All This Time

Park Chanyeol-Byun Baekhyun

Rated: T !Boys Love, mentions of mpreg, domestic life

/comfort

written by ribbonB

Disclaimer: Semua karakter dalam fanfiction ini adalah milik diri mereka masing". Saya cuma punya plot cerita dan pinjam nama meraka :))

.

.

.

Chanyeol dan Baekhyun akhirnya menyadari bahwa butuh lebih dari sekedar keyakinan, cinta, dan seorang gadis mungil yang hadir di antara mereka untuk mempertahankan sebuah hubungan.

.

.

.

.

.

Chanyeol dan Baekhyun pertama kali bertemu di sebuah mini market pada bulan Desember. Saat itu adalah malam natal dan titik-titik salju turun dengan sedikit lebat. Kedua bola mata hitam milik Baekhyun bergerak-gerak liar di antara deretan rak yang menyediakan pernak-pernik perlengkapan natal. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ia menemukan apa yang dicarinya sedari tadi. Ia baru saja akan meraih satu-satunya hiasan pohon natal berbentuk bintang yang tersisa ketika detik berikutnya benda tersebut sudah berada di genggaman seseorang.

"Hey, maaf tapi aku melihat benda itu duluan," ujar Baekhyun sesopan mungkin pada orang asing di depannya.

"Oh benarkah? Tapi secara teknis aku yang mengambilnya duluan, jadi kurasa ini punyaku?" sosok yang lebih tinggi dari Baekhyun itu menjawab dengan senyuman yang menurut Baekhyun menyebalkan.

Baekhyun bersumpah ia ingin sekali menarik kedua telinga orang asing yang kelewat lebar itu saking sebalnya. Ia kemudian tersenyum, dalam hatinya melafalkan nasihat eommanya berulang-ulang bahwa tidak baik membuat keributan apalagi di malam natal.

"Aku baru saja ingin mengambilnya dan tidak menyangka kau akan menyambarnya dengan begitu cepat. Jadi bisakah kau kembalikan hiasan itu padaku? Eommaku sudah menunggu di rumah dan pohon natal kami tidak akan lengkap tanpa hiasan itu," jelas Baekhyun panjang lebar.

Mereka terdiam cukup lama. Baekhyun merasa sedikit risih ketika orang asing itu memberikan tatapan menyelidik padanya.

"Di mana rumahmu?" ujar orang asing itu.

"Rumahku?" tanya Baekhyun balik, merasa tak mengerti dengan arah pembicaraan yang berubah secara tiba-tiba.

"Iya, di mana rumahmu?" ulang orang asing itu.

"Sekitar tiga blok ke barat dari sini, memangnya kenapa?"

Baekhyun ingin menyumpal mulutnya sendiri sesaat setelah mengatakan kalimat itu. Bagaimana bisa ia memberikan informasi tentang tempat tinggalnya pada orang yang sama sekali tidak ia kenal.

"Kebetulan sekali rumahku juga searah. Kuberikan hiasan ini padamu tapi kita pulang bersama oke? Lagipula ini sudah malam, cukup menyeramkan untuk berjalan sendirian. Oh iya, namaku Chanyeol dan kau?"

"N-ne? Baekhyun, namaku Baekhyun," ujar Baekhyun bingung bagaimana harus menanggapi situasi yang dihadapinya saat ini.

"Oke, kaja Baekhyun-ssi,"

Belum sempat Baekhyun memikirkan apa yang terjadi padanya pergelangan tangannya telah ditarik oleh Chanyeol yang kini menyeretnya ke kasir. Dalam perjalanan pulangnya, Baekhyun pikir mungkin tidak buruk memiliki teman di sampingnya saat ia mendengar tawa Chanyeol yang renyah beriringan dengan lagu-lagu carol yang dimainkan toko-toko di sepanjang jalan.

.

.

.

.

.

Tidak butuh waktu yang lama bagi Chanyeol dan Baekhyun untuk menjadi begitu dekat. Bagi Chanyeol, mengenal Baekhyun adalah sesuatu yang mudah di mana ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ia tidak pernah percaya sebelumnya dengan istilah soulmate. Namun bersama Baekhyun semuanya terasa begitu tepat, seolah mereka berdua merupakan kepingan puzzle yang memang diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. Mungkin Baekhyun adalah soulmatenya atau mungkin juga bukan. Chanyeol tidak lagi peduli, ia hanya tahu ketika kedua manik mata hitam milik pemuda mungil itu menatapnya untuk pertama kali, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melepaskan.

