Title : Scarlet

Setting: AU, dunia mahasiswa.

Genre: pertemanan, remaja, anggap aja teenlit.

Summary: Dunia perkuliahan memang berbeda dengan dunia-dunia pada jenjang sebelumnya. Setiap hari adalah pelajaran menuju kedewasaan. Arthur Kirkland, menempuh tahun pertamanya dengan lancar. Tetapi apa yang dimiliki dan banyak dibahas oleh kebanyakan pemuda seusianya, percintaan, tidak berjalan mulus padanya.

Author notes: Gak nyangka bakal bikin fic lagi. Ahh kangen, fandom Hetalia juga udah mulai asyik lagi thanks to Himaruya yang udah balik. Bikin fic ini (yang sangat kemungkinan akan berseri) akibat impact dari apa yang terjadi ke diri saya juga. Baru kemarin Juni masuk asrama di IPB terus menjalani perkuliahan selama 2 bulan. Sekarang Alhamdulillah lagi liburan. Kuliah emang beda banget sama SMA. Banyak hal yang saya kira membuat saya terkesan, yang akan tertuang di sini. Kenapa ini diutamakan di percintaan, karena walaupun sibuk dengan kuliah dsb saya makin cinta Hetalia, terutama pairing-pairingnya. Jadi anggap aja Anda lagi baca buku teenlit tapi dipusatkannya ke karakter cowok. Jujur, ini mungkin first attempt saya bikin cerita macam ini. Jadi kalau gak berasa teenlit atau apapun, minta maaf deh. Kritik dan saran lewat review, silahkan.

Di sini banyak karakter karena karakter Hetalia dan Nyotalia saya satuin. Menurut saya Nyotalia itu bukanlah versi Hetalia yang lain. Misalnya gini, Inggris direpresentasiin si Arthur, tapi dia juga direpresentasiin sama cewek, yaitu Rose (Alice untuk kebanyakan orang).

Jadi kalau banyak nama karakter yang asing, karena itu juga saya yang milih, akan ada penjelasannya di author notes di akhir bab.

Selamat membaca!

Nb lagi: di sini pairingnya normal, cewek sama cowok. Termasuk HetaliaxNyotalia. Misal Sweden gak akan dipair sama Finland, tapi fem!Finland nya. Begitu.

Disclaimer: Kalau Hetalia punya saya, saya pairing-pairing di sini canon :IIII sayangnya enggak, Hetalia punya papa Himaruya

(***********)

"Kita benar-benar bebas kan? Benar bebas kan, Arturo?!"

"Bebas sampai nanti malam, besok kan praktikum," jawab Arthur, berbeda dengan sahabatnya Antonio, dia mengatakannya dengan biasa-biasa saja.

"Yang penting bebas!"

"Memangnya ada apa?" tanya Arthur. Sebagai mahasiswa departemen* teknik, mereka memang selalu disibuki oleh tugas dan praktikum, terlebih lagi mereka adalah mahasiswa tahun pertama. Jadi, waktu 'bebas' adalah waktu yang sangat berharga, sangat singkat sehingga tidak boleh disia-siakan. Murid seperti Antonio biasanya akan berkelakuan seperti orang kesakitan setiap adanya waktu ini.

Arthur bertanya karena Antonio biasanya akan tidur siang di kamar mereka di asrama, tetapi sepertinya Antonio akan berbuat hal lain. Sebagai orang yang telah mengenalnya dari kecil, dan sekarang mereka satu kamar di asrama, dia tahu akan apa yang berbeda dari Antonio, walaupun itu kecil.

"Aku kan bisa bertemu dengan Aiko!"

Arthur mengernyit sedikit. Aiko lagi. Nama itu akhir-akhir ini mengisi percakapan diantara mereka. Untuk Antonio, nama itu telah mewarnai hidupnya. Tepatnya sejak hari minggu kemarin ketika cintanya diterima oleh gadis asal Jepang itu. Arthur mengerti, jadi siang ini Antonio akan kencan dengan mahasiswi departemen biologi itu.

"Bersenang-senanglah!" katanya dengan datar. Tetapi sebenarnya dia serius, karena Antonio akan pulang nanti sore dan tinggal menyalin tugas pendahuluannya untuk praktikum besok. Mudah sekali, andai saja dia bisa tidak memperbolehkannya menyalin. Kencan kan bisa dilakukan akhir minggu. Tetapi dia tidak akan sanggup melakukan itu. Apalagi kalau Antonio sudah meminta seperti anak kecil meminta permen, ya, dengan mata yang hijau bersih itu.

