Hola Minna…
Semoga gak ada bosennya ya dengan fic saya yang gaje, ancur, berantakan, gak beres dan sebagainya ini. Sekali lagi maaf malah bikin fic baru, saya lagi kena WB dadakan. Gak ada imajinasi sama sekali buat nerusin fic yang ada. Kayaknya butuh Spongebob nih!
.
DISCLAIMER : TITE KUBO
.
RATE : T
.
Series From the 'Blind Heart'
.
WARNING : OOCness(parah, banget, kelewatan, gak ketolongan), AU, Misstypo(eksis mulu, gak mau absen!), Gaje, Ide pasaran, Mudah ketebak, Membosankan!
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka, apalagi terdapat kesamaan di dalam fic ini di fic lain atau cerita lain dalam bentuk apapun, itu sama sekali tidak disengaja. Mohon maaf kalau terjadi kekeliruan dalam pembuatan fic ini. Semua yang ada di sini cuma fiksi yang iseng.
.
.
.
Perlahan… perlahan…
Tunggu dulu, kasur ini agar tinggi, Rukia harus memastikan bahwa kakinya bisa menapak dengan tepat sebelum tubuhnya turun dari kasurnya. Perlahan lagi kaki mungilnya mencoba menapak lantai yang dingin itu. Kemarin dia sudah bisa turun meski sedikit dibantu. Rukia tersenyum lebar ketika ujung jempolnya menyentuh lantai. Sudah bisa.
Kini satu tangan Rukia menyentuh ujung meja kecil di samping tempat tidurnya. Satu tangannya lagi sudah berpegangan pada pinggiran ranjang.
Dan akhirnya…
BRUUK!
Seketika itu pula Rukia langsung tersungkur jatuh ke lantai. Rupanya sebelum benar-benar menapak lantai, satu tangannya yang memegang ujung meja kecil itu terlepas dari pegangannya hingga tubuh Rukia yang belum siap itu kehilangan keseimbangannya sebelum sempat berdiri.
"Rukia!"
Astaga, lagi-lagi suara panik. Rukia sudah hafal betul suara itu.
"Aku tidak apa-apa, sungguh aku tidak apa-apa," ujar Rukia berusaha untuk tidak membuat suara panik itu tidak bertambah cemas.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang sakit? Ada yang terluka?"
Tubuh mungilnya mulai dipapah untuk naik kembali ke tempat tidurnya. Akhirnya gagal lagi hari ini.
"Sudah kubilang, kalau kau butuh apa-apa panggil aku. Jangan melakukannya sendirian seperti itu. Bagaimana kalau kau terluka?"
Rukia masih tersenyum lembut. Sebelah tangannya meraba-raba di udara mencoba menyentuh obyek yang dia inginkan. Tak lama dari situ, kedua tangan besar yang hangat itu sudah menangkup tangannya yang dilambaikannya di udara.
"Bagaimana mungkin aku bisa terluka hanya karena jatuh dari kasurku sendiri? Aku baik-baik saja. Aku kan tidak punya luka apapun," kata Rukia berusaha menenangkan si pencemas ini.
"Tapi tetap saja… kau yang membuatku takut…" lirihnya.
"Baiklah, lain kali aku akan memberitahumu kalau ada apa-apa, Kaien-Nii."
Setiap kali mendengar nama itu, reflek Ichigo akan tertegun. Jantungnya terasa tertusuk ratusan paku… yang membuatnya kesulitan bernafas.
Setelah satu minggu berlalu sejak Rukia sadar, kini Rukia sudah cukup membaik. Sejak dirawat itu, Ichigo bersama anggota Kurosaki dan Byakuya, merawat gadis mungil ini di rumah sakit. Kondisinya memang membaik. Tak ada hal serius yang dialami oleh tubuhnya.
Kecuali… penglihatannya.
Hingga hari ini, tim dokter belum berani melakukan apapun pada mata Rukia. Mereka masih melakukan observasi untuk itu. Apakah mata Rukia bisa dioperasi atau tidak. Jika bisa, maka mereka akan mencari donor mata secepatnya. Yang ditakutkan adalah kemungkinan terburuk jika Rukia benar-benar tidak bisa melihat lagi.
Ichigo sudah sangat ketakutan mengenai hal itu. Setiap malam Ichigo tak bisa tidur memikirkan ini. Sudah berpuluh buku yang dibacanya mengenai hal yang dialami Rukia ini. Tapi Ichigo tetap tak menemukan jalan keluarnya.