Jika Chanyeol menganggap Baekhyun sebagai bagian dari dirinya, maka Baekhyun tidak tahu bagaimana ia harus mendeskripsikan Chanyeol. Chanyeol datang dengan tiba-tiba, tidak terduga dan waktu berjalan terlalu cepat bagi Baekhyun untuk menggambarkan pemuda bersurai hitam itu dalam sebuah kata. Baekhyun tidak tahu bagaimana caranya merangkum setiap getaran, debaran, dan segala macam hal yang ia rasakan hanya ketika bersama dengan Chanyeol dalam sebuah istilah. Namun pada malam natal berikutnya tepat satu tahun setelah mereka pertama kali bertemu, Baekhyun pikir mungkin ia mengerti.

Saat itu Chanyeol menggenggam erat tangannya yang lebih kecil, dengan sedikit canggung pemuda yang lebih tinggi itu membungkuk dan kemudian mengecup lembut bibirnya yang hampir membeku lalu tersenyum. Sebuah senyuman yang memberikan Baekhyun definisi tentang apa yang ia rasakan terhadap laki-laki di hadapannya.

Jika Chanyeol menganggap Baekhyun sebagai bagian dari dirinya, maka Baekhyun menganggap Chanyeol sebagai seluruhnya.

.

.

.

.

.

Keyakinan yang begitu kuat dan kepercayaan satu sama lain mengantarkan Chanyeol dan Baekhyun pada jenjang kehidupan selanjutnya. Mereka berdua memutuskan untuk menikah setelah natal keempat. Sebuah pernikahan sederhana di taman mungil di samping rumah Chanyeol yang dihadiri oleh kerabat terdekat. Baekhyun tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya dan Chanyeol merasa tidak ada lagi yang kurang dalam hidupnya setelah kalimat 'aku bersedia' terucap dari bibir mereka berdua.

Hari itu Baekhyun mendapatkan pelukan dari eommanya yang begitu erat. Ia juga tak melewatkan buliran air mata yang tertahan di pelupuk mata wanita cantik yang begitu dicintainya itu.

"Berjanjilah untuk selalu bahagia Baekhyunie," bisik perempuan paruh baya itu sambil mengusap lembut surai cokelat gelap milik anaknya.

Kedua sudut bibir Baekhyun melengkung ke atas, manik matanya sekilas menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang kini tengah tertawa bersama teman-temannya. Ia kemudian menatap eommanya dan mengangguk.

"Aku bersama Chanyeol, eomma tidak perlu khawatir," balasnya.

.

.

.

.

.

Baekhyun tidak tahu apa yang dilakukannya di kehidupan sebelumnya hingga Tuhan membiarkan hal baik bertubi-tubi datang padanya. Ia sudah cukup bersyukur ketika Chanyeol datang dan berjanji untuk bersama sampai maut memisahkan. Rumah tangganya dan Chanyeol berjalan dengan baik. Tentu saja terjadi perdebatan di sana-sini, namun itu semua tak pernah membuat mereka berdua mempertanyakan rasa cinta mereka terhadap satu sama lain. Dan ia tidak tahu bagaimana lagi ia harus berterima kasih kepada Tuhannya ketika hampir di tahun kedua pernikahan mereka, seorang anak perempuan yang begitu mungil dan cantik lahir dari rahimnya.

Ketakutan sempat membayang di benak Baekhyun ketika ia memikirkan proses kelahiran anaknya. Semaju apapun teknologi dan keilmuan saat ini, male pregnancy masih tetap merupakan suatu hal yang beresiko cukup besar bagi orang yang mengandung maupun bagi si janin. Namun di atas itu semua lelaki berkulit pucat itu selalu dikhawatirkan dengan masa depan. Bagaimana cara membesarkan anaknya? Apakah ia akan menjadi orang tua yang baik? Apakah ia bisa menjanjikan masa depan yang baik bagi buah hatinya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak pernah berhenti melintas di pikiran Baekhyun.

