Laki-laki tampan dengan kaos hitam berlengan panjang itu duduk di kursinya. Ada sedikit darah yang mengering di sisi pelipis kirinya. Sedangkan lengan tangan kanannya terlihat di gulung hingga atas sikunya. Menampakkan sebuah perban yang menempel di lengannya.
Dia terluka, namun tak ada yang serius.
Lorong rumah sakit itu sepi. Sunyi. Keempat orang tua lelaki itu dan istrinya terlihat berjalan mondar-mandir di hadapannya. Namun hal itu tak mampu mengacaukan penyesalan di dalam lamunannya.
"Seharusnya aku membantingnya ke sebelah kanan, bukan ke sebelah kiri. Iya kan?". Ucapnya. Tatapannya masih kosong. Tertunduk menatap lantai rumah sakit itu.
Hingga akhirnya, sosok berseragam putih keluar dari ruang operasi sembari melepas maskernya.
Kedua orang tua myungsoo, Tuan dan Nyonya Kim, serta Tuan dan Nyonya Lee berlari menghampiri orang itu. Namun myungsoo hanya mengangkat wajahnya. Berdiri dengan lemah. Menatap laki-laki paruh baya itu dengan tatapan nanar dan penuh ketakutan.
"Dokter, bagaimana dengan menantuku? Dia baik-baik saja bukan?"
"Tenanglah Nyonya... menantumu sudah melewati masa kritisnya, dia akan membaik setelah siuman.. aku berhasil menghentikan pendarahan di belakang pinggangnya"
Nyonya Kim terlihat menghembuskan nafas lega, begitu juga dengan sang suami.
Myungsoo terlihat hendak melangkahkan kakinya, namun baru selangkah kaki panjang itu terayun, Sebuah kata-kata singkat itu menohoknya, menusuk perutnya hingga mati. Merobek jantungnya hingga dia sekarat.
"Lalu...bayinya baik-baik sa..."
"Maaf nyonya... aku sudah benar-benar berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkannya, namun usia kandungannya sudah tua dan itu sangat rawan. Benturannya sepertinya mengenai perutnya, bahkan janinnya sudah meninggal sebelum dia tiba di rumah sakit, dan benturan yang sangat keras hingga melukai pinggang belakangnya, ternyata juga merusak rahimnya, jadi dengan sangat terpaksa, kami harus mengangkatnya demi menyelamatkan hidupnya..."
"A-apa?". Nyonya kim terperengah. Menutup tangisnya, menyembunyikan isaknya. Melirik putranya yang kini masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak. Bagaikan mayat yang tak memiliki kehidupan.
Air matanya mengalir. Menetes satu persatu.
Ini kiamat.
"Sung...jong... aku membunuh seluruh hidupnya..."
.
.
.
Flashback...
Mobil Honda City itu melaju dengan kecepatan sedang. Kedua sosok yang tengah duduk di dalamnya sesekali melemparkan senyum di antara canda mereka. Sang suami, Kim Myungsoo, menatap istrinya, Lee Sungjong dengan penuh kasih. Jalan menuju busan siang itu begitu sepi, hanya sesekali mobil yang mereka tumpangi berpapasan dengan mobil lain.
Perut namja manis bersurai coklat keemasan terlihat membesar, menandakan bahwa kehamilannya sudah mencapai bulan ketujuh. Myungsoo menggerakan tangannya, mengusap pelan perut sang istri. Menyentuh putranya. Lirikan tajamnya terlihat bahagia sekali. Seolah-olah matanya mampu menerawang ke dalam, melihat betapa tampan putranya kelak.
Sungjong menggenggam tangan myungsoo sedikit erat.
"Kau lelah?"
"Sedikit sayang...". sungjong sedikit meregangkan badannya. Dengan perut membuncit seperti itu, jelas duduk selama berjam-jam menuju busan adalah suatu hal yang sejujurnya, menyiksanya. Namun demi bertemu kedua orang tua sungjong yang beberapa hari lalu meminta mereka berdua untuk mengunjunginya, maka mau tak mau mereka sepakat untuk melakukan perjalanan ke kota terbesar kedua di korea selatan itu.
Myungsoo menaikkan tangan kirinya, mengusap rambut sang istri pelan. dengan senyum yang masih tak mau lepas dari bibir tipisnya. Sedangkan tangan kanannya masih memegang kemudi.
