'Dawn of Triad'

Katekyo Hitman Reborn – Amano Akira

Rating: T – M (later~)

Genre&Warning: Suspense, Crime, Tragedy, Drama, Supernatural, Beberapa OC, maybe OOC, TYL!Universe, Dark/Mafia Theme. No profanity. NO PAIRING.

Summary: Kecelakaan misterius dari 'rencana' yang dimainkan oleh jaringan tergelap di masa lalu, musuh dalam sejarah berdarah Vongola. Apa tujuan mereka sebenarnya? Sisi lain dari dunia yang tidak nampak, serta kisah lain dari kehidupan yang tidak pada tempatnya.

Langsung aja yuk~ XD

.

.

.

.

.

Pukul delapan lewat seperempat. Sosok serba hitam itu tiba dari pintu besar berpenjaga dua bodyguard kekar. Langkah mantap berayun memasuki ruangan megah yang telah diubah menjadi arena pertarungan. Suasana sekelilingnya sangat ramai dan riuh dengan beragam seruan dari campur aduk bahasa, meski yang terdengar masih mendominasi Italian. Orang-orang berdesakan di sekitar lingkaran merah yang dibuat sebagai batas arena bertarung.

Didalamnya, dua petarung saling lempar berbagai teknik tonjok, menjual segala kemampuan bertinju hingga salah satu meraih knockout.

Satu pukulan melayang telak rahang bawah. Sorakan bergema semangat 'Yes!' dan sebagian berteriak 'Oh, no!' dengan kadar depresi sedikit meninggi saat melihat sang jagoan tumbang di arena. Segala simpang siur pembicaraan beraroma transaksi ikut andil di beberapa sudut, sementara sebagian sibuk dengan beragam tawaran yang lain.

Pria berbaju hitam menyelinap di antara kerumunan massa, melewati seorang pria yang sama antusiasnya dengan pertunjukkan.

"Jadi, kau sudah siap?" kata pria itu semangat sambil meninju lengan teman disampingnya.

"Hu uh?" Ryohei berpaling dengan muka bloon. Fokusnya sedari tadi masih pada layar ponsel yang menampilkan sebuah pesan singkat dari Gokudera – tentunya berisi sedikit nada marah-marah – menanyakan keberadaan dirinya sekarang.

"Kubilang, apa kau sudah siap bertarung. Setelah ini giliranmu." kata si pria berambut ikal sambil melipat tangan.

"Oh! Sorry, Adelio. Nggak mudeng. TENTU SAJA AKU SIAP TO THE EXTREME!" seru Ryohei dengan sebelah tinju terkepal di depan dada. Suara toa yang khas miliknya masih kalah dengan keramaian sekitar. Adelio sudah cukup terbiasa dengan kebisingan sehingga ia tidak perlu lagi mengusap-usap telinga nya seperti kebiasaannya saat pertama kali bertemu.

Adelio adalah anggota eksekutif keluarga mafia Castano yang merupakan salah satu aliansi 'terdekat' Vongola. Ia dan Ryohei sudah berteman cukup lama. Bertipe flame yang sama, dan saling membantu mengumpulkan informasi guna kepentingan masing-masing keluarga. Tentu saja dengan tidak meninggalkan tugas dan kewajiban yang bisa mencelakai keluarga dan tetap setia menjaga rahasia. Belakangan, mereka sering bertemu dan bertukar informasi di sini, klub bertarung di Napoli, tempat strategis untuk berkumpulnya para eksekutif muda yang hobi bertarung sampai mafioso yang gila judi.

Ryohei juga pernah mengajak Hibari ke tempat ini dengan alasan pria itu membutuhkan sarana latihan untuk menguji kekuatannya. Hasilnya tidak usah ditanya. Meski pria stoic itu beberapa kali 'merengek' tentang betapa berisiknya tempat itu, toh ia tetap mau datang sambil tebar pesona penuh teror membunuh yang sangat ditakuti semua lawannya, yang sebagiannya sudah KO bahkan sebelum dimulainya pertarungan. Berhadapan dengan Hibari adalah mimpi buruk mereka. Hal itu lantas menjadikan dirinya idola di kalangan pemegang taruhan karena dirinya tidak pernah terkalahkan. Ryohei bisa maklum tentang betapa kuatnya Hibari, sedangkan Hibari sendiri nampaknya cukup menikmati.

"Kenapa rekanmu yang gila tarung itu tidak ikut hari ini? Padahal dia sudah jadi favorit disini."

"Hibari ada urusan. Lagipula dia tidak terlalu suka kerumunan."

