Angin bergerak perlahan menyapa tubuhnya, mencoba menggoyangkan helai cokelat tua, memberinya efek sempurna. Hembus angin di awal musim panas yang menenangkan—membawanya memejamkan kelopak mata, mengais ketenangan yang ia butuhkan. Tangan kokohnya bertengger di atas teralis yang membatasinya untuk tidak terjatuh dari lantai lima penthouse yang ia pijak.

Lalu perasaan itu timbul lagi. Mungkin angin berusaha membawa hawa hangat yang sangat ia rindukan. Mungkin angin sedang mencoba bercengkerama dengannya.

Satu titik air mata jatuh melewati pipi; tak terbendung tatkala ia membuka mata. Menampakkan keping cokelat yang menatap lurus ke arah jingga yang memudar di telan bumi. Membiaskan warna yang berkilauan. Mungkin tak terlalu berkilau seperti titik air mata yang merembes melewati wajah tampannya. Tapi itu menenangkan.

Lalu perasaan—seperti terguncang, meliuk-liuk, lalu kembali turun meninju perutnya—itu kembali dia rasakan. Dadanya sesak walau untuk mengambil sejumput oksigen untuk bernapas. Matanya mengabur—entah karena air mata atau apa—selama ia memandang ke depan sana. Bukan masa depan, tentu saja, karena ia tahu, jika ia bisa memandang masa depan, yang akan ia lihat hanyalah kekosongan nyata yang menderu hati dan pikirannya. Tubuhnya melemah walau ia yakin ia masih sanggup berjalan untuk beberapa hari kedepan. Atau minggu-minggu kedepan, bahkan bulan, atau tahun. Sampai berapa kali dasawarsa, atau berapa milyaran tahun yang ia perlukan untuk berjalan. Tapi tetap sendirian.

Karena satu langkah yang ingin ia jajaki tertinggal di masa lalu. Ia tak yakin antara terkubur di jurang paling dalam atau melambung di langit ketujuh. Yang pasti—sesuatu tertinggal di sana. Luput ia jumput.

Dan itu menyakitkan.

Oh Sehun tahu itu merusaknya.

"...ehun..."

Sehun lebih dari tahu ada yang memanggil namanya walau samar. Samar, tapi ia yakin itu bukan sekadar khayalannya saja.

no me ames © sachimalff

untuk pairing yang selalu menjadi OTP-ku di manapun mereka berada,

Oh Sehun – Lu Han

yaoi – manxman – no beta-ed

Pudar—semuanya nampak memudar dalam satu, dua, atau tiga kedipan mata. Buram, seperti hitam dan putih, atau kadang abu-abu. Tap tap tap. Namun langkah kaki dan gerakan meliuk-liuk yang ia lakukan tak pernah berhenti, atau setidaknya, tak ingin ia hentikan. Telapak kakinya berjingkat dari satu sisi ke sisi lantai lain, menyesuaikan gerak tubuh dan tangan yang kadang terangkat ke udara atau semacam gerakan lainnya—mengikuti irama.

Ia tak akan berhenti walau ia ingin. Walau ia lelah.

"Hentikan."

Bahkan kata tajam yang keluar dari sosok pemuda berkulit tan di belakangnya tak sekalipun ia gubris. Ia mendengarkan, hanya saja—tak pernah ia tanggapi.

"Hentikan, Sehun."

Persetan—batinnya.

Kakinya melakukan gerakan memutar 180 derajat, tangannya membelah udara, tatapan tajamnya melemah, mengikuti warna-warna yang sudah membias menjadi kelabu, atau putih, ia tak yakin. Yang ia tahu, ketika musik berganti menjadi hentakan pop yang lebih menderu, jiwanya semakin terpacu untuk melakukan gerakan lebih. Tak sekalipun memedulikan keringat yang sudah membasahi tubuh putihnya.

"Kubilang hentikan!"

Lalu musik berhenti.

Sehun menyelesaikan gerakan terakhirnya ketika terdengar suara tape recorder dimatikan secara keras. Matanya masih memandang antara abu-abu dan putih, namun ia yakin jika sosok itu berdiri di sana, memicingkan matanya tajam di sebelah tape yang ia gunakan untuk berlatih barusan.

"Ada apa?" tanya Sehun tak minat. Ia mengelap keringat yang mengucur di wajahnya, kemudian duduk di atas lantai, merenggangkan kakinya yang seolah sudah hampir mati rasa itu.

Kim Jongin masih berdiri menatap Sehun begitu tajam, seolah ia bisa saja melubangi kepala pemuda yang lebih muda beberapa bulan darinya itu.

"Berhenti menyiksa dirimu, Sehun." –tegas.

Sehun meremas rambutnya sembari memejamkan matanya erat. Seperti menahan sakit, lalu ia menggeram rendah. Pusing kepalanya tak pernah hilang. Dan ketika ia membuka mata, silau cahaya dari lampu ruang latihan menjadi semakin terang, membiaskan warnanya kembali seperti semula. Tak lagi abu-abu atau putih. Berwarna seperti sedia kala. Namun kepalanya masih berdenyut menyakitkan.

Ia menyesuaikan napasnya yang satu-satu, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

"Aku hanya... la...tihan."

Kim Jongin menatapnya seolah ia adalah anak nakal yang perlu masuk ke jeruji besi. "Berhentilah bertindak konyol atau Luhan akan membunuhmu, aku yakin."

