"Orang itu... dia tidak bisa lagi diperbaiki," ujar Tia Harribel suatu saat.

.

Kalimatnya,

"Gila... kau sudah tidak waras, Murcielago!"

dijawab,

"Semua manusia pada dasarnya sedikit gila, kau tahu?"

.

"Kami sudah menanyai Nnoitra dan Zommari. Apa yang mereka tahu tentang orang itu tidak lebih banyak dari yang kuketahui. Jadi," Grimmjow Jaegerjaquez berdeham singkat, "kurasa kau tahu lebih banyak dari kami?"

Harribel yang duduk di seberang meja itu mengangguk.

"Orang itu terikat dengan Aizen lebih kuat daripada yang kalian tahu. Sejak awal mula dia sudah gila."

.

.

.

.

.


.

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Bleach (c) Tite Kubo

RECONQUISTA! (c) Roux Marlet

Sidestory of Past, Present, and Future

The author gained no material profit from this story.

.


.

.

.

.

.

Chapter 1: The Couple Next Door

.

.

.

.

.

Buenos Aires, Argentina, Desember 1976.

.

.

.

.

.

Sai Shimura sedang minum secangkir kopi hangat sambil membaca surat kabar pagi itu ketika didengarnya sebuah jeritan nyaring dari kamar sebelah. Dia mengerutkan dahi karena distraksi barusan dan kembali berkonsentrasi pada berita hari itu: peresmian daerah wisata yang baru, kenaikan harga sembako (lagi), dan pemilihan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Hanya berita tentang harga sembako yang Sai rasa relevan baginya.

Kenikmatan hidup adalah bersantai sambil minum kopi di pagi hari tanpa beban di pikiran.

Namun, Sai sebenarnya punya banyak hal untuk dipikirkan. Uang sewanya di pondokan ini sudah menunggak setengah tahun dan dia masih punya hutang pada binatu blok sebelah sampai-sampai separuh stok pakaiannya ditahan di tempat itu. Lukisannya menumpuk di sudut kamar, tak dilirik kolektor seni maupun pemerhati seni lukis. Dia tidak punya pekerjaan yang bisa memberinya gaji tetap. Dia tidak punya saudara di daerah ini yang bisa meminjaminya uang. Keluarganya ada di negeri yang jauh, yang tidak diketahui kabarnya.

Induk semangnya tadi berpapasan dengannya saat akan mengambil koran. Wajahnya masam seperti biasa, apalagi bertemu Sai yang masih memohon-mohon dengan senyum palsunya untuk tetap diperbolehkan tinggal di situ meski belum membayar sewa.

Bukannya pondokan itu bagus-bagus amat, sih. Bangunan standar tingkat empat yang terdiri dari delapan kamar di pinggiran Buenos Aires, ibukota Argentina, itu sudah terkelupas cat dindingnya dan di sana-sini terdapat papan penambal. Untungnya air panas dan listrik tidak pernah bermasalah. Sai cukup beruntung bisa menemukan pondokan sebagus itu di area villa miseria—daerah kumuh yang bertebaran di ibukota negara berkembang tersebut. Kabarnya villa miseria di tempat lain di Buenos Aires sering dilanda banjir jika musim hujan tiba lantaran ketinggian tanah kota itu hanya belasan meter di atas permukaan laut.

Satu-satunya masalah lain (dari pondokan yang ditinggali Sai, maksudnya) adalah tetangga kamarnya yang satu lantai. Yang Sai tahu, kamar itu ditempati dua orang laki-laki dan mereka sering membuat gaduh. Tapi karena lantai yang mereka tempati adalah lantai empat sementara induk semang tinggal di lantai terbawah, maka tidak pernah ada komplain. Lantai bangunan itu sendiri cukup tebal sehingga penghuni lantai tiga juga tidak terganggu.

Jadi, yang terusik hanya Sai, tetapi dia pun tidak punya hak untuk komplain lantaran dia sendiri jadi penghuni yang terus-menerus dikomplain mengenai uang sewa.

Sejak Sai menempati kamar ini lima tahun yang lalu, orang-orang datang dan pergi dalam hitungan bulan—tidak ada penghuni yang betah untuk tinggal selama dirinya. Nah, kecuali mungkin, dua orang yang ada di kamar sebelah itu. Mereka sudah setahun di tempat ini, bahkan Sai jadi terbiasa dengan adanya jeritan-jeritan dari kamar sebelah.

