JEJEJENG ! Berdasarkan kebiasaan Author diterror bikin cerpen Gaje oleh Ibu guru Bahasa Indonesia Author tercintah dIbuatlah Fanfic ini jadi bahasanya sangat menerawang jauh dan bikin Author bingung sendiri dengan apa yang ditulisnya/apasih/. Hanya di awal chapter ini ada Normal POV, seterusnya lagi akan Reader's POV.
Believe Me © Tanaka Aira
Disclaimer : Kuroko no Basuke ©Fujimaki Tadatoshi-sensei.
Pairing : Murasakibara X Reader
Chapter 1 : Incident
.
"... When [a lover] ... is fortunate enough to meet his other half, they are both so intoxicated with affection, with friendship, and with love, that they cannot bear to let each other out of sight for a single instant."
~Plato's Symposium in Aristophanes~
.
.
.
NORMAL POV
Sang Lentera Madu menapakkan kakinya di tengah-tengah samudra light-blue diselingi beberapa gumpalan hasil evaporasi laut dalam berbagai bentuk. Dengan rasa kemenangan atas hari itu, Sang Lentera Madu memeriahkannya dengan cahaya yang menerangi setengah dari dunia. Well, setidaknya gumpalan itu terkadang menghalanginya bersorak agar setiap khalifah bumi tersebut tak mengeluhkan hari yang terlalu menyengat bagi mereka.
Satu demi satu tapak membekas di sabana mungil milik keluarga terhormat di salah satu negara maju yang terletak paling timur benua Asia. Beberapa manusia dengan karakteristik fisik yang sangat mencolok membentuk barisan yang dipimpin seorang pemuda beriris scarlet menuju pintu masuk.
"Hoaaammm~…."
Sebuah erangan kantuk mengiterupsi perjalanan yang tenang sejak kumpulan manusia itu turun dari mobil mewah Sang Pemilik.
"Mou~….Dai-chan, jaga sopan-santunmu." sahut satu-satunya manusia berjenis kelamin berbeda di dalam kelompok itu dan dengan penuh 'kasih sayang' menyikut bagian pinggang pemuda di sampingnya.
Iris light-blue sedikit melirik datar pertengkaran tak bermakna di belakangnya dan kembali menatap ke arah depan, punggung bidang yang sedikit lebih besar dari miliknya. Sedikit penasaran ia bertanya, "Ano…..Akashi-kun, kenapa kita ke sini?"
"Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan kalian." Sang Pemimpin yang bermarga Akashi itu menjawab pertanyaan yang mewakili pertayaan yang muncul di benak yang lainnya.
"Hal penting apa-ssu?" tanya pemuda beriris honey yang entah dalam mood apa, hari ini tidak begitu hyper-active seperti biasanya.
"Nanti saja pertanyaannya. Kita masuk dulu." Perintah mutlak pun meluncur disebabkan tidak berminat mendengar pertanyaan-pertanyaan lain yang sepertinya hendak dilakukan oleh pemuda yang membawa sebilah katana.
"A-ano….Midorin, ke-kenapa kamu bawa katana? Kamu tidak bermaksud untuk harakiri 'kan?" tanya sang wanita memandang horror ke pemuda beriris emerald di depannya.
"Tentu saja bukan, Momoi. Ini lucky item-ku hari ini."
Sejujurnya, pemuda yang dipanggil Midorin itu sedikit tak biasa membawa senjata tajam. Tapi seperti Sang Pemimpin a.k.a Akashi Seijuurou, ramalan Oha-Asa adalah patut ditaati perintahnya. Apapun perintahnya, meskipun itu berarti ia harus cross-dress dengan gaun zaman Victoria berwarna softpink, memakai wig twin-tail, dan menutupi sebelah matanya dengan pink-roses yang melingkari topi kecil yang bertengger miring di surainya. Semoga saja, semua itu tidak termasuk menggoda pemuda narsis bersurai pirang yang asyik menggoda little birds yang datang ke pesta (*).