Sehun tertawa kecil di antara deru napasnya. Kakinya ia luruskan, dengan tangan yang menopang tubuhnya ia condongkan ke belakang. Memejamkan mata, tak lagi mendengarkan Jongin yang berbicara mengenai sakit, kaki, pusing, Luhan, comeback, manager-hyung, dan entah apa itu. Ia takkan peduli. Mendengar sajapun ia enggan.

"—kalau seperti ini, aku takkan membiarkanmu ... "

Lalu samar-samar ia mendengar suara pintu ruangan di buka.

"Sehun? Jongin?"

Seuntas senyum Sehun torehkan bahkan saat ia memejamkan mata. Karena demi Tuhan, ia sangat hapal nada di tiap suara orang ini.

"Luhan hyung?" Jongin terlihat seperti mengernyit mendapati Luhan mampir ke ruang dance. "Ada apa?"

"Manager hyung memanggilmu."

Lalu Jongin mengangguk paham sebelum akhirnya melirik Sehun dengan matanya yang berbahaya. Perlahan, ia meninggalkan ruangan itu sebelum Luhan berkata bahwa ia ingin tinggal di sini sebentar saja bersama Sehun. Jongin mengangguk, kemudian meninggalkan mereka berdua.

Kelopak mata Sehun masih tertutup rapat. Seuntas senyum kembali hadir saat ia merasakan derap langkah kaki tertuju padanya. Ia menyilangkan kakinya, sementara tangannya masih menopang di belakang.

Aroma perpaduan antara peach dan vanilla merasuki hidung tajamnya, membuatnya tersenyum semakin jelas.

Dan ketika ia merasakan aroma itu makin tajam, serta langkah kaki yang tak ia dengar lagi, Sehun merasakah sesuatu yang dingin—namun membawa hawa hangat—membelai wajahnya, mencoba menyingkirkan keringat yang masih tersisa.

Sehun membawa tangan kanannya untuk membelai tangan yang sedang meraba wajahnya itu, merasakan tekstur kulit terlembut yang pernah ia tahu. Kedamaian seolah mengusir rasa sakit di kepalanya, membuatnya tenang barang sejenak.

"Kau berkeringat."

Sehun tertawa. "Apa yang kauharapkan dari orang yang baru latihan?" katanya sambil membuka mata.

Ia merutuki keputusannya untuk membuka mata jika yang dilihatnya hanyalah sosok Luhan yang sedang menatapnya sendu. Matanya yang biasanya berkilau dan memancarkan bias hangat itu meredup melihat Sehun dengan peluh yang membanjiri wajahnya.

Pemuda bermarga Oh itu menatap balik Luhan dengan lemah, membawa tangan pemuda di depannya hingga kedepan bibirnya, mengecup lembut namun penuh kasih sayang.

Luhan memilih untuk duduk di depan Sehun, terpaut beberapa senti saja. Tangannya yang masih berada di genggaman Sehun ia lepaskan, lalu beralih ke kening pemuda Oh. Menyibak rambut cokelat tua itu perlahan kebelakang, menampilkan wajah Sehun dengan jelas. Wajahnya ia condongkan ke depan saat Sehun kembali menutup mata sambil mengernyit.

Luhan membawa wajahnya menuju Sehun, membuat kening mereka berdempet satu sama lain, dengan puncuk hidung yang menyentuh. Pemuda yang lebih mungil ikut menutup mata, membiarkan deru napas Sehun yang kasar menyapu permukaan pipinya.

Perlahan ia mencium pucuk hidung Sehun sebelum ia kembali menyatukan kening mereka, masih dengan mata yang sama-sama terpejam.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Luhan lemah. Kedua tangannya bergerak ke belakang kepala, membelai tengkuk Sehun sayang seperti majikan yang memanjakan kucing kecilnya.

Sehun tersenyum lemah, masih dengan mata terpejam dan posisi yang sama. "Damai."

Luhan tertawa kecil, kemudian mengecup bibir tipis Sehun, mencoba menyalurkan semangat. Sedetik sesaat setelah ia mengecupnya, Luhan membuka mata.

"Buka matamu."

Sehun menurut, membuka matanya perlahan. Silau lampu di atas sana masih memberikan efek berkunang-kunang, namun ia kembali melihat warna seperti sedia kala. Ia tersenyum lembut pada Luhan. Satu tangannya terulur untuk membelai wajah sang kekasih hati, membuat Luhan balas tersenyum bahagia.

"Kutanya sekali lagi, apa yang kau rasakan?"

Sehun mengamati tekstur wajah Luhan seksama, bagaimana ia terlihat tampan dan menawan, namun memiliki sisi menarik yang tak dimiliki lelaki manapun. Bibir kecil yang selalu mengumandangkan semangat untuknya, lalu mata yang selalu menatapnya penuh cinta, semua sisi yang ada di dirinya, membuat Sehun sedikit egois. Untuk memilikinya.

"Sekali lagi kujawab, damai."

Luhan mendengus melecehkan. "Kau menyebalkan, Oh Sehun."

Sehun tertawa kecil sebelum kembali memejamkan mata ketika rasa sakit di pucuk kepalanya kembali hadir. Kedatangan Luhan membawa dampak baik bagi rasa sakit itu, namun itu mungkin hanya sesaat. Buktinya, ia merasakan rasa sakit itu lagi.