"Makasih teman! Duluan ya!" seru Antonio. Dia lalu mempercepat jalannya lalu berbelok ke arah lain di persimpangan lorong.

(*********)

Di kamar asrama, Arthur disambut oleh Livio yang seperti biasa sudah berada di kamar membaca buku. Ahh tapi tidak, betapa terkejutnya Arthur tidak menemukan Livio di sana. Arthur menerka-nerka sebentar sebelum akhirnya membiarkannya. Semua orang kan punya urusannya masing-masing. Dan urusan Arthur siang itu adalah untuk tidur sejenak, walaupun dia tidur nyenyak tadi malam, dia tidak berniat untuk melakukan hal lain. Di luar udara menyengat, panas sekali, membuat kulitnya yang pucat iritasi. Andaikan perpustakaan tidak jauh, dia pasti akan ke sana.

Dia pun tidur setelah menaruh barang-barangnya di tempat yang rapih. Walaupun tidak membuat banyak perbedaan oleh kamar yang seperti kapal hancur karena dipadati barang-barang dari keempat penghuninya. Setelah berganti ke baju yang lebih pendek, dia pun langsung berbaring di kasur yang dekat dengan jendela. Menyesal karena dia memilih tempat yang langsung terkena sinar matahari, setelah dia menutup matanya dia pun cepat tertidur.

Sore harinya, setelah dia otomatis terbangun dari tidur siangnya. Dia terkejut mendapati Antonio yang telah duduk di depan meja belajar. Diantara begitu banyak barang, Antonio begitu serius tatapannya.

"Sedang apa?" tanyanya lemah, tenggorokannya kering.

"Ohh Amigo! Kau sudah bangun?" Antonio bertanya lagi dengan nada yang ramah khas orang Spanyol.

"Kukira kau akan pulang malam?" tanya Arthur lagi, dia kini duduk di samping tempat tidur, kepalanya menatap Antonio di meja belajar yang tepat di depan tempat tidurnya.

"Malam? Memangnya makan siang sampai malam?"

Ohh jadi dia hanya makan siang. Arthur berbicara kepada pikirannya. Kemudian dia bangun dari tempat tidur, menghampiri Antonio dengan pekerjaannya.

"Selesai!"

Hampir saja punggung tangan Antonio mengenai hidung Arthur.

"Aku mau tidur dulu!" katanya lalu beranjak dari kursi. Dia meninggalkan kertas pekerjaannya begitu saja, dengan maksud agar Arthur dapat menyalinnya.

Arthur mengambil kertas itu lalu melihat hasil pekerjaannya. Semuanya lengkap terjawab. Dia tidak mengerti mengapa Antonio dapat melakukannya, padahal materi yang diberikan sedikit, dan praktikum besok cukup rumit. Memang Antonio orangnya terlihat seperti orang yang santai dan malas, tetapi dia memiliki otak yang cemerlang. Itulah salah satu alasan Arthur tak keberatan berteman dengannya.

Dia lalu mendengar pintu kamar terbuka. Dia menoleh, melihat Livio memasuki kamar.

"Livio, kau sudah makan siang?" tanyanya.

"Siapa yang makan siang sesore ini?"

Mendengarnya, Antonio yang telah berganti pakaian tertawa. "Yang pasti jawabannya adalah si alis mata tebal ini."

Arthur menyilangkan kedua alis matanya yang tebal, kesal.

"Ohh, maaf Arthur, tadi aku sudah!"

"Hee, kau terlihat senang. Kau makan siang dengan siapa tadi?" Antonio cepat-cepat menghampiri Livio.

Arthur membiarkan mereka berdua bercakap-cakap. Selain karena dia ingin menyalin tugas Antonio, dia juga tidak merasa percakapan itu hal yang mudah dimengerti. Sesekali mereka tertawa, seperti remaja perempuan yang sedang berbicara soal cinta. Tapi itu benar, mereka memang berbicara tentang percintaan. Hal yang tidak pernah ia ingin mengerti, dia memasang earphone-nya dan terus mengerjakan.