Namun ketika Chanyeol terus menerus membisikkan 'kau pasti bisa', 'aku tahu kau seseorang yang kuat Baekhyun-ah' dan 'aku mencintaimu' sambil menggenggam tangannya ketika perutnya sedang dibedah, ia tahu semuanya akan baik-baik saja.

Aeri. Chanyeol begitu bersemangat saat memberitahu Baekhyun nama yang akan ia berikan untuk buah cinta mereka. Dan melihat senyuman lebar Chanyeol yang tengah menggendong bayi mungil yang baru lahir itu membuat perasaan Baekhyun begitu membuncah hingga setitik air mata menggenang di pelupuk matanya.

.

.

.

.

.

Chanyeol bekerja sebagai seorang arsitek dan Baekhyun merupakan seorang pengajar di sebuah taman kanak-kanak. Mereka berdua sudah begitu terbiasa menjalani kehidupan bersama dengan menghormati profesi satu sama lain. Di pagi hari Chanyeol akan bangun terlebih dahulu—atau terkadang Baekhyun—dan kemudian menyiapkan sarapan, sesekali mereka bahkan melakukannya bersama. Kemudian mereka akan bersiap-siap dan berangkat kerja bersama-sama. Di sore hari Chanyeol akan menjemput Baekhyun dan mereka akan kembali pulang bersama-sama. Beberapa bulan sekali Chanyeol akan pergi keluar kota atau bahkan terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pulang ke rumah. Namun itu tak pernah menjadi masalah karena mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik.

Setelah Park Aeri berada di tengah mereka, bagaimanapun juga, kebiasaan mereka pun ikut berubah. Tak jarang mereka bergantian untuk tidak tidur semalaman karena gadis cilik itu sedang tidak mau diam. Menghasilkan salah satu dari mereka yang telat bangun di pagi hari dan pekerjaan yang kacau di sana sini. Di awal-awal kelahiran Aeri, Chanyeol dan Baekhyun benar-benar merasakan bagaimana sulitnya menjalani sebuah rumah tangga yang sebenarnya. Masalah kecil seperti susu Aeri yang habis di tengah malam pun bisa menimbulkan percekcokan. Tidak jarang mereka mendiamkan satu sama lain karena terlalu lelah bahkan untuk berargumen. Meskipun begitu mereka berdua menyadari bahwa mereka sama-sama baru merasakan ini pertama kali. Jadi tentu saja pasti ada kecanggungan ketika harus mengurus Aeri.

Setidaknya mereka masih memiliki keyakinan untuk melewati itu semua bersama-sama. Meskipun di dalam hati kecil masing-masing, mereka selalu bertanya-tanya sampai kapan bisa bertahan.

Tentu saja mereka berharap selamanya.

.

.

.

.

.

Chanyeol selalu tahu bahwa suaminya merupakan seseorang yang tidak pernah pintar menyembunyikan apa yang dirasakannya. Baekhyun akan mengatakan dengan gamblang apa yang menurutnya benar dan ketika ia tidak mendapatkan persetujuan, butuh waktu cukup lama untuk menerima bahwa terkadang dirinya salah. Dalam jangka waktu tersebut, biasanya lelaki bersurai cokelat itu akan berpura-pura tidak terjadi masalah meskipun raut wajah dan tingkah lakunya menunjukkan sebaliknya. Di saat-saat seperti itu Chanyeol akan bersabar, hingga beberapa jam kemudian mendatangi suami mungilnya dan mencoba menjelaskan apapun masalahnya dari sudut pandangnya. Lalu mereka akan berbicara dan kemudian berbaikan.

Namun tidak dengan kali ini. Saat itu Aeri berusia tiga tahun. Chanyeol sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya saat Baekhyun menelepon dan mengatakan bahwa Aeri tengah demam tinggi. Chanyeol dapat mendengar nada panik dari suara Baekhyun di ujung telepon. Ia mencoba menenangkan suaminya itu dan memberikan saran untuk melakukan pertolongan pertama.

"Aku sudah mengompresnya bahkan sudah membawanya ke dokter, tapi ini sudah hampir setengah hari dan dia masih saja terus menangis, panasnya juga belum turun. Bagaimana ini, Yeol?" seru Baekhyun panik.

Chanyeol mengusap wajahnya gusar, iapun bingung harus melakukan apa.

