"Hey, apa di antara kalian ada yang membawa gunting?"
"Untuk apa? Apa kau akan memotong rambutnya, Sara?"
Gadis yang dipanggil Sara itu tampak berpikir sejenak. Pandangan matanya terarah pada gadis yang meringkuk ketakutan di bawahnya. Saat netranya menatap rambut merah panjang sang gadis yang sama seperti rambut miliknya, ia semakin bertambah muak pada gadis ini. Ia lalu memandang sinis wajah ketakutan sang gadis yang semakin dibasahi dengan air mata itu, sebelum akhirnya ia memasang seringai kejamnya.
"Sebenarnya aku ingin sekali merobek mulutnya yang kotor dan menjijikan itu. Tapi bukankah itu terlalu kejam? Jadi ku rasa sebagai gantinya aku akan memotong rambutnya. Bagaimanapun kita harus memberinya pelajaran karena dia telah dengan seenaknya mencium Sasuke-kun, kan?"
Kedua gadis yang berdiri di hadapan gadis berkacamata itu membenarkan perkataan rekannya. Mereka terus menatap gadis yang tengah menangis sesegukan itu dengan penuh kebencian.
"Gara-gara kelakuannya itu Sasuke-kun merasa jijik pada seluruh penggemarnya."
"Dia membuat image kita sebagai penggemar Sasuke-kun buruk di mata Sasuke-kun sendiri."
"Ishh. Kesal sekali rasanya jika mengingat hal itu," Gadis berambut pirang panjang dengan kasar menarik rambut merah si gadis untuk melampiaskan kekesalannya.
"Arghh.. S-sakit. Kumohon hentikan!" teriak gadis berkacamata itu. Ia berharap ada seseorang yang mendengar dan menolongnya, walau ia sendiri pun tak yakin karena saat ini mereka tengah berada di dalam gudang sekolah yang sangat jarang dilewati orang.
"Dasar jalang! Kau pikir kau siapanya Sasuke-kun?!"
"Dia memang tidak tahu diri!"
"Sudah. Hentikan, Shion. Kita tidak punya banyak waktu. Matsuri, berikan guntingnya."
"Ini."
"Jangan! Kumohon hiks, jangan lakukan itu!"
"Diam kau! Kalian, pegangi dia!"
"Tidaaak! Lepaskan aku! Toloong!"
"Rasakan ini!"
"Hahahaa."
Brak!
"Karin!"
...
...
...
...
...
...
...
Naruto © Masashi Kishimoto
Story by Olivia Jaezmine
Warning : AU, OOC, typo, EYD berantakan, ide mainstream, dll.
No Copas, No Plagiat!
Hargailah Hak Cipta Karya Orang Lain.
Don't Like, Don't Read, Ok!
..
..
..
.
.
.
Happy Reading!
..
..
..
..
..
..
Just Like Sunshine
Kau tak harus mengenalku. Cukup kau tahu bahwa aku ada sebagai orang yang mengagumi dan menyukaimu pun sungguh sudah membuatku bahagia.
.
.
.
.
Satu
.
.
.
.
"Kau ini sudah gila ya. Kau ingin mati di usia muda atau apa? Kau tahu kan fans Sasuke-senpai itu sangat banyak. Seluruh siswi di sekolah ini jika kau belum tahu—ah tidak—maksudku tidak untuk Hinata. Ya Tuhan, mereka itu sangat liar, Karin. Dan sekarang lihat!, apa yang telah kau lakukan pada sang idola kita?! Kau bahkan me-men—ugh, aku bahkan tak sanggup mengatakannya."
Suara gadis berambut pirang itu terdengar nyaring di telinga ketiga gadis yang sedang berada di ruang UKS itu. Yang berambut merah muda tampak terlihat kesal mendengar suara berisik si gadis pirang tadi. Ia pun menyahut.
"Ino! Bisa tidak kau berhenti mengoceh dan menyalahkan Karin begitu! Kau semakin menyakiti hatinya tahu!"
Gadis pirang yang selalu diikat ponytail itu mendelik pada gadis berambut merah muda yang tadi menyahuti ucapannya. Ia hanya ingin memberi tahu dan menyadarkan apa yang telah dilakukan sahabatnya saja, tapi mengapa perkataannya malah dianggap menyakiti hati sahabatnya.
"Aku hanya tak habis pikir saja, Sakura. Kita baru saja berencana untuk mendekati Sasuke-senpai setelah satu tahun kita menjadi penggemar yang hanya diam memperhatikannya dari jauh. Dan sejujurnya aku memang kagum pada Karin yang mampu bergerak lebih cepat dari kita. Tapi seharusnya dia tidak melakukan hal gila seperti itu kan? Ya Tuhan, kau benar-benar nekat, Karin." seru gadis pirang yang bernama Ino itu. Mata aquamarine nya melotot tak percaya pada gadis merah berkacamata yang sedari tadi menundukkan kepalanya.
Sejujurnya Ino merasa iba juga melihat kondisi gadis itu. Terlihat sangat berantakan, terutama dibagian rambutnya. Rambut merah yang dulu panjang dan rapi itu sekarang tampak tak beraturan akibat dipotong asal.
"Ino, jika kehadiranmu disini hanya untuk memarahi Karin saja lebih baik kau keluar sana!"
Gadis yang berambut merah muda kembali berujar. Wajahnya jelas sekali menunjukkan kekesalan pada gadis berambut pirang yang sedari tadi mengoceh di depannya. Sahabatnya sedang dalam suasana hati yang tak baik tapi dia malah berteriak memarahi sahabatnya sendiri, sahabat macam apa dia, pikir gadis merah muda itu—Sakura.
