Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Hinata membuka kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Lapat-lapat didengarnya dua deru suara air yang berlainan. Salah satunya terdengar dari shower yang menyala di kamar mandi. Sementara yang satu lagi berasal dari luar sana, dimuntahkan tanpa ampun oleh langit Sunagakure dan menghujam seluruh daratan pasir tanpa haenti. Hanya beberapa hari dalam setahun negeri pasir diguyur hujan. Tak disangka, hari ini adalah salah satunya.

Bertumpu pada siku kirinya, Hinata bangkit perlahan. Tangan kanannya menggenggam sehelai selimut berwarna biru tua yang sudah tampak teracak-acak di atas ranjang itu. Satu-satunya benda yang menutupi tubuh polosnya tersebut ia balutkan sebelum menjejakkan kakinya tanpa alas ke lantai yang dingin.

Sepasang kaki putih mulai melangkah, menuju jendela lebar yang menghadap ranjang. Sebelah tangan Hinata membuka dua muka jendela itu. Deru hujan yang tadinya terdengar samar-samar kini menggemuruh deras. Mata beningnya menatap lurus. Sebulan lebih telah ia habiskan di bawah teriknya Suna dan baru kali ini ia melihat hujan. Beberapa menit berlalu, tanpa sengaja matanya berputar, pandangannya lantas menumbuk secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Diraih dan dipandangnya secarik kertas itu. Sebuah undangan pernikahan. Ditatapnya lama-lama. Lama dan kosong.

Derasnya suara hujan turun dan pikirannya yang melayang entah kemana membuat Hinata tak menyadari beberapa hal, mulai dari shower yang berhenti menyala, pintu kamar mandi yang dibuka, dan langkah kaki yang berhenti persis di belakangnya.

"Apa kau baik-baik saja ?", sebuah suara datar mengharuskan Hinata kembali ke dunia nyata. Sosok sang pemilik suara mengenakan sehelai handuk putih mengitari pinggangnya. Tetes-tetes air berjatuhan dari rambut merah yang basah, lalu meluncur pelan ke dada dan perutnya yang berlekuk sempurna.

"Y....ya. Aku baik-baik saja", jawabnya sambil meletakkan kembali undangan itu. Digerakkannya kepala sedikit, sekadar merespon tatapan mata hijau yang tertuju padanya.

"Kau yakin ?", suara sang Kazekage terdengar mengulang.

"Tentu", Hinata berusaha menjawab secepat dan sejelas yang ia bisa, "kenapa bertanya seperti itu ?".

"Entahlah", masih tanpa emosi Gaara melanjutkan, "tapi sejauh yang kutahu, kesadaranmu langsung lenyap saat mendengar pengakuan Naruto pada semua orang bahwa Sasuke adalah kekasihnya. Tidakkah undangan pernikahan mereka membuatmu merasakan sesuatu ?".

"Aku selalu berbahagia atas kebahagiaan temanku. Tak mudah membuat seisi Konoha memahami perasaan mereka", Hinata mencoba berkilah.

"Dan mungkin kepulangan Sasuke ke Konoha adalah satu-satunya alasanmu menerima lamaranku".

Pernyataan terakhir itu membuat Hinata harus mengambil jeda sejenak sebelum menyahut kembali, "Apa kau meragukan kesungguhanku, Kazekage-sama ?".

"Kazekage-sama ?", Gara menyambung, "begitukan caramu memanggil suamimu ini ?".

Hinata diam tak menimpali.

"Aku tahu kau sungguh-sungguh, Hinata. Aku tahu kau sungguh-sungguh ingin meneruskan hubungan baik Konoha-Suna. Aku meminangmu karena kesungguhan itu".

Hinata masih diam tak menimpali. Bahkan sampai kedua tangan Gaara terulur untuk merengkuhnya, gadis cantik itu masih bingung harus berkata apa. Dekapan hangat Kazekage muda membuat jantungnya berdegup melebihi ambang batas normal. Bias merah merayapi wajahnya sejurus kemudian.

Hening. Untuk beberapa lama hanya suara hujan yang terdengar di telinga mereka.

"Kita berangkat ke Konoha minggu depan. Apa kau keberatan ?", tanya Gaara lirih, persis di telinga sang istri.

"Ti.....tidak".

"Apa kau juga tak keberatan kalau aku menutup jendela ini ?".

Pertanyaan tadi memaksa Hinta untuk berfikir. Kenapa jendela harus ditutup sementara ia sedang menikmati pemandangan hujan yang langka itu ?

Tapi rupanya Hinata tak perlu bertanya lagi. Ia mendapatkan jawabannya sesaat kemudian, ketika dirasakannya jemari Gaara menelusup masuk, bergerilya di balik selimut biru tua itu, dan mulai menjamah sepasang pahatan Tuhan yang mulus didadanya.

".............ya, …............... Kau boleh menutup jendelanya", jawab Hinata sembari tangan kirinya membenamkan kepala Gaara kembali ke lehernya dan Gaara pun bergegas memangsa bagian itu.