"Tenang sayang, apa kau sudah menelepon eomma atau Yura noona? Mungkin mereka bisa membantu," jawabnya.

"Eomma sedang berada di rumah haraboji, sedangkan kau tahu eomma Park dan Yura noona sedang tidak di Korea. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa,"

Shit. Chanyeol benar-benar lupa keluarganya sedang berlibur ke Jepang. Suara tangisan Aeri yang terdengar juga membuatnya semakin panik.

"Bisakah.. bisakah kau pulang? Aku takut terjadi sesuatu pada Aeri," ujar Baekhyun lirih.

Chanyeol memijat pelipisnya, ia benar-benar bingung sekarang. Pekerjaannya sama sekali belum selesai namun ia juga sangat khawatir dengan keadaan Aeri.

"Demi Tuhan aku ingin pulang sekarang juga. Tapi aku tidak yakin, pekerjaan di sini benar-benar menumpuk dan dikejar deadline Baek," ujar Chanyeol menyesal.

"Dengar, sekarang bawalah Aeri ke rumah sakit dan minta agar ia bisa dirawat di sana. Setidaknya jika terjadi sesuatu ia sudah berada di tempat yang tepat Baek," lanjut Chanyeol.

Hening. Tidak ada jawaban dari Baekhyun, yang terdengar hanya tangisan Aeri yang semakin keras.

"Baekhyun, kau mendengarku?" tanya Chanyeol.

"Aku mengerti," jawab Baekhyun singkat sebelum akhirnya yang terdengar hanya sambungan telepon yang terputus. Chanyeol menghela napas, ia tahu ia dalam masalah besar.

.

.

.

Chanyeol kembali dua hari setelah percakapan mereka di telepon. Ia disambut oleh tawa jernih Aeri ketika sampai di rumah. Tak membuang banyak waktu, ia segera membawa gadis kecil itu ke pelukannya. Lelaki bertubuh jangkung itu kemudian melirik suaminya yang tengah membereskan mainan Aeri yang berserakan.

"Kau bahkan tak menerima teleponku sama sekali dua hari ini," ujarnya datar.

"Aeri sudah baik-baik saja, lagipula aku takut mengganggu pekerjaanmu," jawab Baekhyun tanpa memandangnya.

"Aku mengkhawatirkannya Baek, kau tidak tahu bagaimana takutnya aku selama di sana,"

"Tidak perlu takut lagi, dia baik-baik saja. Hanya demam tinggi karena cuaca,"

"Lalu kenapa kau begitu panik?" jawab Chanyeol terlalu cepat, hampir memotong perkataan Baekhyun sebelumnya.

Baekhyun memandangnya sekilas sebelum menghela napas.

"Entahlah, Yeol," jawabnya kemudian beranjak memasuki kamar Aeri dengan membawa sekotak penuh mainan.

Baekhyun ingin bilang pada Chanyeol bahwa ia takut, bahwa ia tidak tahu harus bagaimana, bahwa ia bingung. Ia begitu ketakutan terjadi sesuatu pada Aeri, ia tidak mau. Ia ingin Chanyeol menemaninya, ia butuh Chanyeol. Tapi entah mengapa begitu berat rasanya untuk mengatakan itu semua.

Malam itu ia menunggu Chanyeol mendatanginya untuk membicarakan semuanya. Namun ketika ia mendapati Chanyeol tertidur di sofa dengan Aeri di dekapannya, hatinya terasa memberat. Dan keesokan paginya dalam perjalanan mereka mengantar Aeri ke Day Care dan menuju ke tempat kerja, Chanyeol tak juga mengatakan apapun.

.

.

.

.

.

Satu hal yang paling Baekhyun takutkan di dunia ini adalah ketika pernikahannya dan Chanyeol bukan lagi dilandasi oleh cinta, namun hanyalah kewajiban memenuhi janji untuk hidup berdampingan. Dan meskipun ia tak mau mengakuinya, dalam hati kecilnya ia tahu itulah yang terjadi sekarang. Ia tak dapat secara tepat menunjuk kapan semua ini mulai terjadi, tetapi secara perlahan dan pasti Chanyeol seolah-olah semakin menjauh.