Ichigo bahkan sudah sangat siap jika matanya bisa diberikan kepada Rukia.
Sebagai ganti dari keputusan yang dia ambil. Resiko karena membohongi Rukia…
"Kaien-Nii, kau kenapa? Apa… kau marah padaku?" ujar Rukia karena dirinya tak mendengar suara Kaien―atau Ichigo―yang sama sekali tidak bersuara itu. Rukia hanya bisa merasakan genggaman tangan yang hangat itu.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Ichigo akhirnya.
"Maafkan aku, aku janji tidak akan seperti itu lagi. Sungguh…" lirih Rukia yang tampak merasa bersalah itu.
Ichigo tersenyum lembut, meski Rukia tak bisa melihatnya. Satu tangannya yang tidak menggenggam tangan Rukia terjulur ke atas dan mengusap kepala hitam itu dengan sayang.
"Aku tahu, sudah tidak apa-apa, Rukia…"
Sejak kesadaran Rukia sudah kembali sepenuhnya, kini Rukia terbiasa mendengar namanya dipanggil begitu oleh Kaien yang selalu memanggil nama keluarganya. Entah bagaimana, Rukia merasa suara Kaien kali ini seperti yang sudah biasa memanggilnya seperti itu. Rukia menyukai suara Kaien yang kini memanggil namanya. Suara itu seperti tak asing untuknya, suara yang sepertinya… sudah lama memanggilnya seperti itu.
Dan dalam ingatannya, dia justru mengingat Ichigo.
Mengingat orang yang selalu memanggil namanya seperti itu sejak kecil. Karena diam-diam, sebenarnya Rukia menyukai suara Ichigo yang memanggil namanya itu. Suara yang memang diciptakan untuk memanggil namanya.
"Rukia, ada apa?" kali ini gantian Ichigo yang khawatir melihat Rukia diam saja.
"Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir… kalau aku menyukai suara Kaien-Nii yang memanggil namaku," jawab Rukia riang.
Sekali lagi hati Ichigo berdenyut.
Kalau Rukia tahu siapa sebenarnya yang memanggil namanya ini, akankah Rukia memaafkannya?
Tidak, Ichigo tidak meminta permintaan maaf Rukia. Jika Ichigo bersedia menggantikan posisi Kaien untuk terus membahagiakan Rukia dengan menjadi orang lain, maka Ichigo juga siap dengan segala konsekuensinya. Ichigo juga sudah menerima dengan lapang dan tulus ketika Rukia mengatakan kalau sebenarnya dia membenci Kurosaki Ichigo.
Yah, tidak apa-apa hal itu terjadi. Yang penting, Kuchiki Rukia bisa hidup kembali.
Karena ketika menyadari Rukia yang koma setelah kecelakaan itu terjadi membuat Ichigo sulit untuk hidup bahkan hanya sekadar untuk bernapas.
"Nee Kaien-Nii, maafkan aku ya, karena aku pertunangan kita jadi batal…" lirih Rukia.
Kalau Ichigo boleh jujur, sebenarnya… entah bagaimana Ichigo mengatakannya.
Sejenak Ichigo tersenyum tipis lalu merogoh saku jeansnya dengan tangannya yang bebas itu, beberapa hari ini benda ini selalu dibawa-bawanya. Tapi tidak berani untuk membukanya. Tapi kini…
Ichigo membuka tutup kotak beludru merah itu. Ada satu cincin dengan berlian berbentuk bulan sabit di sana. Bulan sabit itu memang kecil, tapi cukup indah. Ichigo sendiri yang memilihkan cincin ini karena terus didesak Kaien. Dia juga tidak ingin asal memilih barang yang akan dikenakan gadis kesayangannya. Yah… gadis kesayangannya meski akhirnya Ichigo harus merelakan semua kesempatannya.
Ichigo menarik tangan Rukia kemudian mengusap permukaan punggung tangan Rukia. Memasukkan cincin itu ke sela-sela jari mungilnya. Jari kecil ini…
"Kaien-Nii, ini apa?" tanya Rukia yang masih terpaku saat tangannya merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam sela-sela jarinya.
"Ini cincin pertunanganmu."
Wajah Rukia langsung memerah. Merona dengan cantik.
"E-eh?"
"Kau bilang pertunanganmu batal? Itu tidak benar. Buktinya kau sudah memakai cincin pertunangan ini, artinya kau sudah bertunangan bukan?"