Sai tidak suka untuk tahu meski ingin tahu apa yang kedua pria dewasa itu lakukan di dalam kamar. Pikiran pertamanya ketika melihat mereka datang tak bisa lain dari pasangan homoseksual, apalagi karena pria yang satu punya kulit putih eksotis yang tak bisa ditemukan di sudut manapun di negara ini. Jelas pria yang satunya lagi, berkulit kecokelatan dan bertubuh kekar, bukan saudaranya. Sai juga sering mendengar bunyi ranjang berderit malam-malam dan suara lenguhan dan bunyi pukulan. Kadang dia ngeri sendiri membayangkan apa yang terjadi. Hubungan apa lagi yang bisa menjelaskan hal itu? Berdasarkan apa yang diketahuinya dari buku-buku, semuanya mengarah kepada kesimpulan yang pertama.

Sai sendiri masih lajang walau sudah waktunya dia mencari pasangan, tapi mana ada perempuan yang mau dengan pelukis tak laku? Pelukis tak laku yang berpikir dan berperilaku berdasarkan apa yang dibacanya di buku-buku, pula?

Distraksi sesaat tadi ternyata berlanjut dan Sai meletakkan korannya di meja. Keingintahuannya timbul lagi.

Dari pengamatan dan pendengarannya selama ini, Sai bisa menarik kesimpulan bahwa yang sering berteriak adalah si laki-laki kulit putih. Orang itu tidak pernah kelihatan keluar dari kamar, tapi si kulit kecokelatan kadang didapatinya bicara pada induk semang dan suaranya berat. Tipikal pria dominan.

Lucunya, sampai sekarang pun Sai tidak tahu nama kedua tetangganya itu. Jelas mereka orang perantauan, apalagi kadang didengarnya si kekar bicara dalam bahasa asing yang bukan bahasa Spanyol. Entahlah, bahasa Spanyol Sai sendiri tidak bagus karena dia tidak benar-benar berniat mempelajarinya—untung induk semangnya cukup memahami bahasa Inggris.

Lenguhan panjang terdengar di balik dinding disusul suara rendah yang berbicara. Mungkin Sai bisa keluar sebentar, mengetuk pintu dan menanyakan apa yang terjadi karena dia khawatir. Tidak ada orang yang melakukan hal begituan di pagi hari, bukan? Sai merasa risih sendiri setiap pagi ketika suara-suara itu timbul, tapi dia tidak pernah punya keberanian mendatangi kamar itu.

Sai beranjak ke wastafel dan mencuci cangkir kopinya, sengaja membiarkan air kerannya terus mengalir untuk menutupi bunyi-bunyian dari sebelah. Dia menghela napas saat terdengar ada barang yang pecah. Pikiran Sai sudah aneh-aneh saja; imajinasinya memang banyak terpengaruh oleh buku-buku tentang seksualitas. Induk semangnya mungkin bakalan mengomel panjang lebar kalau dia tahu ada perkakas yang rusak...

Tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. Mungkin Sai perlu melaporkan hal ini, sekalian mengadukan keributan yang ditimbulkan tetangganya itu! Kesempatan yang baik... dia melesat ke pintu dan berjalan ke luar sembari melirik sejenak ke pintu sebelah.

Pintu sebelah tiba-tiba terbuka dan tertutup kembali dengan cepat disusul bunyi benturan tanpa ada orang yang keluar, seolah terjadi pertengkaran tepat di balik daun pintu. Sai berhenti di tempatnya dan memandangi pintu itu. Apakah pasangan itu sedang bertengkar?

Suara si kekar terdengar, dia meneriakkan kata-kata asing yang sekarang dikenalinya sebagai bahasa Jepang. Sai terpaku di tempatnya, terbagi antara keinginan untuk turun ke ruangan induk semang atau tetap di sini.

Jepang adalah kampung halaman Sai yang sekarang tak terjangkau lagi karena dia tidak punya uang untuk pulang. Mungkinkah tetangganya itu keturunan orang Jepang, atau pernah tinggal di Jepang? Takdir apa yang membuatnya bisa menemukan saudara setanah air di benua antah-berantah ini?

Pintu itu terbuka lagi sejurus kemudian, dan si kekar berkulit kecokelatan melesat ke luar lalu mengunci pintu. Wajahnya banjir keringat dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Tuan..." panggil Sai dalam bahasa ibunya. Pria itu menoleh cepat.