Kecupan manis sebelum tidur kini digantikan dengan ucapan selamat malam. Sentuhan lembut yang sebelumnya begitu terasa memabukkan saat ini dilakukan dengan terburu-buru untuk mencapai kenikmatan semata. Baekhyun bahkan lupa kapan terakhir kali ia menatap kedua bola mata jernih milik suaminya. Ia terlalu takut ketika ia melakukannya, mungkin ia tak akan menemukan lagi bayangan dirinya di sana. Mereka berdua kini seperti dua orang asing yang diwajibkan untuk tinggal di satu atap yang sama, dengan Aeri sebagai satu-satunya benang tipis yang menautkan jari-jari mereka.

Di malam hari ketika ia menatap punggung Chanyeol saat mereka berbaring di ranjang, Baekhyun selalu memutar memorinya ke belakang. Ia terus memaksa ingatannya untuk menemukan di mana letak kesalahan mereka berdua. Apa yang terjadi antara dirinya dan Chanyeol hingga mereka menjadi seperti ini. Ia sangat yakin Chanyeol tidak akan pernah mengkhianatinya dan begitupun sebaliknya. Membayangkan dirinya memeluk laki-laki lain selain Chanyeol saja bahkan ia tak bisa. Semua rutinitas mereka berjalan seperti biasanya, hanya saja terasa begitu berbeda.

Ketika ia terlalu lelah berpikir dan termakan oleh ketakutan-ketakutannya, ia hanya dapat menutup kedua matanya. Sebuah senyum tipis terlengkung di bibirnya ketika ia menemukan bayangan Aeri di sana. Setelah itu berulang-ulang ia mengucapkan doa pada Tuhan dalam hatinya sampai lelap menjemputnya.

'Tuhan, jika kau ingin mengambil semuanya dariku, setidaknya tolong sisakan Chanyeol dan Aeri untukku.'

.

.

.

.

.

Baekhyun meletakkan mug berisi cokelat panas di atas meja kerjanya, ia memandang malas tumpukan kertas-kertas laporan yang harus ia selesaikan. Sekilas manik matanya melirik pada jam dinding yang tertempel di atas jadwal kegiatan seluruh kelas di taman kanak-kanak tempatnya mengajar. Ia sebenarnya ingin sekali pulang cepat, tapi ia harus menunggu Aeri yang masih harus menyelesaikan kelasnya. Tanpa sadar laki-laki berkulit pucat itu menghela napasnya panjang.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, Chanyeol dan Baekhyun sepakat memasukkan Aeri ke taman kanak-kanak tempat Baekhyun bekerja ketika anak itu telah berusia lima tahun. Awalnya Chanyeol memang tidak setuju, arsitek itu menganggap pilihan itu akan mengganggu perkembangan Aeri karena ia akan terus bergantung pada Baekhyun. Namun Baekhyun pikir dengan memasukkan Aeri ke tempat kerjanya, ia akan lebih mudah mengawasinya. Selain itu mereka juga tidak akan perlu kerepotan memikirkan siapa yang akan menjemput Aeri saat pulang sekolah dan akhirnya Chanyeolpun mengalah.

"Hari yang melelahkan Baek?"

Baekhyun mengalihkan pandangannya ke meja lain di sebelah kanannya dan mendapati Jongdae tengah mengotak-atik ponselnya.

"Mhm," jawabnya singkat. Ia tahu Jongdae tak akan salah paham dan menganggapnya tidak sopan. Mereka berdua telah mengenal satu sama lain cukup lama untuk mengerti sifat masing-masing.

"Kau bisa pulang duluan. Lagipula kau masih di sini atau tidak, Chanyeol tetap akan menjemput Aeri saat pulang kerja kan?" ujar Jongdae masih belum mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangannya.

Baekhyun meletakkan kepalanya di atas meja dan memejamkan matanya lelah. Ia sering tidur terlalu malam akhir-akhir ini. Entah itu karena Aeri, pekerjaan, ataupun berdebat dengan Chanyeol tentang hal-hal kecil.

"Tidak, aku akan menunggunya saja. Ia pasti akan langsung mencariku saat keluar dari kelas nanti," jawabnya masih memejamkan mata.

Jongdae akhirnya melirik teman kerjanya itu kemudian menghela napasnya. Ia terlalu mengenal Baekhyun bahkan sampai hapal sifat-sifatnya. Anak itu tidak akan bercerita kalau tidak ditanya.