Berwald datang malamnya. Teman sekamar mereka itu memang suka sekali pulang setelah makan malam. Antonio menyambutnya, lalu mereka mengobrol. Sementara Arthur dan Livio yang baru saja selesai makan malam saling duduk menyelonjorkan kaki di atas tempat tidur Arthur. Andai saja Antonio bukanlah anggota kamar, pastilah kamar itu diliputi sepi. Arthur dan Livio adalah orang yang pendiam, Berwald juga orang yang disegani untuk diajak berbicara.

Arthur bersyukur karena malam itu teman-teman Antonio yang berisik tidak datang. Walau mereka rutin datang akhir minggu, terkadang mereka datang di hari biasa. Livio juga tak suka kalau kamar itu menjadi sangat ribut.

Malam itu berjalan dengan tentram hingga mereka menempelkan kepala di atas bantal.

(********)

"Sepertinya asyik sekali sms-annya," Arthur yang sedari tadi ingin menegur Antonio, didahului oleh singgungan Kiku.

Antonio yang sedari tadi tidak bisa terlepas dari ponselnya, dan sekali-kali tertawa, berhenti lalu menatap Kiku. "Ahh iya, maaf!" tapi dia kembali dengan ponselnya.

Kiku menggerutu sedikit sebelum kembali menggenggam pulpennya.

Arthur membalikkan kertas soalnya lalu melemparkan pandangan ke teman-teman sekelompoknya, "Bagaimana kalau kita berhenti di sini saja, dan membiarkan Antonio mengerjakan ini semua,"

"Benar sekali, kan Antonio sudah pintar," Victor, yang duduk di seberangnya mengangguk.

"Kalo sekalian ditulisin bisa kali!" seru Oz, dia meregangkan otot tangannya di udara.

Mendengar semua ini, Mathias teman sekelompok asal Denmark itu tertawa. "Kalian ini, biarkanlah teman Spanyol kita ini. Cinta kan sedang bersemi."

"Kau terdengar seperti Francis," ujar Victor ditimpali anggukan Arthur.

"Ahh kalian ini terdengar seperti orang yang tidak pernah pacaran saja!"

Victor dan Arthur tidak menjawab, tetapi mereka tetap memberikan pandangan kesal pada Denmark.

"Benar, tetapi bukankah si yang di sms itu juga punya kesibukan lain? Antonio, bukankah kau malah mengganggunya?" tumben sekali Oz mengatakan hal yang masuk akal. Teman sekelompoknya menatap dengan terkesan. Untuk Antonio, dia mengangguk dan mengerti. Dia meletakkan ponselnya lalu mengambil penanya.

"Oke, di mana kita?"

(*********)

"Jadi kau benar-benar berpacaran dengan dia?"

"Ya, baru minggu kemarin jadian,"

"Kalau begitu, satu saranku: take it easy. Selama kalian masih satu kampus, dia tidak akan ke mana-mana,"

"Iya-iya, mengerti."

"Kau ini Oz, berkata seperti sudah ahlinya," kata Victor menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya berniat membantu! Aku tidak ingin awal pacarannya, seperti aku dengan Ratna, tidak baik."

"Tetapi saranmu itu cukup standar, kau kira Antonio tidak pernah pacaran sebelumnya?"

Oz mengedipkan kedua matanya yang kehijauan, "Memangnya sudah pernah?"

"Kau ini mengejek Antonio ya?" tanya Victor, alis matanya yang tipis sedikit tersilang.

"Tidak! Tapi aku cukup yakin Antonio belum pernah. Antonio?" dia menatap Antonio meminta penjelasan.

Antonio tertawa, "Aku memang belum pernah. Ini kali pertama."

"Tuh kan! Lebih baik daripada kau yang belum pernah sama sekali!"

Victor menaikkan kaca mata merah terangnya, matanya yang keunguan dibalik itu terlihat sedang bersabar. "Enak saja. Memangnya aku terlihat lajang?"

"Ohh jadi sekarang sedang!"

"LDR ya?" Kiku akhirnya ikut dalam percakapan.

Mathias sudah lama meninggalkan tempat itu, dia ada urusan dengan dosen. Sementara Arthur diam saja. Dia memang orang yang tidak banyak omong, apalagi kalau urusan cinta. Dia tidak tahu sama sekali.

