera mengejar Sehun dan mendorong tubuhnya kemudian membalap jalannya. Dan akhirnya keduanya malah saling adu dorong.

.

.

.

.

.

Pagi ini udara terasa menyengat kulit. Tembus ketulang hingga rasanya nyeri disetiap persendian. Jongin masih terlihat terlentang diatas kasurnya dengan tanpa atasan dan selimut yang terbang didepan pintu kamar mandi. Disisi lain Sehun kini tengah bergelung dengan selimutnya rapat. Bahkan terlihat seperti mangsa laba-laba yang terkena gulungan benangnya.

Jongin berbeda dengan Sehun. Satu lagi. Jongin sangat tahan dengan udara dingin dan Sehun tidak.

5 menit telah berlalu. Dan Jongin kini telah berhasil membuka matanya dan mendudukkan tubuhnya diatas kasur. Ia melirik kearah samping. Terlihat kepompong besar diatas kasur milik Sehun. Jongin melebarkan matanya melihat pemandangan tersebut. Tubuhnya ia gerakkan. Perlahan turun dari atas kasurnya menuju kasur diseberangnya.

Jongin telah berdiri disamping gumpalan selimut tersebut dan berkacak pinggang.

"Apa anak ini bernapas dengan insang? Eh, tunggu dulu, kalau pun dengan insang mana mungkin bisa bertahan dalam keadaan tertutup rapat seperti ini?"

Dengan cepat Jongin menarik selimut dibagian kepalanya. Dan mendapati Sehun yang telah membuka matanya tapi menggigil kedinginan.

"Dingin hyung" adu Sehun sedikit manja

"Kau tidak apa apa? Apa perlu kupangilkan dokter?" Sehun hanya menggeleng tanda tak setuju.

Dengan gerakan lambat Sehun membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Dan udara yang begitu dingin pagi ini langsung menyapa tulang-tulangnya. Sontak membuat Sehun langsung memeluk tubuh Jongin.

"Ya ampun hyung, ini sangat dingin"

"Kalau begitu tidak usah kesekolah, aku akan memberitahu petugas piketnya"

"Tidak, hari ini aku ada ujian kimia aku tidak mau melakukan ujian susulan sendirian"

"Baiklah kalau begitu, tidak usah mandi langsung pakai seragammu"

"Tidak mau, badanku bau"

"Hah,,, tunggu disini sebentar aku akan menyuruh bibi menyiapkan air panas untukmu"

Sehun hanya mengangguk. Dengan cepat ia kembali bergelung dengan selimut tebalnya sambil menunggu Jongin kembali.

.

.

.

.

.

.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Sehun hanya diam dan menunduk, membuat Jongin ikut menunduk untuk mengecek keadaannya.

"Sehun, kau tidak apa-apa?"

"hm"

"Sungguh kau tidak apa-apa?"

"Sungguh"

"Pakai syalmu dengan benar"

Tak lama kemudian mobil yang ereka tumpangi telah sampai ditikungan sekolah. Itu kebiasaan mereka atau Sehun. Sehun lebih suka turun terpisah dengan Jongin. Itulah yang membuat murid-murid yang lainnya tidak mengetahui hubungan mereka.

Sepenurunan(?) Sehun dari mobil Jongin terus saja memandang kearah belakang. Khawatir dengan keadaan Sehun yang tidak pernah bisa tahan dengan udara dingin.

Jongin terlihat berdiri dipojok gerbang sekolah sambil menendang batu kerikil disekitarnya. Niatnya hanya untuk menunggu Sehun. Setiap ada sisiwi yang lewat didepannya dan memberi salam ia hanya membalasnya dengan senyuman.

Dari sana ia bisa melihat Sehun yang berjalan sangat pelan seperti menghalau agar angin tak datang padanya. Sesampainya ia digerbang sekolah, Sehun menggumam lirih sangat lirih hingga hanya Jongin yang dapat mendengarnya karena posisinya berada begitu dekat dengan Sehun yang melewatinya. Sengaja.

"Selamat pagi"

"Pagi"

Dan Jongin segera beranjak dari sana mengikuti siwa lainnya yang mulai memenuhi halaman sekolah.

Selama pelajaran belangsung, Jongin tak dapat berkonsentrasi sama sekali. Pikirannya melayang pada Sehun yang saat ini seedang mengikuti pelajaran olahraga. Dan lapangan itu tepat diseberang kelasnya. Tempat paling aman untuk ia mengwasi Sehun tanpa harus kena tegur guru yang sedang mengajar dalam kelasnya.

Bel pulng berbunyi dengan nyaring. Membuat seluruh kelas sekolah tersebut menerikan kata yang sama. Jongin dengan langkah tegapnya keluar dari kelasnya dengan wajah hampir kusut. Dan saat tubuhnya baru menginjak tiga langkah lantai luar kelasnya, bisikan-bisikan itu memenuhi gendang telinganya.

Dengan amarah yang meluap ia menarik seragam siswa yang kebetulan membicarakan desas desus yang sedari tadi ia dengar. Menghadapkan wajah takut itu pada wajahnya.

"Katakan"

"I-itu,,, Jo-Jongup,,,,,,"

Ssiing~

Jongin melepas pegangannya pada seragam itu kasar. Matanya merah menahan emosi yang semakin neluap luap dan berlari menjauhi kelasnya.

"Mati kau Kim Jongup!"

Tbc

Hope you like