Mi Bello Profesor
Mi Bello Profesor © I C h o y u
Hetalia © Hidekazu Himaruya
Spain x Romano

i've warned you about the OOC, alur yang terlalu cepat atau bahkan terlalu lambat, yaoi/BL, typo or misstypo
don't like don't read


Lovino melangkahkan kakinya menuju stasiun. Hari itu cukup cerah, meski Lovino membawa sebuah payung lipat di tasnya. Itu akibat ulah adik tercintanya—Feliciano—yang selalu mencemaskan keadaan Lovino dengan berbagai imajinasi liar tentang sang kakak nanti di perjalanan. Bawa payung, nanti hujan. Bawa map plastik ini, biar dokumennya tidak kebasahan. Bawa bekal sendiri, siapa tahu nanti kelupaan dompet. Jangan simpan semua uang di dompet, siapa tahu nanti dompet itu dicuri. Dan sejuta kecemasan lainnya.

Oh, dia bukan bocah ingusan yang mesti diingatkan ini dan itu. Feliciano saja terlalu berlebihan.

Lovino mendengus dan mempercepat langkahnya. Ini hari pertamanya bekerja. Menjadi seorang guru fisika di sebuah perguruan tinggi, Hetalia Private School. Lovino sangat senang menerima fakta bahwa proposal lamaran kerjanya diterima oleh sekolah privat setenar Hetalia Private School, dan ia akan pastikan bahwa ia bekerja sebaik-baiknya nanti.

Seperti yang Lovino jelaskan tadi, cuaca cukup cerah sampai akhirnya ia merasa pundaknya ditepuk oleh seseorang. Lovino menoleh dan kedua iris sewarna hazel tersebut mendapati sesosok pemuda yang jauh lebih tinggi darinya. Kulitnya tampak eksotis, terbakar matahari, bukan hitam. Tapi kecokelatan menggoda. Kedua mata yang berbinar nakal itu dibingkai oleh rambut cokelat bergelombang yang terpotong pendek. Acak-acakan. Pemuda itu berseragam dan menenteng sebuah tas. Senyumnya terkembang seakan berusaha menunjukkan seluruh pesona yang ia miliki.

"Ya?" Lovino memutar badannya sehingga ia berdiri berhadapan dengan pemuda asing itu. Poin tambahan untuk nada bicaranya yang dibuat-buat seakan dia adalah orang yang penuh wibawa. Latihan yang bagus untuk menghadapi calon murid-muridnya nanti di sekolah. Harus dipraktekkan.

"Woah, kau imut sekali. Sangat manis." puji pemuda itu, masih dengan senyum cerahnya.

Lovino merasa jengah. Ini kali pertamanya ia dipuji 'imut' dan 'manis'. Oleh seorang berjenis kelamin yang sama pula. Sebagai laki-laki, ia merasa jiwa kelelakian dan harga dirinya terlukai oleh ucapan pemuda asing tersebut. Pipinya merona menahan marah, ekspresinya sengaja ditekan agar pemuda ini tidak melihat kemurkaan seorang Lovino.

Dan belum sempat Lovino melanjutkan kata-katanya, pemuda itu sudah menggenggam tangan Lovino. Kulit mereka terlihat kontras ketika bersentuhan.

"Kalau kau tidak keberatan, dan masih single, maukah kau menjadi kekasihku?" kata pemuda itu tanpa berbasa-basi lagi. Lovino menganga. Demi Tuhan, di hari pertamanya bekerja, ia sudah dihampiri oleh pemuda asing yang nampak ababil dan lebih parahnya lagi homo. Ini sudah keterlaluan. Ia masih menyukai gadis-gadis. Lovino menggeram kesal, siapa tahu pemuda ini salah mengenalinya sebagai perempuan.

"Aku laki-laki." Lovino menjebikkan mulutnya kesal, mengingatkan, berusaha menekan nada suaranya agar terdengar normal. Pemuda itu masih berdiri di sana, masih dengan senyumnya yang itu-itu saja.

"Ya, aku tahu." sahut pemuda itu polos. "Dan aku tidak keberatan kalau pun kau laki-laki." lanjutnya dengan nada tanpa dosa.