Luhan, yang menyadari bahwa kernyitan di dahi Sehun di sebabkan oleh hal yang sama, yang membuat pemuda Oh itu mengerang kesakitan di malam hari, menggigit bibir bawahnya. Melihat Sehun kesakitan dan tak membiarkan siapapun untuk tahu—bahkan ia sekalipun itu—terasa menyakitkan untuknya.

"Sehun."

Sehun menggumam sebagai jawaban, tak berniat membuka mata.

"Buka matamu."

Namun akhirnya ia menurut juga. Walau pada saat yang sama ketika membuka mata, ia merasa sebuah cahaya yang datang pertama menyapa retinanya terasa begitu menyilaukan dan menusuk. Dan perlahan ia dapat melihat dengan jelas kembali. Ia menatap Luhan sungguh-sungguh.

"Ya?"

"Berhentilah."

Sehun merasakan hatinya berdenyut menyakitkan—lebih dari rasa sakit di kepalanya barusan—ketika melihat Luhan menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Seperti memohon sesuatu dengan sangat.

"Kumohon berhentilah seperti ini."

Hati Sehun semakin remuk tatkala Luhan menggigit bibir bawahnya, namun sia-sia saat kristal bening meluncur dari ujung matanya. Dentum keras menyakitkan terdengar dari relung hati terdalam Sehun. Ia mengangkat tangannya untuk menghapus air mata itu.

Ia tahu benar bahwa Luhan adalah pemuda yang paling anti menangis—kecuali pada saat paling mengharukan baginya—seperti ini. Dan Sehun lebih dari tahu bahwa Luhan memang sangat mengkhawatirkannya, sampai-sampai ia merubuhkan tembok yang selalu berteriak, 'aku ini manly!' yang selama ini ia dengung-dengungkan. Ia menangis karena mengkhawatirkan Sehun.

"Jangan menangis."

Luhan menggeleng, menyisakan air matanya menggenang di pelupuknya. Ia menatap Sehun dengan pandangan lemah. "Berhenti memaksakan dirimu karena ... karena itu terlihat—menyakitkan bagiku."

Sehun terpaku. Ia terlalu lemah untuk sebuah jawaban ketika hatinya masih memukul telak dan meninggalkan rasa nyeri ketika melihat pemuda yang kaucintai menangis karenamu.

"Aku hanya ingin membuktikan pada mereka bahwa aku bisa."

"Kau selalu bisa," sanggah Luhan tegas, mengabaikan fakta bahwa sedetik yang lalu ia baru saja menangis. "Kau selalu berhasil untuk lebih dari bisa."

Sehun tersenyum lembut, tangannya masih mengusap wajah Luhan penuh sayang. Lalu sedetik kemudian ia menjauhkan tangannya, hanya agar ia dapat mengamati wajah itu dengan leluasa.

"Aku bukan apa-apa."

"Kau kekasihku, kau segalanya. Kau lebih dari sekadar apa."

Sehun tertawa kecil, menggeleng pelan. "Kau tahu maksudku, deer."

Luhan menggeleng tegas. "Kau segalanya untukku, apanya yang kurang bagimu?"

"Aku bukan apa-apa di mata semua orang. Mereka bilang aku tak bisa menyanyi, kemampuan rapp-ku tak sebagus Kris hyung atau Chanyeol hyung. Aku bahkan kalah jauh dengan Tao hyung. Yang kubisa hanya dance, dan semua orang menganggapku hanyalah bayangan dari Jongin."

"..."

"Aku hanya bayangan dari Jongin."

Luhan tak bisa mengatakan apa-apa kecuali satu aksi yang bisa diproses matanya. Ia langsung merengkuh tubuh Sehun dalam pelukannya. Mata Luhan terbuka, membiarkan air mata kembali keluar dalam diam. Badan Sehun tertarik kedepan karena pelukan tiba-tiba itu, tangannya terlingkar di badan kecil Luhan.

Dalam lirihan kata, Sehun masih berkata, "aku hanya bayangan Jongin."

Luhan ingin menampik semua itu mentah-mentah, namun ia sadar bahwa semua itu sia-sia.

Bahkan semua fans diluar sana meletakkan Sehun di tempat kedua setelah Jongin. Luhan ingin menampiknya mentah-mentah, namun tak bisa. Fakta itu terlalu jelas terlihat. Dan Sehun tak ingin memperburuk keadaan dengan hanya berdiam diri. Sehun ingin menjadi yang pertama. Terletak di paling depan, bukan lagi hanya menjadi bayangan Jongin. Bukan menjadi orang kedua, bukan menjadi seperti ini. Ambisinya untuk melampaui Jongin menjadikan Luhan semakin sakit.

Akhirnya, hanya ini yang akan Sehun dapat. Hanya rasa sakit di kepala dan penglihatan yang memburam. Dan sampai kapanpun, Jongin akan jadi yang pertama, sementara Sehun mengikuti di belakangnya satu langkah.

Luhan tahu, namun ia terlalu takut untuk melihatnya.

"Aku bukan apa-apa dengan Jongin di barisan paling depan," gumam Sehun, terlihat seperti lirihan yang hampir tak bisa terdengar oleh Luhan. "Aku bukan bintang yang paling bersinar terang."

Luhan melepaskan pelukannya tiba-tiba, kemudian dengan mata yang menatap Sehun tajam, ia menarik kerah baju Sehun untuk semakin mendekat ke wajahnya, hingga jarak mereka berdua tak lebih dari lima senti.