Setelah beberapa langkah memasuki kediaman jepang klasik milik Akashi, mereka sampai di ruang utama. Akashi memerintahkan mereka untuk duduk diam mendengarkan apa yang dikatakannya. Merasa hal yang disampaikan Ketua itu penting, mereka menurut saja walau Sang Model sudah gatal ingin angkat bicara.
"Baiklah, kita mulai pembicaraan ini." Permata ruby itu mengelilingi sosok yang melingkari meja bersama dengannya, "Sesuai jadwal biasanya, kita akan mengadakan training-camp pada liburan musim panas ini. Dan karena kita tim reguler maka training-camp-nya akan diadakan secara terpisah dengan yang lainnya. Aku berpikir untuk berlatih di pantai–"
"Pantai?! Aku ikut!"
Terdengar seruan gembira dari bangku pojok tepat disebelah Momoi. Adalah hal yang paling mudah jika ingin mengetahui pikiran orang itu, 'Pantai = Cewek berbikini'. Orang itu tak mungkin melewatkan kesempatan ini, bukan?
*Ckris*
"Dilarang memotong kata-kataku, Daiki."
Dengan satu kata perintah –plus sfx horror–, Aomine diam.
"Aku tidak ingin ada yang berpikiran sama dengan Daiki. Kita ke pantai untuk berlatih, bukan bermain-main. Apalagi kulihat akhir-akhir ini, kualitas tim menurun. Dan aku tidak perlu menyebutkan siapa dalangnya 'kan."
Iris scarlet, light-blue, navy-blue, violet, emerald, dan magenta melirik bersamaan ke arah pemuda bersurai blonde yang langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan bersilangan di atas meja.
"Go-gomen-ssu…. Pengalamanku masih minim-ssu. Huhuhu….. jangan tatap aku seperti itu."
"Bukankah keahlianmu adalah fast-learning –nanodayo?" Jari telunjuk Midorima mengangkat batang tengah kacamata yang dipakainya, "Seharusnya tidak ada masalah dengan itu."
"Tapi aku tidak bisa dengan cepat meniru permainan kalian-ssu."
"Itu artinya kau payah, Kise."
"Huweee….!"
"Sudahlah, Minna-san. Kise-kun masih baru mempelajari basket. Wajar saja jika tidak secepat itu beradaptasi." Kuroko mencoba menengahi dan langsung dihadiahkan pelukan dari korban 'bully' Kiseki no Sedai.
"Arigatou, Kurokocchi. Kurokocchi memang paling mengerti aku-ssu."
*Ckris*
Kembali sfx horror melangkahi pendegaran mereka.
"Berhenti menangis dan memeluk Tetsuya, atau kupastikan model rambut baru untukmu, Ryouta."
"Pembicaraan selesai. Kalian boleh pulang kecuali Tetsuya."
Iris scarlet itu mencoba menarik light-blue dalam kutubnya. Sang korban menatap datar tetapi ia tahu kalau ia sedang diperintahkan –entah untuk apa– menetap di ruangan itu.
Satu persatu berdiri dari kursinya dan pergi secepatnya dari ruangan penuh hawa horror. Hati berkeinginan untuk menarik pemuda yang mereka tinggalkan dari hal –entah apa itu– yang sepertinya akan dilakukan Tuan Rumah tetapi Kuroko memberi isyarat bahwa ia tidak apa-apa dan pasti kembali dalam keadaan utuh –mungkin.
"Kenapa hanya Kurokocchi yang disuruh tinggal-ssu?" tanya Kise masih di jalan setapak yang menghubungkan rumah Akashi dengan pintu gerbang utama.
"Hhhh….. tapi pembicaraan tadi singkat dan tidak penting. Mungkin Akashi sengaja mengundang kita agar Tetsu tidak curiga kalau sebenarnya hanya ia yang dibutuhkannya." Aomine mulai berhipotesa dalam pemikirannya kalau partner-nya akan menjadi korban penganiayaan dan besok akan muncul sebagai headline di koran.
"Kuharap bukan sesuatu yang buruk."
"Ah~ cemilanku habis~. Aku balik lagi minta cemilan sama pelayan Aka-chin, deh. Kalian duluan saja." kata Murasakibara dan berbalik ke arah rumah Akashi.