Bagai disambar petir di pagi yang cerah ini. Lovino speechless. Ia mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Berusaha sabar itu sebenarnya sangat tidak Lovino. Lovino maju mendekati pemuda asing itu dan menaikkan tangannya sampai sebatas dada, mengepal tinjunya.

"Kau lihat ini apa?" tanya Lovino pelan dan penuh emosi ke arah tinjunya. Ia mengusahakan wajahnya terlihat se-stoik mungkin.

"He?" pemuda itu bersuara polos dan mendekatkan wajahnya ke arah tinju Lovino. Tanpa rasa curiga sedikit pun. Ekspresinya saja innocent begitu. "Apa?" tanyanya lagi.

Dan kejadian berikutnya sudah bisa diterka. Lovino menghantamkan tinju mautnya ke arah hidung pemuda asing tersebut yang kebetulan memang searah dengan kepalan tinjunya. Dengan suksesnya, pemuda itu tersungkur di trotoar. Jangan salahkan dia. Lovino tidak ingin menjadi sasaran pemuda asing yang ababil dan homo di pagi yang cerah ini. Meski harus Lovino akui, pemuda itu sangat tampan. Lovino melangkah besar-besar meninggalkan pemuda itu. Ada kereta di stasiun yang harus ia kejar. Kereta itu masih jauh lebih penting dari pada pemuda homo.

Kedua pasang iris hijau cantik yang berkilau itu menatap sosok Lovino yang menjauh. Masih dalam posisi tengkurap di jalan dengan hidung yang mengeluarkan darah—nosebleed akibat tinju maut Lovino. Pemuda itu menutupi darah yang mengalir dari hidungnya dengan tangan, ia tak begitu perduli. Toh, dalam keadaan nosebleed sekali pun tidak akan mengurangi kadar ketampanan dan keseksiannya.

"Dia manis sekali." pemuda itu bangkit dari posisinya semula dan membersihkan debu yang menempel di seragamnya, tak lupa mengambil sapu tangan yang selalu ia bawa dan membersihkan darah yang merembesi hidungnya. Kemudian melangkah santai menuju sebuah mobil hitam berkilat yang diparkir sembarangan di pinggir jalan, tak jauh dari tempatnya tersungkur tadi.

"Tuan muda, tidak apa-apa?" tanya seseorang berseragam sopir yang rapi ketika kaca mobil mewah tersebut diturunkan. Pemuda itu mengangguk seraya tersenyum. "Bisa kita ke sekolah sekarang juga sebelum tuan besar marah?" tanya sopir itu lagi.

Pemuda itu terkekeh dan mengangguk. Segera ia masuk ke dalam mobilnya dan mobil mewah itu pun melesat di jalanan.


Mi Bello Profesor
Mi Bello Profesor © I C h o y u


Lovino mendengus kesal. Ia telah memasuki gedung sekolah privat yang mewah tersebut. Tak henti-hentinya makian dan serapah ia lontarkan dalam hati, akibat kejadian naas yang menimpanya tadi pagi. Namun, Lovino masih berusaha menjaga image-nya sebagai calon guru fisika dari sebuah sekolah privat yang tenar. Ia menggenggam tasnya erat. Lovino memutuskan untuk langsung ke ruang guru saja. Ia malas beramah tamah dengan calon muridnya. Itu cukup dilakukan nanti, di kelas saja.

Dalam perjalanan menuju ruang guru, ia bertemu dengan seorang guru kenalannya. Seorang laki-laki yang tampak muda dengan rambut panjang yang diikat satu ke belakang. Senyumnya cerah, ia membawa tas yang bermodel sama dengan milik Lovino. Dan, apa itu? Stiker panda? Lovino mengusap matanya, mengira ia salah lihat.

"Lovino—" sapa laki-laki itu seraya mendekat ke arah Lovino.

"Yao." Lovino membetulkan letak tasnya. "Ruang guru dimana, ya?" tanyanya akrab. Wajar saja, karena Yao satu apartemen dengannya, bertetangga pula. Yao-lah yang sudah berjasa menawarkan lowongan kerja ini pada Lovino. Yang diterima dengan senang hati oleh tertua Vargas tersebut.

