Second fic for SasuNaru's Day

ENJOY!!

Disclaimer Masashi Kishimoto

Pairing ChibiSasuChibiNaru, ItaDei

Genre Romance/Family/Humor

Rated T ya? XD

A/N perlu saya informasikan, di fic ini banyak banget adegan fluffy, err-brotherly? Eh, satu lagi, AU lho…

Itachi : 15 tahun

Deidara : 14 tahun

Sasuke : 6 tahun

Naruto : 5 tahun

'italic' : flashback

Bold : inner

00000000000000000

A Little Kiss On Cheek? I Don't Think So

Presented by: kuro nolawalie

Part 1

00000000000000000

"Sasu-Sasu! Main yuuuk!"

"Memangnya mau main apa? Aku lagi sibuk nih,"

"Main… main apa ya? Oh, main kuda-kudaan!"

"Dasar idiot. Itu mainan anak kecil, bodoh."

Naruto memanyunkan bibirnya, "Sasuke juga masih kecil, 'kan? Ayoooo maiiinnnn!"

"Tidak."

"Main!"

"Tidak!"

"Maiiiiiinnnnnnn!!!"

"Berisik!!!!"

"Pokoknya main!!" Naruto merebut gameboy yang sedari tadi melekat di tangan teman mainnya dan melemparnya asal ke arah belakang, "Sasu harus nemenin Naru main!"

Gameboy itu melayang di udara selama 0,29 detik, bertubrukan dengan lemari pakaian, menabrak meja di sampingnya, dan terjun bebas ke lantai dengan slow motion

Brak!

"Tidaaaaakkkk!! Gameboyku!" Sasuke melirik sadis pada Naruto, "Hey! Kau sudah merusak mainanku!!" teriak Sasuke hiperbola. Cukup untuk membuat seseorang serangan jantung detik itu juga. Tetapi sayangnya Naruto tidak terpengaruh.

"Pokoknya maiiinn! Maiiinn!! Maiinn!!"

"Tidak akan pernah karena kau sudah merusak benda kesayanganku!"

"Hiks… Sasuke jahat,"

"Berisik! Dasar cengeng! Pergi kau dari sini! Jangan pernah datang ke kamarku lagi!"

"Jahaatt…"

"Akkkhh!! Kalau kau datang hanya untuk membuat emosiku naik, lebih baik kau pergi!"

"Tapi Sasu, hari ini 'kan har--"

"Hari Jumat! Keluar sana!"

"Bukan itu! Tapi hari ini--"

"Pergi!!!"

"Hiks, hiks, huweeeeee… Sasu jahat!! Naru nggak mau ketemu Sasu lagi!" teriak Naruto tepat di wajah Sasuke. Ia lari menuju pintu. Sebelum keluar, ia sempat menolehkan wajahnya pada Sasuke yang sedang memandangi mainannya dengan tatapan iba. Sebutir air mata menetes ke pipinya, kaki kecilnya ia biarkan membawa tubuhnya keluar kamar dengan tergesa. Bahkan ia sempat memberi bonus bantingan pintu sebagai salam perpisahan.

"Enyah kau, idiot." Sasu segera menuju ke kepingan gameboy-nya yang sudah tersebar kemana-mana, dengan hati-hati ia mengumpulkan kepingan plastik dan rangkaian elektronik itu menjadi satu. Setelah terkumpul semua, ia membawanya ke meja belajar dan memandangi organ-organ gameboy itu dengan ekspresi sedih dan bingung.

"Jadi tidak bisa dimainkan lagi deh…," bisik Sasuke miris, "padahal 'kan ini hadiah dari…"

'Sasu-Sasu! Naru punya hadiah buat Sasu!'

Dari…

'Apa ini?'

Kenapa…

'Ini gameboy, Naru sengaja menabung untuk membelikan Sasu ini!'

Setahun yang lalu…

'Terima kasih…'

Kenapa aku bisa lupa?!

'Hiks… Sasuke jahat,'

'Berisik! Dasar cengeng! Pergi kau dari sini! Jangan pernah datang ke kamarku lagi!'