"Tidurlah, aku akan membangunkanmu setelah kita sampai...hm?"
Namun... Naas.
Ketika sungjong hampir terlelap...tiba-tiba...
"AAAAARRRRGGGHHHHH..."
CKIIITTTTT!
BRUAAAKK!
Sebuah truk dari arah berlawanan mengambil sisi jalan terlalu ke kiri. Myungsoo membanting stirnya ke kiri. Dan mobil itu, terguling berkali-kali. Kemudian berhenti setelah menghantam pembatas jalan.
Lalu... Gelap.
.
.
End of Flashback...
.
.
Sudah 18 hari setelah kecelakaan itu, dan akhirnya dokter Jeon mengijinkan Nyonya muda di kediaman keluarga kim itu untuk meninggalkan ranjang pesakitannya.
Myungsoo tengah menggendong sungjong memasuki kamar mereka yang tampak sunyi. Sudah 18 hari kamar itu kosong tanpa penghuni. Dan kini akhirnya sang pemilik kembali, menginjakkan kaki mereka pada ruangan luas bernuansa kuning muda dan putih. Aroma mawar menguar memenuhi ruangan itu.
Pelan sekali, tuan muda kim satu-satunya pewaris dari GookJoo Group itu membawa tuan putrinya menuju ranjang mereka setelah menutup pintu kamar mereka dengan rapat.
Membaringkan istrinya di ranjang empuk mereka. Myungsoo duduk di sisi ranjang mereka. Menatap sang istri lekat. Dari tatapannya, rasa bersalah dan penuh penyesalan itu benar-benar tersirat secara nyata di dalam tatapan sayunya. Masih tak mengatakan apapun, hanya menatap sungjong yang juga menatapnya dengan sebuah senyuman lembut yang di sunggingkan di bibirnya. Jemari lentik namja itu bergerak. Meraih tangan suaminya.
"Aku tidak apa-apa. Jangan salahkan dirimu... ini musibah, ini kecelakaan, ini sudah takdir dari tuhan. Bukan kita yang meminta"
"Tapi... Bayi kita..."
"Bukankah kita bisa memilikinya di lain kesempatan? Di kehidupan mendatang kita bisa memiliki seorang putri yang cantik dan putra yang tampan. Sepasang anak yang manis yang akan menemani kita tumbuh semakin dewasa dan tua. Benar kan?".
"Apakah kau bisa mengatakan ini musibah jika kau tahu bahwa aku telah merenggut nyawa anak kita? Apakah kau bisa tenang dan tersenyum lembut kepadaku jika kau tahu kebenarannya bahwa aku telah membuatmu cacat dan selamanya tak bisa memiliki seorang anak?apakah kau bisa setegar ini tanpa memakiku jika kau tahu bahwa akulah penyebab musibah ini?". Ingin sekali myungsoo melontarkan semua rangkaian kalimatnya. Namun urung, air matanya hampir saja terjatuh jika saja dia tak memalingkan wajahnya ke sisi lain.
"Sayang...". Sungjong terbangun dari posisinya. Bersandar pada kepala ranjangnya. Meraih pipi sang kekasih dan mengusapnya pelan. "Ada apa?"
"Tidak... Semuanya baik-baik saja"
Ada yang janggal. Dia sangat paham tabiat, sikap, sifat, perilaku dan kebiasaan suaminya. 6 tahun berkencan sejak mereka duduk di sekolah menengah atas, tak mungkin sungjong tidak menyadari di saat suaminya berbohong.
"Katakan padaku, ada apa?"
"Tidak ada..."
"Hyung..."
"Benar-benar tidak ada yang terjadi..."
"Kim Myungsoo!"
"Harus berapa kali kukatakan..."
"Aku istrimu, aku tahu di saat kau berbohong atau tidak, katakan... ada apa?"
Sungjong menahan pipi sang suami, menatap lurus kedua sorot tajam itu. menuntut sebuah kejujuran dari jawabannya.
Lama sekali. Hampir 1 menit baik myungsoo maupun sungjong tak membuka suaranya. Hingga akhirnya mau tak mau, laki-laki tampan itu membuka suara.
"A-aku...". myungsoo tampak menahan nafasnya sejenak. Takut. "Aku membuatmu tak bisa memiliki anak sungjong"
Namja manis itu mengernyit. Kembali meminta sebuah penjelasan. "Apa...maksudmu?"