Sedangkan gadis satunya yang berambut indigo menatap khawatir kedua sahabatnya yang saat ini tengah menatap sengit satu sama lain. Ia takut mereka berakhir bertengkar nantinya. Ia yang bingung bagaimana menghentikan aksi tatapan sengit mereka akhirnya memilih diam dengan tangan yang terus mengusap-usap pelan punggung sahabat merahnya—Karin. Daripada nanti salah bicara, pikirnya.
"Tidak apa-apa, Sakura. Biarkan Ino tetap disini."
Kedua sahabat itu memindahkan atensinya kepada Karin saat mendengar suara lemah gadis itu. Raut wajah mereka berdua berubah prihatin saat melihat wajah Karin yang beruraian air mata dengan pipi yang memerah bekas tamparan. Sakura yang duduk di samping kanan Karin pun melepas kacamata gadis itu guna menghapus air matanya. Berharap dengan begitu perasaan Karin dapat lebih baik.
"Ino benar. Hal gila itu, seharusnya aku tak melakukannya. Fans Sasuke-senpai tentu tidak akan terima, kan? Aku memang bodoh. Aku pun tak tahu kenapa aku bisa sebodoh ini." ucap Karin, suaranya tampak bergetar diakhir katanya. Karin pun kembali menundukkan kepalanya dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan, sepertinya gadis itu akan kembali menangis.
Ino yang semakin tak tega melihat Karin pun mendekati Karin yang duduk di ranjang berada tiga langkah di hadapannya, ia lalu berlutut dengan kedua lutut menyangganya dan memeluk pinggang ramping Karin.
Karin cukup kaget saat Ino memeluknya. Tapi Karin hanya terdiam. Ia terlalu malu walau hanya sekedar menatap sahabat-sahabatnya setelah apa yang ia lakukan. "Maafkan aku Karin. Tadi aku bicara kasar."
Ino melepas pelukannya dan menatap Karin yang masih menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Dengan perlahan Ino menyingkirkan lengan Karin yang menutupi wajahnya dan menggenggamnya di paha gadis itu.
"S-sudah Karin-chan. Jangan menangis lagi. Yang s-su-sudah terjadi biarlah berlalu." kata Hinata dengan suara khas gagapnya berusaha menghibur Karin yang sedari tadi menangis.
Sakura mengangguk. Gadis musim semi itu kemudian mengangkat wajah Karin supaya menatap ke arahnya dan memasangkan kembali kacamata Karin yang sedari tadi dipegangnya setelah terlebih dahulu kacanya ia bersihkan karena tadi tampak berembun dan basah mungkin akibat terkena air mata gadis itu.
Sakura kembali memasang ekspresi kesalnya saat melihat bekas tamparan di pipi Karin. Ia masih tak terima jika sahabatnya diperlakukan seperti ini.
"Lagipula, kenapa mereka sampai menyiksamu begini sih. Cukup menegurmu saja bisa kan. Hanya karena mencium pipi Sasuke-senpai saja kau sampai diperlakukan seperti ini. Apalagi jika mencium bibir Sasuke-senpai?! Oh Kami-sama aku tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti."
Ino menoleh cepat ke arah Sakura ketika mendengar perkataan gadis merah muda itu. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan atas perkataan yang keluar dari bibir Sakura. Kata-kata Sakura itu menunjukkan seolah-olah gadis itu tak menganggap besar kesalahan yang dilakukan Karin. Ino menggeleng tak percaya. 'Apa katanya? Hanya karena?! Jika dia menyukai Sasuke-senpai seharusnya dia juga marah pada apa yang dilakukan Karin, tapi bagaimana mungkin dia terlihat tak keberatan begitu?', batin Ino tak percaya.
"Wajar saja jika mereka melakukannya, forehead. Mereka juga menyukai Sasuke-senpai. Mereka pun pasti tak ingin jika Sasuke-senpai disentuh gadis lain yang bukan siapa-siapanya." ucap Ino mencoba untuk tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan di hadapan sahabat merahnya yang saat ini dalam suasana hati tak baik.
"Tidak, pig. Mereka sudah keterlaluan. Lihat! Mereka memukul Karin dan memotong rambutnya jadi berantakan."
Sakura menghela nafasnya, kembali ia menatap prihatin rambut merah Karin. 'Karin pasti sangat sedih, rambut panjang kesayangannya dipotong begitu saja', batin Sakura.
Hinata yang merasa kedua sahabatnya akan beradu mulut lagi segera membuka suaranya, bermaksud mencegah mereka. "Su-sudah Ino-chan S-sakura-chan. Ku rasa kita t-tidak perlu membicarakan itu d-dulu. Kita harus me-menenangkan K-karin-chan."
Ino menghela nafas gusar. Sebenarnya ia masih merasa kesal tapi Ino tahu bahwa ia harus mengesampingkan egonya. Bagaimana pun sahabatnya—Karin sedang dalam kondisi tak baik. Ino tak tega juga melihatnya begitu.
"Tenang saja Karin. Soal rambutmu, kau tak perlu khawatir. Hanya perlu dirapikan sedikit kok dan kau akan tetap terlihat cantik." ucap Ino.
"Benar. Kita akan menemanimu nanti merapikan rambutmu ke salon. Jangan menangis lagi, Karin." kata Sakura, menghapus air mata Karin yang meleleh lagi di pipinya.