Bodoh!

'Jahaatt…'

'Akkkhh!! Kalau kau datang hanya untuk membuat emosiku naik, lebih baik kau pergi!'

'Tapi Sasu, hari ini 'kan har—'

'Hari Jumat! Keluar sana!'

'Bukan itu! Tapi hari ini—'

'Pergi!!!'

"Ini hadiah dari Naruto setahun yang lalu…" ucap Sasuke pelan, "dan lagi… hari ini…"

Sasuke melirik kalender yang ada di mejanya, beberapa detik kemudian ia teringat akan satu hal… 10 Juli

"Arggghh!! Kenapa aku bisa lupa?!"

Dengan semangat berapi-api dan ekspresi bersalah ia turun tangga setelah membanting pintu kamarnya keras. Mikoto yang tidak sengaja mendengar suara grabak-grubuk dari arah tangga menatap heran anak bungsunya, "Mau kemana, Sasu-chan? Tadi Kaasan lihat Naruto menangis setelah turun dari atas,"

Sasuke tidak menjawab dan berlari ke arah teras. Dalam waktu kurang dari sedetik ia sudah memakai sandalnya dan membuka pintu depan, "Aku pergi, Kaasan!"

Mikoto hanya geleng-geleng dan bergegas menuju ke dapur karena ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan masakannya, "Ah! Sup tomatnya!", teriaknya panik.

Sekarang giliran Itachi yang baru keluar dari kamarnya mendengar suara grabak-grubuk dari arah dapur. Ia melongok ke teras, setelah itu segera ke dapur menyusul ibunya, "Sasu-chan kenapa, Kaasan?"

"Tidak tahu, mungkin lagi marahan sama Naru-chan," jawab Mikoto sambil mengaduk-aduk sup tomat kesukaan Sasuke, "coba kau susul dia ke rumah Naru-chan, siapa tahu bisa ketemu Dei," tambahnya lagi sambil tertawa kecil.

"Kaasaaan! " wajah Itachi memerah seketika, melebihi sup tomat yang saat ini sedang dimasak oleh ibunya itu.

"Hihihi… ya sudah, susul sana! Ibu takut nanti mereka bertengkar, kau tahu 'kan mereka kalau bertengkar bagaimana?" jawab Mikoto lembut.

"Hn. Aku pergi!" Itachi langsung keluar dari dapur setelah mencolek sebuah kue berbentuk awan yang dilapisi dengan krim coklat yang sangat banyak di atas meja dapur. Kue kecil yang berukuran kira-kira hanya dua jengkal. Ia tidak sempat memperhatikan tulisan di atas kue itu karena ia buru-buru menuju ke teras, tulisan dan gambar yang dibentuk oleh krim putih, kuning, dan biru yang menghias permukaannya.

Tiba-tiba Mikoto teringat sesuatu, "Ah, Itachi, tunggu sebentar!" Mikoto segera menuju ke meja tempat kue coklat tadi setelah mematikan kompor. Ia mengambil sebuah nampan dan menaruh kue itu diatasnya secara perlahan.

"Ada apa?" Itachi melongok ke dapur dengan sebelah kakinya yang telanjang. Karena yang satunya sudah dipakaikan sepatu, ia terpaksa berjinjit-jinjit dan berlompat-lompat ria ke arah dapur.

Mikoto memandang putra sulungnya itu sekilas, "Tunggu sebentar, Ibu cari tutupnya dulu," Mikoto menghiraukan anaknya yang kembali ke teras dan melanjutkan perburuannya di lemari dapur yang berjejer-jejer di atas kompor. Ia bermaksud menutupi kue awan(tapi berwarna coklat) itu supaya tidak terkena debu. Setelah berkutat selama beberapa menit, akhirnya ia menemukan sebuah tutup plastik timbul bening dan memasangnya rapat di atas kue tersebut.