"Aku membuatmu cacat... Kecelakaan itu merobek belakang pinggangmu"
Sungjong menelan ludahnya pelan. tahu bahwa pada akhirnya jawaban ini mungkin akan membuatnya lebih baik mati.
"Dan...melukai rahimmu"
Tes!
Menangis. Sungjong menangis. Tanpa suara, tanpa isakan.
"A-apa...apakah mereka..."
"Ya... dokter mengangkatnya"
.
.
.
1 Bulan Kemudian...
Dia duduk di samping jendela besar di sisi kamarnya. Menerawang jauh. Menatap butiran-butiran air hujan yang membasahi halaman belakangnya. Dunianya berhenti. Dia seperti tak bernyawa lagi. Nyawanya bahkan seperti tercabut sebelum nafasnya berhenti.
Hari itu, kecelakaan itu bagaikan lubang neraka yang menganga. Dia menyesal. Ada kalanya dia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa menjaga bayinya. Ada kalanya dia justru menyalahkan orang tuanya karena telah menintanya datang, jika tidak mungkin kecelakaan itu tak akan pernah terjadi.
Namun ada saat-saat dia sendiri dan melewati hari-hari sunyinya, dia justru menyalahkan myungsoo, mengutuk suaminya. Terkadang dia berpikir myungsoolah sumber mala petakanya. Namun nyatanya nurani dan cintanya kepada laki-laki itu membuatnya menghapus segala pikiran buruk tentang pujaan hatinya.
Namun... Ini terlalu cepat, pagi ini, seperti api neraka kembali menjilati kulitnya sekalipun pintunya hanya terbuka beberapa mili.
.
.
Flashback...
.
.
Sarapan sudah selesai, sesuai perintah myungsoo, setelah menyelesaikan makan paginya dan mengecup keningnya sebelum bekerja, sang suami berpesan agar dia kembali ke kamar dan beristirahat.
Namun, baru saja suara mobil myungsoo dan ayah mertuanya meninggalkan rumah besar bak istana itu, tiba-tiba saja nyonya kim menghentikan kakinya untuk beranjak dari duduknya.
"Sungjong..."
"Nee eomma?"
Nyonya kim tertunduk sejenak. Menarik nafasnya pelan.
"Aku ingin bicara hal penting kepadamu"
Sungjong mengernyit. Ini janggal. Tak biasanya ibu mertuanya akan bicara dengan meminta ijin seperti ini.
"Aku tahu... Ini mungkin sedikit keterlaluan, tapi aku membicarakan hal ini dengan ayah mertuamu seminggu yang lalu. Bahkan... Kemarin malam kami juga mengajak myungsoo berdiskusi"
Sungjong tak bergerak dari tempatnya. Hanya diam. Menundukkan wajahnya. Bersiap mendengarkan ucapan selanjutnya dari ibu mertuanya.
"Gookjoo...butuh penerus bukan?". Tanya dengan nada selembut mungkin. Menyentuh jemari sungjong dengan halus. Namun gerakan pelan itu rupanya berhasil membuat pemilik mata kucing itu tersentak hingga menaikkan tatapannya. Memberanikan dirinya untuk beradu pandang dengan wanita paruh baya itu. "Bukan berarti aku menginginkan kalian berpisah. Tidak sayang...kau tahu ibu sangat menyayangimu seperti anakku sendiri, tapi..."
"Eomma ingin myungsoo menikah lagi?". Tanyanya tegas. "Apa karena aku sekarang mandul jadi eomma ingin menyingkirkanku perlahan?". Sungjong diam-diam menggigit bibir bagian dalamnya. Menahan amarah, kecewa serta sesaknya.
"Bukan seperti itu sungjong, tidak... aku tak ingin menyingkirkanmu, ini semua demi Gookjoo..."
"Jika eomma menginginkan seorang cucu tidak bisakah kita mengadopsi seorang bayi saja?"
"Jika kita mengadopsi maka kita tidak akan tahu dia anak siapa, tapi jika myungsoo menikah lagi maka..."
"Apa?"