Karin menggeleng. Wajahnya terlihat frustasi kali ini, membuat ketiga sahabatnya itu menatapnya bingung.
"Bukan. Bukan itu yang ku khawatirkan. Aku hanya takut mereka akan berbuat macam-macam lagi padaku. Aku sudah mengaku salah dan minta maaf tapi mereka malah terus menyiksaku. Aku rasa hidupku tak akan tenang lagi sekarang. Aku harus bagaimana ini."
Untuk beberapa saat ketiga sahabat itu terdiam menatap wajah Karin yang ketakutan, sampai akhirnya salah satu diantara mereka yang berambut merah muda membuka suaranya.
"Kau tidak perlu takut, Karin. Ada aku, Ino, dan Hinata. Kita akan terus bersamamu, melindungimu."
Ino dan Hinata menganggukkan kepalanya.
"Tapi ku rasa mereka tak akan berani mengganggu Karin lagi. Kalian tentu ingat kan saat kita menemukan Karin, penjaga sekolah bersama kita. Mereka tentu akan merasa ketakutan juga bila sudah ketahuan pihak sekolah." ujar Ino.
"Ya. Kita hanya perlu melaporkan mereka jika mereka mengganggu Karin lagi. Mereka tak akan bisa mengelak, karena kita punya seorang saksi." Sakura menimpali.
"I-itu benar." sahut Hinata
Karin hanya mampu terdiam melihat kesungguhan sahabatnya dalam melindungi dirinya. Dalam hati ia bersyukur mempunyai sahabat yang sangat peduli padanya. Sungguh betapa beruntungnya ia. Tanpa sadar air matanya kembali meleleh, segera ia hapus menggunakan punggung tangannya. Dengan senyuman di bibirnya ia kembali menatap sahabat-sahabatnya.
"Terima kasih... Ugh, kenapa kalian bisa begitu peduli padaku. Aku hanyalah sahabat kalian."
Sakura menggeleng dengan bibir yang mengerucut. Ia lalu merentangkan kedua tangannya memeluk sahabat merahnya dari samping, sedang kepalanya ia sandarkan di bahu sahabatnya itu.
"Tidak, Karin. Kau tidak hanya sebagai sahabat bagiku, kau sudah seperti saudaraku." kata Sakura.
Hinata mengangguk, membenarkan ucapan Sakura, sebelum akhirnya ikut memeluk Karin di samping kirinya. "K-kalian juga sudah ku anggap se-seperti saudaraku."
Bibir Ino tertarik ke atas melihat ketiga sahabatnya berpelukan. Ia lalu mengusap matanya yang sedikit berair.
"Sebenarnya aku masih kesal padamu, tapi —uuughh aku selalu menyayangimu, Kariin." ucap Ino sebelum akhirnya ikut bergabung memeluk sahabat-sahabatnya.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya saling melepas pelukan mereka dan tersenyum menatap satu sama lain.
Sakura kembali melihat Karin yang tengah mengusap-usap matanya, rupanya gadis itu masih belum berhenti menangis. Ia pun menatap Ino yang juga tengah menatapnya, lalu ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Ino dengan sesekali melirik-lirik ke arah Karin. Ino yang awalnya tak mengerti maksud Sakura memasang wajah bingungnya namun sesaat kemudian ia terkekeh dan balas mengedipkan sebelah matanya ke arah Sakura, tanda Ino mengerti maksud Sakura.
Ino yang berada dekat dengan Hinata pun melakukan hal yang sama. Namun Hinata hanya terus menatapnya tak mengerti. Ino akhirnya hanya menghela napas pelan dan kembali menatap Sakura.
Sementara Karin mengerutkan keningnya bingung melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu. 'Kenapa mereka?.'
"Jadi...?"
Sakura berkata dengan terus menatap Ino yang menganggukkan kepalanya. Ia mulai menghitung tanpa suara sampai tiga kali. Dalam hitungan ketiga—
"JANGAN MENANGIS LAGI KARIIIN!."
—mereka berdua berteriak kencang di depan wajah Karin, membuat Karin harus menutup rapat-rapat matanya mendengar teriakan super mereka.
"Hehehee."
Kedua pelaku hanya terkekeh dengan wajah tanpa dosa melihat urat-urat kekesalan di wajah Karin. Sedang Karin menatap geram kedua sahabatnya itu.
"Sakura, Ino, kalian mau membuatku tuli ya!"
Karin pun melampiaskan kekesalannya dengan mengapit leher kedua sahabatnya gemas, dan tawa mereka pun pecah setelahnya.
"Ini baru Karin kami."
"Karin si nenek sihir sudah kembali."
"Hey, apa kau bilang?!"
"Hahahaa."
"Karin nenek sihir, Karin nenek sihir~ week."
"Awas kalian ya!"
"Hahaha, b-berhenti itu geli!"
"Kau juga Ino, sini kau."
"Hey, aku tak mengatakan apapun. H-heyy! Hahaha. Hinata tolong aku."
"Hihihii."
"Hah. Hah. Aku sudah lelah." ucap Karin yang saat ini menidurkan kepalanya di paha Ino yang tiduran di lantai.
"Hehehe."
Sakura melirik jam tangan berbentuk kepala mickey mouse di pergelangan tangannya. Jarum pendeknya menunjukkan ke angka lima. Sakura menggigit bibir bawahnya lalu kembali menatap sahabat-sahabatnya. "Sudah sore, ayo pulang."