Setelah beres, Mikoto menuju ke teras menyusul anaknya, "Ini, hati-hati membawanya,"

Itachi menatap kue itu dengan ekspresi bingung, "Hah? Mau diapakan?"

Mikoto hanya berdecak heran dan menarik poni anaknya pelan, "Ck ck ck… kau tidak lihat tulisan di atasnya?"

"Aduh!" Itachi mengalihkan pandangannya ke kue yang sedang dipegangnya, meneliti gambar dan tulisan itu satu-persatu, kemudian tersenyum lebar, "Ohhh… iya-iya aku mengerti!"

"Ya sudah, cepat sana! Jangan-jangan mereka sudah saling melempar petasan tanah liat milik Dei," ujar Mikoto asal.

"Hahaha, aku pergi, Kaasan!" Itachi langsung keluar rumah setelah membetulkan posisi kue di tangannya.

"Ya. Hati-hati, awas kuenya jatuh,"

Itachi tidak menjawab karena ia sudah keluar dari rumah dan tidak mendengar kata-kata ibunya.

Lumayan, bisa ketemu sama Si Cantik Dei-chan…, pikirnya

***

"Huweeeeeee… Sasuke jahat! Huweeee…"

Sepanjang perjalanan ke rumah ia terus meneriakkan kata-kata itu. Tidak peduli akan tatapan bingung orang-orang dan segelintir pertanyaan yang menanyakan keadaanya. Otaknya tidak bisa berpikir jernih. Maklum saja, ia masih terlalu kecil untuk memahami hal-hal seperti ini.

Setiap orang yang memarahi atau membentaknya pasti selalu dihadiahi rasa bersalah. Karena selain wajah Naruto yang imut, perangainya yang ceria dan bisa dibilang baik hati selalu saja dapat menyentuh perasaan orang-orang di sekitarnya. Ia memang tidak terlalu egois untuk seukuran anak berumur 5 tahun. Sejak kecil ia selalu diajari hal-hal positif oleh ayah angkatnya, Umino Iruka. Ya, Naruto yatim piatu.

Sang ibu, Uzumaki kushina meninggal pada saat melahirkan dirinya. Sedangkan sang ayah meninggal setahun setelah kematian Kushina karena penyakit jantung. Yang ia punya saat ini hanyalah Iruka, Kakashi, dan Deidara. Deidara, seorang kakak laki-laki cantik berumur 14 tahun yang mempunyai perangai dan fisik yang hampir sama. Berambut pirang, bermata biru, dan bertubuh kecil dan langsing.

Naruto tidak pernah menanyakan apa-apa soal orang tuanya. Naruto tahu bahwa hal itu akan menambah beban bagi sang ayah yang sekarang. Sudah cukup ia selama ini merepotkan ayahnya itu. Ia dan Dei bertekad hanya akan mengijinkan Iruka dan Kakashi untuk membayarkan sekolah. Sedangkan sisanya mereka penuhi dengan uang hasil kerja Dei di sebuah studio pemotretan. Dei bekerja sebagai pengamat fashion di sana. Masih muda, memang. Tapi selera berpakaiannya yang bagus sudah diakui orang-orang.

"Hiks… Hiks… Nii-chan…" Naruto melepas sepatunya dan langsung berlari masuk ke rumah, tidak lupa memanggil sang kakak tercinta. Walaupun dengan suara yang lesu, Dei bisa dengan jelas mendengar panggilan adiknya dari ruang keluarga.

Dei menaruh majalah fashion yang sedang dibacanya, kemudian mengernyit heran mendengar suara sesenggukan, "Naru-chan… ini suara Naru-chan 'kan?"

Dei berniat keluar dari ruangan tersebut. Tetapi belum sempat ia berdiri, ia sudah dikejutkan oleh adik kecilnya yang sekarang berdiri di depan pintu ruang keluarga. Naruto diam mematung di sana sambil menangis sesenggukan, Dei yang heran plus bingung karena tingkah adiknya refleks menghampiri Naruto dan langsung menggendongnya.