Nyonya Kim memejamkan matanya. Lelah. Menarik tangannya dari jari-jari lentik menantunya. "Kupikir myungsoo pasti akan membicarakan hal ini denganmu sungjong"
"Tidak, siapa orang yang akan rela melihat ranjangnya di bagi dengan orang lain?!melihat suamiku harus membagi kasih sayangnya untuk orang lain? Bahkan eomma kembali membunuhku hanya setelah sebulan aku berusaha mati-matian menyembuhkan traumaku!"
"Bukan seperti itu, ini hanya tentang keturunan, kalian bisa membicarakannya, menikahi seorang wanita baik-baik hanya untuk melahirkan anak myungsoo, lalu minta myungsoo menceraikannya setelah bayi itu lahir, bukankah itu mudah?"
"Pemikiran eomma bahkan lebih mudah daripada harus menanggung cacat seumur hidup karena ulah putramu!"
Namja manis bertubuh kurus itu bangun dari duduknya. Meninggalkan ibu mertuanya seorang diri tanpa berniat untuk memperpanjang argument mereka.
.
.
End of Flashback...
.
.
Air mata sungjong menetes. Mengiringi tetes air hujan yang semakin deras di luar sana. Titik-titik bening menyerbu lebarnya jendela di kamar sepasang suami istri yang hampir memiliki buah hatinya.
"Mungkin... aku hanya perlu mempersiapkan diriku jika sewaktu-waktu myungsoo membuka mulutnya dan mengatakannya. Iya kan?". Tanyanya lirih. Tak tahu dia berucap kepada siapa. Dia seorang diri. Sunyi. Sepi.
Namja manis itu tiba-tiba merasa kesepian.
.
.
.
Lelaki tampan berjas hitam itu duduk di kursinya. Menatap sisi luar gedung tinggi dari jendela di ruangannya. Termenung. Memikirkan perkataan sang ibu yang semalam terucap dengan lancar di hadapannya. Kemudian kedua matanya tertutup, seiring dengan hembusan nafas beratnya yang benar-benar membuatnya sesak.
"GookJoo Group akan tamat dan hanya berakhir di generasimu jika sungjong tak bisa memberimu seorang anak"
"Eomma..."
"Pikirkan sekali lagi myungsoo..."
"Aku mencintainya... Bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi sekalipun alasannya adalah GookJoo group"
"Menikahi orang lain sebagai istri keduamu... Atau aku harus memaksamu menceraikannya?"
Lagi...percakapan itu menggema di otaknya. Menikah lagi... Menceraikannya... Itu sama saja dengan kematian. Myungsoo mencintainya, demi apapun, pria itu mencintai istrinya sekalipun belahan jiwanya itu kini tak sesempurna sebelumnya.
Hening. Myungsoo benar-benar ingin sendiri dan memikirkan semuanya. Myungsoo tahu, ibunya lebih mengerikan dari hal apapun jika dia sudah menginginkan sesuatu. Bukan... ibunya bukanlah seorang diktaktor. Namun dia adalah wanita yang ambisius, yang mampu melakukan segalanya tanpa meminta pendapat dari orang lain.
Bahkan tuan muda kaya raya dan pekerja keras itu membatalkan semua jadwal meetingnya hanya demi mendapatkan waktu seorang diri. Hingga dia tak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Tok... tok...tok...
Dan seketika keheningan di dalam ruangannya sirna ketika sebuah ketukan menghancurkan lamunannya.
"Masuk"
Woohyun, laki-laki tampan bersurai blonde yang sudah bekerja menjadi sekertarisnya selama 4 tahun belakangan itu masuk ke dalam ruangannya dengan sopan.
"Em... Maaf tuan, ini sudah pukul 8, apa anda tidak ingin pulang?"
Myungsoo memalingkan wajahnya. Kembali menatap kearah jendela dengan wajah suramnya. "pulang? Bahkan aku tak tahu bagaimana aku harus bersikap di hadapan istriku". Setidaknya kata-kata itu bergaung di dalam relung hatinya detik itu juga.
"Tidak, kau pulanglah lebih dulu..."
"Ah...baiklah, aku permisi tuan". Woohyun membungkuk singkat. Membalikkan badannya. Namun baru saja tangannya menyentuh handle pintu ruangan itu, dia berbalik.
"Tuan... sepertinya anda sedang ada masalah, apa anda ingin keluar bersamaku? Aku bisa menemanimu minum jika kau mau sekalipun mungkin aku tak bisa membantu apapun". Myungsoo menoleh, masih menampakkan raut datarnya, memandang woohyun tanpa maksud apapun, sedikit tertarik. "Aku yang traktir". Woohyun tersenyum lebar. Berusaha membuat tuannya merasa lebih baik.