Semuanya sweatdrop mendengar penuturan kata yang tak jauh dari topik makanan lewat mulut Center mereka. Perkataannya seolah menghancurkan dinding kesuraman tentang nasib naas Sang Bayangan. Entah itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan baik atau tidak, tapi setidaknya hawa kecemasan luar biasa tersebut sedikit melunak. Kise dan Momoi melambaikan tangannya sedangkan Aomine dan Midorima terlalu segan untuk menanggapi kepergian Murasakibara.
Beberapa langkah setelah berpisah dengan rombongannya, perhatian Murasakibara teralihkan pada aroma lezat tak jauh dari dirinya. Beralih dari jalan setapak, Murasakibara menginjakan kaki diatas rumput dan mengikuti jalur wangi kue yang ia harapkan itu berasal dari dapur.
READER'S POV
Seberkas cahaya menggores perlahan kanvas light-blue di permukaan itu, menghasilkan goresan yang terbilang nyata, terkadang kasar, halus, bahkan bertumpukan. Sang Lentera Madu itu pun sudah mulai mendekat pada garis horizon yang menjadi batas penglihatanku saat ini, tidak lagi bersinar terang di garis equator. Berlembar-lembar mahkota pohon subtropis menapaki tangga hampa mengelilingi keberadaanku, mulai dari lantai atas sampai ia terduduk pada lantai dasar. Terayun-ayunkan lembaran peach itu oleh hembusan kehampaan dengan begitu tak harmonis tetapi sungguh sangat alami.
Ah, ada apa denganku ini ?
Mengapa baru sekarang otak ini mengetik tentang hal-hal puitis hasil seni Tuhan?
Apakah diriku mulai merasa bosan sehingga tak dapat merasakan hal-hal bodoh di sekitarku saat ini? Atau mungkin ini adalah tanda kehadiran death-angel sehingga semua ilusi Tuhan terasa begitu nyata dan membuat lidahku kelu?
"Ah! aku harus segera memberi makan kelinci."
Aku tersadar dari lamunan bodohku. Yahh, mungkin tidak sepenuhnya bodoh. Dengan segera aku berdiri dan meninggalkan keranjang yang kubawa di atas rumput. Setidaknya tidak akan ada yang mencurinya karena ini sudah dalam wilayah aman.
Aku berbalik ke arah gudang penyimpanan dan berlari kecil ke kandang besar yang penuh dengan mamalia pelompat tersebut. Terdapat 5 buah gembok perak dan electronic-lock di pintu masuk. Hhhhh…. untuk kesekian kalinya aku mengeluhkan hal ini. Mengapa setiap tempat di kediaman ini selalu diamankan dengan yang namanya password? Dan untuk apa ada gembok jika sudah ada electric-lock? Aku sungguh tak mengerti apa yang dipikirkan Ayah –atau orang sewaan Seishirou-sama yang berpengalaman di bidang keamanan– tentang hal ini.
Srak! Srak!
Oh, bagus. Lihatlah Sunny sudah mengais-ngais pintu masuk saat sadar aku berdiri sambil membawa keranjang sayuran. Sunny adalah kelinci putih bercorak hitam layaknya motif kulit sapi perah Australia, Ah tambahkan lagi kata 'gemuk' pada kalimat tadi. Ya, dia adalah kelinci yang paling antusias menyambut kedatanganku atau lebih tepatnya kepada keranjang sayuran yang kubawa. Aku speechless melihatnya. Terakhir kali aku ke kandang kelinci untuk sekedar bermain, dialah yang paling cuek dengan keberadaanku. Dasar kelinci jutek yang rakus!
Aku menekan 10 nomor kombinasi pada electronic-lock itu dan membuka gembok dengan efek gerakan slow-motion. Kulihat Sunny memandang setiap pergerakanku setiap inci sambil gigit jari. Haha, rasakanlah penderitaanmu menunggu lama makanan tercintamu datang, kelinci rakus! –Lho, kenapa aku jadi tertular penyakit 'Balas dendam' Sirius –kucing Persia putih yang sifatnya 11:12 dengan Seijuurou-sama itu –?