"Kaien-Nii…"
"Sekarang kau sudah sah menjadi tunangan Kurosaki Kaien. Apa kau bahagia?"
Rukia menganggukkan kepalanya. Air matanya nyaris keluar, tapi ini air mata kebahagiaan.
"Terima kasih, Kaien-Nii," lirih Rukia.
Ya, Ichigo memang senang Rukia terlihat bahagia. Apapun yang akan dilakukannya mulai kini… adalah untuk Rukia. Jadi, jika pada akhirnya Rukia tidak akan pernah menyadari kehadiran Kurosaki Ichigo, itu bukan masalah sama sekali. Jika Rukia ingin menghapus seorang Kurosaki Ichigo dari benaknya, itu juga bukan masalah. Jika Rukia tidak ingin bertemu lagi dengan Kurosaki Ichigo, itu juga bukan masalah.
Karena, ketika Rukia tidak bahagia, saat itulah Ichigo memutuskan untuk mati.
Yah, sederhana. Mati.
.
.
*KIN*
.
.
Keluarganya masih mendesak Ichigo untuk jujur mengenai kematian Kurosaki Kaien pada Rukia. Karin yang sebenarnya bersikeras ingin kakaknya mengatakan hal yang sebenarnya pada Rukia tentang kakak sulungnya itu. Menurut Karin, Rukia sudah cukup kuat untuk menerima kenyataan. Bukannya ingin membuat Rukia menderita, tapi tidak ingin Ichigo yang menderita karena terus berbohong seperti ini. Bagaimana Ichigo bisa melanjutkan hidup kalau dirinya terus menerus menjadi orang lain untuk seseorang yang bahkan tidak ingin mengingat dirinya?
Bukankah seharusnya Rukia bisa menerima kenyataan secepatnya?
Lebih cepat Rukia menerima kenyataan, lebih mudah bagi Rukia untuk segera pulih dari beban batin yang dialaminya. Karin tahu kalau Rukia adalah gadis yang kuat. Dia pasti bisa menerima hal ini.
Lain halnya dengan Yuzu, kembarannya itu menolak usul Karin. Yuzu tidak mau melihat Rukia yang terluka begitu. Dia sudah cukup menderita dengan matanya yang sekarang tidak bisa melihat apa-apa. Bagaimana mungkin Rukia harus menerima kenyataan lainnya kalau kakak sulung mereka sudah tiada? Bukankah itu sama saja membunuh Rukia secara perlahan-lahan?
Masaki dan Isshin tidak bisa menentukan bagaimana baiknya sekarang. Sama halnya dengan Byakuya. Awalnya Byakuya juga tidak ingin adiknya terus dibohongi seperti ini. Tapi kesehatan Rukia adalah segala-galanya. Untuk kali ini, Byakuya ingin mengambil keputusan egois ini.
Apalagi Ichigo tidak keberatan melakukan peran ini.
Ichigo sendiri yang mengusulkan dirinya. Sudah pasti akan ada penyelesaian dari masalah ini bukan? Tentu saja…
Ini adalah hari dimana Rukia dibolehkan untuk kembali pulang. Ichigo lega karena kondisi fisiknya sudah jauh lebih baik sekarang. Walaupun terkadang phobia mengenai kegelapan itu masih menakuti Rukia. Beberapa waktu ini, kalau Rukia terbangun dari tidurnya, dia seringkali merasa kaget karena kegelapan ini. Maka dari itu, Ichigo selalu menunggui gadis mungil ini untuk terbangun dan menggenggam tangannya untuk membuat Rukia merasa nyaman meski kegelapan kini menyelimuti kedua matanya.
"Semuanya sudah beres," ujar Ichigo setelah memasukkan semua barang milik Rukia ke dalam tas besar yang akan dibawanya itu.
"Terima kasih Kaien-Nii," balas Rukia sambil tersenyum manis. Rukia masih duduk di atas tempat tidurnya setelah berganti pakaian.
"Aku akan minta Karin membawakan kursi rodamu."
"Baiklah."
Ichigo mengelus puncak hitam gadis bermata indah itu. Senyum hangat yang selalu ditujukan untuk satu orang. Yah senyum ini memang hanya ditujukan untuk Kurosaki Kaien. Tapi kini, Ichigo bisa melihat senyum ini setiap saat meski bukan ditujukan kepadanya. Sama seperti dulu, ketika Rukia kecil membuat mahkota bunga bersamanya, tapi mahkota itu bukan ditujukan untuk Ichigo.
