MASK
WINNER Fiction
Characters: All WINNER member and other
Pairing: MinYoon (Minho X Seungyoon)
Warning: BL
Rated: T-M
Boomiee92
Sudah lama tidak menulis pair ini, selamat membaca maaf atas segala kesalahan. Happy reading all
BAB SATU
Lelaki itu tampak serius. Seungyoon tidak benar-benar paham dengan apa yang mereka perbincangkan sekarang. Rasanya sangat jauh seperti membahas planet di luar galaksi. Bahkan Seungyoon harus berusaha kerast untuk mengingat planet di dalam sistem tata surya. "Seungyoon."
"Ya."
"Kau menyimakku bukan."
"Tentu." Seungyoon menampilkan wajah serius terbaiknya meski di dalam hati ia berulang kali mengumpat. Pertemuan ini memuakkan, ia muak dengan laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang.
"Bisakah kau melakukannya?"
Seungyoon terdiam selama beberapa detik, menimbang-nimbang jawaban. "Bukankah sudah jelas Ayah." Ya, lelaki dihadapan Seungyoon adalah ayahnya. Ayah yang memilih pergi demi perempuan lain.
"Seungyoon…,"
"Maaf saya sangat lapar sekarang." Seungyoon mengemukakan alasan untuk menunda pembicaraan, alasan yang konyol. Ia sudah sarapan tadi sebelum pergi.
"Baiklah kau boleh memesan apapun." Mata hitam sipit itu mengamati pergerakan Seungyoon dengan teliti. Seungyoon memiliki bentuk mata yang sama dan terkadang itu membuatnya muak terhadap dirinya sendiri. Tangan kanan Seungyoon terangkat singkat, tak lama pelayan perempuan dengan senyum ramah menghampiri meja.
"Kopi?"
"Teh." Balas Seungyoon.
"Sarapan?"
Seungyoon mengangguk pelan. "Roti panggang dengan satu telur dadar di atasnya, telurnya benar-benar matang, jangan setengah matang."
"Baik." Si pelayan kemudian menatap ayah Seungyoon. Laki-laki itu mengatakan jika dia memesan makanan yang sama juga minuman yang sama.
"Kenapa?" Seungyoon bertanya tanpa basa-basi.
"Apa?"
Seungyoon mendengus malas. "Tuan Taeyang yang terhormat, kenapa Anda meminta saya untuk menyelidiki kasus yang sudah jelas ditutup."
"Apa kau tidak merasa janggal dengan kasus yang menimpa Minzy?"
"Tewas karena trauma di kepala."
"Seungyoon kau sangat cerdas, bahkan sekarang aku yakin di dalam hati kau menertawai ucapanmu sendiri." Si pelayan muncul sebelum Seungyoon mengatakan sesuatu untuk membalas kalimat ayahnya.
"Dua roti panggang, telur dadar matang, dan dua cangkir teh." Dengan lancar si pelayan menyebut pesanan keduanya.
"Iya." Seungyoon menatap Taeyang. Ayahnya mengangguk pelan. "Benar. Itu pesanan kami terima kasih banyak." Si pelayan tersenyum setelah meletakkan semua pesanan ke atas meja kemudian pelayan ramah itu undur diri dengan cara yang sangat sopan hingga terkesan seperti hasil latihan selama beberapa bulan.
"Aku ingin kau melakukan penyelidikan atas kematian adikmu."
Hati Seungyoon seolah tergores pisau. Adik, ia bahkan tidak pernah menganggap laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang ayahnya lagi setelah pergi tanpa belas kasihan. Meninggalkan dirinya serta ibunya dalam kesulitan ekonomi. "Kang Seungyoon, Ayah mohon.
"Maaf saya ingin makan dengan tenang." Seungyoon menggunakan tangan kanannya untuk mengambil roti panggang di dalam piring, menggigit ujung roti dan telur dadar dalam gigitan besar. Rasanya sangat enak, namun tentu saja ia tidak puas karena perutnya sudah penuh, ini hanya pengalihan saja. Mengunyah pelan, melumat potongan roti dan telur di dalam mulutnya. Menelan, dan memimun seteguk teh hangat.
Taeyang melihat Seungyoon yang meletakkan cangkir ke atas tatakan sebagai kesempatan untuk bicara. "Tidakkah kau ingin tahu bagaimana trauma kepala semengerikan itu bisa terjadi?"
"Benturan keras, konsumsi obat-obatan." Seungyoon membalas sekenanya.
"Otak yang hancur seharusnya diikuti oleh tengkorak yang hancur Seungyoon kau tahu dengan jelas hal itu, dan obat apa yang bisa membuat otak seseorang menjadi selembek margarin bahkan margarin yang nyaris mencair, tes darah menunjukkan putriku tidak mengkonsumsi obat apapun."