"Hm, begitu." Dengung Adelio. "Tapi jujur saja, aku agak khawatir dengan yang akan kau hadapi malam ini. Dia dikabarkan sebagai juara bertahan di Hong Kong. Berjiwa sportif dan sangat tangguh. Memang itu tipikal sifat yang seharusnya dimiliki setiap petarung, tapi ia memiliki tekad baja yang berbeda dari orang lain. Ia disebut sebagai yang terkuat dan belum pernah dikalahkan hingga sekarang. Dia bahkan sampai dijuluki 'Macan Asia'."

"WAH! Serius?! Berarti dia sungguh sangat kuat dong!" Ryohei nyaris tidak percaya. Kalau begitu berarti orang itu memang lawan yang pantas untuk Hibari.

"Sekilas informasi saja. Dia masih bujangan. Usianya hampir kepala tiga, Agustus nanti. Ia punya seorang adik perempuan yang sekolah di Singapura. Katanya, alasan dia datang jauh-jauh dari Hong Kong ke Italia adalah untuk bertemu dengan adiknya yang sedang tour bersama teman-teman sekolahnya. Saat ini sepertinya mereka masih dalam perjalanan di pesawat."

Ryohei diam mencerna informasi. "Kata mu dia dari Hong Kong, kan. Apa dia..."

"Ya. Dia anggota 13K." Adelio berbisik diantara keriuhan teriakan orang-orang sekitar, namun pria berplester hidung disampingnya itu masih bisa mendengarnya.

"Posisinya juga tidak sembarangan. Dia adalah salah satu dari Black Pole, penjaga langsung dibawah chairman. Bisa dibilang dia sama seperti kau."

"By the way soal kelompok ini aku mendengar banyak kabar tentang mereka. Penyerangan gelap terhadap beberapa keluarga kecil beserta pengalihan saham besar-besaran. Peluasan wilayah hingga Eropa, padahal pasar raksasa mereka di Asia sudah level global yang tidak lagi diragukan. Kalau mereka cuma ingin cari masalah seharusnya mereka pikirkan resiko yang timbul dari 'keluarga-keluarga' yang berpengaruh di Italia. Dan oleh sebab itu, aku agak mencurigai keberadaan si pemegang pangkat Black Pole itu disini." Lanjut Adelio.

"Begitu? Meski mereka nampak hati-hati untuk tidak disorot publik tapi mereka sudah terkenal suka menggunakan kekerasan yang EXTREME, kan. Sejauh ini, Vongola tidak pernah 'ribut' soal jalur dagang selama 'lintas' yang digunakan masih aman. Jadi rasanya ada yang janggal kalau mereka cari gara-gara cuma karena wilayah." Ryohei ikut beropini sambil berbisik.

"Nah, itu masuk akal. Tapi tetap harus diwaspadai. Tunggu saja sampai Boss-mu mengeluarkan perintah untuk 'membersihkan' cecunguk yang mulai berdatangan. Seharusnya Boss-ku, Castano Nono, sudah mengirimkan surat berisi peringatan kepada Vongola Decimo. Karena wilayah pelabuhan sangat rentan."

Sang pemilik gelar Sun Guardian Vongola langsung membayangkan surat itu masih berada diantara tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja Tsuna. Atau mungkin berada di sudut lain di dalam ruang kerja sang Vongola Decimo, pastinya belum terjamah oleh tangan sang pemilik pekerjaan. Ryohei memilih diam saja.

"Oh ya. Kau tidak lupa kan, bahwa informasi apapun di dunia kita ini tidak ada yang gratis." Adelio tiba-tiba menyeringai sambil menggenggam bahu kiri Ryohei.

"Tentu saja. Apa yang kau mau?" Ryohei melirik, balik menantang.

"Menangkan babak ini untukku!" Adelio berkata dengan sepasang mata berbinar semangat.

Ryohei tertawa. "Kau berani meremehkanku? Lihat saja nanti!"

Seorang inspektur pertandingan yang juga adalah anggota klub merangkap pembawa acara malam itu mulai mengumumkan nama para petarung yang akan bertarung selanjutnya.

Ryohei melangkah memasuki arena. Jas hitam, dasi, kemeja kuning dan sepatu hingga kaus kaki sudah dilepas nya. Ia memakai helm dan sarung tinju yang disediakan untuknya. Dihadapannya, sang lawan juga sudah siap dengan tampilan yang sama dengannya. Ryohei menatap sejenak pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini.