"Aku juga mau kesana, aru. Bagaimana kalau kau ikut saja denganku." tawar Yao. Entah mengapa Lovino merasa bahwa orang ini adalah malaikat yang telah banyak membantunya belakangan ini.

"Ya."

Yao tak henti-hentinya bercerita tentang murid-murid yang ia ajar di kelasnya. Lovino hanya menanggapi sekenanya saja, ia fokus berjalan. Koridor tersebut penuh dengan murid-murid yang asyik berbincang dan melakukan aktivitasnya masing-masing. Mereka terus melangkah sampai akhirnya terhenti di sebuah ruang yang memiliki daun pintu ganda serta papan kecil yang berada di pinggiran atasnya. Papan tersebut bertuliskan 'ruang guru'. Yao membukakan pintu untuk Lovino. Mereka masuk dan Yao langsung ke tempat duduknya, mempersiapkan bahan ajar untuk kelasnya nanti. Lovino yang masih agak bingung, berdiri saja di sana. Sampai akhirnya seorang guru lain yang terlihat lebih senior menghampirinya.

"Perkenalkan, namaku Vash Zwingli." kata laki-laki berambut blonde itu. Lovino mengangguk.

"Lovino Vargas." sahut Lovino singkat.

"Guru baru itu ya? Baiklah." Vash kembali ke tempat duduknya dan mengambil tumpukan kertas yang distaples menjadi satu. Ia kembali ke arah Lovino sembari membolak-balik kertas-kertas tersebut. "Kau nanti carilah bangku sendiri di sana." tunjuk Vash ke arah deretan bangku yang berisi sebuah papan yang tergantung di atasnya. Papan yang bertuliskan 'Departemen Fisika' tersebut berukuran sedang dan tipis dengan background berwarna hitam dan font yang dicetak putih. Di bawah papan tersebut, ada sekitar sepuluh bangku yang berjejer membentuk bilik-bilik kecil yang dibatasi. Ada beberapa bilik yang sudah terisi, namun ada satu yang masih kosong.

"Baiklah, tuan Vargas, menurut jadwal ini, kau mulai bekerja hari ini di kelas sebelas A. Jadwal jam kerjamu sudah ditempel di bilik kerjamu." terang Vash panjang lebar, ia masih membolak-balik kertas-kertas yang ia bawa. Kedua iris hijaunya mengikuti arah jemarinya yang menyusuri tiap tulisan yang ada di kertas tersebut. "Ada pertanyaan?" Vash mengambil kacamata baca dari saku kemeja yang ia kenakan dan memasangnya, sesekali menaikkan kacamata tersebut.

"Sepertinya... tidak." Lovino nampak bosan meladeni Vash yang notabene to the point. Sebenarnya ia memang malas meladeni semua orang—sifat buruk seorang Lovino.

"Selamat bekerja." Vash menaikkan sebelah tangan seraya berjalan kembali ke bangkunya. Lovino mengangguk sebelum ia melangkah enggan ke bangkunya sendiri. Ia meletakkan barang-barangnya dan mulai menyusun beberapa buku dengan rapi di bilik miliknya. Melihat jadwal, dan memastikan ia mendapat tugas mengajar di jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran ketiga. Satu jam pelajaran adalah empat puluh lima menit. Lovino duduk di bangkunya setelah memastikan semua barang ada pada tempatnya. Ia juga akan membawa barang-barang lainnya kemari besok. Barang-barang yang memang belum sempat ia bawa hari ini.

Melirik jam tangan, kedua iris hazel tersebut menutup sebentar. Berusaha mengenyahkan kejadian tadi pagi yang kembali terputar dan bercokol dalam pikirannya. Lovino menutup wajahnya, berusaha tidak menghiraukan apa-pun-itu-pemuda-asing-ababil-yang-homo.

Ya, ia harus fokus pada pekerjaannya.


Ia melangkah penuh percaya diri, sembari menenteng beberapa buah buku sebagai bahan ajarnya nanti. Setelah diberi macam-macam petuah oleh Yao, Lovino mengangkat dagunya penuh keyakinan. Berhenti di sebuah pintu yang juga memiliki dua daun pintu berbahan kayu yang berwarna cokelat gelap, Lovino yakin bahwa itulah kelas yang harus diajarnya. Papan petunjuknya berada di pojok atas pintu, persis seperti letak papan petunjuk pada ruang guru. Tulisan petunjuknya menampakkan font yang berbentuk cantik dan rumit, namun jelas terlihat '11-A' yang ada di sana.