Ada sesuatu yang Seungyoon rasakan kala Taeyang memanggil Minzi dengan putriku. Ia tidak ingat Taeyang pernah mengucap kata putraku kepadanya dengan bangga, atau dengan sorot penuh kesedihan. "Seungyoon aku mohon, istriku sangat terpukul dengan kepergian Minzi. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada putriku, siapa yang menyakitinya, apa motif mereka."
"Aku turut menyesal atas putri Anda. Seharusnya Anda mencari detektif yang berkompeten bukan polisi rendahan seperti saya. Maaf Tuan Taeyang." Seungyoon meletakkan roti panggangnya serampangan ke dalam piring plastik. Ia sudah benar-benar muak dan harus keluar untuk menghirup udara segar.
"Istriku sekarat Seungyoon." Langkah kaki Seungyoon terhenti hati nuraninya berkata untuk menolong Taeyang, namun kilas masa lalu yang ia ingat kembali tak mengijinkan dirinya untuk melakukan apa-apa pada Taeyang dan keluarga barunya. "Kanker otak, paling lama tujuh bulan." Seungyoon menegakkan tubuh, ia harus bergegas pergi sebelum terpengaruh dengan bujukan Taeyang. "Jika kau berubah pikiran."
Taeyang menyodorkan kartu namanya, kartu nama berwarna hitam dengan huruf berwarna emas tercetak pada permukaannya. Seungyoon mengambil kartu nama itu setengah hati. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Seungyoon memilih pergi setelah meletakkan uang lima ribu won ke atas meja. Seungyoon menarik napas panjang, mengelap mulutnya dengan punggung tangan kanan. Mengambil sepeda dan mengayuhnya pergi meninggalkan kafe. Seharusnya dia tidak perlu datang memenuhi permintaan Taeyang.
.
.
.
"Seungyoon."
"Hai Taehyun."
"Kenapa wajahmu kesal? Ah setiap detik kau selalu terlihat kesal." Seungyoon berusaha menampilkan senyum untuk candaan tidak berkualitas dari Taehyun. "Jangan memaksakan diri." Ucap Taehyun sebelum perhatiannya tertuju penuh pada layar komputer. Seungyoon berdiri di depan dispenser menuang air mineral ke dalam gelas plastik putih di tangan kirinya. "Sepuluh menit lagi beberapa orang tua akan datang menjemput anak-anak mereka."
Di sela kegiatannya meneguk air mineral, Seungyoon menoleh ke kanan melihat sel tahanan sementara. Ada enam anak laki-laki dengan seragam sekolah dan terlihat teler. "Obat terlarang?"
Taehyun hampir melempar pot kaktus di sisi kiri tubuhnya menanggapi kebodohan Seungyoon. "Bodoh. Jika kasusnya adalah obat terlarang mereka tidak akan bebas hanya dengan jaminan orang tua."
"Perkelahian? Konsumsi alkohol di bawah umur?" Taehyun mengangguk pelan. "Hmmm." Seungyoon menyambung kalimatnya dengan gumaman.
"Bermain dengan perempuan juga, kau tahu maksudku kan Seungyoon, tempat seperti apa yang mereka kunjungi?"
"Ya." Seungyoon menjawab singkat ia memutar tubuhnya meletakkan cangkir plastik kosongnya ke atas tatakan gelas berwarna merah cerah yang tentu saja terbuat dari plastik juga. Ia lantas duduk di hadapan Taehyun. "Masalah orang tua, Jinwoo hyung ahlinya."
"Kau benar." Taehyun tertawa pelan di akhir kalimat. "Astaga kapan aku akan menangani kasus-kasus besar….," entah sudah berapa kali Taehyun mengeluhkan pekerjaannya.
"Bersabarlah kau baru menjadi polisi kurang dari setahun."
Taehyun melempar tatapan sinis kepada rekannya. "Dan kau sudah menjadi polisi selama dua tahun dan tidak ada kasus besar yang kau tangani." Ucapnya dengan nada mengejek.
"Aku justru merasa bersyukur akan hal itu, artinya lingkungan kita aman ah Negara kita aman."
Taehyun mendecih. "Oh aku baru ingat. Bagaimana pertemuanmu dengan….,"
"Nam Taehyun." Seungyoon memperingati.
"Baiklah, bagaimana pertemuanmu?"
"Biasa saja." Seungyoon menanggapi tanpa antusias, ia meraih majalah otomotif kemudian mulai membaca.
"Kasus yang menimpa—menimpa ya kau tahu siapa yang aku maksud. Memang aneh, cara kematiannya—Seungyoon kau tidak berniat untuk melakukan penyelidikan dia kan…, ah maaf. Aku tutup mulutku." Taehyun memilih bungkam karena tatapan membunuh Seungyoon cukup mengerikan.