Luhan masih menatap Sehun tepat di keping cokelat jernih itu dengan tatapan tajam.

"Kau. Tak perlu. Menjadi. Bintang."

Keheningan meraja setelah Luhan mengucapkannya dengan lantang. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya, masih menatap Sehun, namun kali ini dengan tatapan melembut.

Ia menggenggam kedua tangan Sehun, memilih untuk menunduk sembari memainkan jemari panjang Sehun, memberikan desiran aneh seperti—perpaduan antara hangat dan menentramkan untuk si pemuda Oh.

"Kau tak perlu menjadi bintang yang paling terang, Sehun-ah," jeda, ia mengalihkan tatapannya untuk kembali memandang Sehun tepat di maniknya, "karena jika kau bisa menjadi mozaik yang indah, mengapa repot-repot harus menjadi bintang? Tuhan tak mengizinkanmu menjadi bintang paling terang karena Ia tahu bahwa aku takkan bisa merengkuhmu dalam pelukan seperti tadi. Tuhan menjadikanmu seperti mozaik; walau mereka adalah pecahan dari sesuatu, namun ia adalah seni terindah dibandingkan kolase ataupun montase sekalian."

Sehun tertegun.

"Tuhan tahu jika rusa takkan bisa menggapai bintang, Sehun-ah, makanya, ia menjadikanmu seni terindah agar rusa tetap mencintaimu tanpa harus takut tak bisa merengkuhmu."

Entah dari mana asalnya kekuatan dari kalimat Luhan barusan, tapi Sehun mendapati jantungnya jatuh ketika mendengarnya. Ia merasa seakan Luhan benar. Ya—Luhan benar.

Mata Sehun memanas melihat Luhan menatapnya penuh kasih. Kepalanya linu, namun bukan karena rasa sakit yang ia rasakan tadi karena terlalu banyak menggerakkan badannya. Rasa linu itu karena ia tahu, pintu hatinya terketuk karena sebaris kalimat Luhan.

Rengkuhan Sehun pada tubuh kecil Luhan menjadi akhir latihan kerasnya hari ini.

.

.

.

"Fansigning menyambut bulan cinta, terdengar menggelikan. Bukankah begitu, Luhan hyung?" Byun Baekyun, pemuda dengan sejuta keajaiban yang membuat siapapun silau, menggerutu ketika rombongan mereka berjalan menuju ke mobil van yang siap mengangkut mereka ke tempat diadakannya fansigning hari ini.

Luhan, yang berjalan dengan Sehun di samping kanan dan Baekhyun yang menggamit lengannya—ini membuat Sehun memutar matanya jengah—tertawa pelan mendengar gerutuan adiknya itu.

"Untuk orang yang bahkan belum mendapat kekasih karena pemuda tinggi itu tak juga sadar akan keberadaanmu, tentu saja buruk."

Baekhyun mengirimkan glare mematikan kearah Oh Sehun. Sementara pemuda dengan kulit putih pucat itu hanya menyembunyikan tangannya di dalam saku jaketnya sembari menyeringai nakal.

"Apa maksudmu, nak? Apa kau berusaha menyindirku? Atau seseorang yang lain?"

Sehun menahan tawanya ketika Baekhyun merusaha mengacak tatanan rambutnya, namun dihalangi oleh tangan Luhan. Ia melirik sekilas kearah Baekhyun, lalu mencondongkan wajahnya untuk berbisik pelan.

"Hey, hyung. Aku lebih dari tahu apa yang selalu bercokol di otakmu saat melihat pemuda raksasa itu."

"Ap—oh Tuhan, Sehun. Hahaha." Tawa Baekhyun terdengar sarkastik dan dipaksakan. "Kau mengigau? Luhan hyung, anak ini mengigau!"

Luhan menggeleng di antara senyumannya ketika mendengar umpatan Baekhyun dan Sehun yang selalu menyebut—siapa lagi kalau bukan Park Chanyeol?

"Oh ya? Kupikir kau sangat memujanya sampai air liurmu hampir jatuh ketika melihatnya! Nya! Pemuda dengan nama—"

"Oh Sehun tutup mulutmu, berengsek!"

"Dengan nama—"

"Sehun kubunuh kau jika tidak diam!"

"Pa—"

"Oy." Satu tepukan di pundak Sehun menghentikan kalimatnya. Dan seringaian di wajah Sehun semakin jelas tatkala ia mengetahui bahwa Chanyeol lah yang barusan menepuknya.

"Kalian berdua ribut apa, sih?" Ada nada tak suka dalam tiap suku kata yang ia lontarkan. Sehun tertawa kecil sembari melirik Baekhyun yang menggeram sambil menatapnya tajam.

"Tidak. Hanya saja hyung-ku yang satu ini, Baekhyun hyung ini—"

"Oh Sehun mati kau..." Baekhyun mengutuk lirih, yang mana tak bisa didengar oleh Sehun maupun Chanyeol, namun cukup jelas untuk di dengar Luhan.

"Ada apa dengan Baekhyun?" tanya Chanyeol, melirik sebentar kearah Baekhyun yang langsung membuang muka.

Sehun ta berhenti tertawa, sebelum kemudian Luhan menginterupsi.

"Sehun-ah, berhenti menggoda Baekhyun. Baekhyun, jangan ladeni omongan anak ini, oke?"