Kulangkahkan kakiku memasuki kandang berukuran 8x8 meter tersebut. Ya, kandang yang terlalu luas untuk beberapa ekor kelinci yang dulu menjadi peliharaan Ibunda Seijuurou-sama. Aku duduk di atas bangku kecil yang berada di tengah-tengah kandang. Tanpa aba-aba, Sunny yang sudah keroncongan langsung melompat ke atas pangkuanku.
"Sunny, jangan seenaknya naik ke atas pangkuanku. Tuh, lihat, yang lainnya jadi iri dan memberikan deathglare gratis padamu."
Ya. Semua kelinci di sana menatap ke arah Sunny seolah mengatakan 'Lenyapkan semua yang telah mengambil langkah pertama ke arah dia (baca : makanan) yang tercinta'. Uuuhh…..kenapa semuanya jadi tertular sifat Sirius? Bukankah Sirius tak pernah berkunjung ke sini? Atau mungkin Seijuurou-sama mengajarkan tatacara menjadi Yandere kepada kelinci-kelinci nan polos ini? Oke. Itu bukan berita baik dan aku tak ingin memikirkan hal itu. Salah sedikit berandai saja, pipiku mungkin akan digoreskan lembut oleh benda kesayangan Seijuurou-sama.
Dengan seenaknya, Sunny mengacak isi keranjang dan menjatuhkannya dari pangkuanku. Berbagai macam sayuran berhamburan kemana-mana. Melihat itu, semua kelinci langsung menyerbu dan Sunny melompat dari pangkuanku untuk ikut memperebutkan hak-nya. Apakah ia tak sadar kalau tadi itu ulahnya sendiri? Beberapa kelinci menunjukkan gerakan protes kepada Sunny yang ikut-ikutan menyerbu masuk kerumunan 'Para Perebut Sayuran'.
Aku tertawa melihatnya. Oh, ya ampun, Sunny terlihat menggelikan ketika kedua kaki depannya memegang wortel dan sebelah kaki belakang menahan kepala Sora yang ingin memonopoli wortel yang –sayangnya– sudah direbut Sunny.
"Su-sudahlah, Sora. Ini wortel untukmu. Pffftt…Sunny tolong jangan buat wajah seperti om-om pedofil yang melihat cowok shota, dong. Wajahmu mesum sekali…."
Aku berusaha melerai dan memberikan wortel ke Sora sambil memalingkan wajah ke arah lain supaya tak melihat wajah mesum Sunny kepada incarannya (baca : wortel) itu.
Cklek!
Eh? Uwaaa! Sejak kapan Violet berada di sana dan keluar dari kandang?! Aahhh….ceroboh sekali aku karena tidak menutup pintu masuk. Aku berlari keluar setelah menutup pintu –takut yang lain mengikuti jejak Violet– dan berusaha mengejar Violet yang lebih cepat beberapa langkah di depanku.
"Vi-violet." Aku memanggilnya dengan harapan dia merespon dengan kembali ke arahku tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia melompat lebih cepat dan berhenti di tempat yang kuyakin adalah tempat dimana terdapat keranjang yang kutinggalkan.
"Hng~? Ini kelincimu~?"
Be-besar…..o-orang ini besar sekali. Orang asing? Tidak. Penampilannya adalah asli Jepang. Tapi apakah ada orang Jepang dengan tinggi seperti ini? Hei, itu tidak normal. Sama dengan Seijuurou-sama, ia juga memiliki ciri fisik yang sangat mencolok. Surai dan manik berwarna violet. Tunggu, kalau tidak salah Ayah pernah bilang kalau Seijuurou-sama punya teman-teman yang unik. Layaknya Seijuurou-sama, teman-temannya memiliki surai yang kontras dengan iris matanya. Apakah dia salah satunya? Lalu kenapa dia berada di sini? Kena–
"Hei."