"Whas up my man!" Seperti biasa Seunghoon datang dengan cara yang berisik. Dia terobsesi menjadi rapper namun takdir berkata ia harus menjadi seorang polisi. Seunghoon rajin mendengarkan para rapper dari negeri Paman Sam, meniru gaya mereka dengan logat Korea yang kental. Perpaduannya cukup menghibur, ya cukup menghibur sebagai pelepas stress karena jika keterlaluan Taehyun tak segan menyiram wajah Seunghoon dengan air mineral. "Seungyoon pergantian jam jaga, pulanglah."
"Ya." Seungyoon tidak ingin berbicara lagi, ia sangat lelah dan pikirannya sedang berkecamuk sekarang. Ia dilemma, antara hati nurani dan keegoisan dirinya. "Sampai besok semuanya."
"Kau datang hanya untuk mengejek, aku yakin itu." Taehyun tak pernah memiliki suasana hati yang baik saat bertugas akhir pekan.
Seunghoon tersenyum lebar, dia selalu bersemangat setiap hari. Terutama akhir pekan, Seunghoon benar-benar tertarik dengan kasus kenakalan remaja. Pemikiran yang sangat aneh menurut Seungyoon. Setelah memakai jaket untuk menutupi seragam dinasnya Seungyoon melangkah keluar meninggalkan kantor. Ketika mendorong pintu keluar ia berpapasan dengan dua pasang paruh baya, ia yakin mereka adalah orang tua anak remaja yang tertangkap hari ini.
"Selamat malam Tuan." Salah satu perempuan paruh baya menyapa Seungyoon ramah.
"Selamat malam Nyonya." Seungyoon membalas sopan, membungkukkan badannya sementara tangan kanannya menarik salah satu daun pintu semakin ke dalam. Agar para orang tua berwajah cemas itu sedikit terbantu malam ini.
Kang Seungyoon mengayuh sepedanya lambat meninggalkan kantor polisi menuju flat sederhana tempatnya tinggal bersama sang ibu. Udara pertengahan musim panas terasa lembab. Menghentikan sepedanya di pertigaan yang ramai saat lampu berganti merah. Kaki kiri Seungyoon bertumpu pada trotoar, menyeimbangkan diri dengan kaki kanan tetap berada di pedal. Ada waktu selama satu menit untuk memperhatikan kesibukan di sekitarnya. Para muda-mudi yang tengah asyik menikmati Seoul di malam hari. Seungyoon bukanlah anak penurut di masa lalu, ia pembuat onar dan sedikit lagi ia mungkin bisa masuk ke dalam penjara.
Ada satu malam yang mengubah segalanya, malam saat dirinya terbangun akibat rasa haus. Malam saat dia melihat ibunya menangis tersedu, menangisi hutang yang menumpuk, menangisi anak satu-satunya yang nyaris tak memiliki masa depan. Setelah malam itu Seungyoon berubah, dia masih pendiam namun menjauhi masalah, bekerja keras, dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hal apapun.
Lampu berganti hijau, Seungyoon bergerak cepat sebelum lalu lintas yang padat menutup celahnya untuk pergi. Masuk, keluar, dan menyelinap di antara celah-celah sempit mobil yang berhenti nyaris tak berjarak. Sangat menyenangkan karena dirinya tak seperhitungan Kim Jinwoo, rekan kerjanya yang selalu panik dengan kemampuan bersepadanya. Jinwoo akan memikirkan resiko terjepit karena itu dia tidak pernah memakai sepeda atau menyetir mobil patroli. Sikapnya terlalu berhati-hati dan terlalu lembut untuk seorang polisi.
Ia kayuh pedal sepedanya lebih cepat saat jalanan mulai menanjak. Dan ketika jalan menurun Seungyoon tanpa sadar tersenyum. Rasanya menyenangkan sekaligus melegakan seperti sebuah pekerjaan berat yang terbayar lunas. Ia berbelok ke kiri memasuki kawasan pemukiman sederhana di pinggiran kota Seoul. Seungyoon memarkir sepedanya di lantai pertama flat. Lantai yang khusus digunakan sebagai tempat parkir. Parkiran didominasi dengan sepeda, mobil dan sepeda motor terlalu mahal untuk penghuni flat yang didominasi para mahasiswa.
Flat dengan tiga lantai, hanya lantai kedua dan ketiga yang digunakan sebagai tempat tinggal pada masing-masing lantai terdapat empat kamar. Total ada sepuluh penghuni. Seungyoon dan ibunya tinggal berdua, kemudian ada pasangan muda yang tinggal di lantai tiga, sisanya para mahasiswa yang tinggal seorang diri.
"Selamat datang." Ibunya seperti biasa akan menyambut kedatangan Seungyoon dengan ramah.