Baekhyun masih membuang mukanya dari Sehun walaupun Luhan sudah menyuruh Sehun diam—dan Sehun menurut untuk diam walau Chanyeol selalu menggerecokinya dengan pertanyaan tentang ada apa dengan Baekhyun.

"Tidak ada apa-apa, hyung. Kita hanya bercanda!"

"Kau pasti berbohong, kan? Baek, kau kenapa sih? Sakit? Marah dengan seseorang? Siapa? Ada masalah apa, sih? Oy, Baek?"

"Ada apa ini?"

Semuanya—kecuali Baekhyun tentu saja—menoleh untuk melihat Jongin yang sedang menggelanyut manja di bahu Kyungsoo yang datang dengan pertanyaan.

"Entahlah, Kyungsoo. Sehun membuat Baekhyun marah dan aku tak tahu ada apa dengan Baekhyun."

Kyungsoo melirik pada Sehun sejenak, namun ketika ia menyadari raut wajah Sehun yang menatap Baekhyun jenaka, ia beralih pada Baekhyun. "Ada apa, sih, Baek?"

"Tidak ada apa-apa, hyung! Benar-benar tidak ada apapun. Baekhyun hyung hanya merasa keki dengan fansigning di bulan penuh cinta. Entah, mungkin karena dia belum punya pacar?" kata Sehun enteng. Ada nada menggoda yang membuat Baekhyun kembali melayangkan tangannya dan meraih rambut Sehun, lalu menjambaknya kasar.

"Oh—jadi Chanyeol belum mengerti perasaanmu, Baek?"

Kyungsoo harus memproses kalimatnya sekian detik saat Sehun, Luhan, Jongin, dan bahkan Baekhyun yang melotot horor padanya. Chanyeol menoleh kearah Kyungsoo sedetik setelah pemuda bermata belo itu mengucapkan kalimat tersebut.

Dan saat ia melihat Chanyeol—mungkin ia baru ingat jika di sana juga ada Chanyeol—Kyungsoo langsung melotot tak kalah horornya dari mereka berempat, kemudian mendekap mulutnya sendiri.

Uh-oh, Kyungsoo harus bersiap-siap menerima bogem mentah dari Baekhyun nanti.

Lain kali, dia harus menyekolahkan mulutnya.

"Apa maksudmu, Kyungsoo-ya?"

"Ti-tidak."

"Kyungsoo! Ya! Kyungsoo jangan lari!"

.

.

.

Fansigning dibuka pukul sepuluh pagi dan akan selesai saat mentari pulang ke peraduannya nanti pukul lima sore.

Sehun memilih tempat duduk agak tengah. Di samping kirinya ada Luhan, dan saat ia menoleh ke kanan, ia mendapati Jongin sedang menggeser kursi untuk di duduki, kemudian menyusul Kyungsoo—yang memilih menjauh sejauh-jauhnya dari Baekhyun yang duduk di pojok paling kiri—duduk di sebelah kanan Jongin. Entah mengapa, tapi Sehun merasa agak risih ketika harus berada di dekat Jongin. Bukan berarti ia membenci Jongin, sama sekali tidak. Tapi—kembali lagi, Jongin terlalu terang sampai sinar Sehun saja akan terlihat semakin redup jika disanding dengannya.

Mengerti akan ketidaknyamanan pemudanya, Luhan menggenggam tangan Sehun sebelum penggemar-penggemar di luar sana masuk berlarian. Ia meremas tangan Sehun, membuat pemuda itu menoleh menatapnya. Dan ketika keping beda warna itu bersirobok dalam diam, Sehun merasa nyaman. Ia menyunggingkan senyum tulusnya.

Dan ketika gate dibuka, Luhan langsung melepas tautan tangannya.

Penggemar yang entah sudah mengantre sejak kapan itu langsung berlari menghampiri meja panjang di depan para pemuda bertalenta itu, berjajar rapi walau sering berdesak-desakan, karena memang, tempatnya tak bisa dibilang sangat besar.

Beberapa menit berlalu dan semua member sibuk memberikan tanda tangannya sembari sesekali berterimakasih atau berbincang singkat. Baekhyun berada dalam mode paling rendah, sehingga ia terlihat hanya tersenyum kecil dan menanggapi singkat pertanyaan para penggemarnya. Joonmyeun akan menampilkan senyum memukau miliknya, menyapa hangat para penggemar. Chen, akan lebih banyak berbicara dan menyapa duluan, tak melupakan terimakasih tulus dari bibirnya. Yixing terlihat sangat bahagia, begitu pula dengan Luhan, bahkan Sehun. Jongin akan tertawa ketika penggemarnya menunjuk antara dia dan Kyungsoo, bertanya apakah mereka memang berpacaran seperti cerita fiksi di internet. Kyungsoo membelo seperti biasa, namun senyum berbentuk hatinya tak pernah lepas dari wajahnya. Chanyeol akan menambahkan kata 'Chanyeol mencintaimu' di tiap tanda tangannya. Kris dan Tao terlihat tenang, beberapa fans memuji penampilan mereka yang sangat kasual, lain dari biasanya. Minseok di paling ujung akan mulai berceloteh dengan penggemar yang ada, menjawab hal yang bisa ia jawab dengan nada jenaka.