Lovino membuka pintunya, ia berjalan ke arah meja guru yang ada di pojok depan kelas—tepat di seberang pintu. Whiteboard yang bersih ia lewati ketika menuju mejanya. Lovino meletakkan buku-buku yang ia bawa seraya berdiri menghadap ke arah murid-murid yang akan ia ajar.

"Selamat pagi." sapa Lovino. "Namaku Lovino Vargas, aku akan mengajar kalian di mata pelajaran fi—"

Belum sempat Lovino menyelesaikan kata-katanya, seorang murid sudah bangkit dan menunjuknya dengan wajah sumringah. Sebuah plester luka nampak menghiasi hidung mancung yang terukir sempurna tersebut. Sinar matanya sama dengan yang tadi. Lovino terkesiap kaget demi melihat siapa muridnya yang kini berdiri dan mendapat pandangan penuh tanda tanya dari teman-teman sekelasnya.

"Kita bertemu lagi~" kata pemuda itu senang. "Salam kenal, Lovino! Wah, namanya juga imut sekali, seimut orangnya." puji pemuda itu. Ya, matanya berbinar nakal. Serasi dengan senyum menggoda hati itu.

'Sial.' batin Lovino. "Tolong panggil aku dengan sebutan yang sewajarnya, mengerti?" geram Lovino dengan tatapan ingin membunuh pemuda tersebut.

"Baik, Mr. Vargas!" serunya bagai bocah yang menurut setelah diberi permen. Semua murid lainnya jadi ikut ribut, entah itu memperbincangkan apa, Lovino tak tahu, dan tak ingin tahu. Lovino masih berusaha menekan tensinya agar tidak meledak di kelas. Sebagai guru, ia harus tahu dan memahami situasi. Kesan pertama itu penting.

"Sekarang, kalian buka halaman tiga puluh lima, chapter dua." Lovino menyambar spidol yang ia bawa dan berjalan mendekati whiteboard dengan kesal. Baru saja ia ingin mengenyahkan bayangan pemuda asing ababil dan homo yang ia temui tadi pagi, ia malah ditampar oleh kenyataan bahwa sekarang pemuda tersebut adalah salah satu dari muridnya. Sial. Lovino membatin kesal penuh perhitungan.

'Bersamanya selama dua jam lebih dua puluh lima menit? Aku bisa gila!'


Bel sudah berbunyi dua kali. Murid-murid mulai meninggalkan kelas, satu per satu. Istirahat. Bel penyelamat bagi seorang Lovino. Selama mengajar, ia merasa bagai dikuntit oleh stalker yang tidak henti-hentinya tersenyum bodoh ke arahnya. Lovino memang sengaja tidak melihat atau menoleh ke arah murid yang kebetulan ia ketahui bernama Antonio Fernandez Carriedo ketika ia mengabsen tadi. Benar-benar. Ini adalah kebetulan yang mengerikan. Lovino sedikit bergidik demi membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi padanya nanti.

Perutnya terasa sedikit berbunyi. Lovino memutuskan untuk membeli roti saja di kantin. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa tidak lapar. Bekal pasta buatan Feliciano yang sangat lezat itu pun tidak menggugah selera Lovino. Tetapi ia harus makan kalau tidak ingin pingsan di kelas selanjutnya. Untung pada jam berikutnya ia tidak lagi mengajar di kelas horror tersebut. Lovino menghela nafas lega, sampai akhirnya ia merasa jantungnya berhenti berdenyut ketika sebuah suara yang sangat familiar menyapa dari kejauhan.

"Mr. Vargas, tunggu! Mau makan siang?"

Tapi Lovino malah mempercepat langkahnya, setengah berlari.

Pemuda itu mencegahnya dengan sigap. Antonio mengejar Lovino dan melompat ke arah laki-laki mungil tersebut—menerkamnya dari belakang dan memeluk Lovino. Untung saja Lovino tidak jatuh ke depan. Kedua tangan langsing yang kekar itu melindunginya.