"Ya, kenapa?" Pria itu menjawab dalam bahasa Spanyol. Di tangan kirinya ada bungkusan berisi jarum suntik dan Sai tidak luput mengamati hal itu. Dia baru menyadari bahwa pria itu jauh lebih tua darinya. Tiba-tiba Sai kesulitan mencari kata. Dengan bahasa Inggris dia menjawab,

"Eh... saya... hanya... maaf, bahasa Spanyol saya tidak lancar. Apakah Anda bisa berbahasa Inggris?"

Si pria kekar tidak menjawab, ia malah mendekatkan tangan kanannya ke mulut dan menghisap darah yang ada di situ—yang baru disadari Sai.

"Anda terluka," ujar Sai, tetap bertahan di bahasa Inggris.

"Seperti yang Anda lihat," dengus pria itu dalam bahasa yang sama.

"Saya punya alkohol," sahut Sai mencoba bersimpati. "Mungkin Anda bisa mampir ke kamar saya..."

"Tidak perlu, terima kasih."

"...apa yang terjadi tadi? Saya dengar ada barang pecah."

"Ya. Temanku memecahkan piring."

Teman, ya, batin Sai. "Oh, jadi karena itukah tangan Anda terluka?"

"Bukan. Ini karena dia menggigitku."

Hening sejenak.

"Apakah kalian berdua... bertengkar?"

Ekspresi si kekar menggelap, tapi hanya sesaat. "Dia selalu begitu setiap hari."

"Hubungan kalian kurang baik, sepertinya," ujar Sai memancing. "Sudah berapa lama kalian tinggal bersama?"

Di luar dugaan, pertanyaan Sai membuat pria itu tertawa geli.

"Astaga, berapa lama ya? Aku bahkan tidak ingat. Pertama kali aku mengenalnya, dia masih bocah."

Sai melongo, tak menyangka jawaban itu. Apakah orang di hadapannya ini pedofil...?

"Dia agak kurang waras," tambah si pria kekar, kembali serius. "Dan dia menderita diabetes sejak remaja."

Sai tiba-tiba menyadari betapa luasnya makna dua kalimat sederhana itu. Jadi itukah mengapa si pria kulit putih sering berteriak dan membuat gaduh? Alasannya jauh sekali dari apa yang dibayangkannya selama ini...

"Anda pasti kesulitan," ujar Sai. "Apa pekerjaan Anda?"

Sudut bibir si pria kekar berkedut. "Sesuatu yang menghasilkan banyak uang," jawabnya misterius.

Sepertinya berjudi bukan jawaban yang tepat—itu lebih tidak pasti daripada menjadi pelukis tidak laku. Tukang pukul atau bodyguard seorang konglomerat sepertinya juga bukan—mana bisa dia punya waktu luang sebanyak ini—meskipun, kalau menilik otot dan posturnya, orang itu tentu memenuhi syarat. Nada suara pria itu kedengaran tidak mengizinkan Sai mengorek lebih dalam—setidaknya untuk saat ini. Jadi Sai berujar,

"Kita belum pernah berkenalan, padahal sudah bertetangga selama satu tahun. Nama saya Sai Shimura." Dia mengulurkan tangan kanan, seperti yang dibacanya dalam buku tentang tata krama di negara-negara barat, alih-alih membungkuk khas Jepang.

"Yammy Largo." Tangan itu disambut.

Kerutan di alis. "Anda orang Italia?"

.

.

.

.

.

Hari itu adalah hari yang buruk bagi Yammy. Pria yang dua tahun lalu masih punya status Cero Espada itu terbangun pagi-pagi setelah kelelahan seharian menempuh perjalanan separuh negara Argentina, gara-gara teman sekamarnya yang mendapat serangan di luar kebiasaan. Ya, di luar kebiasaan. Biasanya Ulquiorra baru membuat keributan setelah matahari terbit: mengerang begitu cahaya surya yang redup menyelinap masuk dari jendela, berguling-guling gelisah di tempat tidur, dan mencakari Yammy yang tidur di sebelahnya.