.
.
.
Kedai Soju, Menjelang tengah malam...
"Jadi... apa kau juga memiliki masalah?". Myungsoo bertanya ketika woohyun menuangkan soju pada gelas milik bosnya itu.
"Bukankah semua orang memang memiliki masalah?". Woohyun tersenyum tipis. Menuangkan sojunya pada gelasnya sendiri.
"Apa masalahmu?"
"Hanya tentang keluargaku... bukan masalah yang besar"
"Pernah membaginya dengan orang lain?"
"Tidak... Aku menyimpannya sendirian, aku anak pertama, ayahku lumpuh selama bertahun-tahun, memiliki ibu yang sudah tua dan tak mampu lagi bekerja, keluargaku memiliki hutang jutaan won karena usaha ayahku bangkrut sebelum dia sakit, memiliki seorang adik angkat yang harus aku sekolahkan setinggi mungkin agar tak berakhir sepertiku yang bisa masuk perusahaan karena belas kasih pamanku yang kebetulan bekerja di perusahaan anda"
"Adik angkat?"
"Ya... anak dari teman ayahku saat mereka di kampung dulu, keluarga dari adik angkatku meninggal, dia sebatang kara karena seluruh keluarganya terkena wabah yang pada waktu itu menyerang desa. Hanya dia dari keluarganya yang selamat, ayahku merasa berjasa karena keluarganya pernah membantu keluargaku di saat sulit, mereka yang menampung seluruh keluargaku saat kami tak memiliki apa-apa, member ayahku tanah dan memintanya untuk mengurusinya, jadi sekarang aku harus memperlakukan adikku seperti keluargaku"
"Kau menyayanginya?"
"Sangat... ada saatnya aku merasa putus asa sampai rasanya ingin berhenti saja untuk menghidupinya, tapi... aku tidak bisa, dia adikku, aku menyayanginya, bahkan sangat menyayanginya"
"Apakah gaji yang kuberikan kurang?"
"Tidak, bukan seperti itu tuan, sungguh... jangan menaikkan gajiku hanya karena ceritaku. Aku bersumpah aku tak ingin menjilat, aku tak ingin mendapat kenaikan gaji jika memang belum saatnya, sungguh..."
Myungsoo terkekeh. Meraih gelas sojunya dan menuangkan cairan bening itu pada gelas kecilnya. Menelannya dalam sekali teguk. Sungguh, ini pertama kalinya dalam hidupnya dia meminum bir murahan seperti itu.
"Hah...seharusnya aku yang mendengarkan cerita anda kenapa jadi mulutku yang berbicara terlalu banyak".
Tak menjawab, hanya tersenyum tipis mendengar gumaman pelan sekertarisnya itu.
Hingga akhirnya...
"HYUNG!'
Suara itu, suara manis itu menggema di sekeliling mereka, woohyun menoleh, mengenali suara namja manis yang kini tengah berjalan tergesa menghampiri mereka.
"Hyung...kau baru pulang?"
Woohyun menatapnya. Bukannya menjawab dia justru menelisik tubuh sang adik. "Kau pulang malam lagi?apa yang kau lakukan? Ini sudah hampir pukul 10 malam"
"A-aku... aku baru saja pulang dari rumah sunggyu hyung, aku memintanya mengajariku matematika, sungguh"
"Ini adikmu?".
Suara berat itu menginterupsi perdebatan ringan mereka.
"Ah...kenalkan, Lee Sungyeol, adikku"
Merasa tidak kenal, sungyeol hanya menatap laki-laki yang berada di hadapan woohyun dengan tatapan aneh.
"Dia siapa?"
"Bosku"
"Oh...annyeonghaseo...". Namja manis itu tersenyum ramah, membungkuk singkat di hadapan bos dari kakaknya itu.
Dan myungsoo, laki-laki yang pembawaannya tenang itu berdiri, menatap sungyeol lekat. "Aku harap kita bisa bertemu di kemudian hari". Dan kemudian berlalu. Meninggalkan woohyun dan juga sungyeol di tempatnya. "Aku yang traktir malam mini". myungsoo meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. "Jangan menganggapnya sebagai bayaran. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku karena menemaniku malam ini"
Dan setelahnya laki-laki itu benar-benar melangkah menjauh, masuk ke dalam mobil hitamnya lalu menghilang dalam kegelapan jalanan.