Dan pada saat di mana seorang perempuan berumur sekitar tujuh belas tahun melangkah kearahnya, Sehun tersenyum. Perempuan itu akan memekik berlebihan, lalu menutup mulutnya. Ia bergumam, "Oppa sangat tampan!" lalu menyodorkan kertas untuk ditandatangani oleh Sehun.

Agak risi memang ketika ia mendengar penggemar berteriak tentang ketampanannya dari pada tentang talenta yang ia punya. Namun pada akhirnya, ia tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Perempuan itu beranjak semakin ke kiri, tepat di mana Jongin berada. Dan seperti yang bisa dibayangkan, ia akan berteriak, namun kali ini lebih keras.

"Jongin Oppa! Aku benar-benar mengagumimu!"

Lalu, Jongin hanya tertawa. "Aku juga, kalau begitu."

Perempuan itu terkekeh lalu berbincang sebentar dengan Jongin—sementara Sehun sibuk menandatangani kertas yang disodorkan perempuan di depannya—tentang dance menakjubkan yang Jongin lakukan.

Lalu Sehun tidak bisa pura-pura tuli ketika perempuan itu lantas berkata, "aku pikir cerita-cerita di internet itu akan menjadi nyata! Jongin Oppa memiliki kedekatan khusus dengan Luhan Oppa! Mereka menyebut kalian pasangan yang serasi bila disandingkan, Oppa! Luhan Oppa dengan suara emasnya dan Jongin Oppa dengan tarian memikatnya!"

Jongin tak bisa lebih merasa tak enak dengan Sehun yang menggenggam penanya erat. Luhan sempat mendengar perkataan perempuan itu di sela-sela obrolannya dengan fans di depannya, namun ia juga sedang tak bisa menenangkan Sehun yang ia yakin pasti sedang memendam marah.

Pelan, Jongin menjawabnya, "well—Luhan hyung adalah pemuda dengan suara merdu. Tapi apakah kau tak sadar? Seseorang di samping kananku juga tak kalah dengannya. Bahkan ia menyanyikan lagu untuk soundtrack film-nya sendiri!"

Perempuan itu memekik lagi sebelum akhirnya berjalan kearah Kyungsoo. "Ah! Tentu saja! Kalian juga serasi! Banyak yang membicarakan tentang Kaisoo!"

Sehun, tak dapat menahan amarahnya. Kalimat demi kalimat itu memenuhi rongga dadanya hingga terasa sesak. Tentu saja, Luhan dan Jongin terlihat serasi—kali ini Sehun mengabaikan fakta bahwa Jongin adalah milik Kyungsoo—jika bersama. Luhan dan Sehun? Apa cocoknya mereka? Bahkan semua memuji Sehun hanya karena wajahnya yang tampan, bukan karena keterampilannya dalam bidang musik dan tari.

Luhan melirik dari sudut matanya. Ia ingin sekali memeluk atau menggenggam tangan Sehun yang sedang terlihat seperti ingin mematahkan bolpoin-nya itu. Namun apa daya. Luhan tak bisa menunjukkan hubungannya dengan Sehun secara terang-terangan di depan penggemar mereka ini.

Akhirnya, Luhan menyerah. Ia membiarkan Sehun dengan perasaan buruknya selama acara. Bahkan setelahnya, wajah Sehun terlihat lebih mengerikan dari pada wajah Baekhyun.

.

.

.

Jam lima sore datang seperti lebih cepat dari biasanya, sosok wanita berumur duapuluh lima tahunan adalah penggemar mereka yang terakhir mendapat tanda tangan.

Sehun merasa bahwa waktu berdetak tiga kali lebih lamban dari dirinya. Semakin banyak penggemar yang memujinya tampan, mengatakan bahwa Luhan manis dan punya suara bagus, atau mengatakan bahwa Jongin penari paling berbakat, ia hanya akan merasa darahnya mendidih.

Dan tepat saat gate untuk fansigning kali ini ditutup, Sehun tak bisa menahan keinginannya untuk segera beranjak dari tempat itu.

Luhan telat menyadari bahwa Sehun telah bangkit dari duduknya tatkala pemuda berkulit nyaris albino itu berdiri dengan suara decitan kursi dan lantai yang keras, membuat semua member menatap kearahnya.

"Sehun!"

Teriakan itu datang bukan dari Luhan atau Jongin, tapi dari Baekhyun di ujung sana. Mungkin, pemuda dengan eyeliner berlebih itu ingin memberi sedikit perhitungan atau memarahinya karena kejadian tadi.

Sehun tak memedulikan teriakan dan lengking keras suara Baekhyun yang kini tengah mengejarnya.

Saat satu langkah Baekhyun hampir menggapai bahu Sehun dan membuat pemuda yang lebih muda itu berbalik kebelakang. Baekhyun, dengan nada tingginya, berkata, "tunggu dulu, bocah!"

Sehun berbalik dengan kasar, menyentak tangan Baekhyun yang masih bertengger di bahunya. Ia memicing tajam. "APA?! KALAU KAU MUAK DENGAN BOCAH, JANGAN MENCARIKU! CARI YANG LAIN SAJA SANA! JANGAN MENGEJAR BOCAH YANG TIDAK BISA APA-APA!"

Baekhyun mengalami mode senyap dalam beberapa detik, bahkan tangannya masih menggantung di udara setelah di tampik dongsaeng-nya. Beberapa detik ia mencoba mencerna kalimat Sehun, lantas akhirnya ia mengerutkan keningnya.