"Sstt, sstt, sstt… Naru-chan kenapa? Kok pulang-pulang langsung seperti ini?" ucap Dei seraya menepuk punggung adiknya pelan. Ia bisa merasakan wajah Naruto yang panas tenggelam di leher jenjangnya. Badannya bergetar. Sedikit menajamkan telinga, samar-samar ia mendengar nama 'Sasuke' keluar dari mulut Naruto.

"Kenapa dengan Sasuke, Naru-chan? Dia memukulmu?" ucap Dei sedikit emosi. Entah kenapa ingatannya kembali pada kakak Sasuke, Itachi, yang akhir-akhir ini selalu saja menggodanya di sekolah. Ia sama sekali tidak ada niat untuk memarahi Sasuke. Daripada membuat masalah dengan anak kecil, lebih baik sekalian dengan kakaknya saja 'kan?

"Hiks… hiks… Sa-sasuke tadi membentak Naru… hiks… ha-hanya karena Na-naru ngajak Sasu untuk maiiinnn… huweeee…" tangis Naruto makin menjadi, ia semakin menenggelamkan wajahnya ke leher putih kakaknya. Pelukannya semakin erat saja, sempat membuat Dei meringis karena merasakan cengkraman tangan Naruto di punggungnya.

"Cup, cup, cup… ya sudah, sekarang Naru-chan berhenti nangis ya. Nii-chan antar ke kamar, Naru-chan ceritakan semuanya pada Nii-chan di sana. Ya?"

Naruto mengangguk kecil di leher kakaknya, kemudian membiarkan Dei menurunkannya ke lantai. Setelah mengusap air di pelupuk mata, ia membiarkan Dei mengecup keningnya, "Ayo," ajak Dei sambil menggandeng tangan kecil Naruto, senyum manis tersungging di wajah cantiknya.

Mereka menaiki tangga satu-persatu secara perlahan, menghiraukan Sasuke yang diam terpaku di teras depan rumah mereka.

***

"He? Kenapa pintunya terbuka?" ucap Itachi polos saat kakinya menjejak di halaman rumah mungil itu. Tangan kiri dan dadanya menyangga kue itu hati-hati, sedangkan yang kanan mendorong pagar besi putih yang menghalangi jalannya. Ia terkejut mendapati Sasuke sedang duduk di teras rumah. Anak kecil yang tak lain adik laki-lakinya itu menenggelamkan wajahnya di kedua kakinya yang ditekuk.

"Oi! Sasu-chan!"

Sasuke mengangkat wajahnya dan segera menundukkannya lagi, membuat sang kakak serasa diterpa angin yang berhembus lembut. Tidak lupa bola-bola rumput kering sebagai backroundnya. Dengan kata lain, dicuekin alias diacuhkan.

"Dasar adik tidak tahu diuntung, aku sudah susah-susah menyusulmu kesini tahu. Padahal ku kira kau sekarang sedang main jotos dengan Naru-chan, ternyata belum toh…"

Sasuke mendengus, "Dasar aniki idiot. Kalau kau menyusulku hanya karena mau bertemu Dei-san, lebih baik kau ke rumah sakit saja duluan, daripada menunggu Dei-san menendangmu ke laut."

Itachi agak panas mendengar kata-kata adiknya yang setajam dan sedingin es, ia duduk di samping adiknya dan menaruh kue awan yang dibawanya di teras, "Ugh. Lihat saja baka. Aku bersumpah akan membuat anak kecil sepertimu tidak mendapatkan 'uke' yang cantik dan imut seperti Dei! Aku akan bilang ke Tousan supaya menjodohkanmu dengan Rock Lee tetangga sebelah!"

"Aniki sialan, kubunuh kau kalau benar-benar melakukannya. Aku tidak akan segan-segan memberitahu Paman Sasori kalau ada perawan manis di rumah ini," ancamnya tak kalah sadis.

"Jah! Adik durhaka! Kucubit kau!" candanya sambil menarik kedua pipi Sasuke keras-keras. Padahal ia tahu bahwa adiknya itu tidak bisa diajak bercanda.