"Ichi-Nii kursi rodanya―"
Ichigo terbelalak kaget ketika pintu kamar Rukia dibuka begitu mendadak. Ditambah lagi yang membuatnya semakin keringat dingin adalah suara Karin yang memanggil namanya, bukan Kaien!
Ichigo segera berbalik melihat ekspresi Rukia.
"Ichi-Nii? Apa maksudnya… Ichigo? Siapa yang datang?" tanya Rukia dengan ekspresi bingung. Meski begitu, Ichigo bisa melihat dengan jelas kalau Rukia sama kagetnya dengan dirinya.
Karin yang sepertinya masih kelepasan itu akhirnya menggigit bibir bawahnya mencoba merangkai alasan.
"O-oh, Karin sudah datang dengan kursi rodamu," jawab Ichigo gugup.
"Tapi tadi, Ichigo―"
"Tidak Rukia-Nee, maksudku, apa kau mau pie strawberry? Yuzu akan memasaknya kalau kau suka dalam rangka kepulanganmu dari rumah sakit," potong Karin cepat. Yah, meskipun ini sepertinya alasan tapi apa boleh buat.
"Ahh ya, rencananya sepulang dari sini kita akan mampir ke mini market membeli strawberry. Kau suka?" timpal Ichigo.
Rukia diam sesaat tanpa ekspresi. Ichigo semakin gugup melihat wajah diam Rukia itu. Entah apa yang dipikirkan gadis mungil itu. Apakah Rukia… menyadari sesuatu?
"Pie strawberry… aku suka. Apa kita boleh membuat pudding strawberry juga?" kata Rukia akhirnya dengan wajah berbinarnya.
"Ya, kau bisa. Apapun…" kata Ichigo akhirnya.
Entahlah, sekilas Ichigo yakin Rukia tampak meragukan sesuatu. Tapi akhirnya gadis itu kembali terlihat ceria dengan senyum manisnya. Pikiran itu hilang begitu saja akhirnya. Rukia baik-baik saja. Rukia tidak akan apa-apa. Itu benar.
.
.
*KIN*
.
.
Rukia ingin pulang ke rumah Kurosaki. Byakuya juga setuju karena hari ini tidak bisa menemani Rukia. Urusan pekerjaan yang mendesak membuatnya jadi tidak bisa pulang untuk hari ini. Masaki dan Isshin juga tidak keberatan. Akan lebih baik kalau Rukia bersama orang-orang yang bisa memperhatikannya. Mengingat kondisinya yang seperti ini justru akan berbahaya kalau ditinggal sendirian bukan?
"Sayang, Rukia-chan sudah datang…" pekik Masaki begitu membuka pintu depan rumah keluarga Kurosaki itu.
Rukia tersenyum lebar mendengar suara yang dikenalnya itu. Yah, itu adalah suara Kurosaki Masaki, ibu kandung dari Kaien, tunangannya kini setidaknya. Rukia seperti merasa senang mendengar suara Masaki. Mengingatkannya pada mendiang ibunya.
"Bagaimana perjalanannya? Kau lelah?" tanya Masaki seraya merangkul Rukia yang berdiri di depan pintu, masih dipapah oleh Ichigo.
"Tidak, justru menyenangkan karena aku sudah keluar dari rumah sakit. Senang bisa pulang―ah, aku belum benar-benar pulang…" ujar Rukia akhirnya.
Ichigo yang masih berdiri di sebelah Rukia melirik ke arah ibunya memberikan isyarat. Masaki yang mengerti itu menyetujui permintaan putra tunggalnya kini.
"Rukia-chan bicara apa? Bukankah kau sudah pulang ke rumah? Ini juga rumahmu. Karena kau juga adalah bagian dari keluarga Kurosaki, bukan begitu… Kaien?"
Hingga hari ini Masaki masih kelu untuk mengatakan nama putranya yang sudah meninggal itu. menyebut namanya sama saja memanggil luka hatinya kembali. Sama juga kembali memberikan luka untuk Ichigo yang kini harus menanggung beban yang seharusnya tidak perlu dia pikul.
"Terima kasih, Oba―"
"Mulai hari ini tidak boleh memanggil Oba-chan lagi. Kau juga harus memanggilku Kaa-chan seperti Kaien, Yuzu, Karin dan Ichigo. Kau mau?"
"Eh? B-boleh?"