PLAK!
"Apa kau diam-diam bekerja lagi hah?!"
"Ah...appo..."
Sungyeol meringis, mengusap belakang kepalanya yang baru saja mendapatkan sebuah pukulan dari sang kakak.
"Sudah kubilang aku baru saja dari rumah sunggyu hyung, kau kau tidak percaya telpon saja dia".
Dan namja manis berperawakan tinggi itu pergi, meninggalkan woohyun begitu saja tanpa sebuah kata.
"Ya Lee Sungyeol!"
.
.
.
Langkah pelan itu memasuki kamar gelapnya. Mendapati sang istri tengah tertidur dalam temaramnya lampu meja di ruangan itu. duduk perlahan di sisi ranjangnya, mengusap rambut halus sungjong, kemudian mengecup keningnya. Mengamati wajah cantik itu dengan tatapan tajamnya.
Myungsoo melepaskan sepatunya. Lalu merebahkan tubuhnya di sisi namja manis yang sudah bertahun-tahun lalu telah menemani hidupnya. memeluk tubuh ringkih yang baru myungsoo sadari kini semakin bertambah kurus. Diam, dia terdiam dalam jeda waktu yang lama.
"Sayang... Kau tahu? Aku bahagia memilikimu, kelebihanmu...kekuranganmu...sifatmu... aku bahagia menghabiskan waktuku bersamamu, tapi aku menghancurkan hidupmu, aku ingin menebus segala kesalahanku padamu dengan menghabiskan seumur hidupku bersamamu, tapi..."
Tanpa myungsoo sadari, mata milik namja manis itu terbuka, mata yang tak pernah tertidur bahkan sejak myungsoo menginjakkan kakinya memasuki ruangan itu.
"Menikahlah..."
Myungsoo tersentak, tak menyadari bahwa sungjong mendengarkan semua ucapannya.
"Sungjong..."
"Hanya sampai bayi itu ada bukan? Aku sudah memikirkannya sejak kau belum pulang, aku sadar aku bukan lagi seorang istri yang sempurna, aku tak bisa memberimu keturunan, dan jika hanya ini satu-satunya cara agar GookJoo tetap berjalan... maka aku akan membutakan kedua mataku dan menulikan telingaku sampai saat itu tiba...". Namja manis itu membalikkan tubuhnya. Memunggungi suaminya.
Sungjong menggigit bibirnya dengan kuat. Menahan suara isakannya agar myungsoo tak menyadari tangisnya. Namun justru laki-laki bersorot angkuh itulah yang memeluk sungjong lebih erat. Seperti ingin meremukkan tulangnya. Menangis, terisak hebat. "Jongie..."
"Aku baik-baik saja hyung... bukankah sebagai seorang istri yang tak memiliki apapun selain cintanya, aku memang tak berhak melarangmu"
"Aku mencintaimu... Sangat... bagaimana bisa aku..."
"Kau bisa... Aku mempercayaimu, aku akan menggenggam erat janji dan sumpahmu di atas altar kita 3 tahun lalu, aku tak pernah meragukanmu..."
Myungsoo terisak hebat. Lelaki itu runtuh. Menangis hingga dadanya sesak. Membuat punggung sungjong basah oleh air matanya.
"Menikahlah... aku ikhlas..."
.
.
.
Morning, pukul 08.00
Myungsoo berdiri di samping ranjangnya. Dengan sungjong yang dengan telaten tengah memasangkan dasinya. Mata elang miliki laki-laki bermarga kim itu tak henti-hentinya menatap lekat pada wajah sang istri yang bahkan tak menatapnya sedikitpun. Namja manis itu tengah serius memasangkan dasi suaminya.
"Nah...selesai. Berangkatlah..."
Sungjong tersenyum manis, merapikan kemeja hitam myungsoo. Dan kim myungsoo yang agung hanya mengecup singkat kening dan pipi sang istri dengan lembut. "Aku berangkat"
.
.
.
Florist, pukul 16.45
Mobil bercat hitam itu menepi. Sang pemilik memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah toko bunga yang ada di jalanan seoul sore itu. sang pemilik turun dari tunggangannya. Berjalan dengan santai setelah mengunci pintu mobilnya.