Aku langsung tersentak kaget dengan panggilan itu. Membuat pikiranku kembali fokus kepada fakta yang ada di depan mata. Ia menunjuk ke arah Violet yang sedang mengacak isi keranjangku.
"Violet…" Aku langsung menggendong Violet dan sekali lagi, saliva seakan mencekat di tenggorokanku.
Kenapa? Kenapa isi keranjangku hampir kosong? Aku yakin kalau isinya utuh saat aku tinggalkan tadi. 100% tak kusentuh dan tertata rapi di dalam keranjang anyaman itu. Aku tidak punya banyak keberanian ataupun nyawa cadangan untuk memakan masakan Bibiku itu. Jadi tidak mungkin aku–
"Ini punyamu~? Gomen, tadi aku langsung makan karena lapar~."
Pernyataan itu membuat jantungku seolah berhenti. Dia…..memakannya? Memakan habis isi keranjang anyaman yang kubawa? Tidak. Aku sama sekali tidak berpikir untuk marah jika seseorang mencuri isi keranjangku –meskipun Sang Pencuri tepat di depan mataku–. Aku memang bersusah payah membawa keranjang makanan itu sebagai buah tangan dari Bibiku yang tempat tinggalnya di lembah tak jauh dari sini. Jalan yang paling aman adalah memutar ke arah hilir sungai dan sedikit berbasah ria dengan dangkalan sungai lalu menembus kebun sayuran untuk sampai ke rumah Bibi yang bertempat di pinggir desa. Memang sangat sulit dan butuh waktu.
"Aku kesini karena mencium wanginya~. Kamu juga mau?"
Sejulur lengan besar terulur ke arahku memperlihatkan chocolate cupcake yang sepertinya adalah makanan terakhir yang ada di dalam keranjang itu. Aku menggeleng keras dan menatapnya dengan takut. Bukan. Bukan karena aku takut dengannya tapi dengan apa yang akan terjadi dengannya. Ini bencana!
Aku berlari ke arah kandang kelinci dan meletakkan Violet kembali. Dengan cepat aku mengunci pintu masuk, sangat berbanding terbalik dengan efek gerakan slow-motion saat kubuka pintu masuk ini. Aku tidak punya waktu bermain-main karena ini keadaan darurat.
Aku berlari ke arah pemuda itu dan mencoba menarik lengan besar itu untuk berdiri.
"Mau kemana~?"
"A-aku harus... menyelamatkanmu..."
Aku tahu ia memandang aneh diriku yang mengatakan kata-kata ambigu. Tapi itu memang kenyataannya. Bibiku itu dijuluki 'Scorpion Angel' karena Poison Cooking-nya, dari yang berefek mual sampai mati mendadak. Tambahan pula dengan delayed effect yang terkandung di dalamnya. Aku menerima Poison Cooking itu karena Bibi memandangku dengan penuh harapan dapat mencoba masakannya.
Indah, klasik, dan elegan. Itu adalah tiga kata yang terbayang jika melihat fisik makanan itu tapi disitulah letak bahayanya. Pertama kalinya dalam hidupku, saat umurku 6 tahun, aku merasa berada di perut gunung merapi dimana leherku direbus oleh magma dan perutku diguncangkan keras bagai gempa vulkanik. Oke, Itu bukan pengalaman yang patut dikenang.
Aku memaksanya berlari ke arah dapur, tepat di belakang kediaman besar itu. Ah, mungkin aku beruntung karena Ibu terlihat sedang memasak di sana. Dengan segera, aku menghampirinya.
"Ka-Kaa-san, a-aku…..minta…..hosh…hosh….."
Uuuhhh, karena lari dengan kecepatan tak tentu napasku jadi memburu seperti ini. Pasokan udara terasa sangat minim di sekitarku. Atmosfer dunia seakan hanya sejengkal diatas ubun-ubun. Napasku terhempaskan pendek-pendek. Iris grayish-blue ini menatap sayu ke arah Ibu. Uuhhh….bagaimana ini? Kakiku rasanya lemas sekali. Tidak. Kedua tungkai ini tidak lagi mampu menahan massa tubuhku.