"Kau tahu kau bisa bercerita apapun padaku kan?" mulai Jongdae sembari meletakkan ponselnya di meja.

"Tentu saja Jongdae-ya, aku memahamimu dan kau memahamiku, kita saling mengerti satu sama lain dan tidak akan terpisahkan," jawab Baekhyun sekenanya membuat Jongdae memutar kedua bola matanya.

"Apa kau bertengkar lagi dengan Chanyeol?"

Sepi mengisi detik-detik di antara mereka cukup lama, hingga Baekhyun akhirnya menggelengkan kepalanya.

"Lalu apa yang terjadi? Kau semakin terlihat seperti zombie akhir-akhir ini," tuntut Jongdae, saat ini seluruh perhatiannya tercurah pada lelaki berambut cokelat di sampingnya.

Baekhyun membuka kedua mata sipitnya perlahan dan memandang datar mug di atas meja kerjanya.

"Tidak tahu," jawabnya kemudian.

Jongdae memandang Baekhyun lekat sebelum menghela napasnya. Ia sudah berulang kali mendengar cerita yang menunjukkan bahwa sahabatnya itu sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Tentu saja setelah ia yang selalu membujuk agar laki-laki yang lebih pendek darinya itu mau bercerita. Ia bukannya mau ikut campur, tapi meihat Baekhyun yang terus-terusan melamun dan tenggelam dalam pikaran-pikirannya sendiri membuatnya tidak tega.

"Baekhyun, kurasa bukan hal yang buruk jika kau membicarakan apapun itu dengan Chanyeol," ucap Jongdae hati-hati. Ia dapat merasakan sahabatnya itu meliriknya sekilas sebelum kembali memandang mug di atas mejanya.

"Setidaknya kau akan merasa lebih baik,"

"Aku tidak tahu Jongdae. Aku sendiri bahkan tidak yakin dengan apa yang terjadi di antara kami," jawab Baekhyun.

"Apalagi aku. Tapi dengar, aku yakin jika dibicarakan pasti akan lebih baik. Kalian berdua terlalu jatuh cinta satu sama lain hingga tidak mungkin melakukan hal-hal buruk untuk pernikahan kalian dan Aeri," jelas Jongdae dan Baekhyun mau tidak mau tersenyum mendengar hal itu.

"Untuk berbicara tanpa berdebat saja rasanya akan sulit. Aku tidak tahu bagaimana memulainya," balas Baekhyun. Jongdae dapat mendengar suara sahabatnya itu sedikit bergetar.

"Kalian sudah sangat lama bersama, mungkin saat ini kalian sedang mengalami titik jenuh? Entahlah aku juga tidak tahu dan belum pernah mengalami. Tapi jangan sampai melukai satu sama lain. Kalian pantas mendapatkan lebih dari itu," ucap Jongdae pelan.

"Jenuh? Apa Chanyeol jenuh?"

Jongdae ingin segera menyanggah karena ia tidak mau sahabatnya itu sampai salah paham dengan ucapannya. Ia baru saja akan membuka mulutnya ketika seruan nyaring terdengar dari pintu.

"Appaaaa," seru Aeri. Gadis cilik itu terlihat begitu bersemangat. Di sebelah kirinya seorang laki-laki berbadan tegap terlihat menggandeng tangan mungilnya.

"Kau sudah selesai baby?" tanya Baekhyun yang seketika itu juga tersenyum dan mengalihkan fokusnya pada Aeri, meninggalkan Jongdae yang hanya dapat menghela napas.

"Sudah. Apa appa sudah selesai?" anak bermata bulat itu berjalan bersemangat menghampiri appanya.

"Appa juga sudah selesai, kita pulang sekarang?" Baekhyun beranjak dari kursinya dan meraih tasnya sebelum membawa Aeri dalam gendongannya. Tak lupa ia melemparkan senyuman maaf pada Jongdae dan mendapatkan anggukan dari sahabatnya itu.

"Yeay! Mobil daddy juga sudah ada di depan sekolah," ujar Aeri setelah mengecup pipi appanya.

"Benarkah? Kalau begitu kita harus cepat. Ayo berpamitan pada Jongdae dan Jongin sonsaengnim dulu,"

"Annyeonghigyeseyo sonsaengnim," pamit Aeri sambil melambaikan tangannya.