"Sakit!! Baka!" balas Sasuke sambil menjotos perut kakaknya sekuat tenaga.

"Akh! Kubilang pada Tousan bahwa kau harus dijodohkan dengan si bencong Neji!"

Sasuke mendelik marah, "Kau saja sana dengan si tua bangka Kakuzu. Pasti sudah dijanjikan 1 kambing dan 5 bebek sebagai mas kawinnya!"

"Aaaarrggh!! Lupakan! Aku mau masuk dan menyerahkan kue ini saja! Aku tidak akan membiarkan Naru-chan sakit hanya karena melihat wajah marahmu yang mirip pantat ayam itu!" Itachi mendelik, "…heran, rambut dan wajah kok sama-sama tajam!" Itachi langsung berdiri dan hendak menuju ke pintu.

Ia berani bersumpah, sebelum langkahnya mencapai pintu, terdengar dengusan dari Sasuke yang membuat hati nuraninya sebagai seorang kakak nyaris ternoda, "Dasar, rambut panjangmu saja yang seperti banci."

Tetapi Itachi mencoba sesabar mungkin menghadapi adiknya ini. Karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak tega melihat wajah babak belur adiknya disaksikan oleh sang ibu tercinta. Belum lagi harus menerima takdir bahwa 'Uchiha Itachi yang minder kepada wajah tampan dan mulus sang adik tega menghancurkan wajah adik kandungnya sendiri' menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Haah… terkadang menjadi orang ganteng itu susah. Selalu dibicarakan di sana-sini.

Itachi merasakan pergelangan tangannya ditarik, "Jangan bodoh. Kau cari mati ya? Dei-san itu sedang kesal pada kita berdua, tahu/"

"Eehhh?? Kenapa aku jadi dibawa-bawa? Kan yang membuat adiknya menangis kau, baka otoutou!" protes Itachi dengan suara nyaring.

"Tentu saja. Siapa yang 3 hari lalu ditampar Dei-san sewaktu ada orang yang sengaja meremas pantatnya, hah? "

"Uhh… iya juga ya…" sekarang Itachi buru-buru menjauhi pintu, ngeri juga membayangkan jotosan maut sebagai ucapan selamat datang. Itachi menarik adiknya duduk di ayunan yang tak jauh dari teras tempat mereka duduk tadi.

"Jadi apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mau kehilangan calon uke-ku…" ucap Itachi lebay sambil menggelengkan kepala frustasi.

"Tidak tahu," jawab Sasuke datar. Padahal dalam hatinya juga sedang memikirkan cara supaya bisa mengembalikan keadaan seperti semula.

"Padahal hanya Dei-chan satu-satunya uke termanis yang pernah ku temui. Wajahnya yang cantik… kulitnya yang putih mulus… pinggulnya yang ramping… perutnya yang datar… bokongnya yang seksi… ahhh…" ujar Itachi ngaco sambil memeragakan bentuk tubuh Dei dengan kedua tangannya. Bisa dipastikan yang sedang menetes dari mulut kakaknya itu adalah liur, bukan keringat, air hujan, dan sebagainya.

"Dasar mesum," tanggap Sasuke santai sambil melirik tajam ke kakaknya. Tangannya menopang dagu dengan malas.

"Hehehe… Aku yakin buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi pasti Naru-chan akan tumbuh besar seperti Dei-chan, atau mungkin lebih manis dari Dei-chan. Untuk saja aku bukan pedofil… ngeriii…amit-amit…" ucap Itachi sambil mengelus dada.

"Iya juga ya… heee…" kali ini Sasuke yang berfantasi ria. Ia senyum-senyum sendiri membayangkan Naruto. Hal ini membuat sang kakak menjadi ilfil seketika.

Cukup aku yang tercoreng dari silsilah keluarga karena terlalu mesum, jangan sampai adikku yang masih sekecil ini juga terkena imbasnya, pikirnya.