"Permisi...". sapanya pelan.
"Ah...ya, ada yang bisa saya bantu?". Sang pekerja beranjak keluar dari persembunyiannya.
"Rangkaikan sebuket mawar merah dengan 9 tangkai... Lee Sungyeol?". Laki-laki tampan itu menyipitkan matanya.
Merasa terkejut karena namanya terpanggil. Namja manis itu menatap lekat sosok yang berdiri di hadapannya. "T...tuan... ah tidak... bos...bukan...aduh..."
Myungsoo terkekeh. Merasa lucu atas sikap sungyeol yang terlihat menggemaskan dengan penuh kebingungannya. Menatap namja manis yang sibuk menggaruk belakang kepalanya.
"Kau bekerja disini?"
"Ah...nee, tapi...kumohon, jangan katakan apapun pada kakakku, dia akan membunuhku jika tahu aku diam-diam bekerja"
"Bukankah dia memang melarangmu?"
"Em...itu...ceritanya panjang, aku bingung bagaimana harus menjelaskannya"
Tiba-tiba merasa tertarik. Myungsoo. Melangkahkan kakinya menuju meja kasir dimana sang pemilik toko bunga itu tengah duduk. "permisi..."
"Ya?". Laki-laki paruh baya itu mendongak. Mendapati myungsoo yang berdiri di hadapannya dengan senyum tipis. "ada yang bisa kubantu?"
"Apa aku bisa membawa sungyeol keluar hari ini?"
"Maaf tuan, anda siapa? Dia sedang bekerja, anda bisa membawanya keluar setelah dia selesai bekerja"
"Terlalu lama". Myungsoo mengeluarkan dompetnya. Menarik keluar beberapa lembar uangnya. "Setahuku upah pekerja dalam satu hari adalah 4400 won bukan?". Ujarnya seraya menyerahkan uang 20 ribu won. "Anggap hari ini dia bekerja untukku, bayar 4400 won kepadanya, sisanya untukmu, jika kau mengambilnya anggap itu sebagai jaminan bahwa kau tak akan memecatnya besok". Dan kemudian myungsoo membalikkan badannya, mengambil langkah tegap nan panjangnya. Menarik pergelangan tangan sungyeol untuk keluar dari tempat bekerja tanpa bertanya apakah dia bersedia atau tidak.
"T...tuan..."
"Ikut aku"
.
.
.
Everland Park. Yongin, Gyeonggi-do
"Untukmu"
Sungyeol mendongakkan wajahnya. Menatap sosok pemilik tangan yang tengah menyodorkan sekaleng soft drink dingin tepat di depan wajahnya. "Kamsahamnida...". Ujarnya.
Myungsoo mengambil duduk di sisi sungyeol. Menatap beberapa anak kecil yang tengah bermain dengan orang tuanya malam itu. everland, hanya sebuah taman keluarga yang begitu ramai di kunjungi oleh orang-orang di saat cuaca sedang bersahabat seperti ini.
Myungsoo melepas jasnya. Melepas dasi dan juga menggulung kemeja hitamnya. Menyeruput kaleng soft drink yang ada di dalam genggamannya.
"Sebenarnya... apa yang ingin tuan bicarakan?"
"Tidak ada, hanya ingin menghabiskan waktu denganmu"
"T...tapi...kita tak saling mengenal"
"Tak masalah, aku cukup tertarik setelah mengetahui namamu, kau lucu"
"Lucu?"
"Ya..."
"Maaf... tapi itu cukup terasa aneh untuk menggambarkan tentangku, maksudku... aku tak pernah mendengar ada seseorang yang mengatakan bahwa aku lucu"
"Jadi aku yang pertama?"
"Hah?"
"Yang mengatakan kau lucu..."
Sungyeol mengernyit. Namun kemudian justru terkekeh. Dia tak tahu bahwa bos dari kakaknya yang memiliki wajah dingin itu bisa mengajaknya bercanda.
"Anggap saja aku menyelamatkanmu hari ini?"
"Menyelamatkanku? Aku merasa baik-baik saja"
"Aku menyelamatkanmu dari kebohonganmu kepada woohyun"
"Aku tidak..."
"Woohyun pernah menceritakan keluargamu, kesulitan kalian, sekolahmu, asal usulmu, ayahmu, ibumu, dan hutang-gutang keluarga kalian, kebangkrutan ayah kalian dan..."