"T-ta-tapi, rambut Karin-chan?."
Sontak para gadis itu dengan cepat menolehkan kepalanya ke arah Karin, melihat rambutnya yang berantakan sana-sini. Karin sudah seperti orang gila sungguhan, batin mereka meringis.
"Ah, ya. Aku bawa sisir." ucap Ino bergegas mengambil benda yang selalu dibawanya itu dan langsung membantu Karin menyisirkan rambutnya.
"Setidaknya ini terlihat lebih baik." Ino tersenyum setelah ia selesai menyisir rambut Karin.
"Kalau begitu—" Sakura merangkul Ino dan Hinata di sampingnya. "—Ayo pulaaang."
.
.
.
"Kau sudah selesai, Sasuke?"
Pemuda berhelaian raven yang tadi disebutkan namanya itu hanya bergumam menyahuti ucapan temannya. Pandangan matanya masih terfokus pada sesuatu yang dibuatnya. Dengan hati-hati tangan yang memegang kuas itu menorehkan cat berwarna pink pada kanvas di depannya. Raut wajahnya terlihat sangat serius. Sasuke lalu meletakkan kuas itu di meja kecil sampingnya dan tersenyum tipis melihat hasil karyanya yang telah selesai.
"Woah, ternyata kau pandai melukis juga, Sasuke. Aku yakin para penggemarmu akan semakin jatuh hati padamu jika mereka tahu keahlianmu yang satu ini." ucap pemuda berambut hitam di sampingnya itu diiringi dengan gelak tawa candanya.
Sasuke hanya mendengus menanggapi. Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju wastafel, mencuci tangannya yang terkena cat saat melukis tadi.
Sementara pemuda berambut hitam tadi tersenyum tipis, ia berjalan ke arah Sasuke, ikut membersihkan tangannya juga.
"Jadi, kenapa tak bilang jika kau pandai melukis, Sasuke?"
Sasuke melirik sebentar pemuda berambut hitam di sampingnya, ia mengambil kain kecil untuk mengeringkan tangannya yang basah terkena air.
"Apa itu penting?"
Sai —pemuda berambut hitam itu hanya tersenyum maklum mendengar jawaban yang kurang memuaskan dari sahabatnya. Ia berbalik, menyenderkan punggungnya dan meletakkan kedua sikunya pada wastafel di belakangnya. Oniksnya kembali menatap lukisan pohon sakura buatan Sasuke. Lelaki eboni itu tersenyum.
"Tak begitu penting, ku rasa. Tak heran jika kau pandai melukis, mengingat ibumu adalah seorang pelukis yang hebat. Pasti bakat melukismu menurun dari ibumu, ya kan Sasuke?" ucap Sai menolehkan kepalanya ke arah Sasuke yang hanya diam dan terus mengelap tangannya menggunakan kain kecil. Sai kemudian tersenyum lagi.
Sasuke berjalan melewati Sai setelah selesai membersihkan tangannya dari cat. Ia melirik jam di pergelangan tangannya dan mulai membereskan peralatan lukisnya. "Kau tak pulang, Sai?" Sasuke bertanya saat melihat lelaki berkulit pucat itu hanya diam sambil terus menatap lukisan buatannya.
Sai menegakkan badannya dan menatap Sasuke. "Ah, ya. Tunggu aku di luar. Aku akan membereskan peralatan lukisku dulu."
"Hn."
Sai kembali menatap Sasuke yang melangkahkan kakinya tanpa berniat membawa lukisannya. Dahi Sai mengkerut.
"Kau tak membawa lukisanmu?"
Sasuke berbalik, melirik sebentar lukisannya lalu menggeleng. "Simpan di sini saja."
Sai menaikkan sebelah alisnya. Namun tak lama kemudian ia tersenyum. "Boleh ku pajang disini?"
"Hn. Terserah."
Sasuke kembali melanjutkan langkahnya, namun baru beberapa langkah, ia berhenti lagi. Tanpa membalikkan badannya, Sasuke berucap.
"Sai, jangan katakan pada siapapun jika aku yang membuatnya."
Sai hanya dapat tersenyum geli menatap punggung Sasuke yang menjauh sebelum akhirnya hilang di balik pintu. Sai kembali membereskan peralatannya.
"Tak mau ketahuan fans ya." gumamnya yang tentu tak dapat didengar oleh Sasuke.
.
.
.
"Lempar sini, Neji."
Neji—pemuda dengan rambut coklatnya yang panjang itu, tak mengindahkan perkataan rekannya yang berambut pirang. Ia terus mendribble bola seraya berlari dengan sedikit lebih cepat menuju ring lawan. Saat ada lawan yang menghadangnya, dengan gesit ia menghindar.
Ia kembali menambah kecepatan larinya ketika sudah dekat dengan ring lawan. Namun saat itu juga pemain lawan kembali menghalanginya. Kali ini ia agak kesusahan meloloskan diri. Postur tubuh lawannya yang tinggi dan besar serta gerakan gesit lawannya membuatnya sulit untuk menerobos masuk melewatinya. Ia terdesak.
"Neji, lempar sini!"
Neji melirik pemuda berambut pirang yang tadi memanggilnya. Pemuda pirang itu berada dekat pada ring dengan pemain lawan yang menghalanginya di depan. Ia kembali fokus pada Jugo, lawan yang saat ini menghadangnya. Ia yakin bisa melakukannya sendiri.