Konohagakure, akhir minggu berikutnya...............

"Kau mau ke rumah keluargamu dulu, kan ?", tanya Gaara tak lama setelah rombongannya tiba di kampung halaman Hinata.

Sang istri hanya membalas dengan anggukan.

"Ajaklah Temari. Aku akan menyusul. Setelah menyapa Naruto di kantornya".

"Iya, aku tunggu".

Tapi tak lebih dari dua belas jam kemudian, Hinata mulai menyesali kata 'iya' itu. Sampai malam tiba Gaara tak juga menyusulnya. Sementara Temari yang ia ajak tadi pagi malah menghilang bersama Shikamaru. Entah kemana. Kalau saja meninggalkan kediaman suami dan tidur di rumah orang tua bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang perempuan bersuami, Hinata takkan mau menyusuri jalanan Konoha yang gelap itu sendirian.

Tiga langkah setelah ia berbelok di sebuah tikungan, mata Hinata menangkap bayangan sesosok pemuda yang berjalan terhuyung menyeruak dari ujung lain jalan itu. Hinata mengerutkan dahinya tanda mengenali sosok gelap tersebut. Langkah gontainya membuat Hinata sontak berpikir tak baik.

"Sasuke...........?"

Tentu saja orang yang namanya disebut tak menyahut barang sedikit. Tubuhnya hampir limbung karena pengaruh alkohol. Pikirannya penuh dan berputar-putar. Di dalam gang yang gelap itu, meski dengan sharingan aktif, yang mampu dicernanya hanyalah pertengkaran dengan Naruto beberapa saat lalu.

"Tidak, Teme ! Aku bilang tidak !", sentak Naruto dalam ingatannya.

"Kau kenapa ? Berpikirlah ke depan !".

"Kau yang kenapa !", suara Naruto meninggi, "Tidak tahu bagaimana susahnya mendamaikan lima negara ? Ha ? !!".

"Justru karena aku tahu, Dobe", Sasuke tak mau kalah, "Ini satu-satunya cara menjaga kelanggengan perdamaian yang kau katakan itu !".

"Tidak !! Tidak akan ada pendudukan, perluasan wilayah, invasi, atau apapun ! Biarkan semua berjalan seperti ini !".

"Kau kolot, Dobe !".

"Dan kau gila, Teme ! Kurasa aku salah tentangmu ! Kau belum berubah !".

Suara pintu yang terbanting mengakhiri pertengkaran itu. Sasuke yang kalut langsung menyibukkan diri dengan menenggak sake yang tak sedikit.

Dan disinilah ia sekarang. Di sebuah gang yang sepi, di tengah malam yang gelap, dengan sisa kewarasan yang entah sedang berada dimana.

Hinata yang melihat Sasuke seperti hendak ambruk langsung mendekat setengah berlari. "Kau kenapa ?", tanyanya khawatir.

Sasuke menjawab dengan sentakan tanpa bisa mengenali siapa yang sedang mendekatinya, "Kenapa kau tidak mau mengerti maksudku, Dobe ! Bodoh !"

Hah ?!! Dobe ?

Seketika Hinata membatin sesuatu yang tak beres. Tapi sayang tubuhnya tak mampu merespon secepat nalurinya. Malang bagi Hinata, karena pada detik berikutnya ia sudah terkunci di dunia siksaan khas Uchiha.

Tsukoyomi.

Sasuke yang kehilangan akal menerjang tubuh Hinata yang tak berdaya.

Bruak !!!

Hinata terdorong tanpa mampu melawan. Suara punggungnya yang menghantam pagar tembok tak terdengar oleh Sasuke.

"Ini demi kita, Dobe ! Demi kita ! Demi kau dan aku !", racau Sasuke tak karuan sambil mengguncang-guncang bahu Hinata.

Sasuke kalap di detik yang lain. Tanpa pikir panjang bibirnya melumat bibir Hinata sedemikian ganas. Menghisap dan menggigitinya hingga berdarah. Kemudian lidahnya menjelajah dengan beringas hingga ke leher Hinata, terus ke bawah. Sementara tangan kanannya mengoyak pakaian Hinata, mengenyahkannya dengan kasar. Kedua tangan pemuda itu lantas merayap-rayap tak terkendali. Menjamah dan meremas semua bagian yang dia inginkan. Mulutnya terus turun, sampai pada lembah yang menantang di dada Hinata.

Di sanalah tindakannya terhenti. Sesuatu menghentikannya. Sesuatu yang bergerak dan mengeluarkan bunyi seperti mendesis. Sasuke terdorong hingga memental jauh dari tubuh Hinata yang rubuh seketika.

Mata Sasuke membelalak melihat benda yang menyungkurkannya.

Pasir.

Sasuke sontak menoleh. Dilihatnya Gaara berdiri tak jauh dari sana, dengan raut wajah yang takkan sedikitpun bisa ia baca. Dan, ya Tuhan ! Kazekage itu tidak sendiri !

Rokudaime Hokage berdiri persis di sampingnya !

-

-

-

-

-

TBC ?