"Heh! Masih kecil jangan melamun jorok! Nanti saja kalau sudah besar, itu baru boleh!" nasihat Itachi sesat, "Eh, kita intip ke kamar Naru-chan dan Dei-chan yuk! Siapa tahu bisa melihat mereka sedang imut-imutnya…" ujar Itachi dengan semangat 10 Juli.

"Boleh. Lewat balkon seperti biasanya?" Tanya Sasuke sambil berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang sedikit terkena debu dari ayunan kayu itu.

"Se-Seperti biasanya? Apa maksudmu?" tanya Itachi kaget.

Ya Tuhan… jangan-jangan adikku sudah menjadi benar-benar mesum. Dia saja mengakui kalau ia sering mengintip ke kamar Naru-chan… gawat nih, aku sebagai kakak merasa tidak bisa bertanggung jawab…, pikir Itachi desperet.

"Maksudku itu, aku kan sering lewat balkon apabila main ke rumah Naru-chan. Jadi sudah terbiasa. Kalau kau beda lagi, kau lewat balkon hanya untuk mengintip Dei-san ganti baju, iya kan?" jelas Sasuke panjang lebar.

Nggak percaya… nggak percaya… pikir Itachi sambil memberi tatapan menyelidik.

"Ayo, baka!" Sasuke menyeret kakaknya ke dinding samping rumah.

Di situ dapat terlihat dua balkon yang saling berdampingan. Yang satu balkon kamar Deidara dan yang satunya lagi balkon kamar Naruto. Jarak antara keduanya pun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 meter.

Di antara dua balkon itu terdapat tangga besi yang menempel permanen ke dinding. Entah kebetulan apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin sang pemilik rumah punya maksud tertentu memasang tangga di tempat itu. Hanya akal ngadet Uchiha Bersaudara saja menganggap sang pemilik rumah memasang tangga khusus untuk para pengintip dan pemerkosa bocah di bawah umur.

"Kau dulu, Sasu-chan," ucap Itachi sambil membantu Sasuke menaiki tangga. Setelah Sasuke sudah berpegangan mantap pada anak tangga, Itachi menyusul di bawahnya.

"Aku ke balkon Naruto, terserah kau mau ke balkon Dei-san atau tidak," kata Sasuke sambil memandang ke bawah, ke wajah kakaknya.

Hup! Sasuke melompat dari tangga itu ke balkon kamar Naruto dengan hati-hati. Ia tidak mau mengejutkan atau sampai diketahui oleh sang pemilik rumah kalau memang Naruto ada di dalam.

"Wow…" Sasuke terpana melihat pemandangan yang ia lihat dari jendela di balkon itu.

"Ada apa? Ada apa? Aku mau lihat!! Minggir! Minggir!!" Itachi yang baru saja hendak melompat ke balkon Deidara segera mengurungkan niatnya dan menyusul Sasuke ke balkon kamar Naruto. Ia penasaran melihat ekspresi wajah Sasuke yang bagaikan baru saja melihat malaikat sedang mandi.

"Ah! Jangan berisik! Nanti mereka dengar!" protes Sasuke sambil menampar punggung kakaknya.

"Wow…" Itachi yang sudah terlanjur terpana dengan pemandangan dari dalam hanya mangap. Tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

"Malaikat…" ucap mereka bersamaan.

***

"Hiks, hiks, Nii-chaaann…" Naruto kembali menangis setelah sampai di tempat tidurnya. Ia sekarang dipangku oleh Dei. Dei bersandar di tempat tidur sambil menepuk-nepuk punggung Naruto yang sedang menangis di dadanya. Di wajahnya tersirat kekhawatiran. Ia takut Naruto akan sakit kalau terus-terusan menangis seperti ini. Karena sedari dulu memang begitu, setiap Naruto menangis, selalu saja diakhiri dengan demam atau semacamnya.

"Naru-chan… sudah ya… mungkin Sasu-chan sedang ada masalah. Lagipula 'kan ini juga salah Naru-chan, kenapa harus melempar gameboy itu sampai pecah berkeping-keping?"