Neji kemudian berlari ke samping dengan cepat, bermaksud mengecoh Jugo. Saat Juugo baru sampai dihadapannya lagi, dengan cepat Neji bergerak ke samping (lagi) mengambil langkah lebar dan langsung melemparkan bolanya, namun bukan ke arah ring melainkan ke arah pemuda pirang yang saat ini tengah meneriakinya.
Sementara pemuda berambut pirang yang tadi berteriak itu melotot horor melihat bola yang dilemparkan kepadanya. Ia tidak siap menerima bola yang semakin dekat dengannya itu. Hingga akhirnya ia pun mengaduh kesakitan ketika bola itu dengan sukses mengenai kepalanya.
"HOI! KENAPA KAU MELEMPARKAN BOLANYA KE ARAHKU 'TTEBAYO?!"
Hanya dengusan dari Neji sebagai responnya atas teriakan marah pemuda dengan rambut kuning jabrik seperti duren. Ia berjalan ke sisi lapangan, tenggorokannya terasa kering dan ia butuh minum.
Merasa diabaikan, pemuda pirang itu pun melempar balik bola ke arah Neji dan berhasil mengenai kepala bagian belakangnya. "DASAR BODOH." umpatnya.
Neji yang tengah menenggak minuman itu tersedak minumannya saat bola membentur kepalanya. Ia berbalik dan menatap tajam pemuda pirang yang juga tengah menatapnya dengan tak kalah tajam.
"Kenapa kau marah? Kau sendiri yang meminta, bodoh."
"Tapi kenapa di saat aku belum siap, bodoh."
"Salahmu sendiri belum siap. Dasar bodoh."
"Hey! Berhenti mengataiku bodoh. Aku kapten di sini."
"Kau kapten tapi bodoh."
"HEY—"
"Sudahlah. Berhenti bersikap kekanak-kanakkan. Dasar merepotkan."
Naruto menghembuskan nafas kasar. Ia kembali mengusap-usap kepalanya yang sedikit berdenyut. "Kemana sih si Teme?" ucapnya.
"Mungkin dia pulang, takut jika bertemu fans liarnya." Kiba, pemuda dengan tato segitiga terbalik di pipinya menyahut di samping kirinya sambil menyenggol bahunya main-main.
Naruto menatap Kiba tak mengerti. "Memangnya kenapa?"
"Kau tidak tau ya. Sasuke hari ini mendapat ciuman cinta dari fansnya. Dan sepertinya dia trauma." kali ini pemuda berambut putih yang berujar.
Raut bingung Naruto berubah menjadi geli. Tak lama ia pun tertawa. "Siapa itu gadis liar yang berani melakukannya pada si dingin es kutub utara—Sasuke?" kata Naruto masih belum menghentikan tawanya.
"Uzumaki Karin. Anak kelas 2 F."
Kiba menoleh ke arah pemuda berambut putih yang dipenuhi dengan gigi taring itu. Matanya menyipit. "Sepertinya kau kenal dekat dengannya, Suigetsu." selidiknya.
Suigetsu tampak salah tingkah. Ia menggaruk lehernya yang sama sekali tak gatal. "Tidak juga kok."
"Oi Naruto. Sudah sore. Sebaiknya kita tutup latihannya." Shikamaru—pemuda berambut seperti nanas membuka suaranya.
"Hehe.. Baiklah. SEMUANYA, LATIHAN HARI INI CUKUP SAMPAI DI SINI. JAGA TERUS KESEHATAN KALIAN. TINGGAL TIGA HARI LAGI SEKOLAH KITA AKAN BERTANDING MELAWAN SEKOLAH SUNA. GANBATTE NE, KITA PASTI BISA!"
Naruto mengakhiri teriakan semangatnya dengan cengiran lebar khasnya. Kedua matanya menyapu seisi lapangan, menatap teman-temannya yang berhamburan meninggalkan lapangan.
Ketika itu juga bola saphirenya menangkap sosok gadis berambut merah muda yang tengah tertawa bersama teman-temannya di koridor atas lapangan saat ini ia berada. Ia terus mengamati gadis itu dengan senyuman yang terukir di bibirnya.
Naruto tersentak saat sepasang emerald gadisitu beralih menatapnya. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya sambil menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. Sesekali mata birunya melirik-lirik ke arah gadis merah muda itu. Naruto kemudian merasakan hatinya menghangat ketika melihat senyuman indah gadis itu yang ditujukkan ke arahnya, ia pun membalasnya dengan cengiran yang lebih lebar.
Di sisi lapangan, Neji mendengus keras melihat tingkah Naruto. Ia menggenggam erat botol minuman di tangannya. "Aku muak melihat wajah bodohnya yang tidak peka itu."
"Tidak peka?" Di sebelahnya, Shino bertanya dengan terus menatap Neji tak mengerti. Shino lalu mengikuti arah pandang Neji—yang ternyata jatuh pada Naruto, seketika itu juga ia merinding.
Neji yang merasakan gelagat aneh seseorang di sampingnya, menoleh.
"Lupakan." ucapnya kemudian berlalu.
.
.
"Bagaimana jika hari ini kita menginap di rumah Sakura?"
"No, no, no."
Rambut merah muda Sakura ikut bergoyang seiring gerakannya menggeleng-gelengkan kepala ke kanan dan kiri. Sedang matanya melotot ke arah Ino. "Tidak boleh. Besok ada ulangan dan aku harus belajar."
"Kita bisa belajar bersama kan?"