"Tentu saja boleh. Kau kan sudah bertunangan dengan Kaien, jadi itu artinya kau juga anakku…"
"Woah! Putri ketigaku sudah tiba! Sini sayang ayo peluk Otou-chanmu~~~~"
Ichigo bisa melihat raut bahagia di wajah Rukia sekarang. Meski kedua matanya tidak mampu melihat sekelilingnya, tapi Ichigo yakin Rukia sekarang bisa merasakan sekelilingnya. Suasana hangat di rumahnya membantu Rukia untuk sedikit demi sedikit melepaskan bebannya satu persatu. Mungkin… bukan tidak mungkin, Rukia pasti masih merasa sesak karena kedua matanya yang belum normal ini. Tapi Rukia berusaha untuk tidak mengeluh dan selalu ceria agar orang-orang di sekitarnya tidak mengkhawatirkannya. Sejak dulu, seperti itulah Rukia yang Ichigo kenal.
Setelah acara penyambutan itu selesai, karena berlangsung lama oleh ulah ayahnya yang lebai itu, Ichigo mengajak Rukia untuk kembali istirahat. Kalau baru keluar dari rumah sakit, bukankah lebih baik banyak istirahat untuk memulihkan kesehatannya?
Ichigo membawa Rukia ke kamar milik Kaien.
"Wah, aku rindu sekali dengan wangi kamar Kaien-Nii…" kata Rukia begitu Ichigo membukakan pintu kamar itu.
Yah, sejak kematian Kaien, kamar ini jadi begitu hampa. Baik kedua adik kembarnya maupun ibunya, tak pernah sekali pun membuka kamar ini lagi semenjak hari terakhir dibersihkan. Tepatnya sehari setelah Kaien dimakamkan. Kini, Ichigo bermaksud untuk membiarkan Rukia berada di sini. Agar Rukia bisa terus merasakan Kaien.
"Aku sudah mengajukan surat cutimu dari perkuliahan. Jadi kau bisa tenang sekarang. Jangan banyak berpikir lagi dan istirahatlah yang banyak. Kau bisa tidur di sini, aku akan tidur di kamar Ichigo," jelas Ichigo.
Sesaat begitu Rukia mendengar nama Ichigo, ekspresi gadis itu jadi aneh.
"Kenapa?" tanya Ichigo.
"Apa benar… Ichigo tidak ada di sini?"
Ya, dia ada di sini. Tapi dia tidak bisa mengatakannya padamu.
"Ya, dia tidak ada."
"Kaien-Nii… tidak memberitahukan padanya, kalau aku… sudah keluar dari rumah sakit? Apa dia tahu aku di rumah sakit?"
Jawaban apa yang kau inginkan Rukia?
Kalau kau ingin kejujuran, bisakah kau memaafkannya?
Kalau kau ingin kebohongan, bisakah kau memaafkannya?
Karena semuanya sama saja. Berbohong ataupun jujur padamu sama-sama hal yang menyakitkan. Dan Ichigo tidak ingin menyakiti gadis mungil yang sudah menempati seluruh relung hatinya. Ibaratnya Rukia adalah sebuah patung kaca, Ichigo tidak ingin segores pun lecet berada di sana.
"Kurasa Kaa-chan sudah memberitahunya," Ichigo tidak ingin salah menjawab tanpa bisa menerka apa yang tengah dipikirkan oleh Rukia saat ini. Setelah beberapa waktu lalu Rukia mengatakan pada dirinya bahwa dia… membenci Kurosaki Ichigo.
"Dan dia tetap tidak datang…" lirih Rukia.
"Rukia, mungkin dia―"
"Sibuk. Ya aku tahu. Tiba-tiba pindah, tiba-tiba pergi, tiba-tiba memiliki kekasih yang tidak kukenal. Aku tidak tahu kalau Ichigo sebenci itu padaku."
Cokelat madu Ichigo terbelalak mendengar penuturan Rukia.
"Dia tidak membencimu," sergah Ichigo.
"Kaien-Nii, tolong tinggalkan aku. Aku ingin… istirahat. Dan sendirian. Bisa?"
Tiba-tiba Rukia mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut. Ichigo bisa melihat senyum yang dipaksakan itu. Dia memang tersenyum, tapi matanya sudah berair. Rukia menahan air itu untuk mengalir ke bawah.
"Baiklah, kalau kau perlu sesuatu, panggil aku secepat mungkin."
Rukia menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Setelah terdengar pintu yang ditutup itu, Rukia yakin Kaien sudah keluar dari kamarnya.