"Hati-hati Aeri," jawab laki-laki yang dipanggil Jongin sembari ikut melambaikan tangannya diikuti oleh Jongdae yang melakukan hal serupa.

"Sampai jumpa besok," ujar Baekhyun sebelum meninggalkan ruangan.

.

.

.

.

.

"Baby, kau harus memakan sayurannya juga," Baekhyun mengarahkan sendok yang berisi sayuran ke mulut gadis mungil di sampingnya. Ia terkikik ketika Aeri memanyunkan bibirnya namun tetap melahap apa yang ia berikan.

"Hari ini anak daddy belajar apa di sekolah?" tanya Chanyeol sembari menyantap makan malamnya.

Aeri memandang daddynya dengan mata yang berbinar-binar, seolah pertanyaan yang diberikan padanya barusan memang sudah ia tunggu-tunggu sedari tadi.

"Tadi kami berjalan di atas papan yang sangat sempiiit sekali. Teman-teman Aeri sangat ketakutan bahkan ada yang sampai menangis," ujar gadis cilik itu antusias.

Baekhyun hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun. Melihat Aeri yang bercerita dengan sangat bersemangat benar-benar mengingatkannya pada laki-laki yang tengah duduk di depannya. Bagaimana mata yang besar itu semakin membulat dan tangan yang bergerak-gerak asal untuk membantu menjelaskan ceritanya. Aeri bisa dibilang adalah duplikat dari seorang Park Chanyeol, mulai dari wajah hingga tingkah lakunya. Satu-satunya yang menjelaskan bahwa anak itu adalah putri Baekhyun adalah bentuk tubuhnya yang mungil.

"Kalau Aeri menangis tidak?" sambung Chanyeol.

"Tentu saja tidak karena ada appa!" seru Aeri membuat Chanyeol tergelak.

Jika sedang seperti ini mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sempurna. Makan malam bersama dan menceritakan bagaimana hari masing-masing berlalu. Baekhyun berharap mereka selalu seperti ini, hanya saja tanpa rasa berat yang pelan-pelan terasa membusuk di sudut hatinya.

"Ah appa, tadi Aeri lupa berterima kasih pada Jongin sonsaengnim," ucap Aeri tiba-tiba.

"Benarkah? Kalau begitu besok saat bertemu di sekolah Aeri harus berterima kasih pada Jongin sonsaengnim," jawab Baekhyun.

"Okay," gadis kecil itu kemudian mengangguk lucu.

"Memangnya kenapa harus berterima kasih pada Jongin sonsaengnim?" tanya Chanyeol yang merasa menjadi satu-satunya yang tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

Baekhyun terdiam, mengerti betul bahwa suaminya itu tidak sedang berbicara padanya.

"Tadi Jongin sonsaengnim mengantar Aeri bertemu appa setelah pulang sekolah. Waktu istirahat juga Jongin sonsaengnim membantu Aeri memakai sepatu," jelas Aeri pada daddynya.

Chanyeol mengangguk mengerti, "kalau begitu besok Aeri harus berterima kasih," ujarnya sambil tersenyum.

.

.

.

Baekhyun tengah duduk di sofa sambil mendekap Aeri. Anak itu sedang rewel dan tidak mau langsung tidur di kamarnya sendiri. Sembari menepuk-nepuk lembut punggungnya, Baekhyun menyanyikan lagu pengantar tidur dengan lirih. Ia melirik wajah putrinya dan tersenyum puas ketika kedua mata bulatnya sudah tertutup. Baru saja akan beranjak, ia merasakan sofa panjang itu bergeak. Ketika menoleh ia mendapati suaminya telah duduk di sampingnya.

"Aku senang Aeri mendapat banyak perhatian di sekolahnya," ujar Chanyeol.

Tidak. Tidak lagi.

"Ya, itu membuatnya lebih percaya diri melakukan banyak hal," jawab Baekhyun sebisa mungkin menetralkan nada bicaranya. Ia tidak mau memancing perdebatan apapun. Ia benar-benar sangat lelah malam ini.

"Kau benar. Tapi jika terlalu banyak bisa berbahaya, iyakan?" balas Chanyeol. Kedua mata yang serupa dengan milik Aeri itu kini menatap Baekhyun seolah memaksa persetujuan.