"Aku sudah tau apa yang nanti akan kau lakukan di rumahku pig. Kau hanya akan bermain-main. Dan itu mengangguku. Tidak. Pokoknya tidak boleh."
"Sakura, aku akan ikut belajar kok. Iya kan, Karin?" Ino berganti menatap Karin. Sementara Karin hanya bergumam malas sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Melihat sikap acuh Karin, Ino mengernyit sebal.
"Kenapa responmu begitu?"
"Huh, begitu apanya?"
"Ah, sudahlah." Ino kembali menatap Sakura. "Ayolah forehead, di rumahmu tidak ada orang kan? Kita hanya ingin menemanimu saja. Kau pasti kesepian di rumah sendiri."
Sakura mengatupkan bibirnya rapat. Entah kenapa kata kesepian yang diucapkan Ino terus-menerus berputar di kepalanya. Ia berpikir apakah benar jika selama ini ia merasa kesepian? Orang tuanya selalu sibuk bekerja dan memang terkadang mereka tidak pulang ke rumah. Sakura selalu menyangkal jika ia tak bahagia ditinggal sendiri. Namun tak dapat dipungkiri jika ia merasa hampa di rumahnya sendiri.
Sakura merasakan tepukan dibahunya. Ia menoleh dan mendapati Hinata yang menatapnya khawatir. Ia tersenyum tipis.
"Jidat, dengar aku tidak sih?"
Sakura kembali menatap Ino dengan sebal. "Tidak, pig. Ti-dak bo-leh."
"Huh. Jidat lebar."
"Kau babi."
"Kau dada rata."
"Hey!"
"Su-sudah Ino-chan. B-bagaimana kalau menginap di rumahku s-saja."
Ino mengibas-ibaskan tangannya panik. "Tidak. Tidak. Sejujurnya aku dan Karin takut pada ayahmu. Ayahmu itu terlihat menyeramkan. Iya kan, Karin?" Ino menengok ke samping namun tak mendapati Karin di sana. "Eh, kemana anak itu?"
Sakura memutar badannya dan tak jauh disana Karin berdiri dengan terus menatap tempat sampah di bawahnya. Sakura melangkah mendekat, diikuti Ino dan Hinata.
"Ada apa?" Sakura menepuk bahu Karin yang sedari tadi terdiam.
"Bekalku. Bekal yang tadi siang kuberikan pada Sasuke-senpai. Dia... membuangnya."
Sakura mengusap punggung Karin yang tampak kecewa. "Sudah tak apa. Coba periksa apakah masih utuh makanannya. Siapa tahu Sasuke-senpai memakannya dan hanya membuang kotak bekalnya saja."
Seketika raut wajah Karin berubah cerah. Ia melakukan apa yang disarankan Sakura dan setelah ia buka kotak bekal itu raut wajahnya kembali murung. Ia mendesah kecewa. "Masih utuh." ucapnya.
Karin menatap satu persatu sahabatnya yang hanya terdiam melihatnya. "Sepertinya Sasuke-senpai membenciku."
Ketiga sahabat itu tetap terdiam. Lebih tepatnya tak tahu harus merespon apa.
Karin menghela nafas. Kedua bola matanya bergulir ke arah Ino. "Ino, aku akan berhenti dari klub cheers."
Ino membulatkan matanya terkejut.
"Mana bisa begitu?"
"Ayolah Ino. Aku malu. Lagi pula disana ada gengnya Sara-senpai. Aku tidak ingin bertemu dan berurusan lagi dengan mereka."
"Jika kau tidak ada nanti aku dengan siapa bodoh?"
"Terserah. Pokoknya aku berhenti dari klub cheers dan pindah ke klub memasak bersama Hinata."
"Y-yasudah. Aku juga akan berhenti dan pindah ke klub melukis bersama Sakura."
"Err Ino. Apa tidak apa-apa?"
"Tentu saja, jidat."
"Tapi n-na-nanti Ino-chan tidak bisa l-leluasa lagi melihat Sasuke-senpai bermain b-b-basket."
"Benar. Tujuanmu ikut klub cheers kan supaya bisa dekat dengan Sasuke-senpai." Karin berseru.
Ino berdecak. "Tidak masalah. Aku bisa melihat kapanpun dengan Sakura."
"Tapi memangnya kau bisa melukis?" ledek Karin.
"Seperti kau bisa memasak saja. Lagi pula ada Sakura. Dia akan mengajariku nanti. Iya kan, jidat?"
"Huh. Asal kau traktir aku saja."
"Hey, kau kan kaya."
Sakura tak membalas perkataan Ino. Ia terlalu malas untuk beradu mulut lagi dengan Ino. Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Sakura kemudian menolehkan kepalanya ke arah Karin. "Tapi... kau masih akan tetap menjadi fans Sasuke-senpai kan, Karin?"
Karin menatap Sakura dengan lesu. "Entahlah. Aku masih merasa kecewa."
"Hey, sudahlah. Memangnya Sasuke-senpai menghianatimu? Seperti pasangan kekasih saja."
Karin berdecak kesal mendengar penuturan Ino. Ia baru saja akan membuka suaranya untuk membalas perkataan Ino namun tertahankan saat mendengar teriakan seseorang dari arah lapangan.
"I-itu s-su-suara Naruto-senpai." Hinata berkata dengan pipi yang memerah.
"Mau melihat?" tanya Sakura.
Ino menggerling jahil ke arah Hinata. "Ah, sepertinya nona muda Hinata mau." goda Ino menyenggol pelan bahu Hinata.