"Kau sehabis ini mau kemana?" tanya Antonio setelah percakapan berakhir dan tinggal dia dengan Arthur.

"Ke asrama, ke mana lagi?"

"Kalau begitu ikut aku bertemu dengan Aiko!"

"Buat apa?"

"Ya ikut saja, mungkin saja kau bisa menemukan cinta di sana!"

Arthur langsung berbalik. Antonio cepat mengambil tangannya. "Maksud aku bukan kau melihat cinta antara aku dengan Aiko, tapi lihatlah sepertinya ada temannya yang menaruh perhatian padamu!"

"Tidak mau!"

"Aku traktir makan siang!"

"Baiklah."

(*********)

Di tangga menuju departemen biologi, mereka akhirnya berjumpa dengan Aiko. Aiko datang dengan teman-temannya. Arthur hanya mengenal satu diantara mereka, dan itu adalah Mei, pacar dari Kiku. Tak hanya Mei dan Aiko yang penampilannya sederhana tapi cantik, tetapi tiga temannya yang lain juga begitu.

"Jadi kita makan siang dulu, lalu lanjut mengerjakan laporan!" kata Aiko kepada teman-temannya, suaranya halus. Mei mengangguk semangat, begitu juga dengan yang lainnya.

"Maaf ya tadi aku putus, aku merasa sangat mengganggumu tadi," Antonio berkata pada Aiko. Mereka berjalan bersebelahan, sementara Arthur, Mei dan yang lainnya berjalan di belakang.

Arthur agak terkejut mendengar nada perkataan Antonio yang begitu lemah lembut. Berbeda sekali saat dia dengan teman-temannya, apalagi dengan dirinya. Benar rupanya kalau orang berpacaran hal yang sebelumnya tidak diketahui bisa keluar. Tak hanya lemah lembut terhadap pacar, Antonio rupanya juga pembohong. Padahal dia berhenti karena dinasihati Oz karena takut mengganggu. Kalau tidak begitu, dia pasti akan terus mengganggu dengan sms-smsnya.

Arthur menyadari sebuah tatapan yang diberikan seseorang di sebelahnya, dia tidak yakin siapa, di antara ketiga gadis lain yang bersama Mei dan Aiko. Tetapi dia tidak ingin mencari tahu. Karena dia paling tidak suka ditatap, dia lalu dengan pintarnya dapat mengambil posisi di sebelah Mei, di ujung barisan itu. Dia hanya mengenal gadis Taiwan itu, jadi menurutnya lebih aman berada di sisi orang yang dikenal daripada tidak sama sekali.

Mei memberikan Arthur senyum karena kelakuannya yang aneh.

Arthur membalas tersenyum dengan kikuk. Mei tentunya tidak akan pernah memberikannya tatapan yang aneh-aneh.

Di barisan depan, sambil berbicara dengan Aiko, Antonio melihat sedikit dari ujung matanya kelakuan Arthur itu. Dia hanya bisa mendesah kecil sambil bertanya-tanya, kapan Arthur akan memberikan gadis-gadis itu kesempatan. Tidak, bukan hanya gadis-gadis itu, tetapi hampir semua gadis di kampus yang Antonio yakin mereka tertarik dengan Arthur. Mahasiswa teknik mesin dan biosistem asal Inggris yang tampan dan pintar, siapa sih gadis yang tidak mau jadi pacarnya? Arthur selalu tidak menyadari hal ini.

Antonio telah memutuskan sejak kemarin untuk mencari pacar untuk Arthur. Rasanya tidak adil, dia yang selama ini selalu bersama dengannya harus sendirian karena dia sadar, dirinya harus memberikan waktu lebih pada Aiko. Sebagai sahabat yang baik, dia ingin Arthur juga merasakan hal sepertinya. Untuk mencintai seseorang dan menghabiskan waktu dengan orang itu.

Dari teman-teman mahasiswa yang dia kenal, hampir semuanya sudah mempunyai pacar, kalau belum, pasti ada seseorang yang mereka sukai. Seperti Livio, teman sekamarnya dari negara kecil dekat Swiss, Liechtenstein, menyukai seseorang dan sedang dalam proses mendapatkan hatinya. Dua teman kamar yang lain juga sudah punya seseorang untuk bersama.