Jadi pagi itu, Yammy terpaksa mencari akal lain untuk memasukkan insulin ke tubuh Ulquiorra. Dia bergulat beberapa saat dengan teman sekamarnya itu sebelum akhirnya berhasil menahan kaki Ulquiorra dengan berat tubuhnya, memiting kedua tangan kurus itu ke samping dengan satu siku dan mendesak leher orang itu dengan kepala besarnya, lalu mencubit sedikit daging dan menusukkan jarum itu ke bagian pinggang Ulquiorra yang terbuka. Selesai menyuntik, tangannya langsung digigit oleh Ulquiorra. Yammy memang belum sempat membeli makanan apapun untuknya, apa dikiranya tangan berlemak Yammy yang kecokelatan itu sosis bakar? Salah sendiri makan malamnya tidak dihabiskan. Dasar sial, umpat Yammy. Dibuatnya Ulquiorra tidur lagi dengan totokan di leher setelah bergulat lagi beberapa menit, pecahnya piring berisi sisa makanan Ulquiorra semalam, dan memarnya dahi orang itu karena menghantamkan kepala ke pintu entah untuk alasan apa. Yammy punya waktu paling tidak setengah jam untuk mencari makanan lagi.

Sampai sekarang, Yammy tidak tahu apa penyebab Ulquiorra Chifer bertingkah seperti orang gila. Mantan Cuatro Espada itu memang pernah mendekam di rumah sakit jiwa, dan Yammy tadinya berpikir Ulquiorra dimasukkan ke situ karena alasan lain—seperti, yah, kelainan kepribadian?—mengingat orang itu memang mirip patung karena tidak bisa berekspresi. Yang jelas, Ulquiorra tidak diikutsertakan dalam sidang pengadilan internasional bersama Akatsuki waktu itu dan otomatis terluput dari hukuman... dia bisa saja diganjar eksekusi di kursi listrik seperti Aaroniero, tapi rupanya tidak... dan itulah yang sangat mengherankan. Apakah Ulquiorra berpura-pura gila agar bisa kabur setelah dipindah ke RSJ, yang penjagaannya tentu tidak seketat penjara CIA?

Banyak teori konspirasi bercokol di kepala Yammy dan dia tidak bisa memikirkan hal lain ketika didapatinya Sousuke Aizen melarikan diri tanpa peringatan di malam pertempuran di Zaragoza. Ulquiorra pasti tahu sesuatu, lebih tahu daripada siapa pun di antara Espada yang lain, dan karena Yammy adalah satu-satunya Espada yang selamat dari kematian maupun dari polisi, dia yang sudah tidak terikat dengan Aizen jelas memburu si agen terpercaya yang juga anak angkat si mafia Jepang untuk menuntut kebenaran. Tapi apa yang ditemukan Yammy?

Orang itu menggigit lidahnya sendiri sampai jadi bisu, melukai diri sendiri, menulis kanji 'shi' berulang kali... semua yang didengar Yammy tentang Ulquiorra di rumah perawatan orang sakit jiwa itu terkonfirmasi di malam dirinya mencoba menculik orang yang pernah menjadi rekan kerjanya itu dari RSJ.

Ulquiorra gila.

Ulquiorra yang dikenalnya dulu mana pernah bertindak ceroboh. Ulquiorra Chifer yang dulu selalu punya akal sehat yang tertata sistematis, mengedepankan logika ala rasionalis. Yammy tahu Ulquiorra memang mengidap masokisme tapi pasti ada sesuatu yang lain yang membuatnya menyakiti diri sendiri sampai seekstrem itu—menjadikannya kehilangan kemampuan berbicara, menderita berminggu-minggu karena luka-lukanya yang berdarah tak kunjung sembuh, dan, yang paling ekstrem dari semuanya...

...Ulquiorra kadang-kadang menangis.

Yammy Llargo tidak pernah menjumpai kedutan ekspresi sekecil apapun di wajah serupa topeng itu, makanya dia sangat terkejut ketika pertama kali akan meninggalkan Ulquiorra di pondokan sendirian untuk mencari relasi ilegal penjual insulin yang baru. Waktu itu mereka masih tinggal di Meksiko.

Pria muda berkulit putih itu meraung keras dan meneteskan air mata, ada sedikit gurat otot di sekitar alis hitamnya yang tebal, menggapai-gapai ke arah Yammy. Seandainya dia masih bisa bicara, mungkin dia akan merengek meminta Yammy untuk tidak pergi.

Seperti anak kecil yang akan ditinggal orang tuanya sendirian di rumah.