"[Name]-chan, ka-kamu tidak apa-apa?" Ibu bertanya dengan penuh nada khawatir kepadaku. Kedua tangannya memegang kedua bahuku untuk membantuku terduduk dengan pelan dan tanpa hentakan.
Aku terduduk perlahan di lantai dibantu Ibu dan pemuda itu. Sejulur tangan besar memapah punggung dan pinggangku. Ah, sepertinya aku juga membuat ia kerepotan. Bodoh sekali diriku. Padahal niat awalku adalah membantunya. Miris.
"…hosh…hosh….Kaa-san, tolong sediakan….. o-…bat penawar racun untuk….nya. Dia….memakan habis masakan….bibi yang kubawa…."
Aku mengeluarkan suaraku dengan kalimat terputus-putus. Aku tak kuat mengatakannya dengan nada panjang. Suaraku terdengar semakin turun dan melemah. Ibu tersentak mendengar penuturanku karena aku melanggar perintahnya untuk tidak keluar dari kediaman Akashi, tetapi segera beliau beralih mengambil segelas air lalu memberikannya padaku. Aku memandang permukaan gelas itu sesaat. Ahh…terpantul wajah lemah pada genangan bening itu,….. Sungguh menyedihkan. Sedikit demi sedikit air mengalir di tenggorokanku, secara perlahan merendahkan kecepatan tinggi aliran udara pada paru-paruku. Jika kusadari lebih awal, mungkin seharusnya aku berjalan biasa tetapi ini situasi emergency.
Ibu tersenyum menatap pemuda itu yang masih mengelus-elus kedua pundakku, mungkin ia berniat untuk menenangkanku. Dan kuakui itu membuat napasku perlahan menjadi teratur kembali.
"Terima kasih, Murasakibara-sama. Maaf telah merepotkan anda. Akan segera saya ambilkan obat penawarnya." Setelah berkata begitu, Ibu kembali mengacak isi lemari dan memberikan sebotol obat penawar kepada pemuda di belakangku.
"Apa ini~?" Dia bertanya dan memandang heran kepada botol ukuran standar wine (**) yang berisi cairan hijau-kehitaman yang diberikan Ibuku.
Sungguh, awalnya aku juga tidak percaya kalau botol berisi cairan mencurigakan itu adalah obat penawar makanan elegan –tetapi beracun– buatan bibiku. Hei, mana mungkin ada cairan hijau-kehitaman jika itu bukan hasil percobaan-percobaan aneh di laboratorium 'kan? Tapi inilah kenyataannya. Racun harus dibalas dengan racun.
"Makanan yang Murasakibara-sama makan tadi adalah makanan beracun yang dibuat.. err…..saudara perempuan saya. Racun itu bekerja lambat. Jika Murasakibara-sama tidak meminum penawar ini, kemungkinannya Murasakibara-sama akan merasa mual-mual."
Oh, bagus sekali, Ibu. Kenapa memberitahukan efek paling rendah yang akan dihasilkan makanan beracun itu? Bukankah Ibu pernah memperingatkan kalau satu potong cake-nya bisa membunuh hiu sekejap tanpa rasa sakit, lebih tepatnya mati tanpa siksa duniawi.
Manik violet itu bertemu manik grayish- blue yang kumiliki. "Ku-kumohon percayalah…ka-kami tak bermaksud …untuk meracunimu." kataku mencoba untuk membuatnya meminum obat itu sebelum efek-nya bekerja.
Mungkin karena berfikir bahwa kami –yang selaku pembantu di rumah temannya itu– takkan berani mengelabuinya, ia langsung meminum isi botol itu. Sampai habis. Ya ampun, padahal aku yakin cairan itu punya rasa pahit yang luar biasa tetapi dia menghabiskannya dalam 3 kali tenggakan. Ternyata mempunyai tubuh sebesar itu bukan berarti tidak ada artinya, ya.
"Ah~, hampir lupa~. Ini dapur 'kan? Boleh aku minta beberapa cemilan? Aku lapar~."