"Para guru hanya menjalankan tugas mereka Yeol, tidak ada yang memperlakukan Aeri dengan spesial. Kau tidak perlu khawatir,"

"Ya, aku tahu itu. Hanya saja bukan tidak mungkin mereka secara tidak sadar menganggap Aeri spesial karena dia anak salah satu pengajar di sana,"

Baekhyun menarik napasnya panjang, sangat mengerti ke mana arah pembicaraannya dan Chanyeol akan berakhir. Ia berusaha meredakan semua amarah yang menjalar di seluruh tubuhnya. Menolak semua impuls yang memungkinkannya untuk meledak.

"Yang seperti itu tidak akan pernah terjadi," jawabnya.

"Kau tahu aku percaya padamu, tapi kuharap kau juga tahu bahwa yang kita bicarakan saat ini menyangkut Aeri dan masa depannya," sedikit nada menuntut terdengar dari ucapan Chanyeol kali ini.

"Yeol, kau terlalu berlebihan,"

"Tidak ada yang berlebihan jika menyangkut anak kita, Baek,"

Laki-laki yang lebih mungil menyenderkan badannya ke punggung sofa lelah. Terlalu bingung bagaimana ia harus melewati pembicaraan kali ini.

"Entahlah, aku terlalu lelah untuk membicarakan ini semua sekarang"

"Kau selalu saja begitu!" Chanyeol tak sengaja meninggikan suaranya membuat Aeri sedikit terusik dalam tidurnya. Baekhyun segera mengusap lembut punggung putrinya mencoba menenangkan. Sekilas ia memberikan tatapan tak suka pada lelaki di sampingnya.

"Kau selalu tak tahu, menghindar, dan apalah itu ketika kita sedang berbicara," Chanyeol masih berteriak meskipun suaranya tertahan dalam volume rendah. Urat-urat jelas tercetak di lehernya, menandakan amarah yang mulai memuncak.

"Chanyeol, kau bisa lihat ini bukan waktu yang tepat," bisik Baekhyun masih memandang Chanyeol dengan tak suka.

"Tidak pernah ada waktu yang tepat Baek. Kau selalu begitu. Tidak sekalipun kau memulai pembicaraan untuk memperbaiki semuanya. Kau selalu tenggelam dalam pikiranmu sendiri,"

Kali ini Baekhyun tak menjawab dan lebih memilih untuk membisikkan kalimat-kalimat sayang di telinga Aeri.

"Dari awal kita memulai semuanya tidak pernah sekalipun kau membuka dirimu terlebih dulu, kau terlalu egois untuk memikirkan orang-orang di sekitarmu," teriakan Chanyeol lirih namun begitu tajam, membuat kerongkongan Baekhyun terasa tercekat. Ia tidak pernah tahu Chanyeol berpikiran seperti itu tentang dirinya.

"Hell, bahkan aku merasa kau tak ingin memperbaiki apapun yang terjadi di antara kita sekarang," sorot sendu terpancar dari mata Chanyeol. Ia tak tahu apa yang tengah merasukinya saat ini tapi ia benar-benar merasa frustasi.

Sementara di sampingnya Baekhyun masih terdiam. Semakin mengeratkan dekapannya pada Aeri setiap kali sebuah kalimat keluar dari bibir Chanyeol.

"Bahkan ketika pembicaraan kita demi Aeri kau tetap saja menghindar," kali ini Chanyeol tersenyum mengejek.

Kalimat Chanyeol berikutnya membuat Baekhyun menahan napasnya sesak. Ia kemudian beranjak dan membawa Aeri menuju kamarnya tanpa mengatakan satu balasanpun pada suaminya. Ketika ia merebahkan Aeri di tempat tidurnya ia tak segera keluar dari kamar bernuansa peach itu. Ia mendudukkan dirinya di samping gadis kecil itu sambil menggenggam dan mengecup tangan mungilnya berulang-ulang. Perkataan Chanyeol masih menggema di benaknya.

"Mungkin semua yang kita jalani saat ini memang hanya demi Aeri."

.

.

.

.

.

tbc.

a/n: okay. makasih banyak buat yang udah mau baca fic ini sampai bawah, aku tau fic ini agak boring tapi well...akhirnya tetep aku post. lol. A domestic chanbek for you all.. kalau kalian suka, review please.. :)))

thank you :*