Ulquiorra baru tenang setelah Yammy mengurungkan niat untuk pergi, mengunci pintu kembali, duduk di sisinya, dan membiarkannya melakukan hal paling absurd yang bisa terlintas di pikiran: memeluk Yammy seperti memeluk boneka beruang yang lebih besar. Yammy baru bisa pergi setelah memberi obat tidur pada Ulquiorra.

Mantan Cero Espada itu pernah belajar sedikit bahasa isyarat dan dia mencoba membuat Ulquiorra meresponnya saat sikapnya tenang dan kooperatif—dia mengira Ulquiorra tak hanya jadi bisu sejak malam itu, pendengarannya juga jauh menurun karena kadang panggilan Yammy dengan suara pelan tak digubrisnya—tapi dia tak pernah berhasil mendapatkan kebenarannya. Pelukan yang waktu itu bermakna seperti mencari perlindungan dan rasa aman. Terhadap apa? Apa yang membuat Ulquiorra merasa terancam? Dia kadang mengundang dokter dan psikiater lewat relasi ilegal untuk merawat Ulquiorra, tapi setiap hari dialah yang menyuntikkan insulin ke tubuh kurus si mantan Cuatro Espada. Dan insulin itu juga yang membuatnya harus rutin bergulat dengan Ulquiorra. Disuntik itu sakit, semua orang tahu itu. Tapi Yammy tidak habis pikir, mengapa Ulquiorra malah tidak mau disuntik kalau rasa sakit itu biasanya disukainya?

Mungkin itu satu aspek dari kegilaannya, pikir Yammy untuk menghibur diri sendiri.

Di hari-hari pertama, Yammy sudah melihat bekas-bekas ikatan di pergelangan tangan dan kaki Ulquiorra serta beberapa garis di sekitar wajahnya; mestinya orang-orang di RSJ membelenggu si mantan Cuatro ke ranjang dan memasang berangus di mulutnya tiap kali akan memberikan insulin, karena Ulquiorra bisa tiba-tiba jadi liar dan berisik kalau melihat jarum. Yammy sendiri pada awalnya juga mengikat Ulquiorra tiap pagi, tapi lama kelamaan menghentikan cara itu dan malah menusukkan insulin itu ke pantat Ulquiorra selagi orangnya masih tidur. Tak peduli setelahnya orang itu bakal terbangun dan mulai mencakar-cakar penusuknya. Masalahnya Yammy tidak lagi menemukan bagian lain di tubuh Ulquiorra yang masih menyimpan cukup lemak untuk disuntik dengan teknik khusus itu, dan mustahil melakukannya dengan Ulquiorra yang sedang bangun sepenuhnya.

Ulquiorra itu manusia, bukan anjing. Kalau Yammy memperlakukan Ulquiorra seperti anjing, artinya dia sama saja dengan Sousuke Aizen.

Yammy Llargo membencinya. Dia membenci Aizen.

Jangan kira karena Espada sudah bubar, Yammy jadi kehilangan pekerjaan. Tidak! Dia sudah jadi pembunuh bayaran jauh sebelum Espada didirikan oleh Aizen dan hancurnya organisasi konyol itu hanya mengurangi sedikit pendapatannya. Relasinya banyak dan banyak pula orang yang membutuhkan jasanya. Yammy sudah bebas kembali dan dia bebas melakukan apapun tanpa takut kena hukuman. Termasuk membawa kabur Ulquiorra Chifer...

...yang adalah anak angkat Aizen.

Tanda tanya besar selalu mengikuti Yammy. Mengapa Aizen tidak mencari Ulquiorra lagi? Aizen masih hidup, 'kan, di luar sana? Kalau mereka sama-sama pelarian, mengapa ayah dan anak itu tidak saling berkomunikasi? Sampai sekarang Yammy dan Ulquiorra masih aman-aman saja di tempat ini, padahal seorang assassin sudah pernah diutus Aizen untuk menelusuri jejak si anak angkat—yang membuat Yammy terpaksa membawa Ulquiorra pindah dari Meksiko ke negara ini. Tapi tidak ada ancaman lebih lanjut dari Aizen, dan itu membuat tanda tanya tak bisa hilang dari pikiran Yammy. Apa yang Aizen inginkan sebenarnya?