"Sehun, ap—"

Sehun merasa ia tak punya waktu untuk meladeni semua omong kosong yang ada, lalu ia berbalik, kemudian meneruskan langkah kakinya, berlari secepat ia bisa. Meninggalkan Baekhyun yang mematung.

Terdengar derap langkah kaki orang-orang di belakang punggung Baekhyun.

Luhan datang paling awal di susul oleh Kris dan Jongin. Si pemuda manis itu menumpukan tangannya di lutut, kemudian bertanya dengan napas satu-satu. "Di mana Sehun?!"

Baekhyun beralih menatap Luhan, lalu mencoba menjawab dengan gagap. "Se—aku—dia..."

"Dimana Sehun berlari, Byun Baekhyun!"

"Luhan!" Kris menyela, membentak Luhan, "jaga emosimu!"

Luhan berdecak, kemudian meluruskan tubuhnya setelah ia tahu napasnya telah kembali normal. Ia mencengkeram kerah baju yang dikenakan Baekhyun keras, kemudian berkata dengan nada tajam. "Beritahu aku kemana Sehun berlari!"

"Luhan! Lepaskan!" Chanyeol datang menarik Luhan dari cengkeramannya terhadap Baekhyun. Awalnya Luhan ingin menerjang Baekhyun, namun ia dihentikan oleh Kris.

"Tahan emosimu, Luhan! Tahan!"

Merasa di sini ia hanya buang-buang waktu, Luhan mengangkat kakinya dari sana, mencoba berlari dari member yang lain. Entah kemana Sehun pergi, ia akan mencoba menyusulnya.

Ia berlari, mengabaikan teriakan manager hyung yang baru saja datang bersama Yixing dan panggilan keras Joonmyeun dan Kris. Ia bahkan tak tahu jika ia bisa berlari sekencang ini, namun ia tak peduli.

Ketika ia berada di tepi jalan raya, ia kembali mempercepat langkah kakinya, meneriaki nama Sehun di jalanan yang terlihat lebih sepi itu.

Ia mencoba menyusuri jalan dan lorong antara rumah tua yang ada di sana, menggemakan nama Sehun. Berharap ia dapat menemukannya dan menenangkannya seperti biasa.

"Sehun!" teriaknya, "di mana kau? Sehun!"

Luhan mematung beberapa detik ketika ia berada di persimpangan jalan sempit. Ia ragu sejenak, apakah ia hendak memilih satu jalan di antaranya. Namun instingnya mengatakan bahwa ia harus mencoba peruntungan untuk berbelok ke kiri, maka ia mengikutinya.

Langkah kakinya terasa sangat berat. Ia merasa ragu dengan keheningan yang nampak membuatnya merinding ini.

"Sehun! Ini Luhan!" teriaknya lagi. "Sehun-ah! Keluar!"

Derap langkah kaki membuat jantung Luhan berhenti sejenak. Bukan satu derap atau dua, melainkan beberapa. Dan itu membuat lutut Luhan melemas. Hatinya berkata bahwa ia berada dalam sesuatu yang buruk.

"Well—Sehun? Luhan?"

"Whoah! Dia Luhan, hyung! Luhan artis itu!"

"Anak Lee Soo Man itu, eh?"

Luhan semakin takut ketika ia sadar bahwa suara di balik punggungnya berasal dari tiga suara yang berbeda. Ia menegang, bahunya nampak kaku. Maniknya bergerak gelisah, dan ketika ia menyadari bahwa posisinya kini berada di antara lorong yang sangat sepi, ia hanya bisa berteriak dalam hati memanggil nama Sehun...

Saat satu tangan menarik bahunya untuk berbalik ke belakang, Luhan tahu akan ada bahaya yang menyerangnya. Ketika ia berhadapan langsung dengan tiga pemuda berbadan besar itu, ia hanya dapat berdoa dalam hati agar Sehun cepat kesini.

"Cantik sekali. Mau main bersama kami?"

.

.

.

Sehun berhenti. Napasnya habis karena terlalu jauh berlari, dan satu-satunya tempat yang berada di pikirannya adalah gedung kosong di depannya. Sehun tak pernah tahu tempat ini sebelumnya, pun dengan daerah sini.

Jadi, ketika ia meneguhkan tekad untuk berjalan ke dalam bangunan tua itu, ia melangkah cepat-cepat.

Tak ada yang menarik—bahkan jauh dari kata layak—pada bangunan ini, selain tempatnya yang sangat luas. Jendela-jendela yang ada di sana telah pecah berantakan, beberapa bagian dinding terkelupas bahkan hancur di sana-sini. Hanya ada beberapa meja dan kursi yang terbalik di pojok ruangan.

Sehun meraih ponselnya, mengabaikan dering telepon dari para hyungnya yang sedari tadi mencoba menghubunginya. Tangannya dengan cekatan menolak panggilan itu, lalu mengetuk langsung pada menu musik di sana.

Lantunan lagu grup band-nya berjudul Heart Attack berdengung memecah keheningan. Sehun berjalan ke tengah ruangan, lalu menggerakkan tubuhnya begitu saja. Tangannya membelah udara kosong di sekitarnya, kakinya bergerak lihai di atas lantai dingin di bawah. Pandangannya ia biarkan mengabur—lagi—lalu berpendar menjadi warna antara abu-abu dan putih.