Hanya Arthur, yang bahkan tidak meletakkan matanya pada gadis-gadis kampus yang cantik-cantik itu. Padahal mereka juga pasti rela bersolek untuk menarik perhatian Arthur. Tetapi dia tidak pernah melihat mereka, barang sedikit pun.

"Hee, pacar sendiri tidak ditraktir, tetapi sahabat ditraktir?" seru salah satu dari gadis-gadis bersama Aiko dan Mei.

Antonio bingung, menahan mengambil uang dari dompetnya.

Aiko juga terkejut, dia tidak tahu harus berkata apa.

"Kata siapa Antonio akan membayar bagianku, kau akan membayar bagian Aiko ya kan Antonio?" Arthur tersenyum, dia lalu beranjak dari kursinya di kafetaria. Dia lalu berjalan menuju kasir dan membayar bagiannya.

"Aku tiba-tiba disms ada kumpul dengan kakak kelas di UKM, jadi aku duluan," Arthur melambaikan tangan.

"Bye bye Arthur! Besok-besok makan siang bersama lagi ya!" seru Mei membalas lambaian tangan itu.

Sementara Antonio hanya bisa menatap Arthur pergi sambil mendesahkan namanya. Mereka memang telah menyelesaikan makan siang di kantin. Dan seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, Antonio akan mentraktirnya. Tetapi itu tidak terjadi karena seruan yang datang setelahnya tadi.

"Kalian itu sangat dekat ya," kata Aiko. Mereka sekarang berada di luar area kafetaria, Antonio ingin pamit, jadi dia berbicara dulu berdua dengan Aiko.

"Ahh iya, tadi aku memang sudah janji dengannya, kalau dia akan ikut, dia akan kutraktir."

"Begitu ya, maaf tadi teman-temanku memang tidak sopan."

"Tidak apa-apa. Lagipula salahnya sendiri, datang hanya karena ingin ditraktir."

"Hush," Aiko memukul telapak tangan Antonio pelan, karena nada bicara Antonio terdengar agak kesal. "Dia akhirnya membayar sendiri, jadi bukan karena traktiran."

"Iya iya, aku tahu, ini salahku karena telah mengajaknya."

"Iya, dia pasti punya urusan lain."

"Tidak juga, dia memang tidak ada niat untuk hal macam ini,"

"Hal macam ini maksudmu?"

Antonio diam sejenak, berpikir sebelum akhirnya mengajak Aiko duduk di kursi panjang, lalu memulai bercerita. Intinya adalah Antonio ingin mencarikan Arthur pacar.

"Ohh rupanya begitu," Aiko tertawa kecil. "Kau bisa, Antonio! Jangan menyerah! Lagipula mungkin dia tidak sepenuhnya apa yang kau kira! Mungkin dia juga menyukai seseorang. Dia tidak memberitahukannya kepadamu karena malu."

Perkataan Aiko memang sangat lembut, tetapi Antonio tidak bisa tidak menentang, "Tidak mungkin. Aku mengenalnya sejak kami 7 tahun,"

"Tapi, kalian tidak sedekat sebelumnya bukan? Kalian mungkin sahabat tetapi tak semua hal harus diketahui, pasti ada yang kalian rahasiakan sendiri. Seperti rencanamu ini, Arthur kan tidak tahu."

Antonio tertegun, mulai membenarkan kata-kata Aiko tersebut.

"Jadi kau jangan kesal dengannya. Sebagai sahabat, kau harus selalu ada untuknya bukan?"

Antonio mengangguk. Dia mengerti sekarang, sambil tersenyum dia berkata, "Gracias, Aiko. Aku akan bersabar."

"Iie, Ganbatte!"

Mereka berdua beranjak, Antonio meraih tangan Aiko. Dia menyadari betapa beruntungnya dia mempunyai gadis yang pengertian. Beberapa orang yang dia kenal sering sekali komplain tentang pacar mereka yang terlalu maja yang selalu menginginkan perhatian. Sementara Aiko, baru saja mengatakan hal yang berkebalikan.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Jadi kan soal kencan kita?"

"Kencan pertama kita? Tentu saja! Kita bicarakan lagi nanti!"

"Si!" Antonio memberikannya kecupan di pipi sebelum akhirnya melambaikan tangan dan pergi.