Yammy tahu dari beberapa informan bahwa sesuatu memang telah terjadi malam itu di Zaragoza. Dia mengira Ulquiorra diberi misi rahasia yang tidak dia ketahui, tapi yang jelas, sesaat sebelum tertangkap aparat, Ulquiorra masih bicara secara normal dengannya mengenai Itachi Uchiha. Penangkapan Ulquiorra gagal satu kali, dan di kali yang kedua dia tertangkap dalam kondisi trance. Mungkinkah dia bertemu Aizen di antara kedua saat itu? Kalau iya, apa yang dilakukan sang ayah terhadapnya sampai dia jadi begitu?

Yammy Llargo membencinya. Dia membenci Aizen.

Perintah terakhir Aizen pada Yammy saat di Zaragoza adalah untuk mencari Ulquiorra dan membawanya kepada Aizen. Yammy tidak cukup cepat waktu itu; interpol serta CIA mendapatkannya duluan, dan mustahil bagi Yammy menerobos aliansi aparat saat itu juga, maka Yammy kembali kepada Aizen untuk menanyakan langkah selanjutnya—sonido milik Aizen dibawa Ulquiorra, sehingga Yammy tidak bisa menghubungi atasannya itu jarak jauh—dan ternyata Aizen sudah tidak ada lagi di sana. Tak ada pesan atau petunjuk apapun yang ditinggalkannya. Apa maksudnya itu?!

Sekarang Yammy, yang sejak masih bau kencur sudah menjadi saksi kerasnya dunia mafia di Italia, yang sebelum mencapai usia selusin sudah memegang pisau untuk merenggut nyawa, yang nuraninya sudah mati terhadap kehidupan manusia meski sesekali tetap menyambangi gereja, yang menjadi Espada terkuat selama sebelas tahun sebelum intervensi Akatsuki menghancurkan semuanya, tiba-tiba dihadapkan dengan fakta yang manusiawi adanya.

Kasih sayang maupun pengabdian, Yammy tidak pernah mengenal keduanya seperti dia tidak mengenal orang tuanya. Dia tidak tahu mana yang lebih menggambarkan hubungan Ulquiorra dengan Aizen, dan dia sendiri tidak memahami apa yang selama setahun belakangan ini dia lakukan terhadap mantan rekan kerjanya itu.

Ia dan Ulquiorra dulu rekan kerja, tidak lebih. Kungkungan Las Noches tidak memperbolehkan adanya relasi yang lebih dari rekan kerja profesional. Tapi Espada sekarang sudah hancur lebur, pemimpinnya kabur, anggota-anggotanya gugur. Tidak ada lagi aturan yang mengikat.

Apa yang telah diperbuat Ulquiorra sampai Yammy rela merawatnya? Dulu Yammy bilang, dia menyelamatkan Ulquiorra dari tangan Akatsuki karena status anak angkat Aizen, yang notabene adalah atasannya. Tapi Aizen bukan siapa-siapanya sekarang.

Yammy Llargo sangat membencinya. Dia membenci Ulquiorra, seperti dia membenci Aizen...

...karena orang itu membuatnya jadi merasa punya hati nurani.

Yammy membenci mantan rekan kerjanya itu sekaligus merasa kasihan karena keadaannya sekarang, yang sangat menyedihkan. Ulquiorra yang dulu punya sorot mata seperti sumur dalam yang kosong, sempurna sebagai mesin pembunuh dan tak punya hati, sekarang tampak tak berdaya sekaligus lebih mirip manusia biasa. Tak hanya itu saja. Bagaimana perasaanmu jika seandainya ayah angkatmu, keluargamu satu-satunya, sesungguhnya menginginkan dirimu mati pelan-pelan, terbunuh oleh kegilaan pikiran dan penyakit diabetes yang tidak terkontrol? Menu makanan berkarbohidrat dan infeksi jamur di kulit saja bisa menjadi masalah besar sekarang ini. Ulquiorra tidak tahu tentang semua ini karena, hell, memangnya bagaimana cara Yammy memberitahunya? Dan mengapa tingkah laku Ulquiorra sekarang mengarah secara berbahaya ke percobaan bunuh diri, bukan lagi untuk kenikmatan atas rasa sakit seperti yang Yammy tahu? Yammy sampai merasa perlu mengunci lemari tempatnya menyimpan beragam senjata api dan benda-benda tajam. Pemikiran-pemikiran itu saja sudah membuat perasaan Yammy campur aduk. Eh, tunggu dulu. Pembunuh bayaran tidak semestinya punya perasaan... tapi semakin bertambah jumlah hari dia merawat Ulquiorra, semakin lama dia tinggal sekamar dengan makhluk penyakitan itu, semakin sering makanan di piringnya tidak habis seberapapun sabarnya Yammy menyuapinya, semakin banyak pedang tak kasat mata menusuk-nusuk hati Yammy.