"Lepaskan aku, chigi!" Lovino memaki setengah berteriak, memberontak dalam pelukan Antonio.

"Tidak mau~" Antonio tidak sadar kalau maut telah menanti ketika ia menyelesaikan kata-katanya. Lovino bersiap-siap memberi pemuda itu serangan dadakan berupa sodokan di perut atau tonjokan di pipi.

"Lepaskaaaaaan!" sekali lagi, Lovino memberontak dan akhirnya Antonio terpaksa melepas pelukannya. Lovino memajukan mulutnya beberapa senti dan dengan kesal menatap Antonio. Namun, justru ekspresi itulah yang membuatnya lebih lucu—menurut Antonio.

"Kenapa kau tidak berhenti menggangguku?" Lovino menahan suaranya agar ia tidak berteriak di koridor yang ramai ini. Banyak murid dan guru berlalu-lalang disini. Terlalu ramai untuk memulai kejadian selayaknya adegan telenovela.

"Mengganggu?" Antonio memiringkan kepalanya polos. "Aku 'kan sudah bilang kalau aku menyukaimu, Mr. Vargas~" lanjut Antonio dengan santai. Wajah Lovino sedikit merona menahan malu yang amat sangat. Beraninya ia menyatakan perasaan di koridor yang sedang dalam keadaan ramai ini.

"Apa kau sudah gila?" Lovino memutar kedua bola mata hazel-nya. "Apa untungnya menjadi homo? Coba kau lihat—" penekanan pada kata 'homo'. Lovino menarik wajah Antonio dan memutarnya perlahan ke arah jendela besar yang berada di seberang koridor tersebut. Dan kebetulan sekali, jendela besar itu menghadap ke arah lapangan tenis yang luas di halaman sekolah ini. Klub tenis juga kebetulan sedang berlatih disana.

"Lihat." kata Lovino melepaskan kedua tangannya dari pipi Antonio. "Gadis-gadis itu." Lovino menunjuk seluruh pemain tenis perempuan yang asyik dengan kegiatannya. "Ooooh, klub tenis." Antonio mengangguk pelan. "Ya aku tahu, anggotanya cantik-cantik~" Antonio memberi penilaian jujur terhadap anggota klub tenis perempuan sekolah mereka. Memang, anggotanya cantik-cantik, baik itu senior atau junior di klub tersebut. Tapi jujur saja, ia tidak tertarik.

Lovino mengangguk membenarkan. "Sekarang coba perhatikan pinggul itu." tunjuk Lovino ke arah seorang gadis yang menggunakan rok paling pendek di antara gadis-gadis anggota klub tenis lain. "Pinggul yang sehat, menunjukkan bahwa gadis-gadis itu memiliki tingkat fertilisasi yang tinggi." jelas Lovino secara gamblang, tanpa kalimat kiasan.

Antonio hanya diam dan mendengarkan, tanpa mengerti arti sebenarnya yang dimaksud oleh Lovino. Ia memaksakan otaknya yang polos itu bekerja—memproses seluruh penjelasan Lovino barusan.

"Apa yang kau dapatkan dari hubungan sesama jenis yang sama sekali tidak menghasilkan apa pun?" Lovino menyilangkan kedua tangan di depan dada. Kedua bola matanya menatap liar ke arah Antonio. Ia menilai muridnya yang satu ini. Dan menyimpulkan bahwa muridnya ini sangat tampan. Jadi, apa yang bisa ia harapkan dari seorang pegawai swasta—guru—biasa yang kebetulan mengajar di sebuah sekolah privat mewah dan pulang pergi ke tempat kerja dengan kereta bawah tanah? Harus Lovino akui bahwa pemuda ini menyia-nyiakan apa yang ia miliki. Dasar bodoh.

Sekilas Antonio nampak menatap nanar ke arah Lovino yang masih dengan pose yang semula. Menyilangkan tangan di depan dada. Bibir tipis dan mungil yang maju beberapa inci demi menunjukkan kekesalan. Antonio menepuk sebelah tangannya, bagai mendapat sebuah pencerahan—

"Jadi, Mr. Vargas menyukai gadis yang memakai rok mini?" tebak Antonio salah.