Mendengar permintaan itu, Ibu langsung mengangguk semangat lalu berlari ke ruang penyimpanan. Sepertinya pemuda itu sudah terbiasa meminta tambahan makanan di sini. Aku sedikit heran karena aku tidak pernah melihatnya. Padahal aku anak kepala pelayan di kediaman Akashi ini, tapi baru kali ini aku bertemu dengan teman Seijuurou-sama.
"Ne~."
Huwaaa! Aku tersentak kaget melihat wajahnya begitu dekat denganku. Apa? Kenapa? Kenapa tiba-tiba dia menyapaku? Apa salahku? Eh, bukan itu. Aku memang pihak yang patut disalahkan di sini karena meninggalkan keranjang penuh makanan menggiurkan tanpa memperingatkan kalau makanan itu beracun, tapi….tapi…..haruskah menatapku dari jarak sedekat ini?
"Kamu sudah tidak apa-apa~?"
Aku merasa tepukan pelan di punggungku. Apakah dia….mencemaskanku? Apakah penyakit asmaku yang kambuh membuatnya khawatir?
"…..Su…mimasen….."
Aku menjawab pertanyaannya dengan suara pelan –yang kuyakin itu tak terdengar olehnya. Aku menundukan kepala menyesal. Mungkin lain kali aku harus menulis kertas peringatan dan kutempelkan di keranjang agar insiden berbahaya ini tak lagi terulang. Jika Sang korban tak sempat ditolong bagaimana jadinya? Mungkin aku akan dituduh dalam pembunuhan tak sengaja di meja hijau. Tidak. Itu skenario yang sangat buruk.
Kemudian, Ibu datang membawa sekantung plastik penuh makanan ringan dan memberikannya kepada pemuda tinggi tersebut. Pemuda itu menerima dengan reaksi yang kekanak-kanakan, matanya berkilat senang dan senyum lebar mengembang. Lalu dia melangkah keluar setelah sebelumnya mengusap pelan puncak kepalaku, membuat kepala kecil ini mendongak ke arah wajah pemuda itu.
Dan aku tidak pernah tahu kalau roda takdirku akan berubah saat kata-kata terakhir yang pemuda tersebut ucapkan sebelum melangkah pergi ke dunia luas di luar jarak pandangku,
"Matta na, [Name]-chin~." (***)
.
.
.
TBC
.
.
Catatan :
(*) : Yang sadar pasti tahu kalau ini pendeskripsian Ciel Phantomhive (Kuroshitsuji) yang memakai dress pink. Pemuda narsis bersurai pirang adalah pendeskripsian Viscount dan little bird menunjukkan remaja perempuan yang datang ke pesta.
(**) : Botol wine yang dimaksud hanya berdasarkan acuan ukurannya saja, bukan berarti cairan ungu-kehitaman itu wine ._.v
(***) : Bahasa Jepang yang artinya 'Sampai Jumpa Lagi'.
.
.
Gomen, Minna. Bahasanya naik turun begini. Author gak percaya diri bikin ff romantic tapi gak bisa bikin ff humor juga, horror gak pernah bikin malahan/inianakmaunyaapa?/. Maafkan Author karena ini penuh ke-gaje-an. Kalau mau bilang delete, katakan saja. Aku memang Author baru dan gak sehebat senpai-tachi/pesimismode:on/
Si 'Aku' memiliki ciri-ciri : warna matanya Grayish-blue, warna rambutnya Turquoise (sama seperti Hatsune Miku), model rambut tergerai biasa, panjang sampai pinggang, sedangkan tinggi dan berat badan adalah 149 cm, 39 kg. dada D cup/gakadaygnanya/. 'Aku' itu tidak bekerja sebagai maid lho. Soalnya dia masih dibawah umur. Dia hanya anak kepala pelayan(Ayah) dan koki(Ibu) di rumah Sei.
Dua fanfic-ku ini akan dipublish setiap sabtu atau minggu. Jadi gak perlu nyari saat hari Senin-Jumat. Gak akan ada soalnya.
Minat R^R? Coblos review di bawah ini !/pemiluudahlewatOi!/
See you, next chapter….
Sign,
Tanaka Aira