Naruto mengangkat wajahnya sekilas, "Ta-tapi 'kan itu hadiah dari Naru… hiks,"

"Ya maka dari itu, Sasu-chan nggak mau kalau sampai barang dari Naru-chan rusak. Itu artinya Sasu-chan sayang banget sama Naru-chan," hibur Dei seraya mencium puncak kepala adiknya.

"…" Naruto hanya diam, mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari kakaknya barusan.

***

"Cieh… cieh… Sasu-chan sayang sama Naru-chan… cieh…" goda Itachi sambil mencolek-colek pipi adiknya.

"Berisik!" balas Sasu kesal, wajahnya sedikit memerah karenanya.

"Tapi benar, kan?? Ciehhh…" balas Itachi lagi sambil melanjutkan pengamatannya.

"…" Sasuke tidak menjawab. Ia masih terus diam dengan pipi yang bersemu merah.

***

"Benarkah?" ujar Naruto akhirnya. Ia memandang wajah kakaknya dengan ekspresi sumringah. Dasar anak kecil, gampang sekali dipengaruhi.

"Tentu…," jawab Dei sambil mencium pipi adiknya lagi, "tapi kalau kau mau membalas Sasu-chan juga tidak apa-apa. Nii-chan akan membantumu. Soalnya Uchiha Bersaudara itu memang menyebalkan," lanjut Dei.

"Nii-chan masih marah soal tragedi itu ya?" kali ini Naruto sudah duduk di pangkuan kakaknya dengan sempurna. Air matanya sudah tidak terlihat lagi, digantikan dengan wajah bahagia yang bisa membuat siapapun merasa ikut bahagia karenanya.

"I-iya. Habis Itachi-san selalu saja menggodaku. Apalagi beberapa hari yang lalu, itu sudah kelewatan," Dei memandang langit-langit kamar, "kalau masih sebatas mencolek pinggang atau yang masih batas wajar Nii-chan masih bisa terima. Tapi kalau yang kemarin, jangan harap. " lanjutnya sambil mengepalkan tangan.

***

"Wakakakakak… mampus kau…" kata Sasuke nista pada kakaknya yang mematung dan keringat dingin di sampingnya.

"Di-diam, baka!" Itachi menjambak rambut ayam adiknya.

***

Naruto mengeratkan pelukannya pada sang kakak, "Tapi-tapi, tapi tadi Teme jahat… dia bilang Naru gak boleh dateng ke kamarnya lagi," Naruto mulai merengek lagi. Deidara menepuk jidatnya pelan.

"Yah, mungkin memang seperti itu sifat Sasuke. Seseorang kalau terbawa emosi selalu lupa diri. Begitu juga dengan Nii-chan kemarin, tanpa aba-aba Nii-chan langsung menampar Itachi-san 'kan?" Dei tersenyum melihat anggukan polos adiknya, "…itu karena Nii-chan sudah termakan emosi, apalagi Itachi-san melakukannya di depan teman-teman dan senior Nii-chan yang lainnya…. Ahhh!!! Mau ditaruh di mana wajah Nii-chan??!" jelas Dei panjang lebar. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, terlihat sekali emosinya mulai meluap apabila mengingat kejadian itu.

Naruto hanya tertawa kecil mendengar curhatan kakaknya.

***

"Taruh saja wajahmu di hatiku, Dei-chan~…"

"Gombal, " ucap Sasuke tajam.

"Lain kali aku harus mendapatkan keperawanannya… Harus!"

"Apa?!"

***

"Oh, iya. Naru-chan, ini sudah siang. Naru-chan ngantuk?"

"Iya…"

"Ya sudah, Naru-chan tidur ya. Nii-chan mau ke bawah sebentar, nanti Nii-chan kembali kalau sudah selesai," ucap Dei sambil mengangkat tubuh kecil adiknya dan membaringkan Naruto di sisi sebelahnya, "jangan ke mana-mana ya?"