"Jongin Oppa memiliki kedekatan khusus dengan Luhan Oppa! Mereka menyebut kalian pasangan yang serasi bila disandingkan, Oppa! Luhan Oppa dengan suara emasnya dan Jongin Oppa dengan tarian memikatnya!"

Gerakan kakinya lebih menghentak, lebih bertenaga. Sehun mengabaikan fakta bahwa kepalanya nyaris pecah—lagi.

"Mereka menyebut kalian pasangan yang serasi bila disandingkan, Oppa!"

Tangannya berayun mengikuti irama yang ada, mulutnya membuka-tutup mencoba mengais oksigen di sekitarnya.

"Luhan Oppa dengan suara emasnya dan Jongin Oppa dengan tarian memikatnya!"

Gerakannya semakin cepat dan tak terkendali, kepalanya serasa ingin pecah.

"JANGAN MENGEJAR BOCAH YANG TIDAK BISA APA-APA!"

Dan ketika bagian terakhir lagu dinyanyikan dari ponselnya, Sehun mengakhirinya dengan gerakan yang lain, seperti beranjak dari udara, mengayunkan tangan kebelakang, lalu berputar-putar selama lima kali, membiarkan denyut sakit—entah dari hati atau kepalanya—bercokol di dirinya.

Ponselnya berdering dengan satu panggilan masuk.

Sehun beranjak dari tempatnya berdiri, memandang ponselnya sendiri penuh rasa amarah yang bertumpuk di ubun-ubun. Perlahan ia berjalan kearah ponsel yang berdering itu. Lalu ketika ia berada di depan ponsel putih miliknya sendiri, ia mencoba untuk menekan tombol terima, lalu menyalakan loudspeaker.

Sehun berjalan kembali ke tengah, menari tanpa musik, gerakan menghentak-hentak, membiarkan suara yang muncul meneriakinya.

/"Bangsat di mana kau sekarang?!"/

Sehun meliuk-liukkan badannya tanpa ada keinginan untuk kembali dan berbicara dengan orang yang ia yakini betul sebagai Jongin.

/"Sehun, keparat kau! Kembali ke sini sekarang juga, bocah!"/

Sehun menyeringai dalam gerakan yang sama, tubuh berputar-putar, kaki yang ia lemparkan ke kanan dan kiri. Lebih seperti gerakan frustrasi yang ia karang sendiri.

Lalu ia mendengar suara krasak-krusuk, dan nada marah Kris yang merebut telepon dari Jongin. /"Akan kupastikan kau akan mati jika Luhan kenapa-napa, Oh Sehun."/

Sehun berhenti ketika ia mencapai tos-ono-faste, sebuah gerakan yang ia pelajari dari koreografernya. Jantungnya mencelos ketika ia mendengar nama Luhan dibawa-bawa.

/"Akan kupastikan kau akan menyesal seumur hidupmu. Pulanglah, bajingan. Lihat keadaan kekasihmu yang menyedihkan ini."/

Bukan suara Kris yang terdengar sarat akan amarah yang membuatnya kaku seperti patung, namun adalah fakta bahwa Luhan sedang dalam keadaan tak baik-baik saja.

Luhannya.

Rusanya.

Luluh air mata dari pelupuk Sehun ketika Joonmyeun menyahut dengan suara yang tertahan dengan isak air mata.

/"Susul kami ke Rumah Sakit Myongppa."/

Ia tahu bahwa jika ada sesuatu dengan Luhan, ia akan membunuh dirinya sendiri. Lutut Sehun melemas. Ia tak kuasa bahkan untuk bangkit. Tapi pikiran mengenai Luhan yang sedang dalam keadaan tak baik, memaksa kepalanya yang kembali pening dan warna-warna yang menghilang dan terganti dengan kelabu dan putih untuk segera pergi. Berlari walau ia tak tahu di mana ia sekarang. Berlari sejauh dan secepat yang ia bisa, bertanya di mana letak Rumah Sakit itu pada lalu lalang orang di sana, tanpa pernah berpikir menggunakan alat transportasi.

Sehun berlari seperti hidupnya bergantung pada kedua kakinya.

.

.

.

tbc

.

.

.

a/n : well—saya tidak tahu apa yang tiba-tiba merasuki otak saya untuk membuat ini. yang jelas, saya kangen hunhan. saya kangen sehun dan luhan dan semua interaksi mereka, serius. sebesar apapun saya memiliki interest berlebih pada kaisoo, tak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya, dari awal, saya adalah hunhan shipper. saya kenal fandom ini karena seorang teman menyodorkan pada saya cerita hunhan. saya merindukan hunhan. saya merindukan uri xiao lu. saya tidak pernah bisa menciptakan keadaan di mana dua orang yang berinteraksi intim dan hangat seperti di cerita ini di awal tadi, tapi saya berhasil, dan ini karena rasa kangen yang membuncah pada hunhan.

p/s : ini hanya twoshots, karena jika multichaps, saya ragu tak bisa melanjutkannya. tidak yakin dengan ending. biasanya saya akan menaruh happy end untuk hunhan, beda dengan kaisoo yang selalu sad end.

p/s/s : sehun di sini iri karena jongin yang menjadi lead dancer pertama, sedangkan dia hanya menjadi yang kedua. dan topik yang saya angkat adalah karena banyak orang (bahkan fans) yang menganggap sehun tidak bisa apa-apa kecuali punya tampang rupawan. yah, walaupun sehun bukan bias saya, tapi saya mengagumi semangatnya.