Tiba-tiba kaki mungilnya tidak sanggup menahan beban berat badannya sendiri. Dirinya kemudian merosot ke bawah.
Apa yang sebenarnya dirasakan oleh Rukia?
Kaien ada di sisinya. Tapi sesuatu tetap saja menghilang tanpa dia mengerti. Apa mungkin karena Ichigo tak ada di sisinya?
Ichigo yang selalu melindungi dan menolongnya?
Kenapa kali ini sosok itu tidak datang melindungi dan menolongnya?
Apakah Rukia serakah?
Kaien sudah berada di sisinya seperti mimpinya selama ini. Tapi kenapa Rukia juga ingin Ichigo ada di sisinya?
Apakah selama ini Rukia sudah terbiasa karena Ichigo selalu berada di sisinya tanpa dimintanya? Apakah karena kebiasaan itu yang membuat Rukia jadi merasa… ada yang hilang ketika sosok itu tidak ada?
Apakah… Ichigo benar-benar tidak pernah datang?
.
.
*KIN*
.
.
Setelah menutup pintu kamar Kaien, Ichigo tidak langsung beranjak dari sana. Dirinya berbalik dan bersandar di pintu kamar itu sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Takut kalau seseorang mendengar sedikit suaranya dari sini.
Ya Rukia, Ichigo memang selalu berada di sisimu tanpa pernah kau minta. Dia selalu menjaga dan melindungimu 24 jam tanpa henti tanpa kau minta.
Tapi kali ini, kau tak tahu itu.
Haruskah kebohongan ini terus berlanjut?
Ini… benar-benar menyakitinya. Juga Rukia…
.
.
*KIN*
.
.
"Rukia, sudah tidur?"
Setelah makan malam itu, Yuzu menemani Rukia untuk masuk ke dalam kamar Kaien. Sikap Rukia sudah kembali seperti semula. Tidak semurung saat Ichigo terakhir kali meninggalkan gadis mungil itu siang tadi. Tadinya Ichigo yang ingin mengantar Rukia naik, tapi tiba-tiba dia mendapat panggilan dari teman sekampusnya untuk urusan tugas mereka. Jadi mau tak mau Ichigo harus mencari alasan supaya Rukia tidak mendengar masalahnya sekarang.
"Ya, baru saja tidur. Tapi Onii-chan, tadi aku melihat… wajah Rukia-chan seperti… habis menangis," ujar Yuzu.
"Menangis?" ulang Ichigo.
Yuzu menganggukkan kepalanya. Mungkinkah karena kata-kata Ichigo siang tadi?
Tapi, bukankah siang tadi… sebenarnya apa yang dipikirkan Rukia saat ini? Bukankah bagus kalau sosok Ichigo menghilang dari hidupnya? Meski Ichigo tak bisa menggantikan Kaien, tapi paling tidak untuk saat seperti, yang dibutuhkan oleh Rukia adalah Kaien, bukan Ichigo.
Yuzu kemudian pergi meninggalkan Ichigo setelah mengatakan hal demikian. Sekarang Ichigo sungguh tak tahu harus mengatakan apa.
Rukia diijinkan untuk menginap beberapa hari sampai Byakuya tidak sibuk lagi dan siap untuk mengurus Rukia sendirian. Tapi Rukia juga tidak keberatan di sini kalau keluarga Kurosaki setuju dia ada di sini. Tanpa perlu ditanya lagi, Masaki dan Isshin sangat senang jika Rukia mau tinggal di sini. Byakuya juga baru saja mengunjungi Rukia setelah urusannya selesai.
Sekarang, Ichigo tengah berdiri bersandar di teras rumah kecil mereka. Langit malam ini benar-benar indah. Sayang, Ichigo tak bisa memperlihatkan bulan penuh pada Rukia hari ini. Rukia… sangat menyukai bulan penuh berwarna putih yang cerah itu.
"Ichi-Nii…"
Ichigo menoleh ke belakang dan mendapati salah satu adik kembarnya itu datang mendekatinya.
"Kau belum tidur?"
"Ichi-Nii sendiri?" balas Karin.
Ichigo hanya tersenyum lemah dan kembali melihat langit malam ini.
"Rukia… sudah lama tertidur. Tapi, aku tahu kalau terjadi sesuatu padanya. Apa Ichi-Nii mengatakan sesuatu pada Rukia yang membuatnya… sedih?"