"SI BRENGSEK ITU BERCERITA SEJAUH ITU!"
"Tenanglah... aku tak tertarik untuk menyebarkannya kepada siapapun, wartawan juga tak akan tertarik untuk meliputnya sekalipun aku berencana untuk menjual cerita keluarga kalian"
"Oh ya tuhan...si penjilat itu". Sungyeol memalingkan wajahnya, mendengus dan menggumam pelan.
"Jangan mengatakan penjilat... dia bekerja mati-matian untuk kalian... bahkan sekalipun dalam himpitan ekonomi, dia tak pernah sekalipun mau saat kutawari untuk kenaikan gaji jika dia merasa bahwa memang upahnya di atas pegawai lain, dia orang yang jujur"
Namja jangkung itu menunduk, membuka kaleng soft drinknya. Menyeruputnya hingga setengah. "Jadi...kau sudah tahu semuanya ya?"
"Sebagian, woohyun belum sempat mengatakan semuanya karena waktu itu kau datang dan menghampirinya"
Si manis itu menyunggingkan senyum tipisnya. Menggenggam kaleng soft drinknya lebih erat.
"Benar... aku sangat menyayangi kakakku sekalipun aku sering berselisih dengannya... Bagaimanapun, dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab, menghidupi seluruh keluarga termasuk menyekolahkanku hingga aku bisa masuk perguruan tinggi. Maka dari itu aku diam-diam mengambil pekerjaan sampingan jika waktuku senggang, aku tak ingin menambah bebannya, dia cukup tersiksa dengan berpura-pura menjadi orang sekuat itu. sekalipun aku tahu dia selalu memukul belakang kepalaku saat dia tahu aku bekerja diam-diam, aku memahami bahwa sikapnya tak lebih dari keinginan agar aku fokus pada belajarku dan lulus secepat mungkin"
Myungsoo menegakkan tubuhnya. Hatinya berdesir pelan ketika melihat siluet dalam temaram lampu taman yang menerpa wajah manis itu.
"Hutang-hutang keluargaku terlalu berat untuk dia tuntaskan sendirian"
"Kau tahu berpa jumlahnya?"
"tTdak, dia tak pernah memberitahuku, tapi mengingat usaha kerasnya untuk mencicil agar rumah kami tak diambil, mungkin nominalnya sekitar 15.000.000 won. Itu setara dengan rumah kami"
Entah, bahkan malaikatpun tak tahu apa yang sedang laki-laki tampan itu pikirkan. Menatap wajah sendu dengan tatapan sayu itu, tiba-tiba saja tangannya bergerak. Meraih puncak kepala sungyeol, menyentuhnya dengan halus. "Aku bisa melunasi hutang keluargamu"
Sungyeol tersentak oleh pergerakan tangan myungsoo yang tiba-tiba saja sudah berada di puncak kepalanya. Membuat sungyeol menoleh dengan cepat ketika mendengar ucapan ringan penuh arti yang myungsoo lontarkan dan tertangkap oleh indra pendengarannya. "Ini bukan karena woohyun adalah pegawaiku, aku tak akan sebaik itu sekalipun dia keluargaku"
Sungyeol mengernyit. Tak berusaha menepis tangan myungsoo yang kini tengah meraih pipi gembilnya.
"Aku akan membantumu jika kau bisa membantuku"
"Apa...maksud tuan?"
"Aku mebutuhkan seorang anak"
"Anak? Tapi... tunggu, apa kau tertarik untuk mengadopsiku? Begitu?". Sungyeol sedikit terbelalak. Antara kaget dan bingung. Raut wajah lucunya justru membuat myungsoo tersenyum tipis. Sedikit merasa lucu atas pemikiran polos dari namja manis yang tengah duduk di hadapannya.
"Tdak... aku memiliki seorang istri yang tak bisa memberiku keturunan, keluargaku membutuhkan penerus perusahaanku, tapi dia tak akan sanggup memberiku bahkan satu anak sekalipun, aku tak pernah mengenal orang lain selain dia... dan kau... aku merasa 'aman' saat di sampingmu"
"Tunggu, aku masih tak bisa menangkap maksud dari ucapanmu tuan"
"Menikahlah denganku"
"Hah?!"
"Aku menginginkan seorang anak darimu"
.
.
.
To Be Continue..