Hinata semakin memerah. "I-ino-chan."
"Kalau begitu, ayo."
.
.
"Oh, Lihatlah itu. Pujaan hati Hinata sedang beradu mulut dengan kakaknya." Karin berseru heboh.
"Sepertinya mereka tidak pernah akur ya." Sakura hanya tersenyum sambil menikmati tontonannya.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika nantiNeji-senpai yang menjadi kakak ipar Naruto-senpai." Ino berkata lalu menutup mulutnya untuk meredam tawanya. Merasa hanya ia yang tertawa, Ino kemudian melirik Karin dan Sakura yang saat ini tengah menatapnya aneh. Dan ketika mereka melihat wajah Hinata yang memerah sampai ke telinga, tawa mereka pun pecah setelahnya disusul dengan godaan jahil mereka untuk Hinata.
"Ahaha. Hinata wajahmu merah."
"Hihi. Hinata merona ya."
"K-kalian h-hen-hentikan!" Hinata menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Sakura tersenyum geli melihat kedua sahabatnya yang tak henti-hentinya menggoda Hinata. Melihat tingkah malu-malu dan wajah Hinata yang mudah merona adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Apalagi jika sudah disangkut pautkan dengan pemuda yang gadis itu sukai. Ah, mereka memang senang sekali menggoda sahabatnya yang satu ini.
Bola mata Sakura kemudian bergulir ke arah lapangan. Sakura mengernyit heran. Tidak biasanya lapangan sepi penonton, pikirnya.
Sakura memegang pagar besi di depannya. Kepalanya sedikit dimajukan ke depan, ia ingin memastikan apakah sang pangeran sekolah yang juga idolanya berada disini atau tidak. Pipi chubby Sakura mengembung saat netranya tak menemukan seseorang yang dia cari. "Pantas saja sepi penonton, tidak ada Sasuke-senpai disini." gumamnya.
Kemudian sepasang emerald milik Sakura tak sengaja mendapati seorang pemuda dengan rambut kuning jabrik yang tengah berdiri dengan menyunggingkan sebuah senyuman. Sakura tentu kenal siapa pemuda itu. Dia adalah Namikaze Naruto, pemuda yang disukai sahabatnya, Hinata. Sakura tak terlalu dekat dengan pemuda pirang itu. Tapi beberapa kali Sakura memang pernah berbincang dengan Naruto. Dan Sakura rasa terakhir kali mereka bertemu dan saling berbincang kira-kira itu dua bulan yang lalu di acara perpisahan kelas 3. Sakura sendiri pun tak yakin jika Naruto-senpai masih mengingatnya. Entahlah, Sakura hanya berpikir dia bukanlah orang yang cukup populer di sekolahnya sehingga pemuda dengan banyak fans seperti Naruto-senpai dapat mengingat dirinya.
Sakura melirik Hinata yang masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan, di sampingnya Ino dan Karin terus menggoda gadis berambut indigo itu. Lalu Sakura menengok ke belakang. Tidak ada seorangpun di sekitarnya, hanya ada mereka berempat—termasuk dirinya sendiri disini. Sakura memasang wajah bingungnya. Ia tidak tau Naruto-senpai tersenyum kearah siapa. Karena bingung dan sedikit merasa terganggu dengan tingkah pemuda itu akhirnya Sakura pun hanya tersenyum menatap Naruto.
"Sasuke-senpai!"
Sakura tersentak di tempatnya berdiri. Suara Karin yang kelewat kencang dan lantang itu membuatnya menoleh cepat ke arah gadis itu. Dan hal yang dilihatnya saat ini membuatnya lebih terkejut lagi. 'Apa yang Karin lakukan?'
Dengan kedua mata yang melebar Sakura menatap Ino dan Hinata yang menundukkan kepala mereka. Sakura tak mengerti kenapa mereka diam saja membiarkan Karin yang lagi-lagi bertindak nekat.
"Sasuke-senpai, ku mohon terimalah permintaan maafku. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Bahkan, bahkan aku akan berhenti menjadi penggemarmu! Dengan begitu kau akan tenang. Tapi ku mohon kau, kau jangan membenci semua penggemarmu. Kau jangan merasa jijik pada mereka. Cukup padaku saja. Aku memang lancang. Jadi tolong maafkan aku."
Sakura mendengarkan dengan jelas kata-kata yang diucapkan Karin dengan cepat. Sakura benar-benar tak mengerti, sebenarnya apa yang dipikirkan gadis itu? Kenapa Karin harus sampai melakukan itu?
Sementara Karin masih membungkukkan badannya di depan senpainya—Sasuke. Ia tidak berani mengangkat kepalanya ataupun sekedar menegakkan punggungnya yang mulai terasa pegal. Karin akan melakukannya setelah ia mendengar jawaban Sasuke yang dapat membuatnya bernapas lega. Namun setelah beberapa saat Sasuke hanya tetap diam, hal itu membuat Karin semakin cemas.
Sasuke menatap datar gadis berambut merah di depannya ini. Sesungguhnya Sasuke terlalu malas untuk meladeni gadis gila ini. Entah apa yang gadis ini inginkan. Sasuke sama sekali tak peduli. Sasuke sudah muak berhadapan dengan penggemarnya yang gila dan kurang kerjaan itu. Jadi bisakah gadis ini menyingkir?
Sasuke menoleh pada pemuda di sebelahnya—Sai. Lelaki itu hanya diam sambil terus menampilkan senyuman yang menurutnya sangat menyebalkan. Cih. Sai sama sekali tidak membantu.