Deidara pun beranjak dari tempat tidur setelah mengecup pelan kening adiknya. Ia berjalan pelan ke arah pintu dan menutupnya perlahan, tidak ingin mengusik Naruto yang sudah mulai setengah memejamkan mata.

Naruto menggenggam selimut orange bergambar rubah itu erat, kemudian menariknya sampai sebatas dada. Yakin kalau kakaknya sudah turun ke bawah, ia mengambil bingkai foto yang ada di samping ranjangnya. Sebuah foto berisi dua orang bayi mungil, berambut biru dan pirang saling berpelukan. Yang berambut biru gelap sudah lumayan besar, sedang yang satunya lagi masih lebih kecil dari si rambut biru. Naruto hanya dapat bersemu merah saat melihat posisi super imut dirinya dengan Sasuke di foto itu. Ia tidak menyangka, ia yang masih bayi itu bisa sangat tenang dalam pelukan Sasuke.

Naruto dan Sasuke memang sudah dijodohkan. Tidak peduli bahwa mereka memiliki persamaan gender. Toh pada akhirnya semua itu kembali pada hati masing-masing. Mereka tidak dapat memungkiri ikatan yang bahkan sudah terbentuk sebelum mereka lahir.

Orang tua yang bijaksana, itulah kalimat yang menggambarkan sifat dari masing-masing orang tua. Tidak memaksakan kehendak pribadi dan membiarkan sang anak menentukan jalan hidupnya kelak. Walaupun ikatan tersebut tidak pantas disebut sebagai cinta, karena Sasuke dan Naruto juga masih terlalu kecil untuk mengerti hal seperti itu. Tetapi Deidara, Itachi, Mikoto, Fugaku, Iruka, Kakashi, bahkan Minato yakin kalau itulah yang terbaik bagi mereka berdua. Mereka yakin cinta bisa tumbuh seiring bertambahnya umur dan pemahaman kedua belah pihak yang bersangkutan.

Naruto memeluk foto itu erat di dadanya, kemudian segera mengambil guling kecil di pojok ranjang dan menangis di sana…

=To Be Continued=

Ini baru bagian pertama, pendek banget ya?

Jangan lewatkan bagian keduanya ya!

Arigato bagi yang udah bersedia membaca! XD

a/n—anoo… itu… bukannya apa-apa, tapi kalau mau review per-chapter aja ya? soalnya kalau sekali review langsung dua chapter, kuru suka bingung nentuin letak kesalahannya. Lagipula, kalau anda review per-chapter, anda bisa dengan mudah mengkritik tanpa harus mengingat-ngingat kejadian di chapter lainnya. Betul? :D

*bengong* -padahal sendirinya juga suka review 2-3 chapter sekaligus (=_=")-

Eh, tapi kuru review langsung 2-3 chapter itu hanya untuk fic tertentu lho. Contoh, untuk fic yang uda nyampe jauhhhh tapi kuru baru baca sekarang. Itu sih, karena kuru aja yang males… -ditampol-

Contoh lagi, kalau gak ada waktu. Atau gak sempet. Tapi kuru selalu mengusahakan kalau review dari kuru itu 'benar-benar review'. Dalam arti review itu isinya bisa mendorong dan membantu sang author yang fic-nya diriview sama kuru. Gak lucu juga kan, kalo misalnya kita udah baca sampe chapter 5, tapi semua review kita itu dirangkum dalam satu kesatuan review yang isinya cuma 'Wah! keren nih ficnya! Apdet ya!'

Waduh, jangan kecam saya karena kalimat di atas ya. karena kalau menurut saya, kenapa enggak kalo kita punya banyak waktu dan kesempatan untuk meriview lebih spesifik per-chapternya? Tapi saya juga menghargai kok yang berbuat seperti itu. itu kan berarti mereka menghargai fic kita. Daripada gak review sama sekali? :D

Eh, eh, tapi-tapi-tapi… saya juga gak menyalahkan kalau yang mau review dua chapter sekaligus. Asalkan riviewnya bisa mendorong dan menyemangati saya ajah.. :D

Well…

REVIEW, PLEASE? X)