(*******)

Sesampainya di kamar, Antonio menemukannya dalam keadaan kosong. Kosong tanpa penghuninya tentunya. Keadaan kamar masih sama, kapal pecah. Dia lalu berjalan menuju bagian barang-barangnya, menaruh tasnya. Bagian barang-barang Arthur di sebelahnya tertata rapi, dibandingkan dengannya, 180" berbeda. Dia kemudian tertawa, akan memori yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Sebelum mereka memasuki asrama, di kamar Arthur yang 'sebenarnya'. Tidak ada yang namanya kerapihan, pakaian diletakkan di mana-mana, kertas di mana-mana, selimut tidak pernah dilipat, tirai tidak pernah dibuka. Kamar Arthur tersebut seperti markas kecil di daerah gang-gang gelap. Tetapi lihatlah sekarang. Walaupun mereka berbagi kamar, bagian kamar milik Arthur, bersih dan rapi. Orang-orang mengatakan kerapihan kamar mencerminkan karakter orang yang memiliki kamar tersebut. Apakah ini artinya Arthur berubah? Antonio bertanya-tanya.

Dia lalu melepaskan pakaiannya, berganti ke pakaian sehari-hari untuk di kamar dan sekitar asrama. Seperti telah belajar dari memori tersebut, Antonio menggantungkan pakaian itu dengan rapi. Tak hanya itu, buku-buku yang berada di atas meja juga. Dia tersenyum puas setelah melihat hasilnya mirip dengan bagian milik Arthur. Dia lalu berjalan menuju tempat tidurnya, yang juga tempat tidur Arthur. Hanya, Arthur di bagian kasur bawah, sementara Antonio bagian bawah. Saat memilih bagian kamar, dia memang sengaja untuk memilih bagian atas.

Belum dia raih tangga untuk ke kasur atas, dia berhenti pada bagian tempat tidur Arthur. Seperti diperintah, Antonio naik lalu berbaring di kasur tersebut. Dia lalu terkesan bagaimana kasur tersebut agak panas. Rupanya karena sinar matahari dari jendela yang tepat di sebelahnya. Pastinya Arthur kepanasan tidur di sini, tetapi dia tidak pernah mendengarnya komplain. Tetapi kalau dipikir lagi, jika musim penghujan datang, kasurnya akan lebih dingin daripada yang lain.

Dia meraih bantal lalu menaruh kepalanya di atas benda empuk tersebut. Kemudian dia terkesan. Dia dapat mencium bau keringat Arthur. Bau yang dia selalu dapatkan setelah bermain sepakbola di SMA dahulu. Sekarang karena tidak ada pelajaran olahraga, Antonio jarang menciumnya. Arthur juga selalu menjaga dirinya bersih. Dia lalu memutuskan untuk mengajak Arthur mengelilingi kampus pagi-pagi di akhir minggu nanti.

Waktu memang berjalan dengan cepat. Antonio kini menyadari bagaimana semuanya telah berubah. Dia sekarang seorang mahasiswa, dia belajar dengan subjek yang tidak sebanyak di SMA dulu, tetapi tugas makin banyak, dia harus membagi waktu antara kampus dan kehidupan sehari-harinya, makan, istirahat, mencuci pakaian. Dia juga menemui banyak orang dari berbagai belahan bumi. Kegiatan-kegiatan kampus juga sangat menyenangkan untuk diikuti. Itu semua membuat dirinya berubah. Arthur juga berubah.

Semua orang tahu, perubahan akan mengarah pada perpisahan. Tiba-tiba Antonio merasa takut memikirkan hal itu. Perpisahan pasti akan terjadi pada dirinya dan Arthur. Dia tidak mau itu. Dia telah merasakan rasa takut itu sewaktu kelulusan SMA. Dia dapat berlega hati bagaimana dia kembali bersama dengan Arthur walau berada di universitas. Tetapi, apakah ini hanya penundaan sesaat?

Antonio semakin membenamkan kepalanya di bantal. Dia memutuskan untuk tidur di tempat itu. Walau hanya bantal dan kasur, setidaknya dia dapat merasakan kehadiran Arthur, yang dia inginkan sekarang itu.

(********)

Antonio terbangun satu jam setelahnya. Matanya terbuka, semakin penglihatannya menjadi jelas, dia dapat tahu bahwa sosok pirang yang berada di sebelahnya adalah Arthur. Kesadaran itu merayap padanya, hingga akhirnya dia terkejut.