Sakura masih memperhatikan Sasuke yang hanya diam dengan terus memasang wajah datarnya. Sakura tak tahu apa yang dipikirkan pemuda itu sekarang. Sasuke terlalu sulit untuk ditebaknya. Namun dibalik wajah datar Sasuke, Sakura hanya tahu satu hal, ia sungguh dapat merasakannya—merasakan tatapan pemuda itu yang begitu tajam. Pantas saja Ino dan Hinata terus menundukkan kepalanya. Mereka mungkin merasa terintimidasi oleh sepasang onyx itu.
"Ck. Menyingkir dari hadapanku."
Sasuke semakin kesal saat melihat gadis di depannya ini tidak mematuhi perintahnya dan terus diam. Sasuke kemudian bergeser ke kanan dan melangkahkan kakinya. Namun sebelum itu Sasuke kembali berkata yang dapat membuat gadis merah itu merasakan sakit di hatinya. Namun sekali lagi, Sasuke tidak peduli. "Enyahlah kau, gadis gila."
Sakura kembali dibuat tersentak ketika mendengar suara bariton senpainya yang terdengar sangat dingin dan tajam itu. Setengah percaya dan setengah tidak dengan apa yang didengarnya, mata hijau besarnya kembali melebar.
Jadi, inikah sifat asli seorang Uchiha Sasuke? Pangeran sekolah yang digilai banyak gadis karena ketampanannya yang luar biasa itu? Sakura pernah mendengar, memang sosok pangeran sekolah mereka terkenal dingin dan cuek. Hal itu pula yang membuat ia, Karin, dan Ino tak berani mendekati dan menunjukkan secara langsung kesukaan mereka pada pemuda itu, seperti penggemarnya kebanyakan. Tapi Sakura tak menyangka pemuda yang juga ia kagumi ketampanan dan prestasi luar biasanya ini sungguh sangat tidak berperasaan sama sekali. Bahkan pemuda itu bersikap buruk kepada Karin dengan mengatainya gila. Apa kesalahan Karin sebesar itu sampai-sampai dia tidak mau memaafkan Karin? Atau pemuda ini tidak pernah diajarkan sopan santun oleh kedua orangtuanya? Dan apa-apaan itu? Dia malah pergi begitu saja setelah mengatakan kata-kata kasar itu? Dasar sombong! Setidaknya hargailah seseorang yang meminta maaf kepadamu!, batin Sakura berteriak kesal.
Sakura melirik Karin, ia dapat merasakan tubuh Karin yang menegang entah karena apa. Dan beberapa saat setelahnya Sakura terkejut melihat punggung Karin yang tampak bergetar. 'Apa Karin menangis?'
Sakura mengepalkan tangannya. Ia tentu tahu apa yang dirasakan Karin. Perkataan Sasuke terlalu menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya.
Sakura lalu membalikkan badannya ke samping, menatap punggung lebar Sasuke dengan sinis juga bercampur kesal. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kencang Sakura yang ditujukkan untuk sang pangeran sekolah, Uchiha Sasuke menggema di koridor sekolah sore itu.
"Kau! Senpai yang bernama lengkap Uchiha Sasuke! Orang yang paling paling paliing menyebalkan yang pernah aku temui. Jangan kau pikir kau tampan jadi kau bisa melakukan apapun seenak rambut pantat ayammu yang keren tapi sekarang sudah tidak keren lagi di mataku! Kau yang tidak punya perasaan, kasar, bermulut tajam, dan dengan semua sifat jelekmu yang lain, mati saja sana!"
Astaga, astaga! Entah mendapat keberanian dari mana Sakura bisa berkata sekasar itu pada senpainya. Sakura menggigit bibir bawahnya di tengah napasnya yang masih tak beraturan akibat berteriak tanpa jeda tadi. Ia berharap Sasuke mendadak tuli atau jika pun Sasuke mendengar, dia tidak pernah menganggap serius perkataannya itu. Namun sial bagi Sakura saat ia melihat gerakan langkah kaki Sasuke yang terhenti, membuat badannya terasa lemas seketika. Ia berharap (lagi) senpainya tidak marah dan melupakan perkataannya tadi. Ya, semoga saja.
"Haruno Sakura, siswi kelas 2F, dengan rambut pink dan jidat lebarnya. Bersiaplah—" Sasuke menolehkan kepalanya ke samping tanpa membalikkan badan. "—Menerima 'kejutan spesial' dariku besok."
Dan double sial bagi Sakura karena melihat seringai mematikan dari seorang Uchiha Sasuke yang bisa dipastikan akan membuat tidurnya tidak nyenyak malam ini.
'Kami-sama.'
.
.
.
.
To be continued
.
.
Author Note:
Halloo, datang lagi dengan fict baru yang I know ini idenya mainstream banget. So, maaf kalo ngebosenin, kurang memuaskan, tidak jelas/gaje, ngebingungin dan segala kekurangan lainnya di fict ini, sorry for that gaeez.
Aku tahu fict ini jauh banget dari kata sempurna. So, aku berharap banget kritik dan saran yang membangun dari para readers maupun para author sekalian supaya ke depannya aku bisa menulis lebih baik lagi.
Cukup itu aja dan sesungguhnya kelanjutan fic ini tergantung pada baik buruknya (?) tanggapan kalian, gaeeez :D :) /*plak/apasehgue :D
.
.
Olivia Jaesmine (Ojaes)