—yang berakhir dengan sebuah sundulan kepala tepat di perut andalan Lovino. Antonio mengerang kesakitan sambil memegang perutnya.

"Bukan itu, dasar chigi!" sekali lagi, guru muda itu memaki Antonio. Yang dimaki hanya bisa tersenyum manis ke arah pujaan hatinya. "Maksudku lebih baik kau mencari gadis saja untuk dipacari, dan jangan ganggu aku lagi!" usai memberi finishing blow, Lovino melangkah menjauhi muridnya. Lebih baik ia pulang sekarang dari pada otaknya ikut-ikutan tidak waras. Kegilaan kadang memang bisa menular lewat distorsi udara. Dan Lovino takut hal itu terjadi pada otaknya yang masih waras.


Baik, kembali ke kehidupan semula, Lovino hanya bisa mendengus sadis. Ia masih normal. Masih menyukai gadis-gadis—meski pun masih berstatus single sekarang. Kemarin, sebuah kejadian yang tidak biasa ia alami. Dan jangan sampai terulang kembali pada hari ini. Jangan sampai. Lovino berjanji akan pergi ke Gereja untuk berdoa dan menyucikan dirinya agar kesialan pergi menjauh. Oke, itu pengungkapan yang berlebihan. Ia hanya akan berdoa pada Tuhan agar kejadian kemarin tak terulang lagi.

Kemarin ia pulang lebih cepat. Ia berjanji pada Feliciano bahwa ia akan pulang jam enam sore, sebelumnya. Itu semua gara-gara ulah Antonio—murid chigi itu. Kalau ia tidak pulang, Antonio pasti kerap mengganggunya karena ia berani menjamin bahwa murid itu tidak akan segan masuk ruang guru demi melihat dirinya. Feliciano tampak panik ketika melihat kakaknya yang pulang dengan tampang kusut—mengira bahwa sang kakak dipecat pada hari pertamanya bekerja. Dan dengan sukses, si adik mendapat cubitan penuh cinta di pipi karena menanyakan hal bodoh tersebut pada Lovino.

Lovino melirik jam weker yang menunjukkan pukul tujuh. Dua jam lagi ia harus pergi bekerja. Dan dua jam lagi, ia pastikan bahwa ia akan bertemu mahluk aneh bin ajaib tersebut. Lovino mengurung dirinya dari kemarin di kamar—setelah pulang bekerja dan sebelumnya sempat melempar barang yang ia bawa begitu saja di lantai. Feliciano sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar sang kakak demi memberi tahu bahwa kakaknya harus makan kalau tidak ingin penyakit maag yang diidapnya kambuh. Tapi dihiraukan begitu saja oleh Lovino. Ia sungguh malas melakukan apa pun saat itu. Ia hanya berganti baju dengan piyama dan tidur tengkurap di ranjang sampai pagi ini.

Dan ia terbangun. Sepertinya masih bernafas. Jam itu menunjukkan pukul tujuh. Dia harus mandi. Lovino bangkit dan menyeret-nyeret kakinya malas menuju kamar mandi yang ada di luar kamarnya. Feliciano yang saat itu sedang membuat roti bakar, susu, dan secangkir kopi untuk sang kakak, menghampirinya dengan wajah cemas.

"Fratello tidak apa-apa 'kan?" desahnya. Ia sampai lupa kalau roti tawar dalam panggangan itu harus dibalik sebelum menjadi arang.

Lovino menatap adiknya sebentar. "Tidak." dan menepuk pelan kepala Feliciano. Feliciano diam saja. Ia tidak lagi bertanya. Adik Lovino itu pun kembali pada panggangannya.

"Ve~" Feliciano membalik roti tawar yang ada dalam panggangan, kemudian kembali memanggangnya. Teringat akan sesuatu, akhirnya ia melirik kakaknya yang mendekati meja makan—melirik tanpa nafsu ke arah kopi yang biasanya menjadi favoritnya itu. "Fratello, apa fratello ada janji dengan teman?" tanya Feliciano seraya mengeluarkan berbotol-botol selai dengan berbagai macam rasa dari kabinet dapurnya.