"Arthur!" Dia cepat bangun dari kasur tersebut. Karena terkejut, alhasil kepalanya terbentur oleh kayu penopang kasur di atas. Dia pun meringis kesakitan.

"Kau ini memang selalu berisik ya, sampai bangun tidur pun kau sudah berisik," Arthur berkata pelan sambil mengusap matanya.

Antonio tidak berkata apa-apa. Dia bersiap menerima apapun selanjutnya itu. Teriakan kesal Arthur, apapun itu.

"Kenapa? Masih sakit?"

Antonio mengangguk, entah karena dirinya yang masih setengah tertidur, tapi memang kepalanya sakit karena tadi.

"Kalau begitu sini," Arthur menaikkan kepalanya, menopang tubuhnya dengan bahunya, tangannya yang lain mencoba meraih Antonio.

Tanpa dikatakan dua kali, Antonio menurunkan kepalanya mendekati permukaan kasur. Tangan Arthur kemudian dengan mudah meraihnya. Setelah pada jarak yang cukup dekat, tanpa pernah diperkirakan oleh Antonio, Arthur mengecup keningnya. Kemerahan cepat hinggap di pipi Antonio.

"Sekarang bagaimana? Kau masih ingin tidur?"

Seperti robot yang sudah distel pada fase otomatis, Antonio mengangguk.

"Kalau begitu tidurlah," Arthur menggeser tubuhnya, memberikan Antonio lebih banyak tempat untuk berbaring.

Antonio perlahan menaruh kembali badannya di atas kasur, matanya tak lepas dari Arthur. "Kau tidak marah?"

Arthur mengeluarkan senyumnya, "Seharusnya aku yang berkata begitu. Aku malah tidur di sebelahmu bukannya mengusirmu dari awal."

Antonio melihatnya dan mendengarnya dengan saksama. Dia sangat menyukai senyuman itu. "Maaf ya Arturo. Sepertinya kebiasaanku untuk menumpang tidur di kamarmu belum hilang," Dia merujuk pada kamar Arthur yang sebenarnya di rumah asalnya di London.

"Dan kebiasaanku untuk selalu membiarkanmu belum berubah."

Antonio mengangguk dan tersenyum. Dia lalu meraih Arthur dan merangkulnya. Ada beberapa hal yang belum berubah di antara mereka, dan hal-hal itulah yang akan membuatnya selalu bersama dengan Arthur.

Mereka kemudian kembali tertidur. Mendengar desahan nafas masing-masing, merasakan kehangatan tubuh masing-masing.

Mereka sangat nyaman tidurnya. Hingga pada malam hari, ketika mereka baru terbangun, mereka menemukan Livio dan Berwald yang sudah berada di samping mereka masih terlelap. Mereka tidak tahu berapa lama kedua orang itu telah ikut tidur bersama. Kasur itu muat untuk 4 mahasiswa yang telah dewasa, walaupun sempit.

"Aku juga tidak menyangka. Kita harus melakukan ini lagi. Selanjutnya mungkin kasur Antonio," kata Livio dengan polosnya.

Sepanjang siang hingga malam itu, menjadikan penghuni kamar 270 yang terdiri dari mahasiswa asal Spanyol, Inggris, Liechtenstein dan Swedia lebih dekat.

[*********]

Preview chapter selanjutnya:

Antonio berpikir bahwa Arthur tidak menaruh perhatian pada seorang gadis manapun, dan bahwa dia tidak menyukai seorang pun. Apakah itu benar? Di chapter selanjutnya akan diwarnai interaksi Arthur dengan gadis-gadis cantik di kampus. Yang pasti, Arthur tidak gay. Dia hanya menyukai gadis yang benar-benar spesial.

[*********]

Author notes 2:

*Di IPB, sebutan "jurusan" itu "departemen". Iya, beda dengan universitas-universitas lain. Jadi supaya setting kampus di cerita ini spesial, namanya juga "departemen". Tenang, kampus yang diceritakan di sini bukan IPB. walaupunadaasramainternasion alnya uhuk.

=Aiko; tentu saja fem!Japan

=Livio; male!Liechtenstein

=Victor; male!Monaco

=Oz; bagi yang belum tahu, ini nama kebanyakan fans untuk Australia.

=Mathias; Denmark