Perasaan perempuan memang sensitif. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Karin. Meskipun dia terkesan cuek, tidak begitu peduli dan tomboi, tapi Karin memiliki sisi kepekaan yang sangat sensitif. Dia bisa mengerti hanya dengan sekali melihat. Sangat berbeda dengan Yuzu. Meskipun Yuzu perhatian, begitu peduli dan feminin, tapi Yuzu kurang begitu memahami apa yang dirasakan oleh orang-orang sekitarnya.
"Rukia bertanya soal 'Ichigo' padaku. Apa yang bisa kukatakan? Aku ada di depannya, tapi dia sama sekali tidak menyadarinya," ungkap Ichigo.
"Lalu… apa yang Ichi-Nii katakan?"
"Kukatakan… 'Ichigo' tidak ada di sini."
"Pantas saja," gumam Karin.
"Kau tahu sesuatu?"
"Mungkin, Rukia ingin… bertemu dengan Ichi-Nii… di saat seperti ini, Rukia juga ingin bertemu dengan sahabat dekatnya kan meski dia tidak bisa melihat. Kalau Ichi-Nii tidak bisa menemuinya, cobalah… menelponnya."
"Apa menurutmu itu akan berhasil?"
"Coba saja."
Setelah mengatakan hal itu, Karin kemudian meninggalkan Ichigo kembali.
Kalau tidak bisa bertemu, cobalah menelpon.
Telepon?
.
.
*KIN*
.
.
"… kia? Rukia?"
Rukia yakin dia sudah terlelap tadi, tapi kenapa ada suara-suara yang terus memanggil namanya?
Begitu Rukia akan membuka matanya, Rukia terkejut sejenak. Jantungnya berdetak cepat lagi. Astaga… Rukia belum bisa terbiasa.
"Rukia? Kau baik-baik saja?"
Ini… suara…
"Karin…?"
"Maaf membangunkanmu malam-malam begini…" ujar Karin dengan nada tak enak.
"Tidak, tidak apa-apa. Ada apa?"
Karin membantu Rukia untuk duduk di atas kasurnya itu. Salah satu tangan Karin menggenggam tangan Rukia dan memberikannya sesuatu.
"Apa… ini?" tanya Rukia sambil berusaha meraba dan menerka apa yang diberikan oleh Karin.
"Ponsel… kau bisa menjawabnya sekarang."
Rukia terdiam sejenak. Untuk apa Karin memberikannya ponsel di tengah malam seperti ini? setidaknya, seingatnya tadi seusai makan malam dia langsung tidur dan ini belum beberapa jam dia memejamkan mata.
"Siapa… yang menelpon malam-malam begini?" tanya Rukia.
"Kau akan tahu nanti, aku tinggal ya, letakkan saja ponselnya di atas kasurmu kalau kau sudah selesai. Aku akan mengambilnya nanti."
Rukia merasa genggaman tangan Karin sudah terlepas. Lalu tak lama kemudian suara pintu yang terbuka dan tertutup pun terdengar. Kini kamar ini terasa sunyi. Apa Karin benar-benar sudah keluar?
Rukia tak bisa menebak siapa ini. Kenapa bisa menelpon ponsel Karin kalau ingin bicara dengan Rukia.
Mungkinkah…
"H-ha-halo?" jawab Rukia akhirnya.
"Hei, setelah keluar dari rumah sakit kau jadi gagap ya?"
Jantung Rukia tiba-tiba berdetak dengan cepat. Entah kenapa sekujur tubuhnya tiba-tiba gemetar. Suara dari ponsel ini… suara ini…
"Maaf baru menghubungimu sekarang, urusan mengenai kepindahanku sangat merepotkan di sini. Kudengar dari Kaa-chan kau sudah keluar dari rumah sakit. Kau baik-baik saja kan? Aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa menghubungimu."
Rukia ingin marah. Sungguh dia ingin marah. Tapi kenapa dia malah menangis. Kenapa air matanya malah tiba-tiba turun begitu deras.
"Kau benar-benar… menyebalkan…" gumam Rukia.
"Hah? Setelah lama tak bertemu kau bilang aku menyebalkan?"
"AKU BENAR-BENAR MEMBENCIMU KUROSAKI ICHIGO SIAL!" pekik Rukia akhirnya.
Sesaat tak ada suara lagi dari seberang sana. Rukia pikir Ichigo kaget karena tiba-tiba Rukia meneriakinya seperti itu. Apalagi dari ponsel.