Salah satunya karena Ulquiorra mengingatkannya akan kampung halaman dan sejarah hidupnya. Yammy tidak bisa memungkiri bahwa meskipun Ulquiorra pernah bilang tidak tahu asal-usulnya, di dataran Italia yang memanjang di Eropa Selatan itu dia bisa menemukan segelintir orang Kaukasia yang berkulit pucat dan berambut hitam dengan warna mata cerah—Ulquiorra itu mestinya saudara setanah airnya, walau dari ras yang berbeda.

Dan pagi ini, seseorang yang asing, tetangga kamar sebelah, membuat kebencian yang bagai bom waktu itu dipicu dan meledak. Orang itu bisa menebak asal-usulnya, mungkin karena Yammy menyebutkan nama belakangnya dalam bahasa Italia.

Semua gara-gara Sousuke Aizen. Seandainya dulu Yammy tidak menambahkan satu huruf 'l' di kata 'Largo' agar nama belakangnya itu kedengaran seperti nama orang Spanyol, seandainya dia mengabaikan saja sugesti-sugesti Gin Ichimaru untuk 'membuang masa lalu'-nya sebagai orang Italia, mestinya topik mengenai asal-usulnya untuk saat ini tidak akan membuatnya bereaksi sedemikian heboh.

"Vaffanculo!" sembur Yammy sambil mendorong lawan bicaranya.

Orang bernama Sai Shimura itu menabrak dinding di punggung, menatap Yammy tak paham dengan keterkejutan yang meroket. Tapi sebelum Sai bisa berbuat apapun, Yammy meraih kerah bajunya.

"Kau tidak mengerti apa yang kuucapkan barusan, bukan?!"

Orang ini marah, batin Sai, berusaha tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang. Ukuran tubuh Yammy lebih dari dua kali lipat dirinya, yang benar saja. Dia menggeleng.

"Jadi dari mana kau tahu aku orang Italia?"

"...saya baca di buku. Ada beberapa pelukis Italia bernama belakang Largo, kulit mereka kecokelatan dan hidung mereka mancung seperti Anda, jadi saya kira—"

Yammy melepaskannya, kini ganti menyeringai. Wajah lebarnya masih memerah, namun amarah sesaatnya barusan telah mereda seolah tidak pernah terjadi. Dia bicara dengan nada lunak,

"Kau mau uang, Nak?"

Sai tertegun sejenak. Lalu ia menyahut,

"Siapa yang tidak mau?"

.

.

.

.

.

bersambung.

.

.

.

.

.


.

Author's Note

.

Akhirnya kesampaian juga bikin sidestory PPF yang multichapter (pfiuuh). Kalau dulu proyek PPF berlangsung sejak Roux kelas 2 SMA sampai menjelang lulus sarjana, sekarang semoga sidestory ini bisa selesai sebelum Roux dapat gelar profesi Apoteker tahun ini. Ini nggak akan sepanjang *coret*jalan kenangan*coret* cerita aslinya PPF kok. Dan seperti sebelumnya, akan ada banyak trivia tentang bahasa yang nyempil di sana-sini. Semoga bermanfaat :D

Pertama, judulnya. 'Reconquista' bermakna 'perebutan kembali', sebetulnya istilah ini merujuk pada perang di Semenanjung Iberia, daerah Spanyol-Portugal, awal abad ke-8 di mana negara-negara Kristen hendak merebut kembali daerah itu dari kaum Muslim (Moors).

Vaffanculo adalah umpatan dalam bahasa Italia, artinya sama dengan kisama dalam bahasa Jepang :O

Nama belakang Yammy di canon Bleach adalah Llargo, dibaca 'iyargo' secara Spanyol. Di sini Roux ubah nama Yammy jadi Italian origin, yang mana kata Largo sama artinya dengan large dalam bahasa Inggris.

Akhir kata, terima kasih sudah membaca :) kritik dan saran sangat diterima n_n