"Tidak." jawab Lovino sambil menatap adiknya heran. "Memangnya ada apa?" mengambil cangkir kopi setelah memaksakan kehendak untuk meminumnya sampai akhirnya cangkir tersebut berhenti di depan bibir mungil Lovino, ia lebih memilih menjawab pertanyaan adiknya terlebih dahulu.

"Um... ada yang menunggu fratello di depan apartemen." Feliciano mengambil sebuah piring dan meletakkan dua lembar roti yang sudah selesai dipanggang disana. Tangannya kembali merogoh kantung roti tawar dan mengeluarkan dua lagi. Memasukkannya ke pemanggangan dan menekan tombol 'on'. "Mobilnya mewah sekali, veeee!" lanjut Feliciano bersemangat.

Biarkan otaknya memproses. Lovino meminum kopinya demi menenangkan syaraf-syaraf yang mulai menegang akibat ucapan Feliciano. Memangnya, siapa yang akan menjemputnya pagi-pagi begini? Membuat janji saja ia tidak pernah. Lovino memutuskan untuk menghiraukan mobil yang mencarinya dan mengisi perut terlebih dahulu. Tentu saja dirinya lebih penting. Feliciano mengoleskan custard kesukaan Lovino di atas roti bakar kakaknya dan kemudian menyuguhkan sarapan untuk Lovino.

Tidak seperti biasanya, Lovino makan lebih cepat. Feliciano menatap kakaknya terheran-heran dari balik konter dapur. Ia tidak tahu kalau kakaknya suka selai stroberi sampai ia melihat sang kakak tanpa sadar menyantap jatah sarapannya juga. Well, Feliciano memang suka selai stroberi. Padahal biasanya Lovino akan langsung meluncurkan protes kalau rotinya diolesi selai selain custard yang ia suka. Ia benar. Kakaknya berubah menjadi aneh sejak kemarin.

Lovino meletakkan cangkir kopi kosong seraya melangkah ke arah pintu utama apartemennya. Bertujuan melihat orang yang lancang menjemputnya pagi-pagi begini, Lovino sudah menyiapkan segudang kata-kata pedas, cacian dan makian yang akan ia berikan pada orang tersebut. Laki-laki itu masuk ke dalam lift dan memencet tombol yang akan membawanya ke lantai dasar apartemen. Dan ketika mendengar bunyi 'ting', Lovino langsung melangkah besar-besar keluar dari lobby apartemennya.

Feliciano benar. Ada sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir di sana, di parkiran apartemen. Lovino menghampiri mobil tersebut, memasang wajah tersangar yang ia miliki dan menghampiri siapa-pun-itu-yang-tidak-tahu-diri-mengganggu-paginya-tanpa-membuat-perjanjian-dahulu. Belum sempat Lovino mengetuk kaca mobil tersebut, pintu dari arah bangku kemudi terbuka, tepat di hadapannya. Lovino membelalak dan hampir terjengkang ke belakang ketika mendapati orang yang keluar dari dalam mobil mewah tersebut.

"C-C-C-Carriedo?" tunjuk Lovino frantik. Ekspresi sangarnya langsung luntur seketika.

"Pagi, Lovinito~" sapa pemuda itu membungkuk kecil dan menaikkan sebelah tangan, membentuk gestur hormat dengan senyum secerah matahari. "Piyama motif beruang itu manis sekali~"

Lovino mendelik dan mendapati piyama yang membungkus tubuhnya. Bukan miliknya. Ini milik Feliciano, sebelum akhirnya berteriak memecah keheningan pagi—

"AAAAAAAAAAAAAAAAARRRGGGHHH!"

to be continued...


A/N hiatus kelamaan ternyata bisa membuatmu lupa ingatan, dan itulah yang terjadi padaku ; A ;
oke, fic ini adalah persembahan sebagai pengganti dari beberapa fic-ku yang di-discontinue secara sepihak, fic complete yang dihapus secara brutal
salahkan saja kemalasanku ouo #bletak
maaf kalau offering fic ini masih banyak kekurangannya, mohon kritik dan saran, dan review tentunya #dor
sampai jumpa di chapter berikutnya, adios ~