"Mandilah, Ibu sudah menyiapkan makan malam untukmu." Seungyoon hanya mengangguk pelan. Ia memang jarang berbicara dengan ibunya, tidak ada masalah apapun hanya saja Seungyoon tidak pernah menemukan topik pembicaraan yang tepat.
Flat tempat tinggal Seungyoon dan ibunya hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang kerja, ruang makan, dapur, ruang keluarga, dan ruang tamu menjadi satu. Seungyoon biasa tidur di depan televisi, menggelar kasur lipat. Perabotan nampak berjejalan satu sama lain berebut tempat, Seungyoon berterimakasih pada kecakapan ibunya yang membuat flat mereka layak huni. Seungyoon sudah menabung untuk mencicil tempat tinggal yang lebih layak, sayangnya mereka harus menunggu paling singkat dua tahun sampai tabungan Seungyoon cukup. Seungyoon melarang ibunya untuk bekerja, ia ingin ibunya tinggal di rumah dan mengobrol dengan tetangga. Ibunya sudah cukup bekerja keras di masa lalu sekarang gilirannya sebagai anak untuk berbakti.
Sepuluh menit kemudian Seungyoon selesai dengan kegiatan mandinya. Nyonya Kang duduk di belakang meja kayu serbaguna tersenyum menatap Seungyoon. "Ayo makan Nak."
"Ibu sudah makan?"
"Sudah."
Ia tarik salah satu kursi dari empat kursi kayu menggunakan tangan kirinya. Seungyoon duduk dengan gerakan pelan. Terkadang nyonya Kang merasa sedih karena putranya bersikap terlalu sopan padanya dan seolah memberi jarak pada hubungan mereka. Nasi hangat, sup tahu dicampur dengan taoge dan lembaran rumput laut adalah menu makan malam yang ibunya sediakan malam ini. Rasanya benar-benar enak, Seungyoon memakan dengan lahap dan tenang.
"Bagaimana hari ini?" seperti biasa nyonya Kang memulai obrolan.
"Baik, masalah seperti biasa para remaja."
Saat ibunya tak mengajukan pertanyaan lain, Seungyoon merasa tercekik entahlah ia yakin jika ibunya sedang menunggu sesuatu. Seungyoon menurunkan sendok dan sumpit di kedua tangannya. "Ibu…," kalimatnya menggantung di udara, ia ragu.
"Ya?" Seungyoon menatap wajah sang ibu lekat, jelas sekali jika ibunya ingin mendengarkan semuanya secara lengkap.
"Hari ini aku bertemu dengan Ayah, ah, bertemu dengan Taeyang." Tidak ada perubahan ekspresi wajah dari sang ibu. Mungkin ibunya sudah lupa dengan semua tindakan Taeyang dan hanya Seungyoonlah yang menyimpan dendam selama sepuluh tahun terakhir. "Putri Taeyang dengan wanita itu tewas dengan cara tragis."
"Ah!" ketika ibunya tersentak Seungyoon merasa bingung. "Itu kabar yang menyedihkan." Seungyoon tidak tahu apa ibunya bersimpati dengan tulus atau justru menertawai semua nasib buruk mantan suaminya dengan keluarga barunya. Namun, ekspresi wajah ibunya terlihat tulus, kedua mata beliau nampak berkaca-kaca. "Apa yang terjadi Seungyoon?"
Seungyoon mengendikkan kedua bahunya. "Awalnya pihak kepolisian mencurigai kasus pembunuhan tapi ketiadaan bukti menyebabkan kasus ditutup dengan kesimpulan kecelakaan."
"Kenapa ayahmu datang menemuimu?"
"Ayah ingin aku menyelidiki kematian Minzy, Ayah tetap yakin jika Minzy tewas karena pembunuhan. Itu konyol, seharusnya Ayah menemui detektif terkenal yang berkompeten aku yakin uangnya cukup untuk membayar beberapa ratus detektif, bukannya datang padaku. Polisi berpangkat rendah."
"Ayahmu mungkin berfirasat jika kau bisa memecahkan kasus kematian putrinya."
Seungyoon tertawa pelan. "Aku tidak bisa melakukannya."
"Seungyoon…,"
"Ibu maaf aku tidak melakukan hal itu."
"Kang Seungyoon!" kedua mata Seungyoon membulat sempurna, sepanjang ingatannya sang ibu tak pernah sekalipun meninggikan suara beliau. "Jangan bersikap egois, Ibu paham apa yang dilakukan ayahmu di masa lalu melukai hatimu. Ibu mohon pandanglah masalah yang ayahmu hadapi jangan melibatkan emosi dan hubungan pribadi, kewajibanmu adalah melayani masyarakat." Seungyoon tak langsung menjawab, ia menyendok potongan tahu memasukkannya ke dalam mulut. "Seungyoon."
"Baiklah jika itu yang Ibu inginkan. Aku akan melakukannya."
TBC