Sosok lelaki dengan perawakan tubuh yang tidak jauh berbeda dengannya. Kulit kecoklatan terpapar membalut otot-otot liat yang terlatih. Rambut hitam jelaga yang agak berantakan, serta sepasang mata sekelam telaga. Dalam menusuk.

"Sasagawa." Kata Ryohei saat genggaman kokoh saling bertaut untuk perkenalan singkat. Pria itu juga menyebut namanya sendiri dengan suara datar.

Sang eksekutor memegang kepalan tangan kedua petarung sambil memberi aba-aba. Penonton sudah tidak sabar dengan dimulainya pertarungan. Dengan semarak yang seolah tidak ada lelah, mereka meneriaki nama petarung dengan penuh semangat. Taruhan saling dilempar hingga membanjir.

Di sisi kerumunan tidak ketinggalan juga sosok Adelio yang menaruh taruhan untuk nama sang teman lain famiglia nya itu. Ia membayangkan secara kalkulasi untuk berapa banyak dompet tebal yang bisa dikurasnya bila Ryohei berhasil menundukkan sang 'Macan Asia'.

.

.

.

Beberapa jam yang lalu, didalam sebuah pesawat lintas Eropa.

.

"Apa maksudnya?!"

Seorang pria dengan baju hitam lengan panjang nampak sibuk dengan telepon genggam di tangan kanannya. Dengan tersedianya navigasi canggih sebagai salah satu fasilitas, ia bisa menggunakan telepon dengan aman. Namun, meski raut wajah bermata sipit miliknya nampak tenang, nada nya terdengar tidak suka. Apalagi saat berdebat dengan lawan bicaranya saat ini.

"Aku sudah membawa 'benda' itu bersamaku menuju Italia saat ini. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku berbelok kembali?!"

'Tenang dulu. Praduga bisa saja salah. Tapi 'harta karun' yang dibutuhkan berada disekitar Laut Cina Selatan...'

"Bukankah itu urusanmu soal keberadaan 'benda' itu disana? Tugas resmi yang Wei-sama berikan padaku adalah membawa 'benda' ini masuk ke Italia. Bisa kau bayangkan reaksi keluarga hitam itu saat menghadapi 'sejarah hidup' untuk kedua kalinya."

'Aku lupa sejak kapan kau jadi seloyal anjing begini Han? Apa segitu percayanya dirimu bahwa juru selamat klan kita berada di masa lalu? Leluhur keluarga Liu.'

"Dendam adalah pembalasan mutlak."

Terdengar helaan nafas dari seberang telepon.

'Lalu, bagaimana dengan 'upeti' untuk Velseena?'

Kali ini raut wajah sang pria berubah sedatar-datarnya.

"Kalau itu, direncanakan untuk tiba di Rusia seminggu dari sekarang. Tenang saja. Black pole yang bisa diandalkan bukan hanya Lee seorang."

'Hooo~ Cukup melegakan bahwa sampai sini semua berjalan sesuai rencana. Well, maaf sudah mengganggu. Selamat menikmati perjalananmu, Han.'

Tidak ada lagi topik penting yang harus dibahas. Pria yang dipanggil Han itu langsung memutus sambungan. Meletakkan kembali telepon genggam ke tempat semula. Ia merenggangkan otot, mencoba rileks meski sekelumit beban di kepala tidak bisa dienyahkan begitu saja. Seorang pramugari molek dengan ramah menawarkan minuman.

"Do you want to drink, sir?"

Han meminta kopi, setelah itu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri, membiarkan sang pramugari berlalu untuk menuju ruangan selanjutnya.

.

Pintu itu terbuka untuk sang pramugari.

"Do you want to drink, miss?" tawar nya ramah pada si gadis berwajah Asia.

"Orange juice, please." Gadis berambut ikal sebahu itu membalas senyum, kemudian menoleh pada dua temannya yang duduk di samping kirinya. "Kalian juga mau minum sesuatu?"

"Tidak, terima kasih." Kata si gadis berambut panjang hitam sepunggung yang duduk ditengah.

"Nggak haus." Sahutan dari gadis yang duduk di pinggir dekat jendela.

Yang menawar langsung menggembungkan pipi, menghadap kembali pada sang pramugari untuk mengucapkan terima kasih. Si pramugari membalas dengan senyum ramah kemudian kembali mendorong troli untuk melayani penumpang lainnya.

"Kenapa sih mukanya pada bermasalah begitu? Sebentar lagi kan kita sampai di Italia. AKHIRNYA, ITALIA LOH!"