"Hei, jangan semarah itu. Aku sudah minta maaf kan?" ujar Ichigo lembut.
"Kau tahu berapa lama aku di rumah sakit? Kau tahu bagaimana kondisiku saat ini? Kenapa kau tidak pernah datang menjengukku? Kenapa kau tidak pernah ada di saat aku benar-benar ingin bertemu denganmu?! Aku… aku juga memerlukan teman di saat seperti ini…" isak Rukia.
Kini Ichigo mulai berpikir lagi. Sungguh ini adalah kesalahan terfatal yang pernah dia lakukan. Tidak seharusnya dia menghubungi Rukia kalau akhirnya dia malah membuat gadis yang disayanginya menangis seperti ini.
"Maafkan aku, semuanya memang mendadak. Tapi kupikir… Kaien sudah cukup bukan?"
"Apa yang kau katakan?! Kau adalah satu-satunya temanku yang paling dekat denganku. Aku ingin temanku ada di saat aku seperti ini… aku benar-benar kesepian… meskipun ada Kaien-Nii… tapi tetap tidak lengkap…"
"Karena aku tidak menjahilimu lagi dan kau tidak bisa mengadu pada Kaien?"
Ichigo bisa mendengar suara Rukia yang tertawa pelan meski isakan tangis masih mengiringinya. Sesekali hidungnya mengeluarkan bunyi karena pasti sekarang hidungnya penuh dengan hasil tangisannya itu.
"Kapan kau mau menjengukku?"
"Soal itu… maafkan aku."
"Kenapa?"
"Kurasa… aku tidak bisa pergi sekarang. Aku baru saja―"
"Karena kau sudah punya kekasih di sana makanya kau mau melupakan aku dan tidak mau bertemu denganku lagi?"
"Bukan begitu. Kenapa kau tiba-tiba mengungkitnya?"
"Apa kekasihmu yang menyuruhmu untuk tidak menemui gadis mana pun?"
"Hei, kau terlalu sensitif. Aku memang tidak bisa menemuimu saat ini… tapi aku akan menghubungi setiap malam sebelum kau tidur."
"Kenapa?"
"Kau tahu, tugasku sudah mulai banyak. Dari pagi sampai malam aku harus terus berada di kampus. Jadi… aku hanya punya waktu malam hari saja. Tapi kalau kau tidak mau, kau bisa minta Kaien saja yang menemanimu."
"Kaien-Nii juga sibuk bekerja. Baiklah, kau janji ya?"
"Janji."
"Kalau begitu aku memaafkanmu. Kau pasti lelah, istirahatlah."
"Kau juga, kalau baru keluar dari rumah sakit kau butuh istirahat yang banyak."
Rukia kemudian memberikan salam perpisahannya. Sama dengan Ichigo.
Untuk sesaat, Rukia merasa lega bukan main.
Meski tidak bisa melihatnya langsung, tapi Rukia mulai merasa nyaman sekarang.
Ichigo menutup ponselnya. Sesuai dengan saran Karin, Ichigo mencoba menghubungi Rukia. awalnya dia pikir Ichigo akan menyakiti Rukia, tapi kemudian… semuanya terasa benar sekarang. Ichigo lega.
"Tidur yang nyenyak… Rukia."
Setelah menutup ponselnya, Rukia kembali berusaha berbaring. Tadinya dia ingin meletakkan ponsel itu di kasur seperti kata Karin tadi. Tapi… begitu mengingat suara Ichigo lagi, Rukia jadi memeluk ponsel itu. Kedua tangannya memeluk ponsel itu di atas perutnya. Berharap dengan begitu… Ichigo akan menemui dalam mimpinya.
Karena sekarang Rukia merindukan sosok sahabat karib yang sangat disayanginya itu.
.
.
*KIN*
.
.
TBC
.
.
Holaaa minna ehehehe ternyata nambah lagi dah heheh, soalnya karena review sebelumnya pengen sekuel, saya jadiin series aja yaa.
tenang kok, ini kayaknya cuma sampe lima chap aja, jadi mungkin akan segera saya selesaikan hehee tapi kemungkinan lain, Ichi yang bakal sengsara sih di sini ehehe
dan katanya Voidy nee, pict yang saya cari itu memang dibuat untuk sebuah fic dari merisela namanya. ficnya ada tiga series, oblivious-obvious-known
saya udah baca dan memang bagus loh ehehe...
gimana minna? masih ada yang mau lanjut? bolee review?
Jaa Nee!