"Sebentar lagi matamu, Elis! Masih sekitar sebelas jam lagi. Dan itu masih SANGAT LAMA."

"Huh, menunggu waktu malah akan terasa makin lama, Arista." Elis melipat tangan didepan dada. "Dan kau Martha, kerjamu dari tadi tidur terus. Mentang-mentang duduknya di dekat jendela!"

Arista sweatdrop melihat sifat temannya ini sementara yang disebut Martha masih memalingkan muka. Masa bodoh.

"Hei, aku te toilet dulu ya."

Arista melirik Elis disampingnya.

"Oh, yaudah gih sana. Jangan sampai nyasar loh."

"Nggak bakal lah." Elis langsung berdiri dari tempat duduknya dan beranjak ke belakang.

.

Hampir sejam lebih sejak Elis terakhir pamit ke toilet.

"Lama amat sih Elis di toilet. Ngantri apa? Atau jangan-jangan malah beneran nyasar?" Arista merenggangkan otot, kemudian menguap.

"Haaah~ bosannya sampai ingin mati."

Sebuah buku tebal dihantamkan ke wajah Arista.

"Jangan ngomong sembarangan. Mending baca aja tuh kamus." Ucap Marta acuh tak acuh.

"Ya, sorry deh. Tapi kau tahu sendiri kan, Italian ku sudah fasih. Tinggal ketemu sama bule asli nya, cocok deh."

Martha mengangkat sebelah alis dengan ekspresi seperti menahan tawa.

"Eh, sialan. Ketawain apa?" Arista mengernyit sebal sambil menatap Martha.

"Nggak apa-apa. Cuma simpan aja cita-cita mulia(?) mu itu sampai kita tiba nanti." Martha meluruskan punggung dan menautkan kedua tangan kebelakang kepala sebagai sandaran.

"Anyway, Tha. Itu gelang yang kau beli di Yogyakarta kan?"

Arista menunjuk gelang bermanik-manik coklat kayu dengan pilinan tali hitam di tangan kangan Martha.

"Hm, iya. Emang kenapa?"

"Kenapa kau nggak beliin juga untukku sih? Aku kan juga mau!"

"Sorry, nggak kepikiran." Arista memukul pelan lengannya, Martha tertawa. "Kalau begitu nanti kita sama-sama beli souvenir nya agar bisa kembaran bertiga."

"Boleh juga tuh. Oh ya nanti jangan lupa kita mampir ke daerah Sisilia juga ya."

"Hah? Ngapain?"

"Makan cannoli."

.

Arista masih asyik membaca buku Kamus Besar Italia, memang tabiatnya yang cuma bisa anteng kalau sudah ada buku ditangannya. Martha diam menopang dagu sambil melihat pemandangan bentang biru lautan dari ketinggian awan ini. Elis belum juga kembali.

Hampir bosan, manik hitam kecoklatan miliknya tiba-tiba menangkap sebuah penampakan benda yang diselimuti cahaya tujuh warna, melesat bagai ekor meteor.

"Itu apa?"

Arista yang mendengar pertanyaan Martha langsung menoleh kearah temannya itu.

"Memangnya ada apa?" Arista langsung mencondongkan tubuhnya untuk melihat apa yang sedang dilihat Martha.

Lalu sebuah implikasi berbagai cahaya memenuhi ruang penglihatannya. Sebelum akhirnya ia sadar...

Meteor itu melesat kearah mereka.

BLAAAAAAAARRRR

.

.

.

.

To be continued

.

.

.

A/N: Halooo~ jumpa lagi dengan saya setelah sekian lama, ada yang kangen? XD /slap/

Langsung saja ya, 'Dawn of Triad' ini sebenarnya adalah fanfik lama yang sudah saya rencanakan dengan banyak sekali referensi yang dilakukan. Bahkan saya sudah membuat nya hingga bagian kedua yang saya beri judul 'EASTER' (tapi tidak akan saya beri tahu hint-hint nya sampai bagian 'DoT' ini selesai, takut spoiler XD ). Lalu, dikarenakan kesibukan pekerjaan dan segala tetek bengek di kehidupan nyata, apalagi diperparah sama belenggu Ipo-chan/Ipo-kun, yah jadinya fic ini baru bisa di publish sekarang, ini juga berkat bantuan seorang teman terbaik yang mau saya repotin sejak dulu. Thank you very much, Aya Yata nyooooo~ ^^ /hug/.

Silahkan tinggalkan jejak kaki anda pada kolom komentar yang telah disediakan. Sankyu~ XD

